Keterangan Ahli Kekuatan Pembuktian

orang saksi dalam arti bahwa seorang saksi dengan saksi lain pengetahuannya berbeda atau seorang saksi hanya mengetahui satu fase dari keseluruhan kejadian, hingga perlu adanya beberapa saksi untuk didengar keterangannya. Jadi, penilaian terhadap beberapa saksi itu masing-masing berdiri sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lain tentang berbagai peristiwa jadai untuk membuktikan satu peristiwa diserahkan kepada kebijaksanaan Hakim. Dalam KUHAP tidak diatur mengenai kejadian bilamana seorang saksi didengar keterangannya oleh Penyidik kemudian meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat hadir dalam persidangan, hingga berita acara itu dibacakan saja.

2. Keterangan Ahli

Dari keterangan pihak ketiga untuk memperoleh kebenaran sejati, Hakim dapat minta bantuan seorang ahli, dalam praktek sering disebut sebagai saksi ahli expertis, deskundigen. Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus dan objektif dengan maksud membuat terang suatu perkara atau guna menambah pengetahuan Hakim sendiri dalam suatu hal. Sebagai asas dalam peradilan, Hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya sekalipun hukum atau Undang-undang tidak mengaturnya. Ia harus menemukan hukum itu. Hal itu bukan berarti Hakim dianggap tahu segalanya atau dianggap sebagai manusia serba tahu, karena itu ia membutuhkan Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008. USU Repository©2008 dan menggunakan keterangan seorang ahli agar memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang suatu hal yang menyangkut perkara yang ditanganinya. Misalnya mengenai kebakaran, Hakim membutuhkan pengetahuan tentang kelistrikan maka dipanggillah saksi ahli listrik dan seterusnya. Contoh lain: sebuah waduk pecah atau jembatan runtuh maka dalam kaitan ini dibutuhkan keterangan ahli beton bertulang. Mengenai saksi ahli diatur dalam Pasal 160 ayat 4 yang menetapkan bilamana pengadilan menganggap perlu, seorang ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah ahli itu selesai memberikan keterangan, dan dalam Pasal 161 ayat 2 ditentukan saksi ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah tetapi hanya merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan Hakim. Siapa atau apa yang disebut sebagai ahli tidak diberi penjelasan oleh KUHAP, sehingga dengan demikian tentang ahli atau tidaknya seseorang tidak ditentukan oleh pengetahuan atau keahliannya yang khusus tetapi ditentukan oleh karena panggilan pengadilan yang wajib dipenuhi. Oleh karena itu, seorang ahli yang disidik oleh Penyidik dalam rangka membuat terang suatu perkara, bila merasa dirinya tidak mempunyai keahlian khusus wajib mengundurkan diri. Dalam praktek di negara kita, pendidikan formal yang menjadi ukurannya. Seharusnya perlu ditambahkan syarat pengalaman dalam salah satu bidang. Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008. USU Repository©2008 Dalam Pasal 1 butir 28, diberi pengertian umum tentang keterangan ahli yang menyebutkan bahwa keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Pasal 186 menyebutkan pengertian keterangan ahli dalam proses pemeriksaan sidang yaitu apa yang dinyatakan oleh seorang ahli dalam sidang. Keterangan ahli dalam Pasal 1 butir 28 dan Pasal 186 menimbulkan persoalan, jika dihubungkan dengan penjelasan Pasal 133 ayat 2 yang berbunyi : “Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan.” Menurut peneliti, keterangan ahli kedokteran kehakiman atau keterangan yang dimaksud dalam Pasal 133 diberikan dalam proses penyidikan. Jadi bukan dalam sidang, sehingga keterangan dokter bukan ahli kehakiman dapat dianggap sebagai alat bukti “surat” Pasal 184 sub c, sedang apabila keterangan dokter bukan ahli kehakiman diberikan dalam sidang, harus dianggap sebagai alat bukti “keterangan saksi” Pasal 184 sub a. Apabila dibandingkan keterangan saksi dan keterangan ahli, maka ada perbedaan dan persamaan antara kedudukan saksi dan kedudukan ahli, antara lain sebagai berikut : Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008. USU Repository©2008 a. Saksi memberi keterangan sebenarnya mengenai peristiwa yang ia alami, ia dengar, ia lihat, ia rasakan dengan alat panca indranya, sedangkan ahli memberi keterangan mengenai penghargaan dari hal-hal yang sudah ada dan mengambil kesimpulan mengenai sebab dan akibat dalam suatu perbuatan terdakwa; b. Saksi dikenal adanya asas unus testis nullus testis yang tidak dikenal pada ahli, sehingga dengan keterangan seorang ahli saja, Hakim membangun keyakinannya dengan alat-alat bukti yang lain; c. Saksi dapat memberi keterangan dengan lisan dan ahli dapat memberi keterangan lisan maupun tulisan; d. Hakim bebas menilai keterangan saksi dan Hakim tidak wajib turut kepada pendapat, kesimpulan dan keterangan ahli bilamana bertentangan dengan keyakinan Hakim; e. Kedua alat bukti: saksi dan saksi ahli digunakan Hakim dalam mengejar dan mencari kebenaran materiil.

3. Alat Bukti Surat

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya Pengembalian Keuangan Negara Atas Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 6 42

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

1 34 229

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PEMBERIAN SANKSI DI PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI MEDAN.

0 4 25

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 8

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 1

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 1 28

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 36

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 3

Pembuktian Terbalik Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 0 14

PENCANTUMAN SANKSI PIDANA KUMULATIF SEBAGAI SUATU PENAL POLICY DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN UNDANG UNDANG NO.20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NO.31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDA

0 0 16