Kerangka Teori Kerangka Teori dan Konsepsi

Pasal 37 dan 38 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Oleh karenanya penelitian ini dapat disebut “asli” sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu : jujur, rasional dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan konsekwensi etis dari proses menemukan suatu kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah pula. Untuk menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, Peneliti melakukan pengumpulan data tentang penerapan “sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang dalam kerangka optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi”, dan juga pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang ada mengenai hal-hal diatas. Dari hasil penelitian dimaksud ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama oleh peneliti lain, baik di lingkungan Universitas Sumatera Utara maupun Perguruan Tinggi lainnya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Menurut M. Solly Lubis, kerangka teori adalah pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis. Hal mana dapat menjadi masukan dan pegangan bagi peneliti. 12 12 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994, hal. 80. Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008. USU Repository©2008 Menurut Radbruch, tugas teori hukum adalah untuk membuat jelas nilai-nilai hukum dan postulat-postulat hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, 13 sehingga teori tentang ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang sesuai dengan objek penelitian yang dijelaskan untuk mendapatkan verifikasi, maka harus didukung oleh data empiris yang membantu dalam mengungkapkan kebenaran. 14 Dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah : teori yang coba menguraikan tentang sistem pembalikan beban pembuktian dalam hubungannya dengan asas praduga tidak bersalah. Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggeris, dalam Bill of Rights 1648. Asas hukum ini dilatar belakangi oleh pemikiran individualistik–liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini. Di dalam sistem peradilan pidana criminal justice systemcjs 15 berdasarkan sistem hukum Common Law sistem adversarialsistem kontest, asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak due process of law. Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari prinsip due process tersebut. Friedman 1994 menegaskan bahwa, prinsip ”due process” yang telah melembaga dalam proses peradilan sejak dua ratus 13 Dikutip oleh W. Friedman, dalam bukunya Teori dan Filsafat Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993, hal. 2. 14 M. Solly Lubis, Op. Cit, hal. 27. 15 Konsep Sistem Peradilan Pidana atau “Criminal Justice System”, yang terkenal dari Packer 1968, yaitu, model “Crime Control”, dan “Due Process” yang merupakan model antinomy normative. Selain itu, diakui, model rehabilitatif Rehabilitative model, dari Griffith 1970; model birokratik bureaucratic model dari Reine 1993, dan model resotratif restorative justice dari Wright 1996, Fenwick 1997 dikutip dari Clive Walker dan Keir Steimer, “Miscarriage of Justice; Blackstone Press Ltd, 1999, hal. 40. Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008. USU Repository©2008 tahun yang lampau, 16 kini telah melembaga di dalam seluruh bidang kehidupan sosial. Di sektor kesehatan dan ketenaga kerjaan, jika distribusi hak rakyat atau buruh tidak dilakukan sesuai dengan kewajibannya maka akan disebut sebagai melanggar prinsip ”due process of law”. Bahkan, prinsip tersebut telah menjadi bagian dari ”budaya masyarakat Amerika”, yang telah mengalami perubahan cepat sesuai dengan perubahan masyarakatnya dan perkembangan Internasional yang terjadi sejak pertengahan abad 19 sampai saat ini. Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkanmerugikan dirinya di muka persidangan the right of non-self incrimination, dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan the right to remain silent. Di dalam hukum acara pidana Belanda 1996, kepada tersangkaterdakwa hak seperti itu dijamin dan dilindungi sedemikian rupa sehingga jika Penyidik memaksa keterangan dari tersangkaterdakwa, maka tersangkaterdakwa diberikan hak untuk mengajukan ”review” kepada ”examining judges” untuk memeriksa kebenaran ”review” dari tersangkaterdakwa yang bersangkutan. 17 Menilik hukum acara pidana negeri Belanda sebagaimana diuraikan di atas, tampak hal yang sangat mencolok, yaitu keutamaan memberikan perlindungan atas hak individu, bukan hak kolektif masyarakat, sekalipun anggota masyarakat atau 16 Lawrence M.Friedman, Total Justice, Russel : Sage Foundation, 1994, hal. 80-81. 