Kebiasaan yang dimaksud dalam Pasal 1339 KUHPerdata ialah kebiasaan pada umumnya gewonte dan kebiasaan yang diatur dalam Pasal 1347 KUHPerdata
meupakan kebiasaan setempat khusus atau kebiasaan yang lazom berlaku digolongan tertentu bestending gebruikelijk beding
22
Ketentuan mengenai pengaturan asas kepatutan dapat ditemukan di dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi
perjanjian, dimana asas ini ditekankan pada ukuran mengenai isi dalam perjanjian. Dalam terapan praktis, asas kepatutan ini selalu dibandingkan dengna kesafaran
hukum masyarakat. Asas kepatutan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam
masyarakat .
11. Asas Kepatutan
23
C. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ukuran kepatutan dalam
masyarakat, pedoman utamanya adalah rasa keadilan dalam masyarakat.
Suatu perjanjian agar dapat mengikat dan tidak menemui hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Di
dalam Pasal 1320 KUHPerdata, disebutkan adanya empat syarat yang harus dipenuhi agar suatu perjanjian sah, yaitu :
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
22
Ibid. Hlm. 113
23
Ibid. Hlm. 115
Universitas Sumatera Utara
2. cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3. mengenai suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal
24
Keempat unsur tersebut selanjutnya dakam doktrin ilmu hukum yang berkembang digolongkan ke dalam :
.
- unsur subjektif, yaitu dua unsur pokok yang menyangkut subjek pihak
yang mengadakan perjanjian. -
Unsur objektif, yaitu unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian
25
Apabila salah satu unsur syarat subjektif tidak terpenuhi maka perjanjiannya dapat dibatalkan, dan apabila salah satu unsur syarat objketif tidak terpenuhi maka
perjanjian tersebut batal demi hukum. Perjanjian dapat dikatakan sah jika telah memenuhi semua ketentuan yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata.
Untuk lebih jelas lagi, maka syarat-syarat tersebut akan diuraikan satu persatu sebagai berikut :
.
a. Syarat Subjektif
Syarat subjektif dalam perjanjian yang terdapat dalam dua macam keadaan yakni : a.1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Dengan sepakat yang dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian telah berspekat, setuju, seiya-sekata mengenai pokok-pokok dari
perjanjian yang diadakan. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang lain, juga telah
24
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Cetakan ke-dua puluh lima. Pradyanya Paramitha. Jakarta. 1992. Hlm. 339
25
Kartini Mulyadi Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2004. Hlm. 93
Universitas Sumatera Utara
dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Pokok perjanjian itu berupa objek perjanjian dan syarat-syarat
perjanjian. Sepakat secara harfiah adalah persetujuan dari pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian tersebut. Sehingga secara langsung dapat juga berarti bahwa persetujuan itu sendiri lahir karena pihak merasa dapat menarik manfaatnya atau
memperoleh nilai tambah. Pengertian dari segi juridisnya adalah kebebasan para pihak untuk memberikan
persetujuan. Secara mendalam dapat dikatakan, walaupun secara formal telah dapat dibuktikan bahwa perjanjian tersebut dibuat dengan terlebih dahulu adanya
kata sepakat. Akan tetapi apabila dalam pelaksanaan suatu perjanjian berdasarkan gugatan salah satu pihak yang ada dalam perjanjian tersebut ataupun pihak lain
yang merasa berkepentingan dengan adanya perjanjian tersebut, ternyata setelah diadakan penelitian dapat diketahui bahwa kata sepakat itu lahir karena adanya
penipuan atau adanya berbagai cara yang terselubung maupun merupakan hasil dari bentuk kekerasan atau paksaan, yang direkayasa sehingga tidak berbentuk
nyata. Dengan diberlakukakannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti
bahwa para pihak pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Atau dengan kata lain, para pihak dalam sautu perjanjian harus mempunyai kemauanyang
bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Pernyataan ini dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam, tetapi maksudnya meyetujui
apa yang dikehendaki pihak yang lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini A. Qirom S. Meila berpendapat bahwa kata sepakat mungkin pula diberikan karena penipuan, paksaan, atau kekerasan. Dalam keadaan inipun
mungkin diadakan pembatalan oleh pengadilan atau tuntutan dari orang-orang yang berkepentingan
26
Penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan- keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk
membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Menurut
Yurisprudensi, tak cukuplah kalau orang itu hanya melakukan kebohongan .
Dari Pasal 1321 KUHPerdata dapat ditarik sebuah kesimpulan yang dimaksud dengan paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa pschis, jadi bukan
paksaan fisik. Misalnya, salah satu pihak karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Dimana yang diancamkan itu harus suatu
perbuatan terlarang. Apabila ancaman tersebut merupakan tindakan yang dibenarkan peraturan perundang-undangan, seperti ancaman akan digugat didepan
hukum, maka tidak dapat dikatakan suatu paksaan. Kekhilafan terjadi, apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari
apa yang diperjanjikan atau sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian
tersebut. Kekhilafan haruslah sedemikian rupa, hingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.
