a. Dokumen, yakni setiap rekaman data ataupun informasi yang dapat
dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun
selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang
memiliki makna.
53
D. Penerapan Pasal 37 dan 38 Tentang Pembalikan Beban Pembuktian yang
Bersifat Terbatas dan Berimbang
Istilah sistem pembuktian terbalik lebih dikenal oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah satu solusi
pemberantasan korupsi. Menurut Andi Hamzah, istilah ini sebenarnya kurang tepat
54
apabila dilakukan pendekatan gramatikal. Dari sisi bahasa dikenal sebagai “Omkering van bet Bewijslast” atau “Reversal Burden of Proof” yang bila secara
bebas diterjemahkan menjadi “Pembalikan Beban Pembuktian.” Sebagai asas universal, memang akan menjadi pengertian yang bias apabila diterjemahkan sebagai
“pembuktian terbalik”. Disini ada suatu beban pembuktian yang diletakkan kepada salah satu pihak, yang universalistis terletak pada Penuntut Umum, namun mengingat
adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak beban pembuktian itu diletakkan
53
Ibid, hal. 188-189.
54
Andi Hamzah, makalah, ”Ide Yang Melatarbelakangi Pembalikan Beban Pembuktian”, disampaikan pada acara Seminar Nasional Debat Publik Tentang Pembalikan Beban Pembuktian,
yang dilaksankan oleh Fakultas Hukum Universitas Trisakti di Jakarta, tanggal 11 Juli 2001, hal 24.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
tidak lagi pada Penuntut Umum, tetapi kepada Terdakwa. Proses pembalikan beban dalam pembuktian inilah yang kemudian dikenal sebagai “Pembalikan Beban
Pembuktian” yang bagi masyarakat awam hukum lay-man cukup dikenal dengan istilah “Sistem Pembuktian Terbalik”.
Pendapat Andi Hamzah ini sungguh dapat dibenarkan, karena tanpa meletakkan bunyi kata “Beban”, maka makna yang terjadi akan berlainan.
Pembuktian Terbalik tanpa kata “Beban” dapat ditafsirkan tidak adanya beban pembuktian dari Terdakwa, sehingga bisa saja ditafsirkan secara harfiah yang hanya
melihat pergeseran tata urutan alat bukti saja. Namun demikian terlepas adanya polemik tersebut, publik cukup mengenal istilah “pembuktian terbalik” sebagai bagian
dari proses terobosan hukum dalam kerangka mempermudah pembuktian suatu perkara korupsi.
55
Asas pembalikan beban pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada diluar kelaziman teoritis pembuktian dalam hukum acara pidana yang
universal. Dalam hukum pidana formil, baik system continental maupun anglo saxon, mengenal pembuktian dengan tetap membebankan kewajibannya kepada Jaksa
Penuntut Umum, hanya saja dalam “certain cases” diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang diferensial, yaitu : Sistem Pembalikan Beban Pembuktian
atau dikenal sebagai “Reversal of Burden Proof”“Omkering van Bewijslast”, itupun tidak dapat dilakukan secara overall, namun memiliki batas-batas yang
55
Indriyanto Seno Adji, Op.Cit., hal. 328.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
seminimal mungkin tidak melakukan destruksi terhadap perlindungan dan penghargaan Hak Asasi Manusia, khususnya hak tersangka atau terdakwa.
56
Sebelum memasuki substansi pembahasan ini perlu dilakukan suatu klarifikasi mengenai makna dari :
a. Perbedaan antara “Shifting of Burden Proof” dan “Reversal of Burden Proof”
b. “Extra Ordinary” terhadap kejahatan korupsi dan penanganannya
memerlukan perangkat yang “extra ordinary”pula. Makna “Shifting of Burden Proof” adalah suatu “pergeseran beban
pembuktian” yang dianut oleh Undang-undang No. 3 Tahun 1971. Menurut Oemar Seno Adji, pada periode Undang-undang ini belum terjadi suatu pembalikan beban
pembuktian, karena asas ini potensial bertentangan dan melanggar prinsip Hak Asasi Manusia, khususnya perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak terdakwa.
Beban pembuktian dalam periode ini tetap diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum. Ide untuk memberlakukan asas Pembalikan Beban Pembuktian secara total dan
absolute telah tidak diterima sebagai realitas hukum berdasarkan alasan-alasan diatas. Karenanya, meskipun dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1971 terdapat suatu
perumusan bahwa terdakwa dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi, namun kewajiban pembuktian ada atau tidaknya dugaan terjadi tindak pidana
korupsi tetap berada ditangan Jaksa Penuntut Umum. Disini yang terjadi adalah pergeseran “Shifting” bukannya suatu pembalikan “reversal” beban pembuktian,
begitu pula halnya yang terjadi pada periode Undang-undang No. 31 Tahun 1999.
