Prinsip-prinsip asuransi syariah ASURANSI SYARIAH DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

dilakukan oleh anggota asuransi sendiri seperti melakukan penipuan terhadap klaim. Jika prinsip ini dilanggar terutama tertanggung dapat mengakibatkan pertanggungan menjadi batal. 13 8. Prinsip ganti rugi indemnity. Sebagaimana pada dasarnya asuransi ditujukan untuk menghilangkan atau meringankan resiko yang diderita oleh tertanggung karena terjadi peristiwa yang tak terduga. 9. Prinsip penyebab dominan proximate cause. Ada juga yang memberi istilah sebab aktif. 14 Peristiwa yang ditanggung dan dijamin oleh asuransi selama sesuai dengan apa yang diisi dalam perjanjian polis dan tidak dikecualikan dalam polis. Kejadian tersebut tidak ada intervensi suatu kekuatan lain, diawali dan bekerja dengan aktif dari suatu sumber baru dan indpenden. 15 10. Prinsip subrogasi. Jika tertanggung mengalami musibah, misalnya gedungnya terbakar, pihak ketiga yang melakukan pembakaran tersebut harus melakukan ganti rugi sebagaimana dalam hukum tanggung gugat dan membayar ke perusahaan, dan tertanggung tidak boleh lagi menerima ganti rugi dari pelaku tersebut. 11. Prinsip kontribusi contributional-muhasamah. 13 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h.263. 14 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h.263. 15 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h.263. Al-muhasamah adalah bentuk kerjasama di mana tiap-tiap anggota menanamkan modalnya dan akan memperoleh kompensasi atas saham sesuai dengan modal yang dia tanamkan. Selain dari sebelas prinsip yang dikemukakan di atas ada satu prinsip lagi yang penting dalam usaha asuransi syariah. Prinsip yang halal. Halal dari aspek akad, berarti bebas dari unsur: riba, gharar; 16 zalim, maysir judi, bukan terhadap barang yang diharamkan, tidak ada unsur maksiat, dan tidak ada risywah; 17

