Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
adalah untuk membersihkan harta yang dimiliki oleh seseorang itu dari unsur- unsur negatif yang melekat pada harta itu, dan juga merupakan konsep untuk
mengentaskan kemiskinan melalui pendistribusian aset dari pihak yang mampu kepada golongan ekonomi lemah. Hal ini merupakan konsep
pencapainnya kesejahteraan bersama. Gerakan zakat di Indonesia dimulai dengan tumbuhnya lembaga-
lembaga amil zakat sejak berdirinya Dompet Dhu’afa pada tahun 1993. Sebelumnya sudah lebih dulu ada Bazis DKI yang dikelola pemda DKI
namun belum merupakan gerakan masyarakat. Kelahiran lembaga-lembaga amil zakat profesional dan kiprahnya yang semakin massif di masyarakat
selanjutnya mendorong lahirnya FOZ forum zakat yang merupakan asosiasi lembaga-lembaga zakat di Indonesia. Bangunan gerakan zakat semakin
lengkap dengan lahirnya IMZ akhir tahun 2000 yang berfungsi mendorong kinerja lembaga dan melahirkan amil zakat profesional. Saat ini muncul
nama-nama lembaga yang dikenal masyarakat seperti Dompet Dhuafa, PKPU, Rumah Zakat, DPU Daarut Tauhid, Al-Azhar dll.
4
Dengan lahirnya berbagai lembaga yang mengelola ZIS, maka timbul satu pertanyaan, apakah pelaksanaan ZIS selama ini telah dikelola secara
efektif dan efisien mungkin oleh lembaga-lembaga yang ada. Sehingga indikasi yang timbul adalah kerancuan-kerancuan dalam pengelolaan zakat
dan tidak jarang terjadi perbenturan kepentingan dan keinginan hawa nafsu dalam mendistribusikan harta zakat.
4
Artikel diakses pada 13 Februari 2008 dari http :www.id.wikipedia.orgwikiZakat- 46k-Tembolok
Di Indonesia, peranan organisasi pengelola zakat telah diatur dalam Undang-undang. Munculnya Undang-undang No 38 tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat tela memberikan kepastian hukum terhadap status organisasi pengelola zakat. Dalam undang-undang tersebut dikenal dua
macam organisasi pengelola zakat yaitu Badan Amil Zakat BAZ yang di bentuk oleh pemerintah dan Lembaga Amil Zakat LAZ yang sepenhnya
dibentuk oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah. Dengan adanya organisasi pengelola zakat maka pengaturan penarikan dan distribusi zakat
dapat lebih dikelola. Organisasi pengelola zakat dalam tugasnya hanya memiliki dua fungsi
yaitu pengumpul dana dan penyalur dana. Untuk bisa melaksanakan keduanya menurut keputusan Menteri Agama No 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan
Undang-undang No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, sebuah organisasi pengelola zakat harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1 Berbadan hukum.
2 Memiliki data muzakki dan mustahiq
3 Memiliki program kerja
4 Memiliki pembukuan
5 Melampirkan surat persyaratan bersedia di audit.
Dalam pengelolaan zakat maka organisasi pengelola zakat harus mengelolanya dengan amanah, profesional dan transparan. Ketiga hal tersebut
oleh institut Manajemen Zakat disebut dengan “ Good Organization Govermence
”.
5
Dalam rangka menegelola dan memberdayakan potensi zakat sebagai kekuatan ekonomi masyarakat, maka keberadaan institusi zakat sebagai
lembaga publik yang ada di masyarakat menjadi penting. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Yusuf Qardawi : “Zakat bukan hanya sekedar kemurahan
individu, melalui sistem tata sosial yang dikelola oleh negara melalui aparat tersendiri. Aparata ini mengatur semua permaslahannya, mulai dari
pengumpulan dari para wajib zakat hingga pendistribusiannya kepada mereka yang berhak”.
6
Kesadaran akan pentingnya mengelola zakat, infak, shadaqah secara profesional sebenarnya sudah lama muncul sejak lama. Hal ini karena kaum
muslim sadar bahwa potensi ekonomi zakat muslim Indonesia sangat besar. Namun, belum terdapat sebuah upaya sistematik untuk mengelola potensi
ekonomi yang demikian besar itu. Dengan demikian, dana zakat yang demikian besar itu tidak dikelola dengan baik. Zakat, infak, sadaqah secara
konsumtif oleh para mustahik.
