Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Asas pembalikan beban pembuktian menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2001 diatur dalam Pasal 37 A dan 38 A. Penerapan Pasal 37 A hanya dapat dipergunakan di dalam persidangan perkara korupsi bagi mereka yang diduga melakukan delik gratifikasi ataupun suap khusus Pegawai Negeri dalam arti luas atau Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-undang No. 20 Tahun 2001. Tindak pidana ini gratifikasi ataupun suap pendeteksiannya selain tertangkap tangan, kecuali gratifikasi hanya dapat dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK, yakni melalui mekanisme pelaporan LHKPN. Sedangkan Pasal 38 A, penerapannya hanya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perampasan harta benda Terdakwa yang didakwa melakukan salah satu dari Pasal 2 sd Pasal 16 Undang-undang No. 31 Tahun 1999. Tuntutan perampasan harta benda tersebut pun diajukan Penuntut Umum pada saat membacakan Tuntutan Requisitoir dalam perkara pokoknya dan hal ini bisa dilakukan bila dalam proses penyidikan berkas perkara, Penyidik melakukan penyitaan terhadap harta benda milik Terdakwa yang diperoleh setelah tindak pidana korupsi tersebut dilakukan atau patut diduga bahwa harta benda yang dimiliki Terdakwa adalah harta benda yang diperolehnya dari kejahatan korupsi. Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008. USU Repository©2008 2. Hambatan dalam penerapan Pasal 37 A, antara lain yang berkaitan dengan Pasal 12 B Undang-undang No. 20 Tahun 2001, yaitu : rumusan kata-kata : ”yang berhubungan dengan jabatan dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban” seyogyanya tidak menjadi unsur Pasal 12 B, karena dengan rumusan tersebut maka Pasal 37 A menjadi tidak dapat diterapkan. Eksistensi dan akseptabilitas sistem pembalikan beban dalam delik gratifikasi maupun suap sangat bergantung pada rumusan Pasal 12 B karena berkaitan dengan tugas Pununtut umum yang harus membuktikan semua unsur yang ada dalam rumusan suatu pasal. Demikian pula halnya Pasal 38 A tidak dapat diterapkan secara efektif, antara lain karena : Tuntutan perampasan harta benda Terdakwa hanya dapat diajukan Penuntut Umum pada saat membacakan Tuntutan Requisitoir dalam perkara pokoknya. Hal ini dapat dilakukan bila dalam proses penyidikan berkas perkara, Penyidik melakukan penyitaan terhadap harta benda milik Terdakwa yang diduga diperoleh Terdakwa setelah tindak pidana korupsi tersebut dilakukan. Sedangkan upaya menemukan aset-aset milik Terdakwa yang diduga diperoleh setelah kejahatan korupsi dilakukan bukanlah persoalan mudah, apalagi bila harta kekayaan Terdakwa sudah melalui proses laundry money. Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008. USU Repository©2008 3. Pengaturan yang efektif dalam penerapan pembalikan beban pembuktian suatu perkara korupsi adalah dengan cara, antara lain melakukan rekonseptualisasi sistem pembuktiannya ke arah asas praduga bersalah Presumption of Guilt dengan merujuk kepada filosofi dan substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945, yaitu konsep HAM Indonesia, yang tidak murni menganut paham individualistik melainkan paham ”individualistik plus”. hak dan kebebasan setiap orang dalam bingkai UUD 1945 harus diwujudkan untuk menciptakan harmonisasi kehidupan sosial, selain melindungi kepentingan hak-hak indvidu. Tanpa disadari, selama ini asas praduga bersalah telah diterapkan, adapun sikap itu paling tidak dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 17 KUHAP yang pada pokoknya menerangkan bahwa untuk melakukan proses pidana terhadap seseorang berdasar deskriptif faktual dan bukti permulaan yang cukup, harus ada suatu praduga bahwa orang itu telah melakukan suatu perbuatan pidana yang dimaksud.

B. Saran

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya Pengembalian Keuangan Negara Atas Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 6 42

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

1 34 229

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PEMBERIAN SANKSI DI PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI MEDAN.

0 4 25

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 8

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 1

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 1 28

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 36

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 3

Pembuktian Terbalik Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 0 14

PENCANTUMAN SANKSI PIDANA KUMULATIF SEBAGAI SUATU PENAL POLICY DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN UNDANG UNDANG NO.20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NO.31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDA

0 0 16