17 P.J.P.Tak, The Dutch Criminal Justice System, Boom : Juridische Uitgever, 2003, hal. 30. Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008. USU Repository©2008 masyarakat sebagai suatu kolektivitas, telah dirugikan oleh perbuatan tersangka, dilain pihak perlu dicermati pendapat E. H. Sutherland: “White Collar Crime WCC as a violation of criminal law by the person of the upper socio economic class in the course of this occupational activities”. 18 Disini E.H. Sutherland berikut ingin menunjukkan bahwa kejahatan merupakan fenomena yang dapat juga ditemukan dalam kelas-kelas masyarakat yang lebih tinggi yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan. Secara tradisional seperti kemiskinan atau faktor-faktor patologik yang bersifat individual. Dengan kata lain kemajuan dalam pembangunan ekonomi pun dapat menimbulkan meningkatnya kejahatan, antara lain : tindak pidana korupsi, tindak pidana korporasi, tindak pidana perbankan dan tindak pidana money laundring. Hak seorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya praduga tak bersalah sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk ”non-derogable rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut non-retroaktif. Bahkan Undang-undang dasar 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah. Asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP. 18 Mardjono, makalah, “Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan”, disampaikan pada acara seminar mengenai Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, yang dilaksanakan oleh Lembaga Kriminologi UI di Jakarta, 1994, hal. 126. Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008. USU Repository©2008 Rumusan kalimat dalam Pasal 8 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman 2004, dan Penjelasan Umum KUHAP, adalah : ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, danatau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Rumusan kalimat tersebut di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 paragrap 2, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik 1966, yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence all have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”. Konvenan tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan Undang-undang; bahkan, tidak menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah. Pembuktian kesalahan seseorang berdasarkan sistem hukum Common Law sering ditegaskan dengan bunyi kalimat, ”proven guilty beyond reasonable doubt”, yang berarti, ”Dinyatakan Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali”; bandingkan dengan rumusan kalimat,” Dinyatakan Bersalah atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah”, yang meliputi 8 delapan hak, yaitu : Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008. USU Repository©2008 1. Hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang di dakwakan; 2. Hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum yang bersangkutan; 3. Hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda; 4. Hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan; 5. Hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu; 6. Hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan; 7. Hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh yang bersangkutan; 8. Hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya. Sejalan dengan Konvenan tsb, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang tersangkaterdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tersebut, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum. Putusan pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa bersalah yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan majelis Hakim akan kesalahan terdakwa, harus diartikan sebagai akhir dari perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah. Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008. USU Repository©2008 Adapun landasan teori yang saya gunakan disini adalah teori-teori tentang justifikasi pembalikan beban pembuktian dalam Hukum Pidana Formil. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi dapat dipertaruhkan. Untuk inilah maka Hukum Acara Pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil berbeda dengan Hukum Acara Perdata yang cukup puas dengan kebenaran formil. Kebenaran dalam perkara pidana merupakan kebenaran yang disusun dan didapatkan dari jejak, kesan, dan refleksi dari keadaan danatau benda yang berdasarkan ilmu pengetahuan dapat berkaitan dengan kejadian masa lalu yang diduga menjadi perbuatan pidana. 