BAB III HAMBATAN DAN ATAU KENDALA
PENERAPAN SISTEM PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI
A. Efektifitas Pasal 37 dan 38 Undang-undang No. 20 Tahun 2001
Asas Pembalikan Beban Pembuktian
Beberapa persoalan muncul berkenaan dengan rencana Pemerintah mengajukan ide tentang Sistem Pembalikan Bcban Pembuktian, antara lain
permasalahan pokok atas rencana diberlakukan asas pcmbalikan beban pembuktian ini, yaitu: bagaimana mekanisme dan implementasi penggunaan asas pcmbalikan
beban pembuktian pada proses penyidikan, penuntutan ataukah peradilan. Rencana penerapan Sistem Pembalikan Beban Pembuktian ini sebenarnya
merupakan adopsi dari negara anglo-saxon, scpcrti Inggeris, Singapura dan Malaysia. Di Indonesia, ide ini datang dari Andi Hamzah yang disampaikan kepada Menteri
Kehakiman HAM R.I. Baharuddin Lopa saat itu dan disambut dengan segala keterbukaannya. Pengkajian tcrhadap asas Pembalikan Beban pembuktian ini
memiliki manfaat yang sangat komprehensif mengingat salah satu kendala pcmberantasan tindak pidana korupsi, adalah sulit dilakukannya pembuktian terhadap
para pelaku tersebut. Bcrdasarkan penelitian akademis dan praktis, maka kehendak
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
diberlakukannya asas ini tidak dalam konteks total dan absolut, tetapi pendekatan komparatif negara yang memberlakukan asas ini.
63
Sistem Pembalikan beban Pembuktian ini tidak pernah ada yang bersifat total absolut, artinya hanya dapat diterapkan secara terbatas, yaitu terhadap delik
yang berkenaan dengan “gratification” pemberian yang berkaitan dengan suap “bribery”. Sebagai hasil studi komparatif, misalnya Malaysia maupun Singapore
yang mengatur gratification, sebagai berikut: “Where in any proceedings against a person for an offence under section 3 or
4 it id proved that any gratification has been paid or given to or received by a person in the employment of any public body, the gratification all be deemed
to have been paid or given and received corruptly as an inducement or reward as hereinafter mentioned, unless the contrary is proved.”
64
Section artikeketentuan 3 atau 4 tersebut merupakan aturan yang berisi
mengenai pemberian gratification yang berkaitan dcngan suap bribery. Pada pokokya disebut bahwa pegawai pcmerintah yang menerima, dibayarkan atau
diberikan dan dan atau oleh seseorang, maka pemberian harus dianggap korupsi, sampai sebaliknya dibuktikan. Ketentuan ini menerapkan sistem Pembalikan Beban
Pembuktian, tetapi terbatas pada delik yang berkaitan dengan “gratification” dan bribery”, artinya sistem pembalikan beban pembuktian dari negara anglo-saxon sebagai
asalnya sistem pembalikan beban pembuktian ini tidak absolut dan memiliki kekhususan serta terbatas sifatnya.
63
Andi Hamzah, Perkembangan Pidana Khusus, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, hal. 31.
64
Singapore Prevention of Corruption Act, Chapter 241, Singapore, 1998.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
Bahwa negara anglo-saxon sebagal cikal-bikalnya Sistem Pembalikan Beban Pembuktian tetap mensyaratkan adanya sifat limitatif terbatas dan eksepsional
khusus, begitu pula dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang
No. 20 Tahun 2001 yang meliputi Sistem Pembalikan Beban Pembuktian ini.
