Pernikahan Beda Agama menurut Islam

34                      “Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman. Sesungguh nya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkah orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. Al-Baqarah [2]:221 Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan orang- orang yang tidak beragama Islam Akan tetapi, menurut Ahmad Nurcholish dalam buku 101 menjawab masalah nikah beda agama, di dalam perspektif Islam tentang pernikahan beda agama, para ulama Islam masih memperselisihkannya. Pertama, ulama yang mengharamkan secara mutlak. Seperti Atha’, Ibn Umar, Muhammad ibn al- Hanafiyah, al-Hadi. Pada dasarmya mereka berpatokan kepada sejumlah ayat al- Qur’an yaitu surat al-Baqarah ayat 221 yang mengharamkan orang Islam menikah dengan musyrik. Dan surat al- Mumtahanah ayat 10 :                                                                  35 Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji keimanan mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada suami-suami mereka orang- orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada suami-suami mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir, dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar, dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya diantara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. 37 Di dalam surat ini, menjelaskan tentang larangan pernikahan umat Islam dengan orang kafir. Dua ayat ini demikian para ulama beragumen, telah menghapus kebolehan menikahi orang ahlul kitab, sebagaimana dalam surat al- Ma’idah ayat 5 yang menjelasan bahwa laki-laki muslim boleh menikah dengan perempuan ahli kitab. Sebagaimana bunyi ayat tersebut :                                                Artinya : Pada masa ini dihalalkan bagi kamu memakan makanan yang lazat-lazat serta baik-baik. Dan makanan sembelihan orang-orang yang diberikan Kitab itu adalah halal bagi kamu, dan makanan sembelihan kamu adalah halal bagi mereka tidak salah kamu memberi makan kepada mereka. Dan dihalalkan kamu berkahwin dengan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya – di antara perempuan-perempuan yang beriman, dan juga perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya dari kalangan orang-orang yang diberikan Kitab dahulu daripada kamu apabila kamu beri mereka maskahwinnya, sedang kamu dengan cara yang demikian, bernikah bukan berzina, dan bukan pula kamu mengambil mereka menjadi perempuan- 37 Ahmad Nurcholish, Menjawab 101 Masalah Nikah Beda Agama, Banten: Harmoni Mitra Media, 2012,cet-1, h.4 36 perempuan simpanan. Dan sesiapa yang ingkar akan syariat Islam sesudah ia beriman, maka sesungguhnya gugurlah amalnya yang baik dan adalah ia pada hari akhirat kelak dari orang-orang yang rugi. Mengacu pada al-Mumtahanah, dikisahkan Umar ibn Khattab langsung menceraikan dua isterinya yang masih kafir, yaitu Binti Abi Umayyah ibn Mughirah dari Bani Makhzum dan Ummu Kultsum binti Amr bin Jarwal dari Khuza’ah. Umar pernah hendak mencambuk orang yang menikah dengan Ahli Kitab. Umar marah karena ia khawatir tindakan beberapa orang yang menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab itu akan diikuti umat Islam lain, sehingga perempuan-perempuan Islam tak menjadi pilihan laki-laki Islam. Namun, kemarahan Umar tak mengubah pendirian sebagian Sahabat Nabi yang tetap menikahi perempuan Ahli Kitab. Alkisah, Umar pernah berkirim surat pada Khudzaifah agar yang bersangkutan menceraikan istrinya yang Ahli Kitab itu. Khudzaifah bertanya kepada Umar, ”Apakah anda menyangka bahwa pernikahan dengan perempuan Ahli Kitab haram?”. Umar menjawab, ”tidak. Saya hanya khawatir”. Jawaban Umar ini menunjukkan bahwa ketidak setujuan Umar itu tak didasarkan secara sungguh-sungguh pada teks al- Qur’an, melainkan pada kehati-hatian dan kewaspadaan. 38 Kedua, ulama yang berpendapat bahwa keharaman menikahi orang Musyrik dan Kafir sudah dibatalkan QS, al-Maidah [5]: 5 yang membolehkan laki-laki Muslim menikahi perempuan Ahli Kitab. Para ulama berpendapat bahwa tiga ayat tersebut memang sama-sama turun di Madinah. Akan tetapi, 38 Abdul Moqsith Ghazali, “Hukum Nikah Beda Agama”, artikel ini diakses pada 20 November 2013 dari http:islamlib.com?site=1aid=1743cat=contentcid=11title=hukum- nikah-beda-agama 37 ayat pertama lebih awal turun, sehingga dimungkinkan untuk dianulir ayat ketiga al-Maidah ayat 5. Ibn Katsir mengutip pernyataan Ibnu Abbas melalui Ali bin Abi Thalhah berkata bahwa perempuan-perempuan Ahli Kitab dikecualikan dari al-Baqarah ayat 221. Dengan perkataan lain, keharaman menikahi orang musyrik dan orang kafir seperti tertera dalam al-Baqarah: 221 dan al- Mumtahanah: 10 telah ditakhshish dispesifikasi oleh al-Maidah: 5. Pendapat ini juga didukung oleh Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubair, Makhul, al-Hasan, al-Dhahhak, Zaid bin Aslam, dan Rabi’ ibn Abas. Thabathabai berpendirian bahwa pengharaman itu hanya terbatas pada orang-orang Watsani para penyembah berhala, dan tidak termasuk di dalamnya orang-orang Ahli Kitab. 39 Ketiga, ulama yang membolehkan pernikahan umat Islam dengan non Islam secara mutlak. Ulama terakhir ini melanjutkan argumen ulama kedua yang tak tuntas. Jika ulama kedua hanya membolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab, maka ulama terakhir ini membolehkan hukum sebaliknya, perempuan muslimah menikah dengan laki- laki Ahli Kitab. Mereka berpendirian, al- Ma’idah ayat 5 telah menghapus larangan pernikahan dengan orang musyrik dan kafir. Dalam ushul fikih ada teori: ketika beberapa ayat saling bertentangan dan tak mungkin dikompromikan, maka solusinya adalah naskh, yaitu ayat pertama turun dibatalkan oleh ayat yang belakangan. 