56
Ibid, hal. 329.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
Kedua produk perundang-undangan ini tetap hanya menempatkan pembuktian sebagai suatu “pergeseran” saja, bukan “pembalikan” beban pembuktian, sehingga
istilah yang populer pada Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang pembuktian terbalik adalah Sistem Pembalikan Beban Pembuktian yang bersifat Terbatas dan
Berimbang. “Terbatas”, karena memang pembalikan beban pembuktian tidak dapat dilakukan secara total dan absolute terhadap semua delik yang diatur dalam Undang-
undang No. 31 Tahun 1999, Sedangkan “berimbang” artinya beban pembuktian terhadap dugaan adanya tindak pidana korupsi tetap dilakukan oleh Jaksa Penuntut
Umum. Karenanya banyak yang berpendapat bahwa implementasian asas pembalikan beban pembuktian pada kedua produk perundang-undangan ini Undang-undang
No. 3 Tahun 1971 dan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 hanyalah gerakan “simbolis” yang tidak memiliki daya represi terhadap pemberantasan korupsi.
57
Ide penerapan Asas atau Sistem Pembalikan Beban Pembuktian di Indonesia ini sebenarnya bergulir bukan sejak era Presiden Abdurrahman Wahid sewaktu
memberikan jawaban atas Memorandum I DPR beberapa waktu lalu, tetapi sejak menjelang pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tahun 1970.
Saat itulah bergulir suatu ide tentang salah satu pola pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu melakukan suatu akseptasi terhadap Sistem Pembalikan Beban
Pembuktian, yaitu suatu sistem pembuktian, yang berkenaan dengan hukum acara
57
Ibid, hal. 330.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
pidana, yang sangat diferensial sifatnya dengan sistem pembuktian yang universal selama ini dikenal melalui pembuktian negatif.
58
Hampir sama dengan alasan utama mengajukan asas ini adalah bahwa tindak pidana korupsi ini sangat sulit pemberantasannya, baik karena tindak pidana ini
memiliki kualitas pembuktian yang sangat sulit, juga tindak pidana korupsi ini biasanya dilakukan oleh para profesional yang memiliki minimal edukasi yang
akseptabel bagi kemungkinannya dilakukan kejahatan tersebut. Selain itu integritas, kapabilitas, dan aktivitas pelaku pada umumnya sangat rentan dengan lingkungan
terjadinya tindak pidana korupsi ini, artinya pelaku sangat memahami lingkungan kerja dan format untuk menghindari terjadinya pelacakan terhadap kejahatan tindak
pidana korupsi ini.
59
Telah diakui pula, bahwa korupsi ini sudah dianggap sebagai kejahatan yang sangat luar biasa atau ‘extra ordinary crime “, sehingga kejahatan ini sering dianggap
sebagai ‘beyond the law” karena melibatkan para pelaku kejahatan ekonomi kelas atas “high level economic” dan birokrasi kalangan atas “high level beurocratic”,
baik birokrat ekonomi maupun pemerintahan. Bayangkan saja, kejahatan korupsi yang melibatkan kekuasaan, ini akan sangat sulit pembuktiannya. Selain itu kehendak
adanya pemberantasan perbuatan ini nyata-nyata terbentur dengan kepentingan kekuasaan yang mungkin melibatkan para birokrasi tersebut. Akibatnya sudah dapat
58
Ibid.
59
Ibid, hal. 329.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
diperkirakan bahwa korupsi ini seolah-olah menjadi “beyond the law” dan sebagai bentuk perbuatan yang “untouchble by the law”.
Mengingat tindak pidana korupsi ini sebagai suatu “extra ordinary crime” yang sulit pembuktiannya, maka sebagian besar kalangan akademisi dan praktisi
berpendapat bahwa penanganannya harus dilakukan sedemikian rupa dan bersifat luar biasa pula. Karena itu tindak pidana korupsi selain dianggap sebagai “extra ordinary
crime” juga memerlukan penanganan yang sangat luar biasa “extra ordinary enforcement”, yaitu dalam hal ini melalui pergeseran komprehensif terhadap
sistem pembuktian yang ada. Apabila sistem pembuktian dalam Hukum Pidana Formil ini tetap menempatkan perangkat Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang
wajib membuktikan suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana, maka dalam tindak pidana korupsi beban pembuktian ini diletakkan pada Terdakwa,
artinya terdapat suatu “reversal of burden proof” atau “omkering van bewijslast” yaitu pembalikan beban pembuktian.
60
Mengingat khususnya peraturan perundang-undangan ini lex specialis, maka penanganan tindak pidana korupsi inipun harus bersifat khusus. Kekhususan
penanganan ini yaitu melalui perubahan sistem pembuktian yang semula beban pembuktiannya diletakkan kepada Jaksa Penuntut Umum beralih kepada Terdakwa.
