yang diistilahkan dengan hak bebas lihat cooling off period. Sehingga prinsip kewajiban membaca oleh konsumen dapat terpenuhi.
7. Force Majeure
Tidak diberikannya penjelasan yang memadai oleh KUH Pedata tentang force majeure memberikan kesempatan kepada pihak perusahaan
untuk memberikan penafsiran yang dicantumkan dalam polis. Penafsiran terhadap force majeure yang dilakukan oleh perusahaan berimplikasi pada
kerugian pemegang polis. Sebagaimana yang dicantumkan dalam polis Axa Mandiri pasal 1 angka 3.31 yang berjudul keadaan kahar force majeure,
sebagai berikut: Untuk keperluan polis ini, keadaan kahar berarti keadaan tertentu di
luar jangkauan pengelola termasuk, namun tidak terbatas pada perang baik dinyatakan atau tidak, operasi sejenis perang, invasi, tidakan
dari musuh asing, konflik, pemberontakan, demonstrasi, kerusuhan, pernyataan keadaan perang, pernyataan keadaan darurat nasional,
revolusi, bencana alam, kondisi epidemic seperti yang telah dinyatakan oleh pejabat yang berwenang, gangguan atau tutupnya atau
dihentikannya bursa saham, bank atau lembaga kliring, pemogokan, kerusuhan, perang sipil, kebakaran, ledakan, sabotase, embargo atau
adanya perubahan atau tindakan pemerintah baik dalam bidang perasuransian atau investasi atau bidang lainnya yang dapat
mempengaruhi secara langsung terhadap pelaksanaan polis ini. Force majeure yang membebaskan salah satu pihak untuk melakukan
prestasi harusnya berdasarkan pada alasan-alasan yang bersifat permanen dan tidak multi tafsir. Kalau kita lihat penjelasan force majeure yang tercantum
dalam polis di atas terdapat alasan force majeure kebakaran, kerusuhan, pemogokan, demonstrasi dan lain-lain yang dapat diinterpretasikan luas.
Force majeure tidak berarti membebaskan salah satu pihak bebas dari kewajibannya untuk melakukan prestasi secara permanen. Hal ini harus
disosialisakan oleh lembaga yang berwenang sehingga pemegang polis tidak terkecoh dengan klausula yang tercantum dalam polis. Harusnya alasan-alasan
tersebut harus dibatasi kadar force majeure yang dimaksud.
8. Ketentuan minimal isi kontrak
Pengaturan ketentuan ini sangat penting untuk menjamin hak-hak apa minimal apa saja yang harus dicantumkan dalam polis. Ketentuan minimal ini
berkaitan dengan transparansi. Selain PMK Nomor 18PMK.0102010 pengaturan standar minimal dalam polis diatur dalam Kepmenkeu Nomor
KMK Nomor 422KMK.062003 dalam bab tersendiri, yaitu pada bab III. Pasal 8 mengatur bahwa ada 14 ketentuan yang harus dimuat dalam
polis: a.
Saat berlakunya polis, b.
Uraian manfaat yang diperjanjikan, c.
Cara pembayaran premi, d.
Tenggang waktu grace period pembayaran premi, e.
Kurs yang digunakan untuk polis Asuransi dengan mata uang asing apabila pembayaran premi dan manfaat dikaitkan dengan mata
uang rupiah, f.
Waktu yang diakui sebagai saat diterimanya pembayaran premi, g.
Kebijakan perusahaan yang ditetapkan apabila pembayaran premi dilakukan melewati tenggang waktu yang disepakati,
h. Periode dimana pihak perusahaan tidak dapat meninjau ulang
keabsahan kontrak asuransi inceontestable period, i.
Tabel nilai tunai, bagi polis asuransi jiwa yang mengandung nilai tunai,
j. Penghentian pertanggungan, baik dari pihak penanggung maupun
dari pihak pemegang polis, termasuk syarat dan penyebabnya,