berimbang, dimana terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan atau memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak
dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, disamping itu Penuntut Umum juga mempunyai
hak untuk membuktikan dakwaannya.
C. Sikap dan Upaya yang Dilakukan oleh Penuntut Umum dan Hakim dalam Mengatasi Hambatan Pcnerapan Pembalikan Beban Pembuktian
1. Sikap Penuntut Umum
Penuntut Umum dalam mengatasi hambatan dan atau kendala dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan
berimbang adalah Penuntut Umum tidak mempunyai hak tolak atas hak yang diberikan undang-undang kepada terdakwa, namun tidak berarti Penuntut Umum
tidak memiliki hak untuk menilai dari sudut pandang Penuntut Umum dalam requisitornya. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut, bahwa ia tidak
melakukan delik korupsi, tidak berarti bahwa ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab Penuntut Umum masih berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Ketentuan Pasal ini merupakan pembalikan beban pembuktian, karena Penuntut Umum masih tetap wajib membuktikan dakwaannya. Bagi Penuntut Umum, ia tetap
berkewajiban membuktikan dakwaannya sesuai dengan teori negatif menurut undang-undang. Ada kesalahan atau tidak dan apakah terdakwa inilah yang melakukan
perbuatan tersebut.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
2. Sikap Hakim
Terhadap keterangan terdakwa itu, Hakim akan mempertimbangkan semuanya dan sikap Hakim bebas dalam menentukan pendapatnya,
36
sebagai berikut : a. Keterangan terdakwa itu hanya berlaku bagi terdakwa sendiri saja.
b. Jika keterangan Terdakwa terbukti tidak melakukan delik korupsi, maka keterangan itu, dipakai sebagai hal yang menguntungkan pribadinya.
c. Jika terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbangsebanding dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan,
maka keterangan itu dapat dipergunakan untuk memperkuat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi, atau dengan kata lain
keterangan itu merugikan bagi kedudukan terdakwa. Menjadi Perhatian bagi Para Penegak Hukum, perlu diperhatikan dalam
menerapkan teori negatief menurut undang-undang negatief wettellijk, terdapat dua hal yang merupakan syarat, yakni:
a. wetteljk, oleh karena alat-alat bukti yang sah dan yang ditetapkan oleh undang-undang.
b. negatief oleh karena dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang saja belum cukup untuk memaksa Hakim pidana menganggap
bukti sudah diberikan, akan tetapi masih dibutuhkan keyakinan Hakim.
36
Wawancara dengan Sudjatmiko Hakim pada Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 28 April 2008.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
Dalam Pasal 183 KUHAP terdapat persyaratan yang harus diikuti oleh Hakim dalam memutus suatu perkara pidana. Adapun syarat tersebut, adalah: adanya dua alat bukti
yang sah dan yang ditetapkan oleh undang-undang dan keyakinan Hakim bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Oleh karena
walaupun berdasarkan Pasal 184 KUHAP terdapat 5 lima macam alat bukti, akan tetapi Hakim tidak yakin bahwa suatu delik korupsi telah terjadi dan terdakwa
bersalah melakukannya, maka Hakim Pidana akan membebaskan terdakwa vrijspraak, atau akan melepaskan terdakwa dan segala tuntutan hukum
ontslagen van alle rechtsvervolging. Selain teori negatief wettelijk, tercermin pada Pasal 183 KUHAP. Asas
negatief wettelijk tercermin pula secara nyata pada Pasal 189 ayat 4 KUHAP, bahwa berdasarkan “keterangan terdakwa” saja tidak cukup membuktikan terdakwa bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan, melainkan harus disertai dengan alat-alat bukti yang lain. Jadi, hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada terdakwa
hanya berdasarkan satu saksi saja unus testis nullus testis, oleh karena dianggap sebagai bukti yang tidak cukup Pasal 185 ayat 2 KUHAP, artinya kekuatan
pembuktian dengan satu saksi saja tidak dianggap sempurna oleh Hakim onvoldoende bewijs. Ketentuan Pasal 185 ayat 2 KUHAP dianggap tidak berlaku
apabila disertai dengan suatu alat bukti sah lainnya Pasal 185 ayat 3 KUHAP. Walaupun Hakim yakin bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya, akan tetapi keyakinan Hakim ini hanya dilandasi oleh satu alat bukti yang berupa keterangan terdakwa maka terdakwa tidak dapat dihukum,
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
karena akan melanggar asas dan minimum bukti yang diminta oleh undang-undang leer van hetminimum bewijs, sebagaimana termuat dalam Pasal 183 KUHAP.
