Peta perwakafan di kecmatan Cikole Sukabumi (studi terhadap pendaftaran ikrar wakaf 2005-2009)
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
Oleh: RONTI NOVIA
106043201351
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1431H/2010M
(2)
(3)
(4)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... iii
DAFTAR TABEL... vi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang………...………1
B. Identifikasi Masalah………..……… 6
C. Pembatasan dan Perumusan masalah……….…………7
D. Review terdahulu……….………. 8
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 9
F. Metode Penelitian………10
G. Sistematika Penulisan………. 12
BAB II : RUANG LINGKUP PERWAKAFAN A. Pengertian Wakaf……….. 14
1. Pengertian wakaf menurut ulama fiqh………...15
2. Pengertian wakaf menurut hukum positif dan para ahli hukum...17
B. Landasan Hukum Perwakafan 1. Dasar Hukum Wakaf Menurut Hukum Islam...19
(5)
2. Dasar Hukum Wakaf Menurut Pemerintah Republik Indonesia... 22
C. Sejarah Perkembangan Perwakafan di Indonesia………..25
1. Perwakafan pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat...26
2. Perwakafan di Indonesia………..27
D. Ruang Lingkup Perwakafan Menurut Hukum Islam 1. Ketentuan-ketentuan Dalam Perwakafan ……… 29
2. Syarat wakaf ……… 35
3. Macam-macam Wakaf………...……….. 37
4. Penyelesaian Sengketa Benda Wakaf Menurut Hukum Islam...38
5. Penyelesaian Sengketa Benda Wakaf Menurut Hukum Positif... 42
6. Status Harta Wakaf yang tidak bersertifikat dalam Hukum Islam... 45
7. Status Harta Wakaf yang tidak bersertifikat dalam Hukum positif...46
BAB III: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT DESA CIKOLE SUKABUMI A. Profil Kecamatan Cikole 1. Letak Geografis Kecamatan Cikole………..… 48
(6)
3. Jumlah Penduduk……….……….… 50
a. Jumlah penduduk menurut Agama………..……….………... 50
b. Sarana Peribadatan………..………. 51
B. Profil KUA Kecamatan Cikole
1. Letak Geografis Wilayah KUA Kecamatan Cikole………. 51
2. Tugas KUA Kecamatan Cikole………..……… 53
3. Tata Cara perwakafan Di KUA Kecamatan Cikole……….……….. 54
BAB IV: TINJAUAN HUKUM PELAKSANAAN WAKAF DIKECAMATAN CIKOLE SUKABUMI
A. Tata cara pendaftaran wakaf di KUA Kecamatan Cikole Sukabumi………... 57
B. Tujuan dan Fungsi Wakaf………...………. 58
C. Pandangan masyarakat terhadap pendaftaran wakaf
1. Pihak KUA………...……… 60
2. Pihak Wakif……….. 63
3. Pihak Nadzhir………...……… 64
D. Analisis terhadap Pendaftaran Wakaf di KUA Kecamatan Cikole Sukabumi
1. Rekapitulasi Perwakafan Kecamatan Cikole tahun 2005-2009…..……… 67
2. Faktor Ikrar Wakaf tidak dicatatkan…………...………. 78
BAB V: PENUTUP
(7)
D. Saran………..82
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(8)
DAFTAR TABEL
TABEL 3.1: Luas Wilayah Kecamatan Cikole Per Januari 2010………...……….… 49
TABEL 3.2: Jumlah Penduduk Kecamatan Cikole Tahun 2009………...…..… 50
TABEL 3.3: Jumlah Sarana Peribadatan………...……….. 51
TABEL 4.1: Data Tanah Wakaf 2005-2009………...…………. 68
TABEL 4.2: Rekapitulasi Perwakafan Kecamatan Cikole Sukabumi Tahun 2005…...… 69
TABEL 4.3: Rekapitulasi Perwakafan Kecamatan Cikole Sukabumi Tahun 2006 ……….70
TABEL 4.4: Rekapitulasi Perwakafan Kecamatan Cikole Sukabumi Tahun 2007..…...… 71
TABEL 4.5: Rekapitulasi Perwakafan Kecamatan Cikole Sukabumi Tahun 2008…...….. 72
TABEL 4.6: Rekapitulasi Perwakafan Kecamatan Cikole Sukabumi Tahun 2009..….….. 73
TABEL 4.7: Rekapitulasi Perwakafan Kecamatan Cikole Sukabumi Tahun 2005-2009………...……….… 74
TABEL 4.8: Rekapitulasi tanah wakaf yang belum bersertifikat di Kecamatan Cikole Kota Sukabumi tahun 2005-2009……….... 75
TABEL 4.9: Rekapitulasi tanah wakaf yang sudah bersertifikat di Kecamatan Cikole Kota Sukabumi tahun 2005-2009………...……… 76
TABEL 4.10: Rekapitulasi tanah wakaf yang sedang dalam proses sertifikasi di Kecamatan Cikole Kota Sukabumi tahun 2005-2009………...…..…… 77
(9)
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah member
rahmat serta jalan yang lurus kepada penulis atas nikmat dan karuniaNya, yang telah
menciptakan manusia yang beraneka ragam disertai dengan kelengkapan akal pikiran
sebagai daya pikir, dan hati sebagai rasa, sehingga menjadi makhluk kreatif, inovatif, dan
mampu memahami serta mengamalkan norma ajaran agama (Islam) sehingga penulis ini
diberi kekuatan dan kesabaran untuk mengerjakan skripsi ini yang berjudul “PETA PERWAKAFAN DI KECAMATAN CIKOLE SUKABUMI (STUDI TERHADAP
PENDAFTARAN IKRAR WAKAF 2005-2009”
Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad
SAW, yang telah membawa pelita kehidupan dialam ini sehingga beliau mampu
mengangkat dan mengantarkan derajat manusia dari lembah kenistaan kepada lembah
kemuliaan. Beserta keluarga, para sahabat, serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulis yakin bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak akan selesai tanpa ada dukungan
dan kontribusi dari berbagai pihak, baik materil maupun moril dari semua pihak.
Rasa terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
(10)
2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji. MA. dan Dr. H.Muhammad Taufiki.M.Ag
selaku ketua program studi perbandingan Madzhab Hukum, dan sekretaris
Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Terima kasih kepada pembimbing Skripsi Bapak Dr. Abdurrahman Dahlan. MA
yang telah meluangkan waktunya, dan memberikan banyak pengajaran yang
tidak penulis dapatkan dimasa perkuliahan.
4. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum, terima kasih
atas ilmu dan bimbingannya. seluruh staf akademik, Jurusan, Kasubag Keuangan
dan Perpustakaan terima kasih atas bantuan dalam upaya membantu
memperlancar penyelesaian skripsi ini.
5. Terima kasih kepada Orang tua tercinta ayahanda H.Khaidil Awani dan ibunda
HJ. Eliya Wati yang telah memberikan nasehat, motivasi dan juga spirit tiada
henti dan terutama dalam membiayai pendidikan Starata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi
ini masih jauh dari sempurna dan tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan. Walaupun
demikian penulis berharap hasil tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
(11)
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang
lainnya, selain itu manusia juga makhluk yang diperintahkan oleh Allah untuk selalu
beribadah dan membantu sesama masyarakat. Dalam hal ibadah ini ada sebagian ibadah
yang dapat memberikan keuntungan lebih dari pada ibadah lainnya, dalam tiga hal yaitu
anak yang shaleh, ilmu yang bermanfaat, dan shadaqoh jariyah. Dari tiga hal ini masyarakat
muslim sering menginvestasikan hidupnya untuk bekal di akhirat itu dalam shadaqoh
jariyah. Shadaqoh ini sangat bermacam- macam bentuknya namun yang banyak di jumpai
oleh kita dan dapat juga dirasakan manfaatnya ialah dalam ibadah wakaf.
