B. Teori Pembuktian
Ada beberapa teori atau sistem pembuktian, yakni: Teori Tradisionil, ada beberapa teori tentang pembuktian yang tradisionil,
yakni : a.
Teori Negatief Teori ini mensyaratkan bahwa Hakim boleh menjatuhkan pidana jika
Hakim mempunyai keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa telah terjadi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Pada dasarnya disini
adalah : Keharusan adanya keyakinan Hakim, dan keyakinan itu didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah.
b. Teori Positief
Teori ini mengatakan bahwa Hakim hanya boleh menyatakan kesalahan terdakwa, bila ada bukti minimum yang ditentukan oleh undang-undang.
Apabila bukti minimum tersebut dipenuhi, maka Hakim wajib menyatakan terdakwa bersalah. Titik berat dari ajaran ini ialah positivitas.
Tidak ada bukti, tidak dihukum, ada bukti meskipun sedikit harus dihukum.
37
37
Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., hal. 56.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
c. Teori Bebas Teori ini tidak membatasi Hakim kepada undang-undang. Hal yang
dijadikan pokok, adalah keyakinan tentang kesalahan terdakwa, yang didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh
pengalaman.
38
d. Teori Modern
a Teori pembuktian dengan keyakinan belaka bloot gemoedelijke
overtuiging, atau conviction intime. Aliran ini tidak membutuhkan suatu peraturan tentang pembuktian dan menyerahkan segala sesuatunya kepada
kebijaksanaan Hakim, terkesan Hakim sangat bersifat subjektif. Menurut aliran ini sudah dianggap cukup bahwa Hakim mendasarkan terbuktinya
suatu keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Dalam sistem ini, Hakim dapat menentukan apakah suatu
perbuatan pidana telah terbukti. Karenanya aliran ini disebut conviction intime atau bloote gemoedelijke overtuiging.
39
Dasar pertimbangannya menggunakan pikiran secara logika dengan memakai silogisme,
40
38
Bosh-Kemnper, Komentar Atas Reglemen Hukum Acara Didalam Pemeriksaan Dimuka Pengadilan Negeri, Jakarta : NV Versluys, 1972, hal. 242.
39
Wiryono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bandung : Sumur, 1962, hal. 71.
40
Silogisme adalah suatu bentuk proses penalaran yang berusaha menghubungkan dua preposisi pernyataan yang berlainan untuk menurunkan suatu kesimpulan atau inferensi yang
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
yakni premise mayor, premise minor dan konklusio, sebagai hasil penarikan pikiran dan logika. Sistem
penjatuhan pidana tidak didasarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Contoh silogisme : Premise mayor : Semua buruh adalah manusia pekerja.
Premise minor : Semua tukang batu adalah buruh. Konklusio
: Semua tukang batu adalah manusia pekerja. Kelemahan pada sistem ini, terlalu banyak memberikan kepercayaan
kepada Hakim dan akibatnya sulit melakukan pengawasan. Praktek peradilan juri di Prancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini,
dan banyak mengakibatkan putusan bebas yang sangat aneh.
41
b Teori pembuktian menurut undang-undang secara positif positief wettelijke bewijstheorie. Dalam sistem ini undang-undang menetapkan
alat-alat bukti mana yang boleh digunakan oleh Hakim, dan bagaimana pula Hakim mempergunakan alat-alat bukti tersebut serta bagaimana
kekuatan pembuktiannya. Jika alat-alat bukti ini sudah dipakai sebagaimana mestinya, Hakim harus menetapkan keadaan yang sudah terbukti,
walaupun Hakim mungkin berkeyakinan bahwa yang harus dianggap
merupakan preposisi ketiga. Kedua proposisi pertama disebut premis. Dapat dilihat dalam Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, Jakarta : Gramedia, 1987, hal. 58.
41
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1999, hal. 241.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
terbukti itu tidak benar. Sebaliknya, jika tidak dipenuhi cara-cara menggunakan alat bukti, meskipun mungkin Hakim berkeyakinan
bahwa keadaan itu benar-benar terjadi, maka dikesampingkanlah sama sekali keyakinan Hakim tentang terbukti atau tidaknya sesuatu hal.
42
D. Simons menyatakan bahwa system positief wettelijk di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat
inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka; dalam hal ini Hakim hanya merupakan alat
perlengkapan saja.
43
Kelemahan pada sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada Hakim. Hal ini bertentangan dengan prinsip Hukum
Acara Pidana, yaitu putusan Hakim harus didasarkan atas kebenaran. c Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif negatief
wettelijk overtuiging dan Teori keyakinan atas alasan logis beredeneerde vertuging atau conviction raisonnee. Kedua teori pembuktian ini,
jika dibandingkan, maka akan ditemukan persamaan dan perbedaannya, yaitu, Persamaannya
: Hakim diwajibkan menghukum orang, apabila ia yakin bahwa perbuatan
Terdakwa terbukti dan keyakinan ini harus disertai dengan alasan-alasan yang berdasarkan atas suatu rangkaian buah pikiran logika.
42
Wiryono Prodjodikoro, Op.Cit., hal. 72.
43
D. Simons, Beknopte handleiding tot het wetbook van Strafvordering, Bohn : Haarlem de Erven, 1952, hal. 114.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
Perbedaannya : Teori ini berdasarkan alat bukti wettelijke bewijsmiddelen yang telah
ditetapkan undang-undang. Tidak boleh menggunakan alat bukti lain, selain yang ditetapkan. Cara menggunakan alat bukti bewijstvoering,
Hakim juga terikat pada undang-undang. Sedangkan, teori keyakinan atas alasan logis, Hakim dalam mengambil keputusan dan menggunakan alat
bukti tidak terikat bebas sepanjang hal itu tepat menurut logika.
44
C. Kekuatan Pembuktian