Menurut Wiryono Prodjodikoro,
94
teori pembuktian negatif menurut undang-undang negatif wettelijk dan HIR sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan :
a. Memang sudah selayaknya harus ada keyakinan Hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu pidana, jangan Hakim terpaksa
memberi pidana kepada seorang terdakwa sedangkan Hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa.
b. Berpaedah, jika ada aturan yang mengikat Hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh
Hakim dalam melakukan peradilan.
95
D. Simons berpendapat bahwa teori pembuktian negatief menurut undang-undang, pemidanaannya didasarkan pada pembuktian yang berganda dubble grondslag,
yaitu pada peraturan undang-undang dan keyakinan Hakim. Dasar keyakinan Hakim itu bersumber pada peraturan undang-undang.
96
Bagaimana praktek peradilan di Indonesia. Peneliti sependapat dengan Wiryono Prodjodikoro, : Sering kejadian Hakim mulai dengan menentukan
keyakinannya tentang terbukti atau tidaknya suatu kejadian dan baru kalau Hakim yakin betul bahwa terdakwa bersalah, maka diusahakan supaya ada alat bukti yang
mencukupi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang agar dapat menjadi
94
Wiryono Prodjodikoro, Pembuktian Hukum Pidana, Buku keempat. Cetakan pertama, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian hukum UI, 1995, hal. 89.
95
Ibid, hal. 74.
96
D. Simons, Leerboek van het Nederlansche Strafrecht, Nederlansche : 1910, hal. 152.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
dasar keyakinan itu. Menurut peneliti, maka praktek ini kiranya tidak ada jeleknya, dan sebetulnya sesuai dengan sifat manusia yang lebih cepat mengetahui perasaan
daripada pikirannya, sedangkan keyakinan adalah lebih mendekati perasaan daripada pikiran.
97
97
Wiryono Prodjodikoro, Op. Cit., hal. 92.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
BAB IV
PENGATURAN SISTEM PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN UNTUK OPTIMALISASI PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Reposisi Melalui Pendekatan Sistem Terhadap Ketentuan-Ketentuan Yang Berkenaan Dengan Pembalikan Beban Pembuktian
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa Suap dan Korupsi merupakan perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operandi dari segala sisi
sehingga dikatakan sebagai invisible crime yang sangat sulit memperoleh prosedural pembuktiannya, karenanya seringkali memerlukan “pendekatan sistem”
Systemic Approach terhadap pemberantasannya. Berbicara mengenai korupsi tidak sekedar pemidanaan saja, tapi bagaimana kebijakan Hukum Pidana menghadapi
invisible crime tersebut. Perhatian dan peran Hukum Pidana terhadap perbuatan yang masuk dalam kategori sebagai “Tindak Pidana Korupsi”, baik yang eksplisit ada
maupun tidak ada pengaturannya dalam hukum pidana positif di Indonesia. Konkritnya, kebijakan apa yang dapat diaplikasikan melalui Hukum Pidana bagi
pencegahan dan penyelesaianpenanggulangan “Tindak Pidana Korupsi” sebagai White Collar Crime. Kebijakan Pidana sementara ini dapat mempergunakan
Undang-undang No. 3 Tahun 1971 apabila tempus delictinya sebelum terbitnya
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
Undang-undang No. 31 Tahun 1999, dan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 serta Undang-undang No. 20 Tahun 2001, tentunya sebagai sarana maupun alat dalam
melakukan setiap tindak antisipasi perbuatan-perbuatan tersebut. Dewasa ini sangat dirasakan semakin berkembangnya tipologi kejahatan
di lingkungan profesi yang penjahatnya dinamakan “professional fringe violator”.