26
A. Qirom. S. Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Dan Hukum Jaminan. Liberty. Yogyakarta. 1985. Hlm. 10
Universitas Sumatera Utara
mengenai sesuatu hal saja, paling sedikit harus ada suatu rangkaaian kebohongan atau suatu perbuatan yang dinamakan tipu muslihat
27
Dari sudut pandang keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian dan nantinya akan terikat oleh
. Dalam ketentuan Pasal 1449 KUHPerdata menyatakan bahwa “Perjanjian-
perjanjian yang dibuat dengan paksaan, kesilapan atau penipuan, menerbitkan hak tuntutan untuk membatalkannya”.
Dengan demikian, maka ketidakbebasan seseorang dalam memberikan perizinan pada suatu perjanjian, memberikan hak kepada pihak yang tidak bebas
dalam memberikan sepakatnya itu untuk meminta pembatalan perjanjiannya. Pembatalan dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa berkepentingan.
a.2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian Pihak yang membuat suatu perjanjian harus cakap menuru hukum. Pada
asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum dan dapat membuat perjanjian.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian merupakan hal yang penting bagi para pihak, sebab perjanjian menimbulkan kewajiban untuk menyerahkan benda
kepada orang lain dan kewajiban untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Inilah yang dikenal sebagai prestasi dalam perjanjian. Oleh karena itu, orang-orang yang
mengadakan perjanjian harus cakap, sebab perjanjian itu nantinya akan mengikat para pihak sehingga harus mempunyai kesadaran tanggung jawab yang
dibebankan kepadanya.
27
R. Subekti, Hukum Perjanjian. Op.cit. Hlm. 24
Universitas Sumatera Utara
perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menyadari benar tanggung jawab yang diterima akibat dari perjanjian tersebut. Sedangkan dari ketertiban
umum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah orang yang sungguh-sungguh berhak
bebas berbuat dengan harta kekayaannya. Dalam ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata “ Tiap orang berwenang untuk
membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu”. Pada dasarnya setiap orang yang telah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap
menurut hukum untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan terjadinya perjanjian, kecuali terhadap orang-orang yang oleh undang-undang
dipandang tidak cakap untuk melakukan perbuatan tersebut. Bila ketentuan tersebut tidak dipenuhi oleh para pihak maka dengan sendirinya perjanjian
tersebut tidak mungkin ada. Ketentuan tersebut masih pula dibatasi oleh Pasal 1330 KUHPerdata yang
mengatur bahwa mereka tidak termasuk dalam golongan orang-orang sakit ingatan, bukan termasuk orang yang bersifat pemboros dan ditetapkan oleh hakim
berada di bawah pengampuan ataupun perempuan bersuami. Berdasarkan ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata tersebut, dapat ditentukan orang-orang yang
tidak cakap untuk membuat perjanjian yaitu orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, dan orang-orang perempuan, dalam hal-hal
yang ditetapkan oleh undang-undang telah melarang membuat perjanjian- perjanjian tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Batasan tentang usia dewasa memang terdapat perbedaan dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 330 KUHPerdata, seseorang telah
dikatakn dewasa apabila sudah berumur 21 tahun atau sudah pernah menikah. Apabila belum memenuhi syarat tersebut, mereka masih dianggap belum dewasa
dan harus diwakili oleh orang tuanya atau walinya atau kuratornya bagi mereka yang berada dibawa pengampuan. Akan tetapi bukan tidak mungkin terjadi suatu
perjanjian yang dibuat oleh orang yang berusia dibawah usia 21 tahun dan tetap diakui keabsahannya. Pada kenyataannya hal ini tidak begitu diperhatikan oleh
para pihak ataupun para penegak hukum. Meskipun demikian, ketentuan Pasal 330 KUHPerdata tersebut tidak selalu
menjadi pedoman,karena ada beberapa pendapat sarjana yang berbeda tentang batasan kedewasaan yang ditentukan KUHPerdata tersebut. Berkenaan dengan
hal ini, Imam Sudiyat mengatakan bahwa kedewasaan seseorang menurut Hukum Adat dan Hukum Islam adalah seorang itu sudah akil baligh, yang sudah biasa
mencapai umur 15 tahun atau lebih mencapai perampungan status mandiri, lagi pula sudah berumah tangga
28
“Dalam sistem hukum perdata barat hanya mereka yang telah berada di bawah pengampuan saja yang dianggap tidak dapat melakukan perbuatan-
perbuatan hukum secara sah. Sedangkan orang-orang yang kurang sehat atau tidak sehat akal pikirannya yang tidak berada di bawah pengampuan
. Selain orang-orang yang belum dewasa dianggap tidak cakap dalam berbuat,
demikian juga halnya dengan orang-orang yang berada di bawah pengampuan. Dalam hubungan ini Syahrani berpendapat :
28
Imam Sudayat, Hukum Adat Dan Sketsa Adat. Liberty. Yogyakarta. 1981. Hlm. 78
Universitas Sumatera Utara
tidak demikian, perbuatan hukum yang dilakukannya tidak dapat dikatakan tidaklah hanya didasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata. Tetapi perbuatan
hukum itu tidak dapat dibantah dengan alasan tidak sempurnanya kesepakatan yang diperlakukan untuk sahnya perjanjian sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata”.