Wakaf dalam kalangan masyarakat muslim merupakan suatu ibadah yang dapat
menjadi bekal disaat mereka meninggal serta dapat memberikan bantuan dan mengalirkan
pahala yang bisa mengalir dari manfaat yang dihasilkan oleh barang yang sudah mereka
wakafkan. Oleh karena itu praktek wakaf dalam kalangan masyarakat muslim itu sangatlah
berperan penting dalam kehidupan mereka, pasalnya apa yang mereka pahami atas suatu
ajaran yang telah mereka dapat kan dari al-Qur‟an dan Hadits telah membawa imajinasi mereka kepada suatu hal yang dapat memberikan suatu keuntungan atau pahala yang terus
(12)
mengalir baginya setelah mereka meninggal.1
Kedudukan wakaf sebagai ibadah diharapkan menjadi tabungan para wakif untuk
bekal di hari akherat kelak. Wajar jika wakaf dikelompokkan kepada amal jariyah yang
tidak putus-putusnya walaupun wakif tersebut telah meninggal dunia. Hal ini telah dijamin
oleh Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim:
اث ْن َّا ع عطقْنا دا نْبا ا ا ا :
لْوعْ ي حلاص لو ْوا ب عف ْي ْع ْوا يراج ق ص )
س اور (
2
Artinya:
“Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, satu anak shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)
Persoalan wakaf dan perwakafan, dalam tradisi masyarakat mungkin tidak asing
lagi terdengar di telinga kita. Sebab tradisi perwakafan ini sudah menggejala, atau bahkan
melembaga sepanjang manusia itu ada.
Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, hukum Islam telah mempertegas pentingnyna
wakaf bagi masyarakat, seperti wakaf perkebunan yang dilakukan oleh beliau. Perlu
disadari bahwa masyarakat muslim khususnya dan manusia umumnya memerlukan
kegiatan sosial ekonomi yang dapat membebaskan dari pembengkakan harga yang
semata-mata untuk menguntungkan pribadi dan memberi manfaat perorangan. Sebab wakaf Islam
1
Bustamam Ismail, Hukum Islam Tentang Wakaf, Infaq dan Haji, diakses pada tanggal 20 januari
2010 dari http://hbis.wordpress.com/ 2
Imam Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyary al-Nisabury, Shahih Muslim, (Mesir: Daar
(13)
semata-mata bertujuan untuk kebaikan dan memberi manfaat kepada masyarakat luas.
Tujuan ini jelas sangat mulia, karena telah mengorbankan dan membebaskan kepentingan
pribadi semata. Akan tetapi, kegiatan yang seperti ini pada saat yang bersamaan harus
diamankan dari sikap kesewenang-wenangan penguasa dan campur tangan pemerintah
yang berlebihan. Bahkan terkadang kesewenang-wenangan itu dapat merusak manajemen
wakaf yang sudah mapan dan menyebabakan pengambilalihan kekuasaan atas wakaf serta
menghambat produktifitasnya, padahal kegiatan ini benar-benar berlandaskan kasih sayang
dan kemanusiaan.3
Selanjutnya sebagaimana diketahui wakaf sebagai perbuatan sudah lama
melembaga dan dipraktekkan di Indonesia, kemudian berkembang seiring dan sejalan
dengan perkembangan agama Islam di Indonesia. Perkembangan wakaf dari masa ke massa
ini tidak didukung oleh peraturan formal yang mengaturnya. Praktek perwakafan selama itu
hanya berpedoman padakitab-kitab fiqih tradisional yang disusun beberapa abad yang lalu
sehingga banyak hal yang sudah tidak relevan. Hal ini terlihat pada pemahaman
masyarakat Indonesia yang masih mempunyai rasa saling percaya antar sesama. Walaupun
pada akhirnya nanti bisa menimbulkan persengketaan karena tidak adanya bukti-bukti yang
mampu menujukkan bahwa benda bersangkutan telah diwakafkan. Keberadaan perwakafan
pada saat ini dapat diteliti dan dilihat berdasarkan bukti catatan di KUA, Kabupaten dan
3
(14)
Kecamatan.4Karena itu, sudah selayaknya kegiatan mulia seperti ini dihormati, didukung
dan mendapat perlindungan hukum agar mendapat keberlangsungan wakaf, yaitu dengan
cara mencatatkan wakaf.
Fungsi dari pencatatan wakaf adalah agar terjaminnya harta benda yang diwakafkan
dan agar terhindarnya hal- hal yang menjadi sebuah perselisihan dan persengketaan
terhadap benda wakaf. Dan pencatatan ini bukan dimaksudkan atas dasar bahwa amal yang
dilakukannya itu ingin diketahui oleh orang lain hingga menimbulkan kesombongan atas
amal yang dibuatnya, oleh karenanya ulama dan pemerintah hendaknya memberikan
pengertian tentang pentingnya pencatatan wakaf dalam masyarakat luas.
Rangka mewujudkan lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki
potensi dan manfaat ekonomi untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, perlu dikelola secara efektif dan efisien.
Salah satu usaha Pemerintah dalam memasyarakatkan wakaf untuk kepentingan
umum adalah dengan memberlakukan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan wakaf
antara lain Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977, Kompilasi Hukum Islam dan
Undang-undang No. 41 Tahun 2004. Selain itu untuk masa yang akan datang, disarankan agar
diperhatikan besarnya biaya pensertifikatan tanah wakaf, tenaga kerja, dan waktu
4
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam direktorat Pemberdayaan Wakaf. Perkembangan
(15)
pelaksanakan pensertifikatan, dan kelengkapan surat atau dokumen tanah wakaf. Keadaan
demikian akan menciptakan sinergi kerja antara pemerintah, pegawai instansi yang
berkaitan dan masyarakat sebagai pelaksana Pensertifikatan Tanah Wakaf. Keadaan yang
saling bersinergis ini diharapkan dapat mengakselerasi pelaksanaan kegiatan pensertifikatan
Tanah Wakaf untuk kepentingan umum dalam mencapai kesejahteraan sosial yang sesuai
dengan ajaran agama Islam.5
Begitu sangat pentingnya aturan yang dibuat untuk mengatur tentang wakaf dan
sebagai suatu sertifikasi atas harta benda wakaf yang sudah diabadikan dan menjadi suatu
lembaga dikalangan masyarakat, maka dalam mengembangkan keefektifitasan peraturan
perundang – undangan ini maka selayaknya peraturan itu bisa disosialisasikan dimasyarakat dan para pejabat yang berwenang untuk menangani segala aktifitas perwakafan hendaknya
di tempatkan di daerah-daerah terpencil atau di daerah tertinggal, hal ini dilakukan untuk
memudahkan masyarakat melakukan praktek wakaf yang sesuai dengan ajaran hukum
Islam dan peraturan nasional yang sudah berjalan, serta sebagai cara untuk mengurangi dan
mencegah terjadinya persengketaan dengan pihak ketiga atas benda wakaf.
Maka dari itu, penulis dapat melihat dan meneliti seberapa kurangnya minat
masyarakat dalam mencatatkan ikrar wakaf kepada pihak PPAIW setempat atau pihak
pejabat KUA yang berada diwilayah tersebut. Sehingga bisa dilihat dan diketahui berapa
5
Hersanti, Eksistensi Wakaf Menurut Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977 Dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, diakses pada tanggal 20 januari 2010 dari http://lontar.cs.ui.ac.id/gateway/file?file=digital/85839-T 16355a.pdf
(16)
banyak tanah wakaf yang ikrar wakafnya dicatatkan dan seberapa banyak tanah wakaf yang
tidak dicatatkan.
B. Identifikasi Masalah
Dalam uraian latar belakang di atas, telah diuraikan beberapa pengantar untuk
mengetahui maksud yang akan ditulis dalam skripsi penulis. Namun dalam hal ini wakaf
didalam perkembangan masyarakat Indonesia itu dalam pelaksanaanya bisa berupa:
a. Praktek wakaf di kalangan masyarakat desa hanya dilakukan atas dasar
kebiasaan atau adat masyarakat yaitu praktek ikrar wakaf dilakukan atas
dasar saling percaya antara orang yang melakukan transaksi wakaf.
b. Dalam praktek wakaf di masyarakat desa para wakif dan nadzir tidak
pernah mencatat atau membuat kesepakatan tertulis dari transaksi wakaf
yang dilakukan
c. Biasanya setelah si wakif meninggal sering terjadi persengketaan antara
nadzir dan ahli waris terhadap harta wakaf.
d. Masyarakat muslim berpendapat bahwa dalam beribadah maliyah kepada
Allah tidak diperlukan tata cara administratif.
Dari identifikasi masalah diatas dapat disimpulkan bahwa dalam praktek
perwakafan itu ada hal yang sangat penting menyempurnakan ikrar wakaf dan untuk
mencegah terjadinya suatu sengketa antara pihak- pihak yang melakukan praktek wakaf
(17)
wakaf oleh nadzir. Sehingga dalam melaksanakan amal ibadahnya para pihak yang
bersangkutan tidak ternodai oleh setitik kesalahan yang dihasilkan dari transaksi wakaf
yang kurang sempurna menurut peraturan nasional.
Maka dari itu untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang
pentingnya sistem administratif dalam praktek ikrar wakaf maka penulis melakukan
penelitian di Kecamatan Cikole Sukabumi. Dari hasil penelitian tersebut penulis tuangkan
dalan skripsi yang berjudul: “PETA PERWAKAFAN DI KECAMATAN CIKOLE SUKABUMI (STUDI TERHADAP PENDAFTARAN IKRAR WAKAF 2005-2009)”.
C. Pembatasan dan Perumusan masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi masalah pokok
adalah bagaimana peta perwakafan masyarakat Kecamatan Cikole Sukabumi dari tahun
2005-2009. untuk menjawab masalah pokok tersebut penulis merumuskan dalam
pertanyaan – pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana peta perwakafan di Kecamatan Cikole Sukabumi?
2. Berapa banyak wakaf yang dicatatkan dan yang tidak dicatatkan yang sudah
terdaftar di KUA Kecamatan Cikole Kota Sukabumi?
(18)
D. Kajian Terdahulu
Dalam penulisan skripsi yang telah lalu yakni terdapat tiga hasil penelitian yang
ditulis oleh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, yaitu:
No. Nama/Fakultas dan Jurusan Tahun Judul Pembahasan
1. M.Ishak Zainul,
(Fakultas Syariah dan
Hukum, Konsentrasi
Perbandingan Hukum, Prodi
Perbandingan Madzhab
Hukum)
2003 Tinjauan Hukum
Islam Tentang Pengelolaan Tanah Wakaf di Kecamatan Jakarta Barat
pengelolaan
tanah wakaf
menurut Hukum Islam dan PP No. 28 Tahun 1997. Dalam penelitian ini penulis lebih menekankan
kepada PP
Nomor 28 Tahun
1977, yang
menyangkut dengan hak dan kewajiban
nadzir. Karena pengelolaan wakaf adalah nadzir.
2. Yusup Supratman
(Fakultas Syariah dan
Hukum, Prodi Akhwal
Syahsiyah)
2004 Perpindahan
fungsi tanah wakaf (sebuah tinjauan hukum Islam dan hukum positif)
Penulis menjelaskan banyak harta wakaf yang di salah gunakan oleh nadzhir
Dari uraian kajian terdahulu diatas, perbedaan penulisan dengan skripsi yang penulis
(19)
di KUA Kecamatan Cikole Kota Sukabumi, hal ini bertujuan agar dapat diketahui seberapa
banyak tanah wakaf yang tidak bersertifikat, sedang dalam proses sertifikat, dan sudah
bersertifikat. Dalam penelitiannya penulis hanya meneliti perkembangan perwakafan yang
terjadi pada tahun 2005 – 2009.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian skripsi ini di samping untuk menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Syariah
dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta guna mendapat gelar kesarjanaan Hukum
Islam, juga bertujuan:
1. Untuk mengetahui peta perwakafan masyarakat Kecamatan Cikole Kota
Sukabumi.
2. Untuk mengetahui berapa banyak wakaf yang dicatatkan dan yang tidak
dicatatkan yang sudah terdaftar di KUA Kecamatan Kota Sukabumi.
3. Untuk mengetahui alasan masyatrakat tidak mencatatkan ikrar wakaf di
PPAIW atau di KUA.
Selain tercapainya tujuan yang diinginkan oleh penulis, penulis mengharapkan
adanya manfaat dari hasil penelitian ini yang bisa dirasakan oleh masyarakat. Adapun
manfaat dari penelitian tersebut adalah:
a. Memberikan kejelasan pada masyarakat tentang pentingnya sistem
administrasi dalam praktek ikrar wakaf.
(20)
penegakan hukum mengenai harta benda wakaf yang belum
tersertifikasi.
c. Untuk menambah ilmu dan wawasan bagi peneliti khususnya dan
pembaca umumnya.
F. Metode Penelitian
Di dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini penulis menggunakan beberapa metode
penelitian yang sering digunakan oleh peneliti lainnya dan sering menjadi pedoman dalam
pelaksanaan penelitian.
1. Jenis Penelitian
Penelitian kepustakaan (Library Research), yakni dengan mencari dan
mengumpulkan serta menganalisa buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan wakaf
dan pencatatan ikrar wakaf yang kemudian bahan-bahan tersebut dijadikan rujukan.
2. Sumber Data
Dalam pengambilan sumber data, penulis menggunakan cara sebagai berikut:
a. Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat. Data ini
(21)
b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka. Data ini terdiri dari PP
No. 28 tahun 1977, Kompilasi Hukum Islam, Undang – undang No. 41 Tentang Wakaf, serta dokumen lainnya yang membahas tentang perwakafan.
3.Teknik Pengumpulan Data
Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, digunakan metode sebagai berikut:
a. Metode Observasi
Metode observasi bertujuan bertujuan untuk mendiskripsikan hasil temuan
penulis dilapangan, yang didasarkan pada informasi yang diberikan oleh pihak KUA.
b. Teknik Wawancara
Teknik ini digunakan untuk memperoleh informasi tentang jumlah tanah wakaf
yang belum bersertifikat dan sudah bersertifikat, serta hal – hal yang menyebabkan tanah wakaf tidak dicatatkan. Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara
pada pihak yang bersangkutan yaitu pihah KUA, pihak wakif, serta pihak nadzir.
c. Studi Dokumenter
Dalam penelitian ini studi dokumenter digunakan untuk mencari dan
mengungkapkan data yang diperoleh dari instansi terkait khususnya dari pihak KUA
Kecamatan Cikole Sukabumi.
(22)
Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik deskriptif
kualitatif. Teknik analisis data deskriptif kualitatif merupakan metode untuk memaparkan,
menafsirkan serta menguraikan data yang bersifat kualitatif yang diperoleh dari hasil
observasi, wawancara dan dokumenter.
5.Teknik penulisan laporan
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam laporan penelitian ini berdasarkan
buku pedoman penulisan skripsi, yang di terbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta pada tahun 2007.
G. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan skripsi in penulis membagi kedalam beberara Bab dan
Sub-Bab yang terdiri dari :
BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan masalah, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II : Pengertian wakaf dan ruang lingkup wakaf yang terdiri dari pengertian wakaf, sejarah perwakafan, dan ruang lingkup perwakafan.
BAB III : Letak Geografis wilayah Kecamatan Cikole yang terdiri dari profil masyarakat Kecamatan Cikole, Profil Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Cikole.
(23)
Cikole Sukabumi, dalam bab ini dijelaskan pelaksanaan perwakafan di Kecamatan
Cikole, pandangan masyarakat tentang pendaftaran ikrar wakaf, serta persentase
perwakafan di Kecamatan Cikole Sukabumi.
BAB V : Bab ini berisi penutup yang menguraikan kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Cikole sukabumi, serta saran penulis agar tercapainya
(24)
BAB II
RUANG LINGKUP PERWAKAFAN
A. Pengertian Wakaf
Wakaf menurut bahasa arab berarti “al-habsu”, yang berasal dari kata kerja habasa-yahbisu-habsan, menjauhkan orang dari sesuatu atau memenjarakan. Kemudian kata ini berkembang menjadi “habbasa” dan berarti mewakafkan harta karena Allah.
Kata wakaf sendiri berasal dari kata kerja waqafa (fiil madi)-yaqifu (fiil mudari‟)- waqfan (isim masdar) yang berarti berhenti atau berdiri. Sedangkan wakaf menurut istilah
adalah “menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau
merusakkan bendanya (ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.6
Wakaf menurut hukum Islam dapat juga berarti menyerahkan suatu hak milik yang
tahan lama zatnya kepada seseorang atau nadzhir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan
maupun berupa badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan
untuk hal-hal yang sesuai dengan syariat Islam.7
6
Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah Di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada 2002), hal. 25
7
(25)
1. Pengertian wakaf menurut ulama fiqh
Adapun pengertian wakaf secara terminologi sangat beragam di kalangan fuqoha.