19 Suatu pembuktian yang benar-benar sesuai dengan kebenaran tidak mungkin dicapai, oleh karenanya Hukum Acara Pidana sebenarnya hanya menunjukkan jalan untuk berusaha mendekati sebanyak mungkin persesuaian dengan kebenaran. Hukum pembuktian memberi petunjuk bagaimana hakim dapat menetapkan sesuatu hal cenderung kepada kebenaran. Dalam menilai kekuatan pembuktian tersebut dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu : 1. Teori pembuktian yang hanya berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh undang-undang secara positif positief wettelijk bewijstheorie. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Teori ini disebut juga teori pembuktian formil formele bewijstheorie. 19 Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar Kodifikasi Hukum Pidana, Jakarta : Bina Aksara, 1984, hal. 38. Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008. USU Repository©2008 Teori ini berusaha menyingkirkan segala pertimbangan hakim yang bersifat subyektif, oleh karena itu mengikat secara tegas supaya hakim hanya tergantung pada ada atau tidak adanya sejumlah alat bukti yang formil tercantum dalam undang-undang cukup untuk menjatuhkan putusan. 20 Wirjono Prodjodikoro menolak teori ini untuk dianut di Indonesia, karena menurutnya hakim hanya dapat menetapkan kebenaran dengan cara mengatakan kepada keyakinannya tentang kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat. 21 2. Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim semata-mata conviction intime. Artinya jika dalam pertimbangan keputusan hakim telah menganggap terbukti sesuatu perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani seorang hakim, maka dapat dijatuhkan putusan. Sistem ini menurut Martiman Prodjohamidjojo tidak dianut dalam peradilan umum ataupun dalam KUHAP. Contoh dari sistem ini dipergunakan dalam peradilan yuri. 22 Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro sistem pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia yaitu pada peradilan distrik dan peradilan Kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun. 23 20 Ibid, hal. 40. 21 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sapta Artha Jaya, 1996, hal. 259. 22 Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat Bukti. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983, hal. 12. 23 Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 20. Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008. USU Repository©2008 3. Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis conviction raisonee. Teori ini disandarkan pada keyakinan hakim atas dasar pertimbangan akal atau menurut logika yang tepat berendeneerde overtuiging dan memberikan keleluasaan kepada hakim secara bebas untuk menggunakaan alat bukti yang lain. 4. Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif negatief wettelijk bewijstheori. Dalam sistem ini ada dua hal yang merupakan syarat, yaitu : a. Wettelijk, yaitu alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang. b. Negatief, maksudnya dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan undang-undang saja, belum cukup untuk memaksa hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan, tapi masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim. 24 Dari keempat teori pembuktian di atas, ketentuan Hukum Acara Pidana Indonesia mengikuti prinsip dari teori negatief wettelijk bewijstheorie. Hal ini bisa dilihat dari ketentuan Pasal 183 KUHAP : “Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” 24 Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hal 14. Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008. USU Repository©2008 Berdasar ketentuan di atas, maka dalam Pasal 183 KUHAP terdapat dua unsur, yaitu : 1. Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, 2. Dengan dasar alat bukti yang sah itu hakim yakin bahwa : tindak pidana telah terjadi dan terdakwa telah bersalah. Sehingga dengan demikian antara alat-alat bukti dan keyakinan hakim harus ada hubungan causal sebab-akibat. Hal tersebut sama dengan ketentuan dalam Pasal 294 Ayat 1 HIR yang menyatakan : “Tidak seorang pun boleh dikenakan pidana selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu.” Ketentuan yang sama juga telah diatur dalam Pasal 8 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman : “Tiada seorang juga pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.” Selain itu, asas negatief wettelijk ini juga tercermin dalam Pasal 189 ayat 4 KUHAP : “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.” Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008. USU Repository©2008 Sedangkan mengenai kewajiban pembuktian, atau siapa yang harus membuktikan, menurut KUHAP adalah dibebankan kepada Penuntut Umum. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 66 KUHAP : “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.” Menurut penjelasan Pasal 66 tersebut, ketentuan ini adalah penjelmaan dari asas “praduga tak bersalah”, di mana mengenai asas tersebut diatur dalam penjelasan umum butir 3 c KUHAP : “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut danatau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” Asas praduga tak bersalah ini juga telah diakui oleh dunia internasional, antara lain diatur dalam Pasal 14 Ayat 2 Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Tahun 1966 : “Setiap orang yang dituduh melakukan pelanggaran pidana akan berhak atas praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum.” Sebagai komponen dasar dari hak atas suatu peradilan yang fair, asas praduga tak bersalah antara lain berarti bahwa beban pembuktian dalam suatu peradilan pidana tergantung pada penuntutan dan si tertuduh mempunyai keuntungan sebagai orang yang diragukan. 25 Selain itu dalam Pasal 14 Ayat 3 huruf g Perjanjian Internasional tersebut dinyatakan bahwa : 25 Lawyer Committee for Human Right, Fair Trial Prinsip-Prinsip Peradilan yang Adil dan Tidak Memihak, Diterjemahkan oleh Ahmad Fauzan, Jakarta : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1997, hal. 23. Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008. USU Repository©2008 “Dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah.”. Ketentuan ini sering disebut juga dengan asas non self incrimination. Meskipun ketentuan ini tidak secara tegas mengatur tentang bukti yang di dapat dengan cara pemaksaan, namun telah lama ditafsirkan bahwa bukti tersebut tidak dapat diterima di pengadilan. Disamping itu diamnya tersangka atau terdakwa tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk menyatakan bersalah dan tidak ada konsekuensi yang negatif dapat ditarik dari pelaksanaan hak untuk diam dari seorang tersangka. 26 Dari penjelasan di atas terlihat bahwa asas praduga tak bersalah secara tegas telah diatur oleh peraturan perundang-undangan, yang tidak hanya diakui di Indonesia, tetapi juga diakui di dunia internasional. Asas praduga tak bersalah ini merupakan salah satu bentuk jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Penerapan asas pembalikan beban pembuktian dalam suatu perkara pidana jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah ini. Dalam asas pembalikan beban pembuktian hakim berangkat dari praduga bahwa terdakwa telah bersalah melakukan suatu pelanggaran hukum atau presumption of guilt atau presumption of corruption. Kemudian terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya 26 Ibid., hal 33. Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008. USU Repository©2008 tidak bersalah atau tidak korupsi, dan jika dia tidak dapat membuktikan hal itu, maka ia dinyatakan bersalah tanpa perlu pembuktian lagi dari pihak Penuntut Umum. Bila tersangka atau terdakwa ditahan maka hampir mustahil hal itu bisa dilakukan. Dalam sistem pembuktian seperti tersebut di atas, tampak bahwa hak-hak seorang terdakwa tidak dijamin, bahkan dilanggar. Padahal dalam Pasal 183 KUHAP, sebagaimana telah dijelaskan di atas telah diatur secara tegas bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Dalam asas pembalikan beban pembuktian, ketentuan tersebut secara terang-terangan disimpangi, karena Hakim dapat saja menjatuhkan putusan pidana tanpa adanya suatu alat bukti, yaitu jika terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Jadi di sini hanya dengan adanya keyakinan hakim sudah cukup untuk menyatakan kesalahan terdakwa, tanpa perlu adanya alat bukti. Hal ini sama dengan sistem dalam teori pembuktian conviction intime pembuktian berdasar keyakinan hakim semata yang telah diuraikan di atas. Hal ini tentu saja sangat merugikan terdakwa. Menurut Luhut MP Pangaribuan, bila sistem pembuktian terbalik ini diterapkan maka akan membawa implikasi negatif yang luar biasa yaitu : Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008. USU Repository©2008 ”Pertama, secara umum kita akan kembali pada satu zaman yang disebut dengan ancient regime. Pada zaman ini berkuasa The Holy Inqusition yang kemudian dikenal dalam hukum acara pidana dengan sistem inkuisitoir. Tersangka dan Terdakwa menjadi obyek. Sebab pengakuan merupakan alat bukti yang penting. Kedua, dalam situasi rendahnya kapabilitas dan integritas aparatur penegak hukum dewasa ini maka sistem pembalikan beban pembuktian bisa menjadi alat black-mailing yang efektif untuk memperkaya diri dan bentuk penyalahgunaan penegakan hukum yang lain. Ketiga, usaha untuk meningkatkan profesionalitas dan integritas penegak hukum akan menjadi tidak perlu bila sistem pembuktian terbalikpembalikan beban pembuktian diterima. Sebab ia cukup mengandalkan perasaan maka bila orang itu gagal narapidanalah ia. Jadi aparatur penegak hukum itu cukup setingkat debt collector.” 