Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menikah dan membina kehidupan rumah tangga merupakan salah satu aktivitas sentral dari manusia yang bertujuan untuk memperoleh suatu kehidupan yang bahagia dan paripurna. Menurut Duvall Miller 1985 pernikahan merupakan suatu bentuk hubungan antara laki-laki dan perempuan yang meliputi hubungan seksual, legitimasi untuk memiliki keturunan memiliki anak dan penetapan kewajiban yang dimiliki oleh masing-masing pasangan. Pernikahan yang bahagia merupakan impian bagi setiap pasangan yang menikah. Idealnya di dalam sebuah pernikahan menghadirkan kedekatan, komitmen, persahabatan, afeksi, pemenuhan kebutuhan seksual, dan kesempatan untuk menumbuhkan emosional gardiners, et.al,. 1998; Myers, 2000 dalam Papalia, 2006 Kenyataannya pernikahan bukanlah suatu hal yang mudah untuk dialui. Banyak dari pasangan menikah menemukan bahwa pernikahan yang mereka jalani tidak sesuai dengan yang diharapkan Degenova, 2008. Tidak ada pernikahan tanpa masalah baik kecil ataupun besar. Pada setiap pernikahan walaupun sudah matang dipersiapkan dan cukup mendalam di bidang perkenalan pribadi, juga tidak luput dari pertengkaran pribadi atau perselisihan – perselisihan paham Gunarsa, 2003. Konflik-konflik yang ditemui dalam menjalani pernikahan merupakan hal yang wajar terjadi dalam sebuah pernikahan, namun ketidakamampuan pasangan Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009. suami istri untuk mengatasi konflik- konflik yang terjadi dalam pernikahannnya dapat mengakibatkan kegagalan dalam hubungan pernikahannya Papalia,2005. Argyle dan Henderson dalam Hurlock,1993 menjelaskan bahwa terdapat rangkaian keributan atau krisis yang tidak terselesaikan dalam rumah tangga yang semakin lama menjadi masalah yang meningkat serius dan dapat mengganggu hubungan pernikahan. Kegagalan pasangan suami istri untuk mempertahankan keharmonisan pernikahannya menjadi alasan untuk pasangan memilih perceraian menjadi satu alternatif penyelesaian masalah pernikahan yang terakhir walau berat dan pahit. Kenyataannya, akhir-akhir ini, perceraian di Indonesia semakin banyak dipilih oleh para pasangan untuk menyelesaikan konflik pernikahan yang mereka hadapi. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya angka perceraian di Indonesia. Hal tersebut diungkapkan oleh Dirjen Bimas Islam Departemen Agama Nazaruddin Umar yang menyatakan bahwa gejolak yang mengancam kehidupan struktur keluarga ini semakin bertambah jumlahnya pada tiga tahun terakhir ini. Setiap tahunnya ada 2 juta perkawinan, tetapi yang memilukan perceraian bertambah menjadi dua kali lipat, setiap 100 orang yang menikah, 10 pasangan diantaranya bercerai www.eramuslim.com . Senada dengan pernyataan Dirjen Bimas Islam Departemen Agama, pada tahun 2007, tercatat sedikitnya 200 ribu pasangan melakukan pisah ranjang alias cerai dan saat ini angka perceraian di Indonesia sudah menjadi rekor tertinggi di kawasan Asia Pasifik www.lintasberita .com Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009. Meningkatnya jumlah perceraian menunjukkan bahwa sikap negatif terhadap perceraian sudah berkurang jika dibandingkan dengan sepuluh tahun yang lalu, namun sebuah perceraian tetap merupakan hal yang bersifat traumatis bagi kebanyakan individu yang mengalaminya Matlin,2005. Indonesia sendiri yang masih identik dengan budaya ketimurannya masih memberikan stigma negatif terhadap perceraian. Atwater 1983 mengemukakan bahwa perceraian merupakan putusnya pernikahan yang melibatkan penyesuaian psikologis, sosial dan keuangan. Oleh karena itu, perceraian bukanlah hal yang mudah dilalui bagi individu yang mengalaminya. Hurlock 1980 mengemukakan bahwa efek traumatik yang ditimbulkan akibat perceraian biasanya lebih besar daripada efek kematian, karena sebelum dan sesudah perceraian sudah timbul rasa sakit dan tekanan emosional. Hal ini juga dirasakan oleh salah seorang wanita yang bercerai: “Ya sakit, ya marah, ya menderita lah..namanya..pisah kek gitu ya… tapi dikuatkan la, jadi cemana lagi coba..” P2.W1k.564-567hal.87 Perceraian bukanlah merupakan peristiwa tunggal tetapi merupakan suatu proses yang didalamnya terdapat pengalaman – pengalaman yang penuh dengan stres yang dimulai setelah perpisahan secara fisik dan berlanjut setelahnya Morrison Cherlin, 1995 dalam Papalia, 2005. Perceraian yang mengakibatkan perubahan baru dalam kehidupan membutuhkan penyesuaian di dalamnya Stewart Brentano, 2006. Penyesuaian yang harus dilakukan terhadap perubahan – perubahan akibat perceraian merupakan hal yang kompleks dan proses tersebut memakan waktu yang lama Fire, 2000. Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009. Degenova 2008 mengelompokkan delapan ketegori penyesuaian yang dihadapi setelah perceraian berlangsung, yaitu trauma emosional, sikap masyarakat terhadap perceraian, kesendirian dan social readjustment, penyesuaian terhadap pengaturan orang tua, keuangan, pengaturan tanggung jawab dan peran- peran terhadap pekerjaan, kontak dengan mantan pasangan, dan hubungan dengan keluarga. Dalam beberapa kondisi perceraian merupakan pengalaman yang mengganggu secara emosional dan dalam kondisi terburuknya perceraian mengakibatkan tingginya tingkatan shock dan disorientasi, khususnya setelah perpisahan terjadi Degenova, 2008. Selanjutnya, trauma akibat perceraian akan semakin dirasakan apabila salah satu pasangan tidak menginginkan adanya perceraian. Trauma akibat perceraian terlihat pada Misnah, salah seorang wanita desa yang bercerai Dah tak bilang waktu diawal- awal dulu..sering kali la..terasa kali la. Penderitaan itu cemana lagi, paling awak bisa nangis sendiri. sedangkan anak kalo ujan- ujan teringat bapak..rasanya aku kalo ujan ujan gini rasanya senang. Itu kan..kalo anak bilang gitu kan terasa. Rasanya oalah..anakku kecarian juga..kehilangan orang tuanya. P2.W3k.546-555hal. 143 Sikap masyarakat terhadap perceraian juga mempengaruhi seseorang yang bercerai menghadapi perceraiannya. Hal ini terlihat dalam penelitian Amato 1994 dalam Cohen Savaya, 2003 terhadap wanita Indian yang bercerai bahwa stigma negatif masyarakat terhadap perceraian menyebabkan konsekuensi perceraian yang dialami menjadi sangat sulit jika dibandingkan dengan wanita Amerika yang bercerai. Bukan hanya sikap masyarakat, sikap individu yang bercerai juga mempengaruhi penyesuaian perceraian yang dialaminya setelah Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009. bercerai. Bagi individu yang menganggap bahwa perceraian merupakan suatu kegagalan moral akan lebih mudah merasakan stres dan depresi Stewart Brentano, 2006. Perasaan kesepian juga akan dirasakan setelah perceraian terjadi Degenova, 2008. Oleh karena itu dukungan sosial dari kerabat dan teman sangat dibutuhkan dan kehadiran dukungan sosial akan sangat membantu individu yang bercerai dan mengurangi dampak negatif perceraian terhadap kesejahteraan psikologis Williams Alexandra, 2006. Perceraian juga menyisakan konflik bagi orang tua yang tidak mendapat hak asuh terhadap anak. Kunjungan orang tua yang tidak mendapatkan asuh seringnya menimbulkan konflik dan mengurangi kedekatan serta kontak antara anak dan orang tuanya, walaupun demikian wanita yang mendapatkan hak asuh anak tetap sering melibatkan suami untuk urusan anak- anak Degenova, 2008. Masalah keuangan merupakan hal yang sangat riskan, khususnya pada wanita. Setelah bercerai wanita umumnya mengalami penurunan pendapatan yang serius Brteberg Tjotta, 2005. Dari beberapa survey yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pendapatan wanita yang bercerai menurun, rata- rata 30 dibandingkan dengan wanita yang menikah. Sebaliknya pada laki- laki yang bercerai mengalami peningkatan rata- rata 28 sampai 48 , hal ini disebabkan karena setelah bercerai umumnya anak- anak di asuh oleh ibu Stewart Brentano, 2006. Penurunan ekonomi juga dirasakan oleh Mai, salah seorang wanita desa yang bercerai yang mengakibatkan ia menambah pekerjaan setelah bercerai. Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009. Ya.. ibu pigi. Kadang musim menanam padi, ibu menanam padi. Musim merumput, ibu merumput. Musim cari padi ke sawah, cari padi. Kalo gak menyuci yang kek tadi malam. Itulah yang ibu cari makan untuk ni yang halal aja P1.W1k.352-359hal. 9 Perceraian juga membawa perubahan yang radikal dalam peran sebagai orang tua dan menjadi sulit khususnya pada wanita yang menganut sistem pernikahan tradisional dimana lelaki yang menjadi sumber perekonomian keluarga Stewart Brentano, 2006. Setelah perceraian terjadi, orang tua akan dihadapkan dengan pekerjaan yang harus dikerjakan oleh dua orang dan mengambil alih peran mantan pasangan sebelum perceraiannya terjadi, konsekuensinya orang tua yang mengasuh anak memiliki waktu yang kurang dengan anak, kurang mendengarkan, dan sering mengalami masalah dalam hal mengontrol dan membimbing anak- anak Degenova, 2008. Kontak dengan mantan pasangan juga akan berkurang setelah perceraian khususnya jika timbul rasa kemarahan pada satu pasangan terhadap pasangan lainnya, begitu juga halnya dengan interaksi terhadap keluarga mantan pasangan. Sebaliknya, interaksi dengan keluarga akan semakin meningkat setelah perceraian terjadi Degenova, 2008. Kemampuan penyesuaian yang dihadapi setelah perceraian akan berbeda pada setiap individu. Bagi individu yang tidak mampu melakukan penyesuaian terhadap perceraiannya akan menimbulkan dampak negatif dalam kehidupannya. Hal ini dikemukakan oleh Amato 2000 bahwa kegagalan individu untuk menyesuaikan diri terhadap perceraiannya akan menimbulkan efek negatif, seperti pengalaman yang penuh dengan stres, meningkatnya emosi dan perilaku negatif, kesehatan yang semakin memburuk, ketidakmampuan berfungsi dengan baik Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009. dalam keluarga yang baru, pekerjaan, ketidakmampuan mengembangkan idenitas, dan gaya hidup yang masih terikat dengan pernikahan sebelumnya Morgan dalam Amato, 2000. Dampak negatif yang ditimbulkan akibat perceraian dialami hampir sebagian besar indvidu yang bercerai baik secara personal maupun sosial Amato,2000. Stewart Brentano 2006 mengemukakan bahwa wanita yang bercerai menghadapi permasalahan yang tidak begitu parah jika dibandingkan dengan pria, tetapi berlangsung lama. Pada beberapa tahun setelah bercerai dilaporkan bahwa wanita mengalami level distress yang lebih tinggi dan depresi dibandingkan pria. Lamanya efek negatif dari perceraian pada wanita juga dibuktitakan oleh studi longitudinal yang dilakukan oleh Lorenz, dkk pada tahun 2006. Sebelumnya, pada tahun 1996, Lorenz, dkk telah melakukan penelitian terhadap wanita di daerah pedesaan Ohio, Amerika Serikat dan hasilnya menunjukkan bahwa wanita yang bercerai memiliki level yang lebih tinggi terhadap penyakit dan simptom- simptom depresi. Kemudian pada tahun 2006 penelitian dilakukan kembali pada sampel yang sama dan ditemukan bahwa para wanita yang bercerai tersebut masih memiliki level yang lebih tinggi terhadap penyakit dan simptom- simptom depresi dibandingkan dengan wanita yang menikah. Tidak semua wanita yang bercerai mengalami efek negatif dalam waktu lama. Secara umum, individu yang bercerai membutuhkan waktu tiga sampai empat tahun untuk melakukan penyesuaian terhadap perceraian yang dialaminya Stewart Brentano, 2006. Kondisi sosiodemografis seperti, pendidikan, Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009. pekerjaan, dan pendapatan mempengaruhi penyesuaian seorang wanita dalam melakukan penyesuaian terhadap perceraiannya Amato, 2000 Secara umum masyarakat desa hidup dibawah garis kesejahteraan dan berada dalam kondisi yang miskin, khusunya wanita Listiani, 2002. Seperti halnya masalah pendidikan. Umumnya, wanita desa memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Selain karena faktor ekonomi yang rendah, di desa masih terdapat pandangan bahwa anak perempuan tidak perlu memiliki pendidikan yang tinggi Sajogyo, 1996. Masalah status pendidikan juga tidak jauh berbeda dengan pekerjaan. Secara umum wanita desa tidak bekerja secara tetap, seperti halnya pegawai. Umumnya, wanita desa bekerja sebagai petani, pengrajin, ataupun berternak yang penghasilan dan pekerjaannya tidak tetap setiap bulannya, hal ini tentunya mempengaruhi tingkat pendapatannya setiap bulan Listiani, 2002. Kondisi wanita desa yang secara umum memiliki pendapatan, pekerjaan dan pendidikan yang rendah akan mempengaruhi penyesuaian terhadap perceraiannya. Hasil penelitian yang dilakukan Cohen Savaya 2003 menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan dan pendapatan yang dimiliki berkorelasi positif dengan ketidakmampuan individu yang bercerai untuk menyesuaikan diri terhdap perceraiannya, yang dilihat dari lebih tingginya simptom- simptom depresi pada individu dengan tingkat pendidikan dan pendapatan rendah dibandingkan dengan individu dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang tinggi. Amato 2000 juga mengemukakan hal yang sama, semakin rendah pendidikan dan tidak memiliki pekerjaan akan mempersulit seorang wanita untuk menyesuaikan diri terhadap perceraiannya. Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009. Perceraian merupakan suatu proses yang melibatkan penyesuaian di dalamnya. Sejalan dengan hal tersebut, rendahnya status pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan yang dimiliki wanita desa akan mempengaruhi penyesuaian setelah perceraian yang dihadapi. Konsekuensinya, ketidakmampuan seorang wanita desa menyesuaikan diri setelah perceraiannya akan berdampak negatif terhadap psikologisnya. Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas peneliti ingin mengetahui bagaimana penyesuaian perceraian pada wanita desa yang bercerai.

B. Perumusan Masalah