Sekarang yang harus dipahami adalah: apakah yang dimaksud dengan Terbatas dan Khusus dari Sistem Pembalikan Beban Pembuktian ini. Dari pendekatan doktrin
dan komparasi sistem hukum pidana, makna atau arti “Terbatas” atau “Khusus” dari implementasi Sistem Pembalikan Beban Pembuktian di Indonesia, adalah :
1. Bahwa Sistem Pemba1ikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap
delik “gratification” pemberian yang berkaitan dengan “bribery” suap, dan bukan terhadap delik-delik lainnya dalam tindak pidana korupsi. Delik-delik
lainnya dalam Undang-undang. No. 31 Tahun 1999 yang tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 beban pembuktiannya tetap berada pada Jaksa Penuntut Umum.
2. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap
“perampasan” dari delik-delik yang yang didakwakan terhadap siapapun sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 Undang-undang
No. 31 Tahun 1999.
65
Perlu ditegaskan pula bahwa sistem pembuktian terhadap dugaan pelanggaran pada Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 Undang-undang No. 31
tahun 1999 tetap dibebankan kepada Jaksa Penuntut Umum. Hanya saja, apabila Terdakwa berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dianggap terbukti
melakukan salah satu dari delik-dclik tersebut dan dikenakan pcrampasan
65
Ibid, hal. 344.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
terhadap harta bendanya, Terdakwa wajib membuktikan bcrdasarkan sistem pembalikan beban pembuktian bahwa harta bendanya bukan berasal dan tindak
pidana korupsi. 3.
Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian terbatas penerapan asas lex temporisnya, artinya sistem ini tidak dapat diberlakukan secara Retro-aktif
bcrlaku surut karena potensial terjadinya pelanggaran HAM Hak Asasi Manusia, pelanggaran terhadap asas Legalitas, dan menimbulkan apa yang
dinamakan asas Lex Talionis balas dendam.
66
4. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dan tidak
diperkenankan menyimpang dari asas Daderstrafrecht.
67
KUH-Pidana yang direncanakan bertolak dari pokok pcmikiran keseimbangan mono-dualistik,
dalam arti memperhatikan keseimbangan dua kepentingan, antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu, artinya Hukum Pidana yang
memperhatikan segi-segi obyck dari perbuatan daad” dan segi-segi subyektif dari orangpembuat “dader”.
68
Dari pendekatan ini, sistem pembalikan bcban pembuktian sangat tidak diperkenankan melanggar kepentingan dan hak-hak
prinsipil dari pembuatpelaku tersangkaterdakwa. Bahwa penerapan sistem pembalikan beban pembuktian ini sebagai realitas yang tak dapat dihindari,
khususnya terjadinya minimalisasi hak-hak dan ”dader” yang bcrkaitan dengan asas ”non self-incrimination“ dan “presumption of innocence”, namun demikian
66
Ibid, hal. 344.
67
Ibid.
68
Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni, 1991, hal. 107.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
adanya suatu minimalisasi hak-hak tersebut sangat dihindari, dan apabila terjadi, inilah yang dikatakan bahwa sistem pembalikan beban pembuktian rawan atau
potensial terjadinya pelanggaran HAM. Dari penjelasan tersebut diatas, Ada 2 hal pokok yang harus menjadi atensi,
69
yaitu : berkaitan dengan Sistem Pembalikan Beban Pembuktian dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian diterapkan secara
terbatas dan khusus hanya terhadap 2 perbuatan saja, yaitu:
a Sistem Pembalikan Beban Pcmbuktian terhadap Penyuapan
Dalam Pasal 12A yang diadopsi dari Sistem Anglo-Saxon, memiliki sifat khusus, yakni : delik mengenai ”Gratification” pemberian yang berkaitan
dengan ”Bribery” penyuapan. Pemberian ini ditujukan kepada pegawai negeni dalam arti luas dan Penyelenggara Negara yang memiliki kekuasaan yang
melekat pada jabatannya tersebut “in zijn bedening” dan telah melakukan pekerjaan bertentangan dengan kewajibannya “in strijd met zijn plichr’.