98
Profesionalitas karier ini dapat mencakup berbagai dimensi lapangan kerja seperti Notaris, Wartawan, Akuntan, Dokter, Insinyur, Pengacara dan lain sebagainya.
Kategori penjahat ini selalu melibatkan keahlian di dalam aksinya those who angage in law violation in which their profesional skill are centrally involved, baik dalam
bentuk intentional, kealpaan, dolus eventualis maupun pelanggaran hukum disiplin tuchtrecht profesional interen maupun eksteren. Dinamakan “fringe violator”
karena di kalangan professional sejenis jumlahnya relatif tidak terlalu banyak dengan karakteristik yang khas.
99
Contoh dalam hal ini dapat digambarkan mengenai adanya konspirasi antara Akuntan dengan Wajib Pajak untuk meringankan beban pajak perusahaannya yang
sebenarnya sebagai masukan bagi kas negara. Selain itu, Pengacara dan Kliennya dengan cara memberikan advis nasihat hukum yang menyesatkan untuk
menghindari kewajiban kliennya yang berkedudukan sebagai debitur terhadap krediturnya bank. Apabila kejahatan profesional yang meliputi profesi di atas
98
Don C. Gibbons, Society Crime and Criminal Careers., New Delhi : Prentice Hall of India, 1987, hal. 344.
99
Muladi Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1992, hal. 59.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
sebagai contoh, di antaranya pengacara, maka teringatlah terhadap proses “professional fringe violator” di Amerika Serikat, yaitu kasus Bank of Credit
Commerce International BCCI yang melibatkan para Pengacara Amerika Serikat, seperti halnya Mc Adams Clifford dan Robert Altman. Kasus BCCI ini diajukan oleh
Jaksa Wilayah Manhattan yang terkenal Robert Morgenthau setelah penyelidikannya terhadap BCCI dan kedua pengacara itu memakan waktu yang cukup panjang sejak
tahun 1991. Kedua pengacara terkemuka itu dituduh menerima suap dan melakukan penggelapan “bribery dan fraud” dengan kemungkinan ancaman hukuman penjara
32 tahun.
100
Dalam Konggres PBB tentang “Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New International Economic Order” yang diadakan
pada tahun 1985 di Milan, economic crime bagian dari tindak pidana korupsi telah menjadi perhatian PBB, sebagaimana dinyatakan :
101
“the law governing the functioning of business enterprises should be review and strengthened as necessary to ensue their effectiveness for preventing, investigating
and prosecuting economic crime. In addition, consideration should be given to having complex cases of economic crime heard by judges familiar with accounting
and other business procedures. Adequate training should also provided to officials and agencies responsible for the prevention, investigation and prosecution of
economic crimes”.
Dalam Konggres PBB di Milan itu, telah dibicarakan beberapa jenis kejahatan dalam “dimensi baru kejahatan dalam konteks pembangunan”. Dalam pendekatan
hubungan negatif, peningkatan kejahatan lebih disebabkan karena buruknya
100
Majalah Time No. 15, tanggal 12 April 1993, hal. 40-41.
101
Muladi Barda Nawawi Arief, Loc.Cit.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
perekonomian suatu negara. Sedangkan pendekatan hubungan positif ternyata justru membuktikan kuantitas kejahatan yang sama, artinya adanya suatu peningkatan
kejahatan justru terjadi pada saat suatu negara mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Pada saat inilah, tegas Mardjono Reksodiputro kejahatan dalam bidang
perekonomian, termasuk “banking crime” mencuat ke permukaan bukan dalam bentuk “conventional crime”, tetapi lebih menuju sebagai bagian “welfare crime”
Kejahatan Kemakmuran. Dalam era ini, perbuatan korupsi yang dilakukan oleh pegawai pemerintahan maupun swasta sebagai hasil perluasan yurisprudensi,
meskipun menimbulkan pendapat yang pro dan kontra yang dilakukan dengan cara penyuapan, menyalahgunakan kedudukan dan jabatannya, sehingga merugikan
perekonomian negara dalam skala yang sangat besar, dan umumnya dilakukan dalam bentuk “bribery” penyuapan maupun “kickbacks” penerimaan komisi secara tidak
sah. Kedua tindak pidana korupsi, baik “bureaucratic and private corruption”, dilakukan oleh para pemegang “kuasa” dalam masyarakat, baik kuasa pemerintahan
“public power” maupun kuasa ekonomi “economic power”. Karena kuasa ini pada dasarnya dipegang atau diperolehnya atas dasar kepercayaan masyarakat,
maka penyalahgunaan “abuse of power” ini mempunyai dampak yang luas.