27 Akan tetapi meskipun asas pembalikan beban pembuktian mengandung banyak kelemahan seperti di atas, hal ini bukan berarti asas pembalikan beban pembuktian tidak dapat diterapkan. Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian terhadap tindak pidana korupsi ini sudah dianut di Hongkong, Malaysia, dan Singapura. Di Hongkong misalnya, pembuktian terbalik ini diatur dalam Pasal 10 1b Prevention of Bribery Ordonance 1970, Added 1974 : “or is in control of pecuniary resources of property disproportionate to his present or past official emoluments, shall, unless he gives satisfactory explanation to the court as to how he was able to maintain such a standard of living or how such pecuniary resources of property came under his control, be guilty of an offence.” Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa menguasai sumber-sumber pendapatan atau harta yang tidak sebanding dengan gajinya pada saat ini atau pendapatan resmi di masa lalu, akan dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran, kecuali kalau ia dapat memberikan suatu penjelasan yang memuaskan kepada pengadilan mengenai 27 Luhut MP Pangaribuan, Sistem Pembuktian Terbalik, Kompas : Jakarta 2 April 2001, hal. 1. Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008. USU Repository©2008 bagaimana ia mampu memperoleh standar hidup yang demikian itu atau bagaimana sumber-sumber pendapatan atau harta itu dapat dikuasai. Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian ini menurut keterangan seorang pejabat Independent Comission Against Corruption Hongkong cukup efektif untuk memberantas tindak pidana korupsi, karena seseorang akan takut melakukan korupsi. Sebab akan sulit baginya memberikan penjelasan yang memuaskan tentang sumber kekayaannya kalau memang kekayaannya itu diperoleh dengan cara yang tidak sah. 28 Mengingat “merajalelanya” tindak pidana korupsi di Indonesia, maka tidak salah jika pemerintah kemudian merumuskan sistem pembalikan beban pembuktian di dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang kemudian di amandemen melalui Undang-undang No. 20 Tahun 2001 guna pemberantasan korupsi. Hal ini sesuai dengan teori tujuan hukum menurut Jeremy Bentham dalam bukunya Introduction to the Morals and Legislation, yaitu bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata berfaedah bagi orang. Karena apa yang berfaedah bagi seseorang mungkin saja merugikan orang lain, maka tujuan hukum adalah menjamin kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi orang sebanyak-banyaknya. 29 Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian terhadap tindak pidana korupsi memang di satu pihak akan merugikan terdakwa, karena hak-haknya kurang terlindungi, tetapi di lain pihak hal ini akan membawa kebahagiaan atau kemanfaatan bagi banyak orang, karena dapat mengurangi tindak pidana korupsi yang telah begitu banyak merugikan negara. 28 Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Jakarta : Sinar Grafika, 2005, hal. 21. 29 CST Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1989, hal. 44. Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008. USU Repository©2008

2. Konsepsi

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya Pengembalian Keuangan Negara Atas Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 6 42

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

1 34 229

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PEMBERIAN SANKSI DI PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI MEDAN.

0 4 25

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 8

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 1

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 1 28

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 36

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 3

Pembuktian Terbalik Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 0 14

PENCANTUMAN SANKSI PIDANA KUMULATIF SEBAGAI SUATU PENAL POLICY DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN UNDANG UNDANG NO.20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NO.31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDA

0 0 16