Suatu ”pemberian” dianggap suap sampai dibuktikan bukan suap oleh penerima pemberian tersebut. berkaitan dengan Pasal 12 Undang-undang No. 31 Tahun
1999 jo Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP. Bunyi ketentuan Pasal 12A ayat 1, sebagai berikut:
”Setiap pemberian kepada pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 atau kepada Pcnyelenggara Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dan Korupsi, Kolusi dan
69
Ibid, hal. 349.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
Nepotisme, yang nilainya Rp 10.000.000,- sepuiuh jua rupiah atau lebih, dianggap pemberian suap sampai dibuktikan sebaliknya oleh penerima pemberian
tersebut.” Apa yang dimaksudkan dengan “pemberian?”.
Menurut penjelasan Pasal ini, yang dimaksud dengan “pemberian” diartikan secara luas, antara lain meliputi berupa uang, barang, raba discount, komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket pcrjalanan, penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas yang lain. ”Pemberian” sebagaimana
ditentukan di dalam undang-undang ini adalah pembcrian yang diterima di dalam atau di luar negeri baik dilakukan secara elekcronik maupun tanpa menggunakan
alat elektronik. Pemberian ini menurut penjelasan undang-undang ini, selalu berhubungan dengan jabatan in zijn bediening dan yang bcrlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya in strijd met zijn plicht baik sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara, dibuktikan dengan pembalikan beban pembuktian.
Menurut ayat 2 disebutkan bahwa pidana yang berlaku bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian tersebut adalah pidana yang
tercantum pada Pasal 12 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 419 jo Pasal 420 KUH Pidana, kecuali apabila pegawai negeri atau penyelenggara yang menerima
pemberian tersebut melaporkan pemberian tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sebelum penyidikan dimulai dan dalam waktu paling lambat 15 lima belas
hari sejak tanggal diterimanya pemberian tersebut ayat 3. Komisi Pemberantasan Korupsi inilah yang akan menentukan pemberian tersebut dapat dimiliki oleh
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
penerima ataukah dirampas untuk Negara ayat 4. Sedangkan bagi setiap pemberian dibawah Rp. 10.000.000,- tctap menjadi kewajiban Jaksa untuk membuktikan bahwa
pemberian itu sebagai suap. Untuk lengkapnya disebutkan sebagai berikut :
Pasal 12 ayat 2 : ”Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
pemberian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ialah pidana yang tercantum dalam Pasal 12 Undang-undang ini yang hanya mengacu pada Pasal 419 atau
Pasal 420 KUHPidana”. Pasal 12 ayat 3 :
‘Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak berlaku jika penerima pemberian melaporkan pemberian yang diterimanya kepada Komisi
Pembcrantasan Tindak Pidana Korupsi sebelum Penyidikan dimulai dan dalam waktu paling lambat 15 lima belas hari terhitung sejak tanggal
pemberian tersebut diterima”. Pasal 12 ayat 4 :
‘Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berwenang menentukan pemberian tersebut dapat dimiliki oleh penerima atau diserahkan kepada
Negara”. Pasal 12 ayat 5 :
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
‘Bagi pcmberian yang nilainya kurang dan Rp. 10,000.000,- sepuluh juta rupiah pembuktian pemberian tersebut bukan merupakan suap sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 undang-undang ini yang hanya mengacu pada Pasal 419 atau Pasal 420 KUHPidana, dilakukan oleh Penuntut Umum”.