Berikut ini beberapa pengertian wakaf yang dikemukakan oleh imam-imam madzhab:
a. Imam Abu Hanifah mendefinisikan wakaf adalah:
Wakaf adalah menahan benda orang yang berwakaf (wakif) dan mensedekahkan
manfaatnya untuk kebaikan.8
Berdasarkan defenisi diatas, mazhab Hanafi berpendapat bahwa mewakafkan harta
bukan berarti meninggalkan hak milik secara mutlak, dan orang yang mewakafkan boleh
saja menarik wakafnya kembali kapan saja ia kehendaki dan boleh diperjual belikan oleh
pemilik semula. Bahkan menurut Abu Hanifah, jika orang yang mewakafkan tersebut
meninggaldunia, maka pemilikan harta yang diwakafkannya berpindah menjadi hak ahli
warisnya.
b. Menurut Imam Malik
Wakaf adalah menjadikan manfaat benda yang dimiliki baik yang berupa sewa atau
hasilnya untuk diserahkan kepada yang berhak (mauquf „alaih) dalam bentuk penyerahan
8
(26)
yang berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan
(wakif).9
Berdasarkan defenisi ini seseorang yang mewakafkan hartanya dapat menahan
penggunaan harta benda tersebut secara penuh dan membolehkan pemanfaatan hasilnya
untuk tujuan kebaikan, dengan tetap kepemilikan harta yang pada diri sang wakif. Adapun
masa berlakunya harta yang diwakafkan tidak untuk selama-lamanya, melainkan untuk
jangka waktu tertentu sesuai kehendak orang yang mewakafkan pada saat mengucapkan
sighat (akad) wakaf. Oleh karenanya, bagi Maliki, tidak disyaratkan wakaf
selama-lamanya.
c. Menurut Hanbali
Wakaf adalah menahan secara mutlak kebebasan pemilik harta dalam
membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan dengan tetap utuhnya harta, dan
memutuskan semua hak penguasaannya terhadap harta tersebut, sedangkan manfaatnya
diperuntukkan bagi kebaikan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah.10
Berdasarkan pada pengertian ini, Hanbali barpendirian bahwa apabila suatu wakaf
sudah sah, maka hilanglah kepemilikan orang yang mewakafkan tersebut atas harta yang
diwakafkannya.
9
Sayyid Ali Fiqr, al- Mu‟amalah al- Madiyah wa al-Adabiyah, (Mesir: Musthafa al-babyal-Halabi,
1938), Juz 2, h.304 10
Sayyid Ali Fiqr, al-Mu‟amalah al-Madiyah wa Al-Adabiyah, (Mesir: Musthafaal-baby al-Halaby,
(27)
Sesuai dengan defenisi-defenisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian
wakaf dalam syariat Islam kalau dilihat dari perbuatan orang yang mewakafkan, wakaf
ialah suatu perbuatan hukum dari seseorang yang dengan sengaja
memisahkan/mengeluarkan harta bendanya untuk digunakan manfaatnya bagi keperluan
dijalan Allah/dalam kebaikan.
Timbulnya perbuatan wakaf itu tidak lepas dari tujuan melaksanakan ibadat yang
diperintahkan oleh agama. Oleh sebab itu, dilihat dari segi kedudukannya sebagai lembaga
hukum, maka wakaf itu merupakan lembaga hukum Islam yang dianjurkan kepada setiap
muslim yang mempunyai harta benda guna diperuntukkan bagi kepentingan umum menurut
syarat-syarat yang telah ditentukan.11
2.Pengertian wakaf menurut hukum positif dan para ahli hukum
Pengertian wakaf menurut PP No. 28 Tahun 1977, tentang perwakafan tanah milik
pasal 1 ayat (1) wakaf ialah perbuatan hukum seseorang atau badan hukumyang
memisahkan sebagian harta kekayaan yang berupa tanah milik, dan melembagakan untuk
selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya, sesuai
dengan ajaran Islam.12
11
Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Darul Ulum Press 1999), Cet Ke-11,
hal. 26 12
(28)
Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, didalam Pasal 1 di jelaskan:
wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah.13
Pengertian yang sama juga tercantum dalam Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991
pasal 215 menyatakan: “Wakaf adalah perbuatan hukmseseorang atau sekelompok orang
atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta benda miliknya dan
melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum
lainnya sesuai dengan ajaran Islam”.
Jika pada pasal 1 (1) PP No. 28 Tahun 1977 dengan tegas menyatakan benda wakaf
itu adalah tanah milik, maka pada Inpres No. 1 Tahun 1991 pasal 215 (1) lebih umum.
Pasal ini menyatakan bahwa benda wakaf itu adalah benda milik. Ini berartu bahwa benda
yang dapat diwakafakan itu bukan saja hanya tanah milik, tetapi juga dapat berupa benda
milik lainnya, benda tetap yang disebut al-aqr atau benda bergerak yang disebut al-musya.14
Dalam KHI Pasal 215 ayat dijelaskan bahwa perbuatan hukum seseorang atau
kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
13
Departemen Agama RI, Undang-Undang RI No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, h. 3
14
Juhaya, Perwakafa di Indonesia: Sejarah, Pemikiran , Hukum dan Perkenbangannya, (bandung:
(29)
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan
umumlainnya sesuai dengan ajaran Islam.15
Menurut Maulana Muhammad Ali, LLB. Wakaf adalah penetapan yang bersifat
abadi untuk memungut hasil dari barang yang diwakafkan guna kepentingan orang-orang
atau yang bersifat keagamaan atau untuk tujuan amal.
Sedangkan menurut Dr. Anwar Haryono, S.H. Wakaf adalah pelepasan hak milik
seorang muslim yang hanya manfaat atau hasilnya (buahnya) dipergunakan untuk
kepentinagan umum. Penglepasan hak milik secara wakaf ini dinilai sebagai sadaqoh
jariyah (continue).16 Adapun defenisi wakaf di Indonesia merupakan campuran pendapat
madzhab Hanbali dan madzhab Syafi‟i yang umumnya dianut di Indonesia, secara jelas termaktb dalam PP No.28 Tahun 1977.
B. Landasan Hukum Perwakafan
1) Dasar hukum wakaf menurut hukum Islam
15
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam,
2000 16
Juhaya, Perwakafa di Indonesia: Sejarah, Pemikiran , Hukum dan Perkenbangannya, (bandung:
yayasan piara pengembanag ilmu agama dan humaniora,1995), h.26
(30)
a. al-Qur’an
Dasar hukum wakaf sebagai lembaga yang diatur dalam ajaran Islam tidak dijumpai secara tersurat di dalam al-Qur‟an. Namun demikian, terdapat ayat-ayat yang memberi petunjuk, dan dapat dijadikan sebagai sumber hukum perwakafan . ayat tersebut ialah surat Al-Baqoroh ayat 261 yang berbunyi:
Artinya:Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.
Walaupun didalam al-Qur‟an tidak disebutkan secara tegas kata-kata wakaf, akan tetapi ayat-ayat tersebut menjelaskan di syariatkannya menefkahkan harta yang kita miliki
untuk kemaslahatan umum. Dan salah satu caranya adalah perakafan dan hukum wakaf
adalah sunnah yang sangat dianjurkan, karena amalan wakaf akan tetap mengalir walaupun
(31)
b. Al-Hadits
1. Hadits dari Ibnu Umar yang Artinya:
“Dari Ibnu Umar r.a bahwasanya Umar bin Khattab mendapat bagian sebidang kebun di
Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi SAW untuk meminta nasehat tentang harta itu. Ia
berkata: “ya Rasulullah aku telah memperoleh sebidang tanah di Khaibar yang aku belum
pernah peroleh tanah seperti itu,apakah nasehat enhkau kepadaku tentang tanah itu?
Rasulullah menjawab: “jika kamu menginginkan, tahanlah aslinya dan shadakahkan hasilnya. Maka bershadakahlah Umar, tanah tersebut tidak bisa dijual, dihibahkan dan diwariskan dan menshadakahkan kepada orang-orang fakir, budak-budak, pejuang dijalan Allah, Ibnu sabil, dan tamu-tamu. Tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya (nazhir) memakan sebagian dari harta itu secara patut atau memberi makna asal tidak bermaksud
mencari kekayaan (H.R Muslim)”.17
2. Hadits riwayat Abu Hurairah yang berbunyi:
اث ْن َّا ع عطقْنا دا نْبا ا ا ا :
لْوعْ ي حلاص لو ْوا ب عف ْي ْع ْوا يراج ق ص )
س اور (
18
Artinya:
“Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak shaleh yang mendoakannya (HR Muslim)”.