Terdakwa wajib membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan bukanlah perbuatan melawan hukum korupsi. Dengan meletakkan beban pcmbuktian kepada Tcrdakwa,
maka asas yang diberlakukan dalam tindak pidana korupsi ini-pun beralih dari
60
Ibid, hal. 331.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
“presumption of innocence” praduga tidak bersalah menjadi “presumption of corruption“ praduga korupsi atau “presumption of guilt” praduga bersalah.
Karena itu sering dikatakan bahwa penerapan Sistem Pembalikan Beban Pembuktian berpotensi terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang prinsipil sekali.
Bayangkan saja, seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi justru harus membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan perbuatan koruptif dengan
mengajukan argumentasi yang layak dapat diterima oleh Penuntut Umum selaku wakil masyarakat atau pemerintah.
Pemerintah, dalam hal ini Menteri Kehakiman RI, sewaktu mengajukan Keterangan Pemerintah dihadapan DPR mengenai RUU tentang Perubahan Atas
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tanggal 22 Mel 2001 telah mengatakan pada pokoknya bahwa :
61
”Sistem Pembuktian biasa ini sering dirasakan tidak efektif dan sangat memberatkan aparatur Penyidik khususnya Jaksa dalam melakukan
Penyidikan. Mengapa ? Karena Terdakwa lebih-lebih saat sekarang ini, sudah sangat cerdik dalam menyembunyikan kekayaan yang dikorupnya.
Untuk itu, sistem pembuktian terhadap tindak pidana korupsi yang dianut oleh Undang-undang No. 31 Tahun 1999 perlu diubah dengan “Sistem Pembalikan
Beban Pembuktian“. “Dalam hal ini, setiap pegawai negeri, pegawai BUMN, BUMND,
atau Penyelenggara Ncgara yang berdasarkan bukti permulaan mempunyai kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber
pendapatannya, wajib membuktikan sahnya kekayaan yang diperolehnya”. Sistem Pembalikan Beban Pembuktian Reversal of Burden Proof
merupakan sistem pembuktian yang dipergunakan bagi negara-negara anglo-saxon
61
Ibid, hal. 332.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
dan bertujuan untuk mempermudah pembuktian dalam istilah mereka “certain cases“ atau kasus-kasus tertentuspesifik atau khusus sifatnya. Dengan demikian sistem
pembalikan beban pembuktian ini sangat terbatas hanya pada kasus-kasus tertentu yang sangat sulit pernbuktiannya, sehingga ditempuhlah suatu sistem yang
sebenarnya bertentangan dengan prinsip atau asas universal mengenai pembuktian. Pada negara-negara anglo saxon-pun, sistem pembuktian beban pembuktian
tetap pada pihak Jaksa Penuntut Umum, bukan pada diri tersangkaterdakwa. Hal ini disebabkan bahwa asas universal dimanapun tetap menghendaki adanya praduga
tidak bcrsalah “presumption of innocence” sebagai suatu asas yang akseptabilitas sifatnya, sehingga ia, tersangkaterdakwa, tidak pernah dibebankan untuk
rnembuktikan kesalahannya, bahkan tidak pernah ia diwajibkan untuk mempcrsalahkan dirinya sendiri “nonself incrimination”, lebih jauh lagi bahwa ia,
tersangkaterdakwa, memiliki hak yang dinamakan “The Right to Remain Silent” hak untuk diam, kesemua ini merupakan bagian dan prinsip perlindungan dan
penghargaan HAM Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi sedikit apapun dan dengan alasan apapun juga “Non-Derogable Right’.
62
62
Ibid, hal. 333.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
BAB III HAMBATAN DAN ATAU KENDALA
PENERAPAN SISTEM PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI
A. Efektifitas Pasal 37 dan 38 Undang-undang No. 20 Tahun 2001
Asas Pembalikan Beban Pembuktian
Beberapa persoalan muncul berkenaan dengan rencana Pemerintah mengajukan ide tentang Sistem Pembalikan Bcban Pembuktian, antara lain
permasalahan pokok atas rencana diberlakukan asas pcmbalikan beban pembuktian ini, yaitu: bagaimana mekanisme dan implementasi penggunaan asas pcmbalikan
beban pembuktian pada proses penyidikan, penuntutan ataukah peradilan. Rencana penerapan Sistem Pembalikan Beban Pembuktian ini sebenarnya
merupakan adopsi dari negara anglo-saxon, scpcrti Inggeris, Singapura dan Malaysia. Di Indonesia, ide ini datang dari Andi Hamzah yang disampaikan kepada Menteri
Kehakiman HAM R.I. Baharuddin Lopa saat itu dan disambut dengan segala keterbukaannya. Pengkajian tcrhadap asas Pembalikan Beban pembuktian ini
memiliki manfaat yang sangat komprehensif mengingat salah satu kendala pcmberantasan tindak pidana korupsi, adalah sulit dilakukannya pembuktian terhadap
para pelaku tersebut. Bcrdasarkan penelitian akademis dan praktis, maka kehendak
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008