C. Akad-akad Asuransi Syariah

Sebagai sebuah mu’amalat, usahan asuransi berjalan berdasarkan akad yang dilakukan oleh penanggung dengan tertanggung, akad tersebut lazim disebut dengan polis. Akad sebagai ikatan antara para pihak diharuskan dalam sebuah perbuatan bisnis. Sebab, asuransi sebagai usaha harus didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak atau dalam bahasa lain dikenal dengan keridhoan yang ditunjukkan dengan adanya ijab dan kabul. 16 Gharar dalam pengertiannya adalah sesuatu yang tidak diketahui secara pasti, seperti membeli ikan yang masih di dalam kolam. Praktek seperti ini diharamkan oleh ulama dengan pertimbangan hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim, Tirmizi, Abu Daud, Nasai yang bersumber dari sahabat Abu Hurairah, yang mengatakan Rasulullah saw melarang jual beli gharar. Musthafa Dib Bugha mengatakan bahwa ulama fikih membagi gharar kedalam tiga bagian, yaitu, pertama, gharar katsîr, kedua, gharar yasîr, dan ketiga, gharar mutawassith. Musthafa Dib Bugha, Buku Pintar transaksi Syariah, h. 89. Sedangkan ulama Malikiah menjelaskan bahwa tidak semua gharar itu diharamkan ada yang masih dimaafkan sebagaimana dijelaskan oleh Husain hamid Hisan, apabila ada tiga unsur berikut, yaitu: 1 gharar-nya yasir; 2 tidak diniatkantidak dimaksudkan; 3 dalam keadaan darurat. Lihat Nandi Ramhman, Asuransi Dalam Pandangan Islam, Jakarta: Lembaga Pers Bekasi, 2003, h. 8 17 Lihat, Fatwa Dewan Syariah Nasional NO: 21DSN-MUIX2001, Tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah, dalam bagian pertama dalam putusan. Akad sebagai media yang menghubungkan penanggung dan tertanggung menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Usaha asuransi secara umum dijalankan berdasarkan dua bentuk akad. Akad tijari dan akad tabarru’. Akad tijari ditujukan kepada kontrak yang bersifat komersial. Sedangkan akan tabarru’ ditujukan kepada akad non-komersial. Dalam penjelasan ini penulis akan membagi kedua akad di atas menjadi bermacam-macam akad sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Kementrian Keuangan Nomor. 18PMK.0102010. 1. Akad tijari Asuransi tidak hanya terbatas pada akad yang bersifat sosial yang berdasarkan tolong menolong antar sesama anggota asuransi akan tetapi juga diperlukan keuntungan dari investasi sehingga dapat menarik keinginan masyarakat. a. Mudharabah Mudharabah istilah ini digunakan oleh mazhab Hanafi dan Hanbali ada juga yang menggunakan istilah al-Qirâdh istilah ini digunakan oleh mazhab Maliki dan Syaf’i, 18 secara etimologi berarti bahwa al- qath’ yang berarti memotong. Sedangkan terminologi berarti 18 Abdullah al- ‘Abâdî, Syarh Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, Cet. Ke-4. Kairo: Dâr al-Salâm, 2009, Jilid 4, h.1829. penyerahan modal kepada orang lain untuk diinvestasikan yang keuntungannya dibagi kepada pemilik modal dan pengelola modal. 19 Afzalurrahman mengatakan mudharabah adalah kontrak kemitraan yang berdasarkan pada prinsip bagi hasil dengan cara seseorang memberikan modalnya kepada orang lain untuk melakukan usaha dan kedua belah pihak membagi keuntungan atau memikul beban kerugian berdasarkan isi perjanjian bersama. 20 Pengertian mudharabah ditegaskan dalam PMK Nomor 18PMK.0102010 sebagai berikut: Akad Mudharabah adalah Akad Tijarah yang memberikan kuasa kepada Perusahaan sebagai mudharib untuk mengelola investasi Dana Tabarru ’ danatau Dana Investasi Peserta, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa bagi hasil nisbah yang besarnya telah disepakati sebelumnya. b. Mudharabah musytarakah Akad mudharabah musytarakah adalah kelanjutan dari akad mudharabah di atas. yang membedakan kedua akad ini terletak pada penanaman modalnya. Pada akad mudharabah modal hanya dari penanam modal sedangkan pengelola tidak ikut serta dalam menanamkan modalnya. Sedangkan mudharabah musytarakah pengelola dan penanam modal sama-sama menanamkan modal mereka. 19 Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, dalam Abdullah al- ‘Abâdî, Syarh Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, h.1829. 20 Agus Edi Sumanto, dkk., Solusi Berasuransi Lebih Indah Dengan Syariah, h.79. Pengertian ini diatur dalam PMK Nomor 18PMK.0102010 pasal 1 angka 11: Akad Tijarah yang memberikan kuasa kepada Perusahaan sebagai mudharib untuk mengelola investasi Dana Tabarru ’ danatau Dana Investasi Peserta, yang digabungkan dengan kekayaan Perusahaan, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa bagi hasil nisbah yang besarnya ditentukan berdasarkan komposisi kekayaan yang digabungkan dan telah disepakati sebelumnya. 21 Hal-hal yang harus dicantumkan dalam akad mudharabah musytarakah sekurang-kurangnya sebagai berikut: a. Hak dan kewajiban Peserta secara kolektif danatau Peserta secara individu sebagai shâhibul mâl pemilik dana; b. Hak dan kewajiban Perusahaan sebagai mudhârib pengelola dana termasuk kewajiban Perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan; c. Investasi yang diakibatkan oleh kesalahan yang disengaja, kelalaian atau wanprestasi yang dilakukan Perusahaan; d. Batasan wewenang yang diberikan Peserta kepada Perusahaan; e. Cara dan waktu penentuan besar kekayaan Peserta dan kekayaan Perusahaan; f. Bagi hasil nisbah, cara, dan waktu pembagian hasil investasi; 21 Bandingkan dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor. 50DSN-MUIIII2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah.