Penggunaan Akad Tabarru’ Analisis Isi Kontrak Baku Menurut Prinsip Syariah
a. Polis baku yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi syariah
menempatkan posisi peserta asuransi tidak memiliki hak suara. b.
Polis baku tidak memungkinkan kepada peserta asuransi untuk melakukan negosiasi kepada perusahaan asuransi. Walaupun demikian,
harusnya polis tersebut juga dapat memberikan hak suara kepada peserta asuransi untuk membicarakan surplus dana
tabarru’ tersebut. Selain permasalahan di atas terdapat juga permasalahan mengenai
pemgembalian dana tabarru’ kepada anggota yang berhenti sebelum waktu
perjanjian berakhir. Pada dasarnya dana tabarru’ tidak dapat dikembalikan
kepada peserta yang berhenti tersebut. Hal ini sejalan dengan Hadis Rasulullah saw:
هئيق ىلع ئقي بلكلاك هتبه ىف دئاعلا
Artinya: “Orang yang mengambil kembali barang yang telah dihibahkannya,
seperti anjing yang menjilat muntahnya.” Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan dana hibah tersebut
dikembalikan kepada peserta. Kemungkinan ini dilegitimasi sebagaimana dalam fatwa DSN-MUI Nomor 81DSN-MUIIII2011. Apabila peserta
sepakat dalam aturan mereka untuk mengembalikan dana hibah yang telah disetor oleh peserta yang mengundurkan diri tersebut, sebagaimana ditegaskan
dalam PMK Nomor. 18PMK.0102010 pasal 8 ayat 1 huruf e. Maka perusahaan asuransi harus mengembalikan dana tersebut. Sebab, dana hibah
adalah sepenuhnya hak peserta asuransi.
Untuk mengatur dana hibah tersebut peserta berwenang untuk membuat aturan yang mereka sepakati. Apabila mereka menyerahkan
kewenangan tersebut kepada perusahaan asuransi maka kewenangan tersebut harus dinyatakan dengan tegas dalam akad. Oleh karenanya apabila
perusahaan menerima kewenangan tersebut harus ditindak lanjuti oleh perusahaan asuransi dengan membuat aturan tentang pengelolaan dana hibah
tersebut. Dalam polis Axa Mandiri dalam pasal 13 misalnya telah mengatur
pilihan alternatif mana yang diambil ketika surplus atau defisit underwrinting terjadi. Bahkan ditambahkan pemberian surplus kepada pemegang polis dapat
dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat tertentu dalam bentuk unit. Akan tetapi dalam jumlah tertentu yang sangat minim untuk dibagikan kepada
anggota asuransi maka surplus tersebut diberikan kepada lembaga amil zakat yang berwenang.
Pasal 13 angka 4 menjelaskan bahwa: “dalam hal pembagian surplus underwriting tidak melebihi jumlah tertentu sehingga terlalu kecil
untuk dilakukan pembagian maka pengelola akan menghibahkannya kepada badan amil zakat dan shodaqoh BAZIS yang memiliki izin
dari lembaga pemerintah yang berwenang.” Dari ketentuan pasal tersebut telah memberikan jalan keluar bagi
keuntungan dari dana yang diinvestasikan, sebagaimana yang dimaksud oleh fatwa DSN-MUI Nomor 53 tentang Akad
Tabarru’ pada Asuransi Syariah pada bagian kelima. Pengelola dari ketentuan pasal di atas melakukan
interpretasi terhadap fatwa yang dikelaurkan oleh DSN-MUI. Sebab, pada
fatwa tersebut tidak menjelaskan kadar minimal dari surplus. Axa Mandiri menginterpretasikan dengan memberikan batasan minimal yang wajar,
walaupun dalam polis tidak ditemukan batasan yang terlalu kecil tersebut. Terkait dengan pencantuman Lembaga BAZIS dijelaskan dalam pasal
13 ayat 5 PMK Nomor 18PMK.0102010 menjelaskan bahwa : Dalam hal pembagian Surplus Underwriting kepada Peserta secara
ekonomis membutuhkan biaya yang lebih besar daripada bagian yang akan dibagikan, Perusahaan tidak dapat mengambil bagian Peserta
tersebut, dan dapat menambahkannya ke dalam Dana Tabarru ’,
memperhitungkannya untuk mengurangi kontribusi Peserta periode berikutnya, atau memanfaatkannya untuk dana sosial.
