dan institusi kenegaraan. Mengapa dikatakan institusi kenegaraan, karena masalah korupsi di Indonesia sekarang ini sudah tidak dapat dikatakan lagi sebagai persoalan
eksekutif saja, tetapi sudah terkontaminasi terhadap institusi kenegaraan lainnya, apakah itu legislatif, yudikatif, lembaga non-pemerintah, lembaga kenegaraan
yang lainnya. Pendekatan sistemik ini harus diartikan sebagai sikap antisipasi terhadap sistem institusi kenegaraan secara komprehensif. Harus disadari bahwa
tanpa adanya perbaikan moral dan etika dari pejabat penegak hukum, keutuhan substansi dan struktur dari sistem hukum akan tidak memiliki nilai
yang berarti. Memperbaiki kinerja Sistem Peradilan Pidana Terpadu sebaiknya tetap memperhatikan ketiga hal tersebut.
C. Pendekatan melalui instrument United Nations Convention Against Corruption 2003
Indonesia telah turut menandatangani Konvensi ini dan telah diratifikasi pada bulan Maret tahun 2006 lalu, memberikan beberapa tipebentuk perlindungan hukum
dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi, yaitu 1 Protection of witnesses, Experts and Victims Pasal 32, 2 Protection of Reporting Persons Pasal 33,
dan 3 Protection of Cooperating Persons Pasal 37. Pasal 37 ini memiliki persamaan dengan ide yang dikemukakan oleh Jaksa Agung R.I., hanya legalitas
perlindungan ini tidak didasarkan asas Oportunitas. Disebutkan Pasal 37 bahwa terjemahan bebas:
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
Pasal 37 ayat 2: “Setiap Negara Peserta wajib mempertimbangkan memberikan
kemungkinan dalam kasus-kasus yang tertentu, mengurangi hukuman dari seorang tertuduh yang memberikan kerjasama yang substansial
dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.
Pasal 37 ayat 3; “Setiap Negara Peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan, sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar Hukum Nasionalnya, untuk memberikan kekebalan immunity dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerjasama yang
substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini.”
Jadi, perlindungan terhadap Orang-orang yang bekerja sama dengan penegak hukum dikategorikan dengan 2 macam, yaitu bagi seorang Terdakwa
juga Terpidana dengan pemberian pengurangan hukuman mitigating punishment,
dan seorang Terdakwa dengan pemberian kekebalan dari penuntutan immunity from Prosecution, namun ini tetap sesuai dengan asas-asas hukum Nasional masing-masing
Negara Peserta. Jadi, idea implementasi Asas Oportunitas terhadap pelaku korupsi yang
kooperatif sebaiknya mempergunakan konsepsi Protection of Cooperating Persons. Konsep Protection of Cooperating Persons ini dilaksanakan di Eropa, seperti
Belanda dan Italia berupa diterapkan Saksi Mahkota kroongetuige tersangkaterdakwa yang dijadikan saksi karena mau membongkar kejahatan
terorganisasi teman-temannya. Imbalannya ialah ia dikeluarkan dari daftar terdakwa
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
dan dijadikan saksi, misalnya mau membongkar kejahatan korupsi, narkotika dan terorisme.
125
Dengan tidak jelasnya implementasi terhadap aturan-aturan tindak pidana korupsi yang sebenarnya telah menemui asas Lex Certa, hal ini memberikan
implikasi yang diskriminatif bagi KPK dalam menentukan kebijakan perlindungan hukum. Disatu sisi, para penerima dana-dana dari swastaaparatur negara diberikan
perlindungan hukum immunity for prosecution, tetapi disisi penerimaan dana yang mengembalikan dana itu kepada KPK diberikan suatu perlindungan hukum, tetapi ada
juga yang tetap dijadikan subyek tindak pidana korupsi, meski sesuai asas hukum Pidana, pengembalian dan tidaklah meniadakan strafbaar dari materiele daad yang
dilakukan oleh yang bersangkutan.