102
Kejahatan dalam dimensi baru pada konteks pembangunan ini dapat berupa tindak pidana korupsi maupun tindak pidana perbankan yang merugikan Negara dan masuk
dalam kategori “offences beyond the reach of the law” pelanggaran-pelanggaran
102
Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Perkembangan Ekonomi Kejahatan, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan Pengabdian Hukum UI, 1994, hal. 42-43.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
yang sulit terjangkau oleh hukum, contohnya antara lain berupa penggelapan dan penyalahgunaan kredit dan dana-dana perbankan “embezzlement and
misapropriation of banking credits and funds”. Tipologi kejahatan ini dinamakan “invisible crime” kejahatan yang tak
tampak, suatu istilah untuk menunjukkan adanya prosedur yang sangat sulit dan rumit untuk membuktikan perbuatannya maupun tingkat profesionalitasnya
sebagai pelaku tindak pidana. Kesulitan itu disebabkan antara lain tiadanya aturan undang-undang yang mengatur perbuatan semacam itu. Seandainya pun ada,
maka hanya terdapat peraturan yang melarang perbuatan itu, sedangkan pembuktian tentang adanya pelanggaran perbuatannya tetap menimbulkan kesulitan
tersendiri. Kejahatan-kejahatan semacam ini seringkali berlindung dibalik Asas Legalitas
sebagai suatu prinsip yang sangat dipegang secara teguh dalam penegakan hukum pidana Indonesia. “Nullum delictum, noella poena sine praevia lega poenali”.
Prinsip ini sering diartikan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dikenakan sanksi pidana, apabila tidak terdapat suatu peraturan undang-undang yang mendahului
perbuatannya tersebut. Meskipun hukum pidana Indonesia menganut prinsip legalitas secara kodifikatif, namun pelaksanaannya tidaklah mengandung
rigid absolut, baik itu melalui suatu penemuan hukum maupun interpretasi hukum,
103
103
Indriyanto Seno Adji, Op.Cit., hal. 328.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
misalnya kasus Bank Bumi Daya melalui R.S. Natalegawa, kasus Bank Duta melalui Dicky Iskandardinata maupun kasus Bank Pembangunan Indonesia
Bapindo yang pembobolannya melalui Eddy Tansil. Akibat tiadanya aturan yang digunakan, maka operasionalisasi penanganan
perkara semacam ini yang dilakukan oleh aparat penegak hukum polisi dan jaksa sering mempergunakan pasal-pasal “usang” dalam KUHPidana, khususnya dalam hal
menghadapi perkara-perkara yang bersinggungan secara perdata, antara lain : Pasal 378 penipuan, Pasal 372 penggelapan, Pasal 362 pencurian maupun
Pasal 263 KUHP pemalsuan. Pemakaian
ketentuan-ketentuan ini
sering menimbulkan persoalan baru, artinya terdapat perbuatan-perbuatan yang dilakukan pelakunya tidak sesuai dengan
bunyi rumusan pasal KUHP tersebut, sehingga tidak jarang pihak yang berkeberatan menganggap terjadinya implementasi tafsiran analogis yang sangat dilarang dalam
hukum pidana. Misalnya: “data” dalam komputer perbankan yang beralih dari dan ke perbankan lainnya. Pertama dipersoalkan: apakah “data” termasuk pengertian
“barang” dalam Pasal 362 KUHP Pencurian, dan soal kedua, apakah peralihan dana secara transfer dapat diartikan sebagai memenuhi unsur “dengan maksud memiliki”
menurut Pasal 362 KUHP. Diakui oleh Subekti bahwa memang banyak tindak pidana mempunyai segi
keperdataan yang merupakan “perbuatan melanggar hukum” yang memberikan hak
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
kepada pihak yang dirugikan untuk menuntut penggantian kerugian. Bahwa segi keperdataannya itu diselesaikan dengan perdamaian sudah barang tentu tidak
menutup atau mengurangi kekuasaan Penuntut Umum untuk menuntut si pembuat tindak pidana itu di Pengadilan.
