1 Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual,
mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 lima tahun danatau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00limaratusjutarupiah.
2 Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda
wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 empat tahun danatau pidana denda paling
banyak Rp. 400.000.000,00 empat ratus juta rupiah. 3
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengem¬bangan harta benda wakaf melebihi
jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun danatau pidana denda
paling banyak Rp. 300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah. Selain sanksi pidana tersebut di atas, juga terdapat sanksi administrasi, yaitu
sebagaimana tercantum dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, yaitu sebagai berikut:
1 Menteri dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran tidak
didaftarkannya harta benda wakaf oleh lembaga keuangan syariah dan PPAIW sebagaimana dimaksud dalamPasal30danPasal32;
2 Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa:
a. peringatantertulis: b. penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf
bagi lembaga keuangan syariah c.
penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan PPAIW.
3 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
E. Status Harta Wakaf yang tidak bersertifikat dalam Hukum Islam
Dalam hukum Islam pencatatan suatu transaksi dalam bermuamalah itu sangatlah di anjurkan oleh Allah SWT, dengan maksud untuk menghindari terjadinya perselisihan di
antara ke dua belah pihak yang berakad, dan menghindari terjadinya saling mendzalimi antara satu sama lain. Seperti di ungkapkan dalam Al
–Qur‟an Surat Al- Baqarah Ayat 282 yang berbunyi:
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.”
Kata Bermuamalah disini sangat umum dalam penafsirannya antara lain seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa serta segala treansaksi yang di anggap
penting bagi suatu kaum dan bila tidak di catatkan akan menimbulkan suatu perselisihan dan pertengkaran antara dua belah pihak yang bertransaksi. Menurut Quraish Shihab, kata
tadayyun itu bermakna muamalah dan di ambil dari kata dayyun yang mempunyai beberapa arti yaitu bisa diartiakan jual beli, utang piutang dan sebagainya. Yang berarti suatu
transaksi yang di lakukan oleh kedua belah pihak itu tingkatnya sangat tinggi dan harus di catatkan sesuai dengan isi dari akad tersebut.
40
7. Status Harta Wakaf yang tidak bersertifikat dalam Hukum positif
Tanah wakaf yang mempunyai kepastian hukum ialah yang mempunyai syarat- syarat administrasi yang telah diatur oleh ketentuan PP No. 281977 serta peraturan
40
M. Quraish Shihab. Tafsir Al – Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al- Qur‟an. Jakarta.
Lentera Hati. 2002 Vol. 1. hal. 603
pelaksanaannya, khususnya mempunyai sertifikat tanah. Tanah wakaf tersebut dapat dimanfaatkan sesuai ndengan tujuan wakaf. Sebaliknya, tanah wakaf yang tidak
mempunyai persyaratan seperti ketentuan PP No. 281977, tidak mempunyai kepastian hukum. Sehingga terdapat data-data tanah wakaf dimiliki orang lain yang tidak berhak,
menjadi sengketa dan tidak dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
41
Memang ada kendala kenapa tanah wakaf di Indonesia sampai saat ini masih banyak yang belum mempunyai sertifikat tanah wakaf, karena banyaknya tanah wakaf yang
tidak mempunyai bukti perwakafan, seperti surat-surat yang memberikan keterangan bahwa tanah tersebut telah diwakafkan. Tanah wakaf yang tidak mempunyai bukti administratif
tersebut karena banyak para wakif yang menjalankan tradisi lisan dengan kepercayaan yang tinggi jika akan mewakafkan tanahnya tanahnya kepada Nazhir perorangan maupun
lembaga, khususnya pelaksanaan wakaf sebelum PP No.28 Tahun 1977. Di samping faktor awal keengganan wakif dalam pembuatan sertifikat wakaf, di
lingkungan internal birokrasi sendiri, khususnya BPN terdapat beberapa kendala. Kendala utama adalah faktor pembiayaan administrasi proses sertifikasi wakaf yang belum memadai
dari pihak pemerintah, khususnya Departemen Agama. Anggaran bantuan sertifikasi dari Departemen Agama memang selalu diajukan, namun karena keterbatasan anggaran Negara,
sehingga belum mendapat alokasi dana yang memadai.
41
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif, Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2006 h. 75