7
Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan suatu pengelolaan yang mampu mendayagunakan seluruh potensi zakat. Sedang untuk
mendistribusikan dan mengelola dana zakat tersebut diperlukan penganganan
5
Fossei kita “Zakat dan Masyarakat Indonesia”, artikel diakses pada 13 Februari 2008 dari http:www.mail archive.comfosseiyahoogroups.commsg01325.html-16k-Tembolok.
6
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat : “Studi Komparatif Mengenai Staus dan Filsafat Zakat
Berdasarkan Quran dan Hadis.”, Bandung : Penerbit Mizan, 1999, cet ke 5 h. 18.
7
Kusmana, Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan Sosial, Jakarta : IAIN Indonesia Social Equity Project, 2006, h. 23-24.
konsep manajemen yang tepat dengan memprhatikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pola pelaksana sistem zakat.
Pada prinsipnya, zakat harus diterima secara langsung oleh mustahik. Meskipun demikian, memang diperlukan suatu kebijakan dan kecermatan
dalam mempertimbangkan kebutuhan nyata dari mereka, termasuk kemampuan mereka dalam menggunakan dana zakat yang mengarah pada
peningkatan kesejahteraan hidupnya, sehingga pada gilirannya yang bersangkutan tidak lagi menjadi mustahik zakat, tetapi mungkin menjadi
pemberi zakatt muzakki. Jadi, zakat diarahkan untuk bukan semata-mata keperluan sesaat yang
sifatnya konsumtif. Seyogianya mustahik tidak diberi zakat lalu dibiarkan tanpa ada pembinaan yang mengarah pada peningkatan yang telah disebutkan
tadi. Sebenarnya, bila kita memperhatikan keadaan fakir miskin maka tetap
ada zakat konsumtif, walaupun ada kemungkinanan melaksanakan zakat produktif. Contohnya, seperti anak-anak yatim, maka zakat konsumtif tidak
bisa dihindari, mereka wajib disantuni dari sumber-sumber zakat dan infaq lainnya. Kemudian bagi mereka yang masih kuat bekerja dan bisa mandiri
dalam menjalankan usaha, maka menurut hemat penulis, dapat ditempuh dengan cara memberi modal yang sifatnya produktif, untuk diolah dan
dikembangkan.
8
8
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah : Zakat, Pajak Asuransi dan Lembaga Keuangan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000, cet 3 h. 22-23.
Kini, setelah adanya Undang-undang No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat, memberi peluang besar untuk mengelola zakat oleh
lembaga pengelola zakat secara profesional. Maka di kampanyekanlah zakat produktif untuk membangun ekonomi mustahik yang diharapkan suatu saat
bisa menjadi muzakki, bukan mustahik lagi. Pada tahun 2001, tahun dimana bangsa kita dilanda krisis ekonomi yang
berkepanjangan dengan bertambahnya jumlah orang miskin di Indonesia, dan dengan melihat besarnya potensi ZIS dilingkungan BRI yang belum optimal.
Maka pada tahun tersebut dengan diprakarsai BAPEKIS BRI dan dengan diilhami oleh semangat keagamaan, kepedulian sosial yang tinggi dan
dorongan Bapak Rujito sebagai Dirut BRI Bank BRI dipandang perlu dibentuk Yayasan tersendiri yang khusus mengelola dana ZIS.
Yayasan Baitul Maal BRI berpegang teguh pada prinsip fastabiqul khairat dalam mengangkat martabat mustahik penerima zakat. Dengan
ko mitmen “Mengubah Mustahik Menjadi Muzakki”. Disamping itu
dimaksudkan agar supaya para pekerja BRI selalu peduli terhadap kewajbannya sebagai muslimmuslimat dan juga peduli kepada lingkungan
sosial masyarakat di sekitarnya sebagai wujud implementasi slogan BRI “Besar Bersama Rakyat”.
Yayasan Baitul Maal BRI sebagai salah satu Lembaga Amil Zakat Nasional berusaha mengimplementasikan visi pengelolaan yang amanah,
Profesional, dan berkesesuaian dengan syariat islam. Eksistensi Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia Pusat dapat dilihat dari keberhasilan
penghimpunan dan penyaluran dana ZIS, jangkauan dalam pendistribusian dan program kerja dalam mengangkat martabat mustahik. Dari uraian diatas,
penulis tertarik menyusun skripsi dengan judul “PEMBERDAYAAN ZAKAT PADA YAYASAN BAITUL MAAL BANK RAKYAT INDONESIA YBM
BRI PUSAT”.