104
Seringkali aturan-aturan dalam KUHP tidak dapat memenuhi rumusan delik yang dituduhkan terhadapnya, artinya perbuatan itu secara
formil tidak melawan hukum tidak memenuhi rumusan delik, meskipun masyarakat dapat menilai tingkat ketercelaan atas perbuatan yang dilakukan olehnya adalah
amat tinggi. Perbuatannya terbukti “formeel” tidak “wederrechtelijk”, meskipun masyarakat dan negara menilainya secara “materiele” adalah “wederrechtelijk”.
Rumusan yang demikian menurut Ilmu Hukum Pidana haruslah diartikan bahwa perbuatan pelaku yang professional tidak memenuhi rumusan delik yang didakwakan
terhadapnya ataupun perbuatannya itu nyatanya tidak ada aturan positifnya, karenanya bagi mereka harus dibebaskan dari segala dakwaan pidana. Dengan
mengggunakan konstruksi prinsip yang demikian itu, para professional violator akan bebas dari jeratan aturan pidana yang menghargai asas legalitas, sebagai bagian
prinsip yang dihargai dalam menempuh karakteristik Negara Hukum. “We’re protected by principle of legality”, demikian para pelanggar bidang perbankan yang
tidak terjangkau oleh hukum, meskipun perbuatannya yang dianggap merugikan masyarakat dan negara dalam skala yang besar. Perbedaan antara rumusan delik
104
Soebekti, Aneka Perjanjian, Bandung : Alumni 1984, hal. 179.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
yang terdapat pengaturannya dalam KUHP dengan aturan khusus di luar KUHP Undang-undang No. 31 Tahun 1999 terletak pada terdapat atau tidaknya unsur
“merugikan keuangan dan perekonomian negara” sebagai salah satu syaratnya. Pada KUHP, rumusan deliknya tidak mencantumkan rumusan “merugikan
keuangan dan perekonomian negara”, sedangkan aturan khusus di luar KUHP terdapat rumusan “merugikan keuangan dan perekonomian negara”, seperti contohnya
adalah tindak pidana korupsi yang tercantum dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.
Sudah seharusnya Negara karena masalah korupsi di Indonesia sekarang ini sudah tidak dapat dikatakan lagi sebagai persoalan eksekutif saja, tetapi sudah
terkontaminasi terhadap institusi kenegaraan lainnya, apakah itu legislatif, yudikatif, lembaga non-pemerintah, lembaga kenegaraan yang lainnya dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi, memberikan perhatian khusus tanpa adanya unsur kepentingan apapun dan bebas dari retorika kekuatan politik. Adapun hal-hal yang
harus menjadi perhatian khusus tersebut, antara lain : 1.
Kembali merevisitinjauan ulang rumusan ketentuan Pasal 12 B
105
Undang-undang
105
Pasal 12 B berbunyi : Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut : a.
yang nilai Rp.10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp.10.000.000,00 sepuluh juta rupiah, pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
No. 20 Tahun 2001, dalam pasal ini yang menjadi delik intinya adalah : ”yang berhubungan dengan jabatan dan yang melakukan pekerjaan yang
bertentangan dengan kewajiban”, oleh karena itu seyogyanya rumusan tersebut tidak menjadi bagian dari unsur Pasal 12 B kata-kata :
”yang berhubungan dengan jabatan dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban”, hal ini sebagai bentuk eksistensi dan
akseptabilitas sistem pembalikan beban pembuktian karena dengan demikian Pununtut Umum tidak lagi berkewajiban membuktikan rumusan unsur pasal
dimaksud. Hal ini juga diungkapkan oleh Andi Hamzah : ”perumusan Pasal 12 B Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tersebut membuktikan tiadanya asas
pembalikan beban pembuktian terhadap permasalahan gratifikasi.”