Dari kedua hadits tersebut dapat diambil kesimpulan:
17
Hadits Ibnu Umar Muslim Ibn al-Hujaj Abu Husaini al-Qushairi al-Nisabury, Shohih Muslim,
(Bairut: Daar Ihya‟l al-Thusururi al-Arabiy), Juz 3 h. 1225 18
Imam Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyary al-Nisabury, Shahih Muslim, (Mesir: Daar
(32)
a) Wakaf adalah perbuatan ibadah dan ajaran Islam pun menganjurkan untuk berbuat
wakaf.
b) Wakaf adalah permanent statusnya artinya tidak boleh dirubah, dijual, dihibahkan,
apalagi diwariskan sesuai dengan sabda Nabi SAW.
c) Jenis wakaf harus kekal dan yang dishadakahkan harus hasilnya atau manfaatnya
saja.
d) Wakaf harus untuk kepentinagan umum bukan untuk pribadi yang dijadikan untuk
dijadikan kekayaan.
2) Dasar hukum wakaf menurut pemerintah Republik Indonesia
Sebagaimana yang telah disebut diatas, bahwa ada beberapa peraturan
perundang-undangan yang mengatur masalah perwakafan di Indonesia.
a. Undang-Undang Pokok Agraria
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) No. 5 Tahun 1960, masalah wakaf
dapat kita ketahui pada pasal 5, pasal 14 ayat 91 dan pasal 49 yang memuat
rumusan-rumusan di antaranya yaitu:
1. Pasal 5 UU PA menyatakan bahwa “hukum agararia yang berlaku atas bumi,
air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum nasional dan negara…….” Segala sesuatu dengan
(33)
2. Pada ayat 14 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah dalam rangka
sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan,
peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan
alam yang terkandung didalamnya untuk keperluan negara, untuk keperluan
peribadatan dan keperluan suci lainnya sesuai dengan ketuhanan Yang Maha
Esa.
3. Pasal 49 UU PA menyatakan bahwa hak milik tanah-tanah badan
keagamaan badan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang
keagamaan sosial, diakui dan dilindungi.
b. Peraturan – peraturan lainnya
1. PP No. 28 Tahun 1977, Maksudnya yaitu untuk memberikan jaminan
kepastian hukum mengenai tanah wakaf serta kemanfaatannya sesuai
dengan tujuannya. Dengan demikian berbagai penyimpangan dan
sengketa wakaf dapat dikurangi.
2. Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1977, Menindak lanjuti PP No.
28 Tahun 1977 di keluarkan peraturan Mendagri No. 6 Tahun 1977 yang
mengatur tentang tata pendaftaran perwakafan tanah milik memuat antara
lain persyaratan tanah yang diwakafkan, pejabat pembuata akta ikrar
wakaf, proses pendaftaran, biaya pendaftaran dan ketentuanperalihan.
(34)
keluarkan Peraturan Meneri Agama No. 1 Tahun1978 yang merinci lebih
lanjut tata cara perwakafan tanah milik antara lain tentang: ikrar wakaf
dan aktanya, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, hak dan kewajiban nazhir,
perubahan perwakafan tanah milik, pengawasan dan bimbingan.
3. Instruksi Presiden No. 1 Tahun1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI), Hukum perwakafan sebagaimana diatur oleh Kompilasi Hukum
Islam (KHI) di Indonesia pada dasarnya sama dengan hukum perwakafan
yang telah diatur oleh perundang-undangan yang telah ada sebelumnya.
Ada beberapa hal hukum perwakafan dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) tersebut merupakan pengembangan dan penyempurnaan
pengaturan perwakafan sesuai dengan hukum Islam.
4. Undang-Undang Tentang Yayasan Pengaturan tentang yayasan termuat
dalam undang-undang No. 16 Tahun 2001 tanggal 16 Agustus 2001 LN
Tahun 2001 No. 112 mengenai wakaf disinggung secara singkat dalam
pasal 15 ayat (3) yang isinya sebagai berikut:“Dalam hal kekayaan
yayasan berasal dari wakaf, kata “wakaf” dapat ditambahkan setelah kata “yayasan.”
5. SK Dir. BI No. 32/34/Kep/Dir tentang Bank Umum berdasarkan prinsip
syari‟ah. Pasal 29 ayat (2) berbunyi:
“Bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah atau
(35)
dana sosial lainnya dan menyalurkan kepada yang berhak dalam
bentuk santunan atau pinjaman kebajikan (qardlul hasan).”
6. SK Dir. BI No. 32/36/KEP/Dir tentang Bank Pengkreditan Rakyat
berdasarkan syari‟ah. Ketentuan ini diatur dalam pasal 28 yang berbunyi:
“BPRS dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal yaitu menerima
dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkan kepada yang berhak dalam bentuk santunan atau pinjaman kebajikan (qardlul hasan).19
C. Sejarah Perkembangnan perwakafan di Indonesia
Berbicara masalah wakaf dalam perspektif sejarah Islam, tidak dapat dipisahkan
dari pembicaraan tentang perkembangan hukum Islam dan esensi misi hukum Islam. Untuk
mengetahui perkembanngan hukum Islam perlu melakukan penelitian atau setidaknya
melakukan telaah terhadap teks (wahyu) dan kondisi sosial-budaya masyarakat dimana
hukum Islam itu berasal. Sebab hukum Islam merupakan “perpaduan” antara wahyu Allah SWT dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat wahyu itu diturunkan. Misi hukum
Islam sebagai aturan untuk sebagai aturan untuk mengejewantahkan nilai-nilai keimanan
dan aqidah mengemban misi utama ialah mendistribusikan keadilan bagi seluruh lapisan
masyarakat, baik keadilan hukum, sosial maupun keadilan ekonomi.
19
Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategi di Indonesia,
(36)
Islam adalah agama yang mempunyai aturan dan tatanan sosial, konkrit,
akomodatif, aplikatif, guna mengatur kehidupan manusia yang dinamis dan sejahtera, tidak
seluruh perilaku dan adapt istiadat sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW merupakan
perbuatan buruk dan jelek, tetapi tradisi Arab yang memang sesuai dengan nilai-nilai
agama Islam diakomodir di format menjadi ajaran Islam lebih teratur dan bernilai
imaniyah. Diantara praktek sosial yang terjadi sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW
adalah praktek yang menderma sesuatu dari seseorang demi kepentingan umum atau dari
satu orang untuk semua keluarga. Kemudian tradisi ini diakui oleh Islam menjadi hukum
wakaf, dimana seseorang yang mempunyai kelebihan ekonomi menyumbangkan sebagian
hartanya untuk dikelola dan manfaatnya untuk kepentingan umum.20
Berikut sejarah perkembangan praktek wakaf pada masa Rasulullah SAW dan para
sahabat:
1. Sejarah perwakafan pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat
Dalam sejarah Islam, wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf
disyariatkan setelah Nabi SAW berhijrah ke Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua
pendapat yang berkembang dikalangan ahli yurisprudensi Islam (fuquha) tentang siapa
yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama
20
Proyek Peningkatan Pemberdayaan Wakaf, Strategi Pengamanan Tanah Wakaf, (Jakarta: Ditjen
(37)
mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah
wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid. Sedangkan pendapat lain
mengatakan bahwa wakaf pertama kali dilakukan oleh Umar.
Amal wakaf yang dilakukan oleh sahabat Umar berupa berupa tanah di Khaibar,
kemudian disusul oleh Abu Talhah yang mewakafkan kebun kesayangannya “Bairoha”. Kemudian disusul oleh sahabat lainnya, seperti Abu Bakar, Usman, Ali bin Abi Thalib,
Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam, dan Aisyah istri Rasullah SAW.
Gairah amal wakaf ini kemudian dilakukan oleh umat Islam di seluruh dunia dari waktu ke
waktu sebagai amal ibadat kepada Allah SWT. Jumlah wakaf wakaf tidak terbatas kepada
bangunan ibadat atau tempat kegiatan agama saja, tetapi diperuntukkan bagi kepentingan
kemanusiaan dan kepentingan umum.
