yang halal adalah yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan dan ketertiban umum. Poin tidak bertentangan dengan perundang-
undangan inilah yang ditekankan dalam POJK tersebut. Kemudian dalam ayat 3 dijelaskan hal-hal yang tidak boleh
dicantumkan dalam kontrak baku sebagai berikut: a.
Menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen;
b. Menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak menolak
pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk danatau layanan yang dibeli;
c. Menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku Usaha Jasa
Keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh
Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan;
d. Mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen, jika Pelaku
Usaha Jasa Keuangan menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk danatau layanan yang dibeli oleh Konsumen, bukan merupakan tanggung
jawab Pelaku Usaha Jasa Keuangan;
e. Memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk mengurangi
kegunaan produk danatau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan;
f. Menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan,
lanjutan danatau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam masa Konsumen memanfaatkan produk
danatau layanan yang dibelinya; danatau
g. Menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku Usaha Jasa
Keuangan untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk danatau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara
angsuran.
54
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN KONTRAK BAKU ASURANSI SYARIAH
A. Analisis Isi Kontrak Baku Menurut Prinsip Syariah
Penggunaan kontrak baku dalam persfektif hukum Islam tidak dilarang, sebagaimana tidak dilarang juga oleh peraturan perundang-undangan. Akan
tetapi kontrak baku yang dibuat harus memenuhi prinsip-prinsip hukum Islam. Bebas dari unsur gharar, riba, maysir, zalim dan objek yang dilarang oleh
hukum Islam. Kerelaan peserta menanda tangani polis, sebagai tanda persetujuannya
untuk bersepakat mengikatkan diri kepada perusahaan. Kerelaan tersebut dianggap sah selama tidak diiringi dengan tipuan dan perubuatan curang lainnya,
sehingga dapat berakibat kerugian bagi pemegang polis.
1. Penggunaan Akad Tabarru’
Pengaturan kesyariahan usaha asuransi yang berbasis syariah telah banyak dikeluarkan oleh DSN-MUI. Fatwa tersebut wajib diterapkan oleh
lembaga usaha asuransi syariah diluar ketentuan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam perjalanan bisnis termasuk di dalamnya
dalam polis. DSN-MUI mengeluarkan fatwa Nomor 53DSN-MUIIII2006 tentang
Akad Tabarru’ Pada Asuransi syariah menyatakan bahwa, akad tabarru’
harus ada dalam setiap produk asuransi syariah. Semua produk asuransi
syariah harus mencantumkan ketentuan akad tabarru’ tersebut dalam setiap
polis. Dalam fatwa di atas dijelaskan bahwa dalam sebuah polis minimalnya
harus mencantumkan beberapa hal berikut ini: a.
hak dan kewajiban masing-masing peserta secara individu;
b.
hak dan kewajiban antara peserta secara individu dalam akun tabarru’ selaku
peserta dalam arti badankelompok;
c.
cara dan waktu pembayaran premi dan klaim;
d.
pilihan penempatan surplus underwrinting dari dana tabarru’.
Terkait dengan hal-hal yang harus dicantumkan dalam sebuah polis, dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18PMK.0102010 tentang
Penerapan Prinsip Syariah Pada Usaha Asuransi dan Reasuransi Syariah Pasal 8 ayat 1 menyatakan bahwa:
Akad Tabarru ’ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, wajib memuat
sekurang-kurangnya: a.
kesepakatan para Peserta untuk saling tolong menolong ta’awuni;
b. hak dan kewajiban masing-masing Peserta secara individu;
c. hak dan kewajiban Peserta secara kolektif dalam kelompok;
d. cara dan waktu pembayaran kontribusi dan santunanklaim;
e. ketentuan mengenai boleh atau tidaknya kontribusi ditarik kembali
oleh Peserta dalam hal terjadi pembatalan oleh Peserta; f.
ketentuan mengenai alternatif dan persentase pembagian Surplus Underwriting; dan
g. ketentuan lain yang disepakati.
Dari berbagai macam akad tabarru’ akad yang digunakan dalam
asuransi syariah adalah akad hibah, yang berarti bahwa dana yang telah