126
Bila dibandingkan dengan Pasal 37 UNCAC 2003 dalam kasus Mulyana W Kusuma, Formulasi “jebakan” atau “undercover” untuk mengungkapkan dugaan
Tindak Pidana Korupsi di luar mekanisme hukum yang berlaku. Pola ini hanya dimiliki dalam mengungkapkan perkara tindak pidana Narkotika dan Psikotropika
melalui Pasal 68 Undang-undang No. 22 Tahun 1997 dan Pasal 55 huruf a Undang-undang No. 5 Tahun 1997. Lagi pula, pola “jebakan” atau “undercover”
ini hanya dilakukan oleh aparatur penegak hukum itu sendiri, bukan dilakukan non-law enforcement offcier seperti halnya BPK dalam kasus Mulyana W. Kusuma.
Penegak Hukum yang melakukan undercover ini dinamakan “Agent Provocateur”
125
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: Radja Grafindo, 2003, hal. 237.
126
Indriyanto Seno Adji, Op.Cit., hal. 461.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
yang seharusnya adalah Uitlokker Pembujuk sebagai Subyek Tindak Pidana atas dasar Pasal 55 ayat 1 KUHP, hanya saja pola ini dikesampingkan berdasarkan Asas
Oportunitas yang tidak dimiliki oleh KPK. Dalam kasus Mulyana W. Kusumah ini, Chairansyah bukanlah subyek
perlindungan hukum, tetapi subyek Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud undang-undang, karenanya apabila tetap diberikan perlindungan hukum,
maka Mulyana hanya sebagai hasil pola sikap “Victim of Conspiracy” yang menurut sistem anglo saxon memiliki justifikasi sebagai alasan adequate meniadakan
punishment, karena penegak hukum dianggap melakukan illegal secured evidence. Konsep Pengesampingan perkara terhadap Chairansyah tidaklah tepat dengan
didasarkan alasan Asas Oportunitas andai Kejaksaan Agung yang melakukan hal ini, pula tidak dapat dikatakan sebagai Protection of Reporting Persons, tetapi justifikasi
ini lebih terhadap Protection of Cooperating Persons sebagai dasar introdusir dalam system Hukum Pidana Indonesia kelak, karenanya konsep Protection of Cooperating
Persons memiliki keterkaitan dengan Saksi Mahkota dengan penerapan ajaran “Deelneming” Penyertaan pada Pasal 55 KUHP. Berdasarkan uraian diatas, hemat
peneliti sudah waktunya Bangsa Indonesia mereview kembali semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya pemberantasan korupsi dan
menyelaraskannya dengan UNCAC’2003 yang notabene telah diratifikasi melalui Undang-undang No. 7 Tahun 2006.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Asas pembalikan beban pembuktian menurut Undang-undang No. 20 Tahun
2001 diatur dalam Pasal 37 A dan 38 A. Penerapan Pasal 37 A hanya dapat dipergunakan di dalam persidangan perkara korupsi bagi mereka yang diduga
melakukan delik gratifikasi ataupun suap khusus Pegawai Negeri dalam arti luas atau Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B
Undang-undang No. 20 Tahun 2001. Tindak pidana ini gratifikasi ataupun suap pendeteksiannya selain tertangkap tangan, kecuali gratifikasi hanya
dapat dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK, yakni melalui mekanisme pelaporan LHKPN. Sedangkan Pasal 38 A, penerapannya hanya
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perampasan harta benda Terdakwa yang didakwa melakukan salah satu dari Pasal 2 sd Pasal 16 Undang-undang
No. 31 Tahun 1999. Tuntutan perampasan harta benda tersebut pun diajukan Penuntut Umum pada saat membacakan Tuntutan Requisitoir dalam perkara
pokoknya dan hal ini bisa dilakukan bila dalam proses penyidikan berkas perkara, Penyidik melakukan penyitaan terhadap harta benda milik Terdakwa
yang diperoleh setelah tindak pidana korupsi tersebut dilakukan atau patut diduga bahwa harta benda yang dimiliki Terdakwa adalah harta benda yang
diperolehnya dari kejahatan korupsi.
Andy Faisal : Analisis yuridis terhadap undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pembalikan beban pembuktian dalam kerangka Optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, 2008.
USU Repository©2008