Pada dasarnya surplus dikembalikan kepada dana tabarru’ untuk
tujuan meringankan beban peserta dalam pembayaran premi. Akan tetapi peraturan di atas tidak menutup kemungkinan untuk mengalihkannya menjadi
dana sosial. Terkait dengan peserta yang berhenti sebelum terjadinya prestasi, dana
tabarru’ hibah yang telah dikeluarkan oleh peserta tidak dapat dikembalikan lagi kepada pemegang polis salah satu yang berkebijakan seperti itu adalah PT
Asuransi Allianz Utama Indonesia. Bagian 11 pada paragraf terakhir dinyatakan bahwa “dalam kasus pembatalan perusahaan tidak berkewajiban
untuk mengembalikan premi dan biaya- biaya yang telah diterima.”
Pencantuman klausula ini diperbolehkan oleh fatwa DSN-MUI Nomor 81. Perlu menjadi perhatian bahwa premi tidak hanya terdiri dari dana
tabarru’ saja, dana tijari juga termasuk dari premi yang dibayarkan oleh
peserta. Klausula yang diatur oleh PT Asuransi Allianz Utama Indonesia berpotensi untuk disalah gunakan.
Apabila yang dimaksud dalam klausula tersebut juga termasuk pada akad tijari maka hal itu bertentangan dengan fatwa DSN-MUI. Dana tijari
yang telah dikeluarkan oleh peserta merupakan hak peserta, karena sifatnya hanya menitipkan, dalam skema akad wakalah bil ujrah atau mudharabah
atau kongsi dalam skema akad mudharabah musyarokah. Polis standar PT Asuransi Allianz Utama Indonesia tidak
mencantumkan pengalihan hak kepada mereka tentang pengelolaan dana tabarru’ termasuk pengembalian dana tersebut apabila peserta berhenti di
tengah jalan. Padahal pengelola tidak berhak sama sekali terkait dengan dana tabarru’ tersebut. Kecuali dinyatakan oleh peserta dalam polis mereka.
Sedangkan polis yang dikeluarkan oleh Axa Mandiri tidak menjelaskan pengembalian dana
tabarru’ bagi anggotanya yang keluar di tengah jalan. Permenkeu Nomor 18PMK.0102010 pasal 4 ayat 2 huruf d
menjelaskan bahwa dana tabarru’ dialokasikan untuk pengembalian dana
tabarru’ akibat pembatalan polis dalam periode yang diperkenankan. Ketika terjadi defisit underwriting skema yang digunakan adalah
dengan peminjaman dana tabarru’ dengan skema akad qardh. Yang akan
dikembalikan dengan cara disisihkan dari dana tabarru’. Klausula yang
dikeluarkan oleh Axa Mandiri, Takaful Keluarga dan PT. Asuransi Alliaz Life Indonesia polis asuransi jiwanya mengatur pembayaran pinjaman tersebut:
Klausula Baku pada polis Takaful Keluarga pasal 30 angka 3 menjelaskan:
“Jika terjadi defisit underwriting dana tabarru’, maka perusahaan akan menutupi defisit tersebut dari dana pemegang saham dalam bentuk
pinjaman Qardh dan pengembaliannya akan diperhitungkan terhadap
Surplus Underwrinting yang akan datang.” Hal yang senada juga dicantumkan dalam klausula PT. Asuransi
Allianz Life Indonesia pasal 4 huruf b menyatakan: “Apabila terjadi defisit underwriting, maka defisit tersebut akan
menjadi tanggung jawab para pemegang polis sedangkan kami dapat meminjamkan dana berdasarkan prinsip qardh pinjaman murni untuk
membayar maslahat meninggal yang terjadi di antara peserta, yang wajib dikembalikan oleh para pemegang polis dari surplus
underwriting yang akan datang.” Tidak jauh berbeda dengan klausula di atas Axa Mandiri juga
menjelaskan hal yang sama dengan klausula yang digunakan sebagaimana di atas. Hal ini sudah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI akan
tetapi surplus yang dimaksud dibatasi pada dana tabarru’ saja.
Pengelolaan dana tabarru’ harus mendapat perhatian yang serius dari
stakeholder yang berwenang. Setiap peserta asuransi sudah mendapatkan porsi sesuai dengan premi yang mereka bayar. Akan tetapi keuntungan dan dana
yang tidak diambil oleh peserta belum diatur pengelolaannya.