Force majeure tidak berarti membebaskan salah satu pihak bebas dari kewajibannya untuk melakukan prestasi secara permanen. Hal ini harus
disosialisakan oleh lembaga yang berwenang sehingga pemegang polis tidak terkecoh dengan klausula yang tercantum dalam polis. Harusnya alasan-alasan
tersebut harus dibatasi kadar force majeure yang dimaksud.
8. Ketentuan minimal isi kontrak
Pengaturan ketentuan ini sangat penting untuk menjamin hak-hak apa minimal apa saja yang harus dicantumkan dalam polis. Ketentuan minimal ini
berkaitan dengan transparansi. Selain PMK Nomor 18PMK.0102010 pengaturan standar minimal dalam polis diatur dalam Kepmenkeu Nomor
KMK Nomor 422KMK.062003 dalam bab tersendiri, yaitu pada bab III. Pasal 8 mengatur bahwa ada 14 ketentuan yang harus dimuat dalam
polis: a.
Saat berlakunya polis, b.
Uraian manfaat yang diperjanjikan, c.
Cara pembayaran premi, d.
Tenggang waktu grace period pembayaran premi, e.
Kurs yang digunakan untuk polis Asuransi dengan mata uang asing apabila pembayaran premi dan manfaat dikaitkan dengan mata
uang rupiah, f.
Waktu yang diakui sebagai saat diterimanya pembayaran premi, g.
Kebijakan perusahaan yang ditetapkan apabila pembayaran premi dilakukan melewati tenggang waktu yang disepakati,
h. Periode dimana pihak perusahaan tidak dapat meninjau ulang
keabsahan kontrak asuransi inceontestable period, i.
Tabel nilai tunai, bagi polis asuransi jiwa yang mengandung nilai tunai,
j. Penghentian pertanggungan, baik dari pihak penanggung maupun
dari pihak pemegang polis, termasuk syarat dan penyebabnya,
k. Syarat dan tata cara pengajuan klaim, termasuk bukti pendukung
yang diperlukan dalam mengajukan klaim, l.
Pemilihan tempat penyelesaian perselisihan, m.
Bahasa yang dijadikan acuan dalam hal terjadi sengketa atau beda pendapat, untuk polis yang dicetak dalam 2 dua bahasa atau
lebih.
Dari beberapa ketentuan di atas ada yang diatur dalam perlindungan konsumen. Keempat belas ketentuan di atas secara umum telah diterapkan
dalam polis asuransi syariah. Walaupun demikian, masih ada klausula yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yaitu terkait dengan
poin “k”. Ketentuan pengajuan klaim diatur lebih lanjut dalam peraturan ini
pada pasal 25 huruf a yang menyatakan bahwa: Memperpanjang proses penyelesaian klaim dengan meminta
penyerahan dokumen tertentu yang kemudian diikuti dengan meminta penyerahan dokumen lain yang pada dasarnya berisi hal yang sama.
Sebagaimana yang diatur dalam polis PT. Axa Mandiri pasal 9 angka 3 bagian 3.1 v dan vi pada dasarnya adalah sama, akte kematian dan surat
keterangan kematian yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang. Kedua pasal tersebut mengatur yang sama.
76
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa pemaparan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan dan sekaligus sebagai jawaban atas beberapa perumusan
masalahyang penulis berikan.
Pertama, menurut hukum Islam penggunaan kontrak baku tidak dilarang sebagaimana halnya juga dalam peraturan perundang-undangan tidak melarang
menggunakan kontrak baku. menurut peraturan perundang-undangan kontrak baku dapat digunakan selama tidak melanggar UUPK pasal 18 dan juga POJK-
PKSJK pasal 22. Dalam persfektif hukum Islam kontrak baku harus mencantumkan hal-hal yang telah difatwakan oleh DSN-MUI dan PMK Nomor
18PMK.0102010. Serta menjunjung tinggi asas kesetaraan dan keadilan. Kedua, polis yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi syariah masih
ditemukan pencantuman klausula-klasula yang telah dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Beberapa klausula yang dilarang penulis temukan.
Klausula yang mengatur pengalihan tanggung jawab atau kewajiban perusahaan kepada konsumen, penenolakan pengembalian uang, memberi kuasa untuk
melakukan tindakan sepihak, pemberian kewenangan untuk mengurangi kegunaan produk atau layanan, menyatakan tunduk pada peraturan baru,
tambahan, lanjutan danatau perubahan yang dibuat secara sepihak, pencantuman klausula yang sulit dipahami, dan penafsiran force majeure yang sangat luas.