106
2. Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak dapat dipungkiri bahwa
hal yang paling sulit dilakukan adalah, menemukan alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Walaupun di dalam Undang-
undang No. 20 Tahun 2001, yakni Pasal 37 A dan 38 A telah dirumuskan hal yang berkaitan dengan pembalikan beban pembuktian, namun dalam
prakteknya ketentuan pasal ini relatif sulit dilaksanakan. Oleh karenanya
Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun,
dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 satu miliar rupiah.
106
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Ditinjau dari Hukum Pidana, Jakarta : Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti, 2002, hal. 113.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
perlu dilakukan kaji ulang terhadap pasal ini maupun pasal-pasal lain yang berkaitan dengan Pasal 37 ini dengan memperhatikan hal-hal sebagaimana
uraian dalam Bab III tesis ini. 3.
Rekonseptualisasi ke arah asas praduga bersalah Presumption of Guilt, merujuk kepada filosofi dan substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945,
justru konsep HAM Indonesia, tidak murni menganut paham individualistik melainkan paham ”individualistik plus”, dalam arti hak dan kebebasan setiap
orang dalam bingkai UUD 1945 harus diwujudkan untuk menciptakan harmonisasi kehidupan sosial, selain semata-mata demi dan hanya untuk
kepentingan melindungi hak-hak indvidu. Dalam konteks UUD 1945, di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, terminologi ”aku” dan
”engkau”, harus disublimasi menjadi, ”Aku dan Kita”. Kesemua itu harus ditujukan semata-mata untuk menciptakan kesejahteraan sosial bersama
atau kesejahteraan sosial kolektif, bukan semata-mata individual.
Analisis tersebut di atas mendesak karena diperlukan rekonseptualisasi terhadap landasan pemikiran, asas praduga tak bersalah, dan prinsip
”due process of law” di dalam bingkai Negara Hukum Kesatuan RI. Berangkat dari analisis hukum atas konsep pemikiran tentang prinsip
”praduga tak bersalah” tersebut, maka sepatutnya asas ”praduga tak bersalah”, dalam konteks kehidupan hukum masyarakat Indonesia, ditafsirkan secara
proporsional dan selaras dengan perubahan paradigma mengenai karakter
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
sistem hukum pidana modern, yang telah bergeser dari paradigma lama, ”Daad-Dader Strafrecht”
107
kepada paradigma baru, ”Daad-Dader-Victim Strafrecht”. Tafsir terhadap prinsip praduga tak bersalah, yang yang sejalan
dengan perubahan paradigma tersebut di atas, adalah, negara wajib memberikan dan memfasilitasi hak-hak seseorang yang diduga telah
melakukan suatu tindak pidana sejak ditangkap, ditahan dan selama menjalani proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan baik pada
tingkat pertama dan pada tingkat banding. Praduga tersebut selanjutnya berhenti seketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda. Mengapa demikian, karena proses pemeriksaan pengadilan
yang ”fair and impartial” telah dilalui terdakwa dan dibuka seluas-luasnya terhadap terdakwa oleh pengadilan sehingga kemudian majelis hakim atas
dasar alat-alat bukti yang disampaikan di persidangan, dan keterangan saksi-saksi acharge dan adecharge telah memunculkan keyakinan
mereka untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang telah mengakibatkan timbulnya korban baik kerugian materiel maupun
imateriel. Status terdakwa yang dilindungi oleh asas praduga tak bersalah
selesai setelah putusan pengadilan telah menyatakan terdakwa bersalah, sekalipun terdakwa mengajukan upaya hukum, banding atau kasasi.
107
J.Remmelink, Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Jakarta : Gramedia, 2003, hal. 163.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
Rekonseptualisasi prinsip praduga tak bersalah disarankan di atas masuk akal, proporsional, dan sesuai dengan prinsip keadilan yang bersifat distributif dan
komutatif Aristoteles
108
serta sejalan dengan perkembangan sistem hukum
pidana modern saat ini. Di Belanda, perhatian terhadap korban kejahatan,
selain kepada tersangkaterdakwa; telah diperkuat dengan UU tentang Kompensasi terhadap Korban Kejahatan tahun 1993 Criminal Injuries
Compensation Act yang menetapkan bahwa korban kejahatan termasuk ahli warisnya dapat menuntut ganti rugi di dalam proses peradilan pidana.