39 Ahmad Nurcholish, Menjawab 101 Masalah Nikah Beda Agama, h.5 38 Dalam konteks tiga ayat di atas, ayat yang terakhir turun adalah al- Ma’idah ayat 5, sehingga dimungkinkan untuk menganulir dua ayat yang turun lebih awal, yaitu al-Baqarahh ayat 221 dan al-Mumtahanah ayat 10. Bagi mereka, tak ada beda antara pernikahan laki-laki muslim-perempuan Ahli Kitab dan pernikahan perempuan muslimah-laki-laki Ahli Kitab. Menurut kelompok terakhir ini, tak ada teks dalam al- Qur’an yang secara eksplisit melarang pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab. Oleh karenanya tidak adanya larangan itu adalah dalil bagi bolehnya pernikahan perempuaan muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab. 40 Perbedaan pandangan itu menegaskan satu hal yaitu dalil yang sama ketika dipahami oleh orang yang berbeda, ada kemungkinan melahirkan produk hukum yang berbeda pula. Maka dari itu, hukum nikah beda agama masih diperselisihkan oleh para ulama. Namun, banyak ulama kontemporer yang tidak merekomendasikan nikah beda agama. Bukan karna status hukumnya diperselisihkan oleh para ulama, melainkan karna nikah beda agama mengandung potensi konflik dan ketegangan yang tak perlu dalam keluarga. Oleh karenanya, orang bijak akan mencari pandangan hukum yang paling sedikit mengandung resiko dan mafsadatnya. 41 Sedangkan menurut mamah Dedeh menegaskan dalam ceramahnya mengatakan bahwa pernikahan beda agama haram hukumnya. Sebagaimana umat muslim mengikuti ajaran Al-quran dan hadist Rasullullah SAW. Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah SAW bersabda : “Wanita itu dinikahi karena empat hal : karena hartanya, atau karena keturunannya, atau karena kecantikannya atau karena agamannya. Tetapi hendaklah kamu pilih wanita 40 Ahmad Nurcholish, Menjawab 101 Masalah Nikah Beda Agama, h.6 41 Ahmad Nurcholish, Menjawab 101 Masalah Nikah Beda Agama, h.10 39 yang beragama akhlak mulia niscaya akan selamat kedua tanganmu ”. HR Bukhari dan Muslim Ini berarti jika ada orang yang mencari jodoh hanya karna kaya semata-mata tanpa agama maka ia akan sengsara, jika ada orang yang mencari jodoh hanya turunan semata-mata tanpa mengetahui agama maka ia akan sengsara, begitu pula dengan orang yang mencari jodoh hanya kecantikan dan ketampanan semata-mata tanpa mengerti agama maka kehidupannya akan sengsara. Hadist ini menyampaikan kriteria yang pertama akan mengerti agama dan pengamalan agama yang baik di dalam mencari pasangan hidup. Karna ada yang mengerti agama tapi tidak mengamalkannya dengan baik. Oleh karenanya, menurut mamah Dedeh Islam mengajarkan untuk mencari yang mengerti agama dan mengamalkannya dengan baik. Menurut mamah Dedeh sudah jelas di dalam surat Al-baqarah ayat 221 bahwa Islam melarang menikah dengan yang berbeda akidah. Begitu pula dengan surat Al-Mumtahanah ayat 10 menjelaskan bahwa orang yang tidak satu akidah tidak halal untuk menikah, jika tetap menikah maka hukumnya sama dengan berzina. Meskipun di dalam surat Al-Maidah ayat 5 dikatakan boleh menikah dengan perempuan ahli kitab. Tetapi benar-benar yang menekuni dan mengerjakan ketiga kitab yakni taurat, jabur dan injil. Namun, saat ini sudah tidak ada karna mereka sudah berubah tidak mengEsakan Allah bahkan menserikatkan. Oleh karena itulah yang di haramkan untuk menikah dengan ahli kitab sekarang ini. 42 42 Hati ke Hati Bersama Mamah Dedeh, Pernikahan Beda Agama, ANTV, Episode 14- 01-2013 40 Tak jauh berbeda dengan mamah Dedeh, menurut Ust. H. Nandi Aziz M.H pernikahan adalah sunnah berdasarkan perbuatan Rasulullah SAW. Namun hukum pernikahan dapat berubah menjadi wajib atau terkadang juga bisa menjadi sekedar mubah saja. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi makruh. Dan ada juga hukum pernikahan yang haram untuk dilakukan. Semua akan sangat tergantung dari kondisi dan situasi seseorang dan permasalahannya. Di dalam kehidupan kita saat ini, pernikahan antara dua orang yang seagama merupakan hal yang biasa dan memang itu yang dianjurkan dalam agama Islam, tetapi dengan atas menamakan cinta, saat ini lazim. Namun belum tentu diperbolehkan oleh agama dilakukan nikah beda agama atau pernikahan campur. Hal ini sebenarnya sudah diatur secara baik di dalam agama Islam. Salah satu syarat sahnya suatu pernikahan dalam Islam adalah kedua mempelai pengantin merupakan pemeluk agama Islam. 43 Pernikahan muslim dengan ahli kitab sebenarnya di perbolehkan oleh Islam, namun saat ini sangat sulit ditemukan perempuan ahli kitab yang benar- benar ahli. Maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama saat ini dapat dikatakan tidak sah atau haram karena hampir tidak ada perempuan ahli kitab yang benar-benar berpegang teguh terhadap kitab Taurat atau injil. Karena kedua kitab suci tersebut, yang ada saat ini bukan kitab taurat dan injil yang asli. Masalah pernikahan pria muslim dengan wanita ahli kitab hanyalah suatu perbuatan yang dihukumi boleh dilakukan namun bukan anjuran apalagi 43 Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH., Hukum Perkawinan Indonesia Menurut : Perundangan, Hukum Adat Dan Hukum Agama, Bandung; CV. Mandar Maju, 2007 Cet.ke-3, h.27 41 perintah. Sedangkan perempuan muslimah menikah dengan lelaki ahli kitab atau musyrik dan sebagainya tetap berhukum haram. Alasan pernikahan beda agama dengan alasan cinta, kesamaan hak, kebersamaan, toleransi atau apapun alasannya tidak dapat dibenarkan. Pernikahan yang paling ideal dan yang bisa membawa keluarga selamat dunia akhirat, sakinah mawadah warahmah adalah pernikahan dengan orang yang seiman. 44 44 Pintu Cahaya, Pernikahan Beda Agama, H. Nandi Aziz M.H, TVRI episode 2 juli 2013 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Metodologi penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dalam menganalisis data, yaitu dengan cara mengumpulkan, mengolah, menyajikan dan menganisis data yang berwujud angka. Sedangkan desain penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif analisis. Penelitian deskriptif merupakan suatu prosedur penelitian untuk menggambarkan tentang karakteristik cirri-ciri individu, situasi dan kelompok tertentu. 1