Dari kelima ayat Pasal 12A di atas disimpulkan bahwa Pasal 12 ayat 1 itu belumlah menjadi delik tindak pidana selama si penerima pegawai negeri
atau penyelenggara negara melaporkan pemberian tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Apabila si penerima tidak melaporkan pcmberian tersebut,
maka tcrhadap yang bcrsangkutan dikenakan dugaan tindak pidana korupsi delik berdasarkan Pasal 419 pegawai negeri jo Pasal 420 Hakim KUHPidana yang telah
diintrodusirkan ke dalam Pasal 12 Undang-undang. No. 31 Tahun 1999, dan bagi si penerima wajib membuktikan bahwa pemberian itu bukanlah korupsi suap. Ada 3
unsur yang essensial dari Delik Suap: 1 menerima hadiah atau janji, 2 berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan, 3 bertentangan dengan kewajiban
atau tugasnya. Si penerima wajib membuktikan bahwa pemberian itu bukan suap, karenanya
Terdakwa akan membuktikan bahwa pemberian itu tidaklah berhubungan dengan jabatan in zijn bedening dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya
in strijd met zijnplicht, sedangkan unsur menerima hadiah atau janji” tetap harus ada dugaan terlebih dahulu dari Jaksa Penuntut Umum.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
Dalam perkembangannya Undang-undang No. 20 Tahun 2001, ketentuan mengenai Sistem Pembalikan Beban Pembuktian tercantum pada Pasal 12B dan telah
menjadikan ketentuan ini sebagai Pasal yang menjadi polemik,
70
karena sama sekali tidak dirumuskan unsur yang berhubungan dengan jabatannya “in zijn bedening”
dan unsur yang telah melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajibannya in strijd met zijn plicht” dcngan maksud : terdakwa mempunyai kewajiban untuk
membuktikannya secara terbalik.
71
Berikut bunyi Pasal 12 B : ”Setiap gratifikasi kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dianggap
pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :
a yang nilai Rp. 10.000.000,- sepuluh juta rupiah atau 1ebih pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh Penerima Gratifikasi”.
b dst....
Harus diakui perumusan Pasal 12B telah meniadakan makna asas Pembalikan Beban Pembuktian manakala kedua unsur tersebut dirumuskan secara tegas dan jelas
pada Pasal 12B, artinya kewajiban pembuktian secara terbalik ini adalah imperatif sifatnya pada beban Jaksa Penuntut Umum, bukan pada diri Terdakwa mengingat
segala ”materiele feit” yang dirumuskan sebagai delik dalam suatu produk ketentuan peraturan pidana menjadi kewajiban Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikannya,
70
Ibid, hal. 341.
71
Ibid.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
jadi agak sulit untuk menerima Pasal 12B Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Sebagai pengakuan atas asas Pembalikan Beban Pembuktian, meskipun Pasal 12B
ayat 1 huruf a menyatakan ”........ pembuktian bahwa Gratifikasi tersebut bukan suap dilakukan oleh Penerima Gratiikasi.”
72
b Sistem Pembalikan Beban Pembuktian terhadap Pcrampasan Harta Benda Terdakwa
Sistem pembalikan beban pembuktian diberlakukan terhadap perampasan harta benda Terdakwa Pasal 38A, artinya Terdakwa yang didakwa melakukan salah
satu dan Pasal 2 sd Pasal 16 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 wajib membuktikan harta benda yang diperoleh sesudah tindak pidana korupsi yang didakwakan bukan
berasal dan tindak pidana korupsi. Tuntutan perampasan harta benda tersebut diajukan Penuntut Umum saat membacakan Tuntutan Requisitoir pada perkara pokok.
Jadi, ketentuan ini sebenarnya merupakan klarifikasi terhadap disenting-opinion
73
publik yang menyangka bahwa pembalikan beban pcmbuktian merupakan basis potensial korupsi yang baru dari aparatur penegak hukum, meskipun tidak terlepas
kemungkinan terjadinya hal tersebut. Asas Pembalikan Beban Pcmbuktian hanya diterapkan terhadap delik korupsi baru yang berkaitan “gratification” sebagaimana
telah dijelaskan di atas. Masalah “perampasan” berlaku untuk semua delik tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 sd Pasal 16 Undang-undang No. 31 Tahun 1999,
artinya penerapan asas Pembalikan Beban Pembuktian haruslah ada proses hukum yang
72
Ibid.