Dengan Undang-undang tersebut sekaligus melindungi saksi-saksi pelapor dari ancaman pihak lain.
109
Perubahan kebijakan hukum pidana Belanda
1996 dalam menghadapi kejahatan, yaitu, antara lain, telah mencantumkan ketentuan mengenai ”transactie” transaksi di dalam Pasal 74 KUHP Belanda
1996. Di dalam ketentuan tersebut, kepada Penuntut Umum telah diberikan diskresi untuk mencegah seseorang tersangka kejahatan serius di dakwa di
muka sidang pengadilan, kecuali untuk kejahatan yang diancam lebih dari 6 enam tahun. Persyaratan untuk memasuki tahap ini antara lain, tersangka
108
Aristoteles membedakan beberapa jenis keadilan: keadilan retributif, distributif, komutatif, dan rehabilitatif. Keadilan distributif dan komutatif berbeda secara substansial dengan keadilan
retributif yang masih bertumpu pada ajaran kantianisme. Keadilan distributif dan komutatif merupakan bentuk keadilan yang memberikan toleransi kepada pertimbangan kemanusiaan dengan menekankan
kepada kewajiban seseorang untuk mereparasi memperbaiki kesalahan yang telah dilakukannya dengan memberikan sejumlah ganti kerugian kepada pihak korban. Konsep keadilan mutakhir
terutama setelah munculnya pendangkalan perlindungan HAM, adalah keadilan restoratif, yaitu menitikberatkan kepada ”pemulihan keseimbangan hubungan antara pelaku dan korban dalam satu
kesatuan kehidupan kemasyarakatan”. Prinsip keadilan restoratif , mirip dengan prinsip keadilan komutatif.
109
P.J.P.Tak, The Dutch Criminal Justice System, Boom Juridische Uitgevers, 2003, hal. 21.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
telah membayar sejumlah uang kepada negara; mencabut hak kepemilikan yang bersangkutan atas harta benda tertentu; telah menyerahkan
barang-barang yang menjadi objek penyitaan atau membayar sejumlah nilai barang tersebut kepada negara, atau telah memberikan kompensasi penuh atau
sebagian kerugian yang disebabkan kejahatan yang telah dilakukannya.
110
Perubahan konsep keadilan dari retributif kepada komutatif dan terakhir kepada keadilan restoratif, telah dianut dalam berbagai peraturan perundang-
undangan di Indonesia. Ketentuan mengenai ”ganti rugi” bagi pihak yang diirugikan karena tindakan penangkapan atau penahanan oleh penyidik
Pasal 98 KUHAP melalui mekanisme pra-peradilan. Undang-undang tentang Perlindungan Saksi Pelapor dan Korban; Ketentuan mengenai
kompensasi dan restitusi dalam UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; UU Nomor 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM; UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam perspektif criminal procedure hukum acara pidana, Herbert L Packer dalam The Limited of The Criminal Sanction mengemukakan dua model
dalam beracara. Kedua model itu adalah crime control model dan due process model.
111
Crime control model memiliki karakteristik efisiensi, mengutamakan kecepatan dan presumption of guilt praduga bersalah sehingga tingkah laku
110
The Dutch Penal Code, diterjemahkan oleh Louise Rayar Stafford Wadsworth, Colorado : Rothman Co., 1997, hal. 87.