B. Subjek dan Objek Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah remaja Islam Masjid Fathullah IRMAFA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan yang menjadi objek penelitian adalah respon remaja terhadap Film Cinta Tapi Beda. Hal ini dikarenakan Film ini menceritakan tentang kehidupan sepasang remaja yang berbeda keyakinan saling jatuh cinta, sehingga terciptanya sebuah toleransi terhadap perbedaan agama di dalam hubungan mereka.

C. Tempat dan Waktu Penelitian

Dalam melakukan penelitian, setidaknya peneliti membutuhkan waktu lima bulan agar mendapatkan data yang akurat dan jelas. Dalam penelitian ini, 1 Nanang Martono, Metodologi Penelitian Kuantitatif : Analisis Isi dan Analisis Data Sekunder, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010,h. 137 43 peneliti melakukannya mulai Agustus sampai bulan Desember 2013. Dan lokasi atau tempat penelitian ini berlokasi di Masjid Fathullah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun alasan pemilihan lokasi ini didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut : 1. Lokasi penelitian sangat mudah dijangkau oleh peneliti 2. Peneliti adalah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sehingga data dapat diakses dengan mudah ke Remaja Masjid Fathullah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Adanya keterbatasan biaya, waktu dan tenaga yang dimiliki

D. Populasi dan Sampling

Populasi adalah sekumpulan elemen dan unsure yang menjadi objek penelitian. Populasi bisa berbentuk lembaga, individu, kelompok, dokumen atau konsep. Sehingga objek-objek ini bisa menjadi sumber penelitian. 2 Sample adalah sebagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang memiliki karakteristik tertentu, jelas dan lengkap yang dianggap bisa mewakili populasi. Dalam penelitian ini populasinya adalah Remaja Islam Masjid Fathullah IRMAFA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjumlah 72 orang. 3 2 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, cet. Ke-3, hal.99 3 Berdasarkan Wawancara Pribadi oleh Ketua IRMAFA, Aries Firdaus, 21 September 2013