73
Ibid, hal. 343.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
mendahuluinya terhadap seseorang, sedangkan terhadap pelanggaran delik Pasal 2 sd Pasal 16 tetap memakai pembuktian biasa Penuntut Umum yang membuktikan.
Jadi, Sistem Pembalikan Beban Pembuktian sama sekali tidak diterapkan terhadap pelanggaran delik Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 Undang-undang No. 31 Tahun 1999,
artinya kewajiban pembuktian atau sistem pembuktian tentang ada atau tidaknya pelanggaran terhadap Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 Undang-undang No.31
Tahun 1999 tetap ada pada Jaksa Penuntut Umum Pasal 37A ayat 3, hanya saja apabila Jaksa Penuntut Umum melalui Requisitoir Tuntutan menganggap Terdakwa
telah terbukti melanggar salah satu dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tersebut dan harta-harta Terdakwa dikenakan perampasan,
maka perampasan terhadap harta benda itulah yang wajib dibuktikan sebaliknya oleh Terdakwa. Soal kewajiban untuk membuktikan secara terbalik terhadap perolehan
harta benda Terdakwa hanyalah terjadi dalam proses di pengadilan, bukan saat proses penyidikan maupun penuntutan. Hal ini bertujuan untuk mengakomodir masukan
masyarakat yang mengkhawatirkan terjadinya korupsi gaya baru pemerasan dan penyuapan apabila sistem pembalikan beban pembuktian diterapkan pada saat proses
penyidikan dan penuntutan yang sifatnya tidak transparantif tersebut. Beban pembuktian yang diletakkan pada Penuntut Umum ini, sebenarnya
merupakan hak mutlak seorang tersangkaterdakwa berupa ”Presumption of Innocence” yang sekaligus sebagai bentuk aktualisasi dari penerimaan asas ”Non self
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
Incrimination” sebagai jiwa KUHAP – Pasal 66. Asas Non self Incrimination” ini merupakan implementasi dari Fifth Amandment US Constitutions yang menyatakan :
74
“No person shall be compelled in any crimal cases to be a witness against him self…”
Prinsip tersebut merupakan asas perlindungan HAM yang sifatnya universal, termasuk penganut sistem adversary yang menentukan suatu premise universal
bahwa person is innocent until proven guilty or has admitted guilt.”
75
Pada umumnya sistem pembuktian dalam sistem peradilan pidana tetap membebankannya kepada
Negara Jaksa,
76
namun dalam perkara-perkara korupsi, khususnya dalam penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan, terhadap tersangka dapat diterapkan
pembalikan beban pembuktian atas sangkaannya,
77
tentunya semata-mata untuk memperoleh keadilan.
78
Sebagai suatu sistem pembalikan beban pembuktian yang universal tidak pernah dilakukan secara total dan absolut, artinya hanya dapat diterapkan terhadap
delik “gratification” yang berkaitan dengan “bribery”. Tidak dikenalnya sistem pembalikan beban pembuktian secara absolut hanya karena sistem ini potensial atau
74
Clive Walker and Keir Starmer, Justice in Error, London : Blackstone Paris Ltd, 1993, hal. 72.
75
David, Cooal and Tyrer, Criminal Justice, An Introduction to the Criminal Justice System in England and Wales, New York : Longman Group Ltd, 1995, hal. 11.
76
Donald A. Macinto, fundamental of the Criminal Justice System, Ontario : The Carswell Ltd, 1989, hal. 58.
77
Uppendra Baxi, Liberty and Corruption, Lalbagh : Luctnow EBC Publising Ltd, 1990, hal. 50.
78
Tinsley E. Yarbrough, A Possion for Justice, Oxford : University Press, 1987, hal. 82.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
rentan akan terjadinya tindak pelanggaran HAM lihat Pasal 118 ayat 2 dan 175 KUHAP.
79
B. Hambatan Dalam Penerapan Sistem Pembalikan Beban Pembuktian