29
b. Syarat Objektif
Kecakapan seorang perempuan dalam membuat suatuperjanjian dijelaskan oleh Pasal 108 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perempuan yang bersuami
yang akan membuat perjanjian memerlukan bantuan dan izin dari suaminya itu. Perempuan yang telah menikah dianggap tidak cakap membuat perjanjian
sehingga harus mendapat bantuan dan izin suaminya. Mengenai hal tersebut, perempuan yang telah menikah atau telah memiliki
suami sejak dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA Nomor 3 tahun 1963 yang menganjurkan kepada para hakim untuk tidak berpedoman
beberpa pasal dalam KUHPerdata karena tidak sesuai lagi dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Syarat objektif dalam perjanjian yang terdapat dalam dua macam keadaan yakni : b.1. Mengenai suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, merupakan objek perjanjian. Prestasi harus
tertentu atau setidak-tidaknya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh itdak disebutkan asal dapat
dihitung atau ditetapkan. Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat
29
Ridwan Syahrini, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata. Alumni. Bandung. 1985. Hlm. 217
Universitas Sumatera Utara
ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban para pihak apabila timbuk perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Hal ini merupakan isi
daripada Pasal 1333 KUHPerdata. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah walaupun bentuk fisik objek
perjanjian tidak kelihatan secara langsung, namun para pihak disyaratkan telah mengetahui apa yang menjadi standarnya. Apabila perjanjian mengenai barang
maka barang tersebut haruslah barang-barang yang ada dalam perdagangan. Akan tetapi, ukuran yang ada dalam dunia perdagangan sekarang ini telah berkembang
sedemikian rupa dan sangat bergantung pada kalangan yang memperdagangkannya
Dengan kata lain, bahwa suatu perjanjian haruslah memiliki objek tertentu sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda
yang sekarang ada dan nanti akan ada. Objek perjanjian tidak harus semula individual tertentu, tetapi cukup kalau pada saat perjanjian ditutup jenisnya
tertentu
30
Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata. Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu perjanjian tanpa
sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan”. KUHPerdata tidak memberi pengertian maupun
. Dengan demikian batasan suatu hal tertentu telah berubah yaitu asal saja bukan sesuatu yang secara nyata dilarang dalam undang-undang, kepatuhan
atau pun kebiasaan untuk diperdagangkan. b.2. Suatu sebab yang halal
30
J. Satrio, Op.cit. Hlm. 183
Universitas Sumatera Utara
definis dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Hanya saja dijelaskan pada Pasal 1335 KUHPerdata bahwa yang disebut sebab yang halal
adalah bukan tanpa sebab, bukan sebab palsu dan bukan sebab yang terlarang. Dalam uraian mengenai asas kebebasan berkontrak telah disinggung bahwa
pada dasarnya, hukum tidak memperhatikan apa yang ada dalam benak ataupun hati seseorang. Hukum hanya memperhatikan apa yang tertulis, yang pada
pokoknya menjadi perikatan yang wajib dilaksanakan oleh debitor dalam perjanjian tersebut. Oleh karena itu, maka selanjutnya dalam isi rumusan Pasal
1336 KUHPerdata menyatakan “Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tapi ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan itu, perjanjian itu adalah sah”.
Dari ketentuan pasal tersebut jelas dapat dilihat bahwa memang benar pada dasarnya undang-undang tidak pernah mempersoalkan apakah yang menjadi
alasan atau dasar dibentuknya perjanjiaan tertentu, yang diantara para pihak mungkin saja perjanjian yang dibuat berdasarkan alasan yang tidak mutlak antara
kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang
mengadakan perjanjian,yang diperhatikan atau yang diawasi oleh undang-undang ialah isi perjanjian yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah
dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.
Akibat hukum perjanjian yang berisi sebab atau causa yang tidak halal ialah bahwa perjanjianitu batal demi hukum. Dengan demikian tidak ada dasar untuk
menuntut pemenuhan perjanjian, meskipun diajukan ke hadapan hakim.
Universitas Sumatera Utara
D. Jenis-Jenis Perjanjian