111
Ibid, hal. 88.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
kriminal harus segera ditindak dan si tersangka dibiarkan sampai ia sendiri yang melakukan perlawanan. Crime control model ini diumpamakan seperti
sebuah bola yang digelindingkan dan tanpa penghalang. Sementara due process model memiliki karakteristik menolak efisiensi, mengutamakan
kualitas dan presumption of innocent praduga tidak bersalah sehingga peranan penasihat hukum amat penting dengan tujuan jangan sampai
menghukum orang yang tidak bersalah. Due process model ini diumpamakan seperti orang yang sedang melakukan lari gawang. Masih menurut Packer,
diantara kedua model itu ada nilai-nilai yang bersaing tetapi tidak berlawanan
37
; dan sebagai catatan penting, tidak ada satu pun negara di dunia ini yang menerapkan salah satu model itu secara konsisten. Oleh karena itu,
sebagaimana diungkapkan M King dalam A Framework of Criminal Justice
38
yang masih menambahkan empat model lain dalam criminal procedure, masing-masing medical model, bureaucratic model, status passage model dan
power model masih membagikannya ke dalam dua pendekatan. Ketiga model yang pertama, yaitu crime control model, due process model, dan medical
model dikategorikan ke dalam participant approach. Sedangkan ketiga model yang kedua, yaitu bureaucratic model, status passage model, dan power
model dikategorikan ke dalam social approach. Menurut King, participant approach ini adalah cara pandang dari sudut pandang para penegak hukum
37
Ibid.
38
Ibid, hal. 90.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
dalam sistem peradilan pidana. Ketiga model pertama itu telah mengidentifikasi berbagai nilai dalam proses acara pidana dan aparat penegak
hukum diberi kebebasan memilih mana yang akan digunakan. Masih menurut King, ketiga model itu tidak ada satu pun mengungguli yang lain, semuanya
memiliki keunggulan masing-masing. Karena itu, para penegak hukum dalam sistem peradilan pidana biasanya tidak menerapkan satu model secara tegas,
tetapi tergantung pada individu atau kasus yang dihadapi. Ketiga model terakhir didasarkan analisis teori sosial mengenai hubungan antara institusi
penegak hukum sebagai struktur tersendiri dengan struktur lain di masyarakat. Para penegak hukum coba menjelaskan proses beracara secara keseluruhan
kepada masyarakat dengan tujuan-tujuan tertentu, mengapa terjadi kesenjangan antara retorika dan kenyataan hukum. Khusus mengenai asas
praduga bersalah dan asas praduga tidak bersalah perlu dipahami. Kedua asas itu tidak bertentangan satu dengan yang lain. Bahkan, oleh Packer dengan
tegas dikatakan, keliru jika memikirkan asas praduga bersalah sebagaimana yang dilaksanakan dalam crime control model sebagai suatu yang bertentangan
dengan asas praduga tidak bersalah yang menempati posisi penting dalam due process model. Ibarat kedua bintang kutub dari proses kriminal, asas praduga
tidak bersalah bukan lawannya, ia tidak relevan dengan asas praduga bersalah, dua konsep itu berbeda, tetapi tidak bertentangan. Asas praduga tidak
bersalah adalah pengarahan bagi para aparat penegak hukum tentang bagaimana mereka harus bertindak lebih lanjut dan mengesampingkan
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
asas praduga bersalah dalam tingkah laku mereka terhadap tersangka. Intinya, praduga tidak bersalah bersifat legal normative dan tidak berorientasi
pada hasil akhir.
39
Asas praduga bersalah bersifat deskriptif faktual. Artinya, berdasar fakta-fakta yang ada si tersangka akhirnya akan dinyatakan
bersalah. Karena itu, terhadapnya harus dilakukan proses hukum mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai tahap peradilan.
Tidak boleh berhenti di tengah jalan. Dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia, kendati secara universal asas praduga tidak bersalah diakui dan
dijunjung tinggi, tetapi secara legal formal Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP juga menganut asas praduga bersalah. Sikap itu
paling tidak dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 17 KUHAP yang menyebutkan :
”Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”.
artinya, untuk melakukan proses pidana terhadap seseorang berdasar deskriptif faktual dan bukti permulaan yang cukup, harus ada suatu praduga
bahwa orang itu telah melakukan suatu perbuatan pidana yang dimaksud. Mengingat korupsi adalah suatu kejahatan yang sulit pembuktian
perbuatannya karena profesionalitas pelakunya, maka perlu dipikirkan ide
39
Ibid.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
penerapan asas praduga bersalah presumption of guilt guna optimalisasi pemberantasan korupsi itu sendiri.
B. Alternatif Penegakan Hukum Pemberantasan Korupsi Yang Solutif