2. Perwakafan di Indonesia
Sejak datangnya Islam, sebagian besar masyarakat Indonesia melaksanakan wakaf
berdasarkan paham keagamaan yang dianut sebelum adanya UU No.5 Tahun 1960 tentang
perwakafan tanah milik masyarakat Islam Indonesia masih menggunakan
kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti melakukan perbuatan hukum wakaf secara lisan atas dasar
saling percayakepada seseorang atau lembaga tertentu, kebiasaan memandang wakaf
(38)
administratif, dan harta wakaf dianggap milik Allah semata dan siapa saja tidak akan berani
mengganggu gugat tanpa seizin Allah.
lembaga wakaf yang dipraktekkan di berbagai negara juga dipraktekkan di
Indonesia sejak pra Islam datang ke Indonesia walaupun tidak sepenuhnya persis dengan
yang terdapat dalam ajaran Islam. Namun spiritnya sama dengan syari‟at wakaf. Hal ini
dapat dilihat kenyataan sejarah yang sebagian masih berlangsung sampai sekarang di
berbagai daerah di Indonesia. Di Banten umpamanya, terdapat “Human serang” adalah ladang-ladang yang setiap tahun dilkelola secara bersama-sama dan hasilnnya
dipergunakan untuk kepentingan bersama. Menurut Rachmat Djatnika, bahwa bentuk ini
hampir menyerupai wakaf keluarga (al waqf al ahly) dari segi fungsi dan pemanfaatan yang
tidak boleh diperjual belikan.21
Adanya beberapa lembaga yang hampir sama dengan wakaf sebelum Islam
menimbulkan pandangan khusus bagi ahli hukum Indonesia terhadap lembaga wakaf.
Walaupun lembaga wakaf berasal dari fiqh Islam, namun bagi sebagian ahli hukum
Indonesia memandang masalah wakaf ini sebagai masalah dalam hukum adapt. Hal ini
21
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, (Jakarta,
(39)
disebabkan sudah meresapnya penerimaan lembaga waakf ini dikalangan masyarakat
Indonesia dan dianggap sebagai suatu lembaga hukum yang timbul sebagai hukum adat.22
Oleh karena itu pula, pengertian wakaf menurut adapt banyak persamaannya dengan
pengertian wakaf menurut hukum (fiqh) Islam. Ini dapat dilihat dari perumusan wakaf
dalam hukum adapt yang dikemukakan oleh para ahli hukum adat, diantaranya menurut
Hilman Hadikusumo, wakaf adalah memberikan, menyediakan sesuatu benda yang zatnya
kekal seperti tanah untuk dinikmati dan dimanfaatkan kegunaannya bagi kepentingan
masyarakat menurut ajaran Islam.23
D. Ruang lingkup perwakafan menurut hukum Islam
a. Ketentuan-ketentuan Dalam Perwakafan
Ketentuan dalam perwakafan terdiri dari rukun dan syarat wakaf.
a. Rukun wakaf
1) Wakif (pemberi wakaf)
Orang yang mewakafkan hartanya disebut wakif atau orang berwakaf, sebagai
subjek wakaf, wakif memiliki otoritas penuh terhadap harta yang ingin diwakafkan. Dan
kebebasan kehendak pewakaf terhadap pemanfaatan harta yang diwakafkan itu atas dasar
22
Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita,
(Bandung: Penerbit Alumni, 1979) h.14 23
Hilman Hadikusumo, Ensiklopedi Hukum Adat dan Adat Budaya Indonesia, (Bandung: Penerbit
(40)
kemauan yang kuat tanpa paksaan apapun untuk melakukan amal baik sebagai sadaqah
jariyah. Sedangkan, ibadah sadaqah jariyah dijanjikan pahala yang berkesinambungan,
walaupun wakif telah meninggal sekalipun.
Untuk menjadi seorang wakif ada beberapa syarat, yaitu:24
a) Orang yang berwakaf mesti sudah cakap bertindak yang sempurna, sehingga ia
boleh mentabarru‟kan hartanya yaitu sudah dipandang pantas dan patut untuk melakukan tindakan terhadap hartanya, yakin sudah baligh dan berakal
sempurna, serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan
hukum.
b) Tidak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa. Perbuatan orang yang mewakafkan
hartanya harus dengan kerelaan berdasarkan iradah dan ikhtiarnya, bila ia
melakukan wakaf karena ancaman, maka wakafnya dinilai tidak sah.
c) Orang yang berwakag diisyaratkan sebagai pemilik yang sah dari harta yang
diwakafkannya.25
2) Mauquf (harta yang diwakafkan)
Dalam mewakafkan harta, agar dianggap sah, harus memenuhi beberapa syarat,
yaitu:
24
Departemen Agama RI, Paradigma baru wakaf di Indonesia, (Jakarta: Proyek Pengembangan
Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimas Isam dan Penyelenggara Haji, 2005), h. 32 25
(41)
a. Barang yang bisa diambil manfaatnya dengan tetap kekal materinya, tidaklah
diisyaratkan harta yang diwakafkan itu harus bisa diambil langsung manfaatnya
seketika itu juga, karena itu mewakafkan tanah yang tandus untuk diperbaiki baru
kemudian ditanami hukumnya sah.
b. Benda yan diwakafkan itu mestilah milik sah dari pihak yang berwakaf, harus
merupakan benda milik yang terbebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan
sengketa, sebab wakaf adalah satu tindakan yang menyebabkan terbebasnya satu
kepemilikan menjadi harta wakaf.
c. Bukan barang haram atau najis.26
3) Mauquf „Alaih (orang yang menerima wakaf)
Syarat-syarat mauquf „ alaih adalah qurbat atau pendekatan diri kepada Allah SWT. Wakaf ada dua macam: wakaf ahli (wakaf dzurri) dan wakaf khairi. Wakaf ahli (wakaf
dzurri) kadang disebut dengan wakaf aulad adalah wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan sosial di lingkunangan keluarga. Sedangkan wakaf khairi adalah
wakaf yang diperuntukkan bagi segala amal kebaikan atau untuk kepentingan umum.27
4) Sighat (ikrar wakaf atau pernyataan wakaf dari wakif kepada mauquf „alaih)
Sighat adalah pernyataan wakif sebagai tanda penyerahan barabg atau benda yang
diwakafkan itu, dapat dilakukan dengan lisan maupun dengan tulisan. Sighat itu
26
Adi Jani Al-Alabij, Perwakafan tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rajawali,
1989), cet. Ke-1, h. 31 27
(42)
mempunyai syarat tertentu pula, yaitu: sighat itu tidak digantungkan, tidak diiringi syarat
tertentu, jelas dan terang, tidak menunjukkan batas waktu tertentu atau terbatas, tidak
mengandung pengertian untuk mencabut kembali terhadap wakaf yang diberikan.28
Untuk menentukan sahnya suatu wakaf harus dipenuhi beberapa syarat, yaitu:
a. Orang yang mewakafkan harus sepenuhnya berhak untuk menguasai benda
yang diwakafkan. Siwakif tersebut harus mukallaf (akal baligh) dan atas
kehendaknya sendiri, tidak di paksa orang lain.
b. Benda yang diwakafkan harus kekal zatnya, berarti ketika timbul manfaatnya,
zat barang tidak rusak, hendaklah wakaf itu disebutkan dengan terang dan
jelas kepada siapapun diwakafkan.
c. Hendaklah penerima wakaf tersebut orang yang memiliki sesuatu, maka tidak
sah kepada hamba sahaya.
d. Ikrar wakaf dinyatakan dengan jelas, baik dengan tulisan maupun dengan
lisan.
e. Tunai dan tidak ada khiyar, karena wakaf berarti memindahkan milik waktu
itu.29
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa melakukan kegiatan wakaf tidak
bisa dilakukan oleh sembarangan orang yang cuma memiliki keinginan saja, tetapi
28
M. Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press,1998), h. 80
29
(43)
harus memenuhi syarat-syarat yang menjadikan wakaf itu boleh dan sah untuk
dilakukan.
5) Nadzhir
Kehadiran nadzhir sebagai pihak yang diberikan kepercayaan dalam pengelolaan
harta wakaf sangat penting. Walaupun para mujtahid tidak menjadikan nadzhir sebagai
salah satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk nadzhir
wakaf. Baik yang bersifat perorangan maupun kelembagaan (badan hukum). Pengangkatan
nadzhir wakaf ini bertujuan agar harta wakaf tetap terjaga dan terurus sehingga harta wakaf
itu tidak sia-sia.
Posisi nadzhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi harta
wakaf mempunyai kedudukan yang pentinng dalam perwakafan. Sedemikian pentingnya
kedudukan nazhir dalam perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya wakaf bagi mauquk
„alaih sangat bergantung pada nadzhhir wakaf. Meskipun demikian tidak berarti bahwa nazhir mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang diamanahkan kepadanya.30
Mengingat salah satu tujuan wakaf ialah menjadikan sumber dana yang produktif,
tentu memerluka nazir yang mampu melaksanakan tugas-tugasnya secara profesional dan
30
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Fiqh Wakaf, (Jakarta, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat
(44)
bertanggung jawab. Apabila nazir tidak mampu melaksanakan tugas atau kewajibannya
maka pemerintah wajib menggantinya.31
Untuk lebih jelasnya, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh Nazhir
wakaf, yaitu sebagai berikut:
1. Syarat moral
a. Paham tentang hukum wakaf dan ZIS, baik dalam tinjauan syari‟ah maupun perundang-undangan negara RI.
b. Jujur, amanah dan adil sehingga dapat dipercaya dalam proses pengelolaan dan
pentasharrufan kepada sasaran wakaf.
c. Tahan godaan, terutama menyangkut perkembangan usaha.
d. Pilihan, sungguh-sungguh dan suka tantangan.
2. Syarat manajemen yaitu:
a. Mempunyai kasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership.
b. Visioner.
c. Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual, sosial dan pemberdayaan.
d. Profesional dalam bidang pengelolaan harta.
31
(45)
3. Syarat bisnis yaitu:
a. Mempunyai keinginan.
b. Mempunyai pengalaman dan siap untuk dimagangkan.
c. Punya ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya entrepreneur.
Nadzhir wakaf berwenang melakukan segala tindakan yang mendatangkan kebaikan
bagi harta wakaf bersangkutan dengan memperhatikan syarat-syarat yang telah
ditentukan wakif. Namun demikian, nazir tidak boleh menggadaikan harta wakaf
untuk tanggungan hutang harta wakaf atau tanggungan hutang tujuan wakaf. Sebab,
apabila nazir dibenarkan menggadaikan harta wakaf ada kemungkinan amalan
wakaf itu dijual atau disita untuk melunasi hutang tersebut.32
Dalam pengelolaan wakaf nazir berhak mendapat upah pengurusan harta wakaf,
selama ia melaksanakan tugasnya dengan baik, besar upah sesuai dengan ketentuan wakif.
Setelah semua syarat-syarat terpenuhi dibutuhkan juga diperlukan pengelolaan yang tepat,
supaya harta wakaf dapat digunakan sebagaimana mestinya.
2. Syarat-syarat wakaf
Wakaf dinyatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat pada pewakaf, benda yang
diwakafkan, pihak penerima wakaf dan perkataan yang diucapkan saat wakaf.
32
(46)
Syarat-syarat itu adalah:
a. Perwakafan benda itu tidak dibatasi untuk jangka waktu tertentu saja, tetapi
untuk selama-lamanya. Apabila ada wakaf yang dibatasi waktunya untuk
lima tahun misalnya maka tidak sah.
b. Tujuannya seperti yang telah dijelaskan diatas harus jelas. Apabila seorang
muakif menyerahkan hartanya kepada suatu badan hukum tertentu yang
sudah jelas tujuan dan usahanya, wewenang untuk penentuan untuk tujuan
wakaf itu berada pada badan hukum yang bersangkutan sesuai dengan tujuan
badan hukum itu.
c. Wakaf harus segera dilaksanakan setelah ikrar wakaf dinyatakan oleh wakif
tanpa menggantungkan pelaksanaannya pada suatu peristiwa yang akan
terjadi di masa yang akan datang, karena ikrar wakaf itu menyebabkan
lepasnya hubungan kepemilikan seketika juga, antara wakif dengan wakaf
yang bersangkutan.
d. Wakaf yang sah wajib dilaksanakan, karena ikrara wakaf yang dinyatakan
oleh wakif berlaku seketika dan untuk selama-lamanya.33
33
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1998), cet
(47)
3. Macam-macam Wakaf
Ditinjau dari peruntukan wakaf, wakaf terbagi menjadi dua macam:
a. Wakaf Ahli
Wakaf ahli, yaitu wakaf yang manfaatnya dan hasilnya hanya diberikan oleh wakif
kepada seseorang atau sekelompok orang berdasarkan hubungan dan pertalian yang
dimaksud oleh wakif. Seperti wakaf untuk tetangga dengan jumlah dan nama yang telah
ditentukan oleh wakif, wakaf untuk istri dan anak-anaknya dan keturunannya.34
b. Wakaf Khairi
Wakaf khairi yaitu wakaf yang sejak semula manfaatnya diperuntukkan untuk
kepentingan umum, tidak dikhususkan pada orang-orang tertentu, seperti mewakafkan
tanah untuk mendirikan masjid, mewakafkan sebidang kebun yang hasilnya dapat
dimanfaatkan untuk membina suatu pengajian dan sebagainya.35
Dilihat dari segi kepentingan umum maka wakaf khairi ini lebih banyak manfaatnya
bagi kaum muslimin. Dasar hukum wakaf khairi ini ialah hadist yang menerangkan tentang
wakaf Umar bin Khatab, yang diperuntukkan bagi jalan Allah untuk memerdekakan budak,
34
Munzir qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta: Khalifa, 2007), cet. Ke-3, h. 24
35
(48)
untuk fakir miskin, dan untuk orang-orang terlantar, yang semuanya itu berhubungan
lansung dengan kepentingan umum.
Dalam Kompilasi hukum Islam (KHI), hanya terdapat wakaf khiri (umum) dan
tidak memperbolehkan wakaf ahli (keluarga). Hal tersebut dikarenakan adanya pengaruh
pengalaman sejarah dalam praktek wakaf. Akan tetapi, efek buruknnya adalah etos kerja
umat Islam menjadi lemah dan enggan berkreasi karena secara ekonomi mereka dijamin
oleh hasil dana wakaf ahli (keluarga).36
4. Penyelesaian Sengketa Benda Wakaf Menurut Hukum Islam
Tugas hakim dalam negara Islam adalah untuk menegakkan keadilan diantara
manusia, menyelesaikan persengketaan, permusuhan, dan tindak kriminal maupun
kezaliman. Dia juga menjadi wali bagi orang yang tidak memiliki kecakapan hukum untuk
mengurusi dirinya sendiri, menjadi wali dalam pengelolaan wakaf, dan tugas lainnya yang
berkenaan dengan penyelesaian macam-macam persengketaan yang diajukan kepadanya.37
Dulu Nabi Muhammad SAW berperan langsung dalam menangani tugas kehakiman
di negara Islam, disamping sebagai pemimpin negara. Begitu pula kebiasaan ini
berlangsung hingga khalifah setelahnya.
36
Ibid. h. 32 37
(49)
Namun, setelah negara Islam bertambah luas, para hakim ditugaskan diberbagai
negara dan pelosok daerah Islam untuk menyelesaikan perselisihan dan sengketa yang
terjadi diantara umat manusia.38
Keadaan seperti ini berlangsung cukup lama. Para hakim melaksanakan tugasnya
untuk memeriksa seluruh persengketaan dan pengajuan ynag diajukan pada mereka, dan
menyelesaikan berdasarkan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan dalam fiqh Islam.
Bahkan, situasi seperti berlanjut hingga kekhalifahan Usmaniyah, yang kekuasaannya
menjangkau wilayah negara Turki sekarang ini dan seluruh kawasan Arab. Serta sebagian
besar daerah Balkan sampai ke negeri Austria.
Perluasan daerah Islam dan perkembangan penyebaran penduduk, serta perubahan
yang terjadi dalam kehidupan, berpengaruh basar pada penguasa di negeri Usmaniyah saat
itu, untuk menerapkan undang-undang dan hukum yang bisa mengatur jalannya
persidangan dalam kasus yang terjadi di masyarakat. Sekaligus, memberikan pembatasan
atau pembagian bidang-bidang peradilan, berdasarkan semua bentuk persoalan yang
diajukan, dengan kesiapan penerapan hukum yang tepat tentang kasus tersebut.
Adapun, langkah yang diterapkan oleh khalifah Usmaniyah, tidak lebih, hanya
sebagai tindak lanjut dari pendapat yang sudah dikembangkan oleh para ahli fiqh yang
menganggap bolehnya menempatkan hakim khusus, sesuai dengan jenis kasus gugatan.
38
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, (Ciputat: Dompet Dhuafa Republika dan II
(50)
Mereka juga membolehkan penentuan masing-masing hakim untuk bertugas pada waktu,
tempat dan untuk pengikut mazhab tertentu. Penguasa juga boleh menempatkan hakim
khusus untuk menangani segala bentuk kasus yang sering diajukan. Seperti, pengangkatan
hakim yang khusus menangani gugatan kasus pernikahan, atau gugatan kasus perdata, atau
kasus sosial, kasus perdagangan dan lain-lain.
Pemberian jabatan secara khusus, dari penguasa kepada hakim untuk menyelesaikan
satu kasus, adalah suatu kewajiban. Hakim tidak boleh memprotes dan tidak boleh
seenaknya menangani kasus yang berbeda dengan bidang hukum yang ditanganinya. Sebab,
semua ini dijalankan untuk menegakkan sistem yang mengatur masyarakat. Seorang hakim
diperbolehkan terlebih dahulu, memeriksa kasus kalau sudah ada pengaduan. Meski belum
sampai pada inti persoalan. Hal ini sekedar untuk mengecek, apakah kasus ini ada
hubungannya dengan tugas khusus yang diembannya, tanpa memanggil pihak tergugat.
Pendapat para fuqaha ini kemudian dipakai sebagai dasar praktik para hakim di Irak.
Di antara hukum syariat tersebut adalah undang-undang khusus yang membagi
struktur peradilan (mahkamah) menjadi beberapa bagian dan tingkatan. Setiap struktur
bertugas untuk menangani satu jenis kasus saja.
Gugatan wakaf termasuk tugas khusus dari Mahkamah Syar‟iyah. Dimana, tugas khususnya adalah mengawasi sah atau tidaknya gugatan wakaf, dan gugatan yang
(51)
estate/pemukiman) maupun mustaghallat (segala bentuk barang wakaf yang di ambil
manfaatnya), dimana para ulama menganggap sebagai wakaf yang sah. Juga, menyegel dan
menyita harta orang yang terjerat hutang (pailit) atau safih (orang yang tidak cakap hukum
untuk mengatur harta). Atau, untuk mengangkat wali bagi anak kecil. Orang gila dan orang
idiot. Atau, tugas untuk membagikan warisan, memimpin akad nikah, talak, nafkah dan
hadhanah (pemeliharaan anak dibawah umur). Dan hal pertama yang harus ditinjau oleh
hakim setelah kasus itu diajukan kepadanya adalah pengkatogorian (layak atau tidak) kasus
sengketa.
Karenanya, Said bin Musayyib berkata: “Hakim yang mengenal mana penggugat
dan mana tergugat yang sebenarnya, maka tidak ada kesulitan baginya untuk
menyelesaikan kasus hukum antara keduanya.
Dari sini, perlu dibedakan antara pengugat dan tergugat dalam hal-hal berikut ini:
a. Cara menyelesaikan sengketa adalah dengan mengembalikan hak seseorang dari
orang lain yang berhak atasnya. Mengenal siapa tergugat dan siapa penggugat,
dalam suatu kasus, dengan jeli bisa menegakkan keadilan. Yaitu, dengan cara
mengembalikan hak kepada pemiliknya yang sah dari tangan orang lain yang
tidak berhak.
b. Penggugat adalah orang yang harus mampu membuktikan kebenaran
(52)
membantha maka ia harus bersumpah jika memang gugatannya tidak kuat. Hal
ini didasarkan atas sabda Rasul SAW yang artinya: “(mengajukan) bukti adalah tugas penggugat dan sumpah diharuskan atas tergugat.”
c. Untuk menentukan tempat dan jenis gugatan, terlebih dahulu harus mengetahui
siapa penggugat dan tergugat. Karena menurut fuqoha, hukum atau
undang-undang yang baik adalah yang sesuai dengan zamannya. Dan khusus untuk
kasus gugatan yang berkenaan dengan hak milik, gugatan harus diajukan
ditempat si tergugat.
5. Penyelesaian Sengketa Benda Wakaf Menurut Hukum Positif
Dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf menegaskan bahwa
penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mufakat. Apabila
penyelesaian sengketa melalui musyawarah tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan
melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan. Selanjutnya disebutkan dalam penjelasannya,
bahwa yang dimaksud dengan mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak
ketiga (mediator) yang disepakati oleh pihak yang bersengketa. Dalam hal mediasi tidak
berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa kepada badan
arbitrase syariah. Dalam hal badan arbitrase syariah tidak berhasil menyelesaikan sengketa,
maka sengketa tersebut dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau mahkamah syariah.
Hal tersebut sejalan dengan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
(53)
Peradilan Agama, yang menyebutkan “Pengadilan Agama bertugas dan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam, dibidang: a) Perkawinan, b) Waris, c) Wasiat, d) Hibah, e) Wakaf, f)
Zakat, g) Infaq, h) Shadaqah, i) Ekonomi syari‟ah.”
Mengenai teknis dan tata cara pengajuan gugatan ke Pengadilan Agama, dilakukan
menurut ketentuan yang berlaku. Kemudian Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam
menegaskan bahwa “Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan
kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan”.
Penyelesaian perselisihan yang menyangkut persoalan harta benda wakaf diajukan
kepada Pengadilan Agama dimana harta benda wakaf dan Nazhir itu berada, hal ini di atur
dalam Pasal 12 PP. No. 28 Tahun 1977.39
Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur masalah ketentuan pidana dalam
perwakafan, namun demikian bukan karena kompilasi tidak setuju adanya ketentuan ini,
akan tetapi lebih karena posisi kompilasi adalah merupakan pedoman dalam perwakafan.
Oleh karena itu apabila terjadi pelanggaran pidana dalam perwakafan, maka
penyelesaiannya dapat didasarkan pada Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004,
yaitu:
39
(54)
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual,
mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta
benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp.500.000.000,00(limaratusjutarupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda
wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas
atas hasil pengelolaan dan pengem¬bangan harta benda wakaf melebihi
jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Selain sanksi pidana tersebut di atas, juga terdapat sanksi administrasi, yaitu
sebagaimana tercantum dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, yaitu
(55)
(1) Menteri dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran tidak
didaftarkannya harta benda wakaf oleh lembaga keuangan syariah dan
PPAIW sebagaimana dimaksud dalamPasal30danPasal32;
(2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatantertulis:
b. penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf
bagi lembaga keuangan syariah
c. penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan
PPAIW.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
E. Status Harta Wakaf yang tidak bersertifikat dalam Hukum Islam
Dalam hukum Islam pencatatan suatu transaksi dalam bermuamalah itu sangatlah di
anjurkan oleh Allah SWT, dengan maksud untuk menghindari terjadinya perselisihan di
antara ke dua belah pihak yang berakad, dan menghindari terjadinya saling mendzalimi
antara satu sama lain. Seperti di ungkapkan dalam Al –Qur‟an Surat Al- Baqarah Ayat 282 yang berbunyi:
(56)
Artinya :“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.”
Kata Bermuamalah disini sangat umum dalam penafsirannya antara lain seperti
berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa serta segala treansaksi yang di anggap
penting bagi suatu kaum dan bila tidak di catatkan akan menimbulkan suatu perselisihan
dan pertengkaran antara dua belah pihak yang bertransaksi. Menurut Quraish Shihab, kata
tadayyun itu bermakna muamalah dan di ambil dari kata dayyun yang mempunyai beberapa
arti yaitu bisa diartiakan jual beli, utang piutang dan sebagainya. Yang berarti suatu
transaksi yang di lakukan oleh kedua belah pihak itu tingkatnya sangat tinggi dan harus di
catatkan sesuai dengan isi dari akad tersebut.40
7. Status Harta Wakaf yang tidak bersertifikat dalam Hukum positif
Tanah wakaf yang mempunyai kepastian hukum ialah yang mempunyai
syarat-syarat administrasi yang telah diatur oleh ketentuan PP No. 28/1977 serta peraturan
40
M. Quraish Shihab. Tafsir Al – Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al- Qur‟an). (Jakarta.
(57)
pelaksanaannya, khususnya mempunyai sertifikat tanah. Tanah wakaf tersebut dapat
dimanfaatkan sesuai ndengan tujuan wakaf. Sebaliknya, tanah wakaf yang tidak
mempunyai persyaratan seperti ketentuan PP No. 28/1977, tidak mempunyai kepastian
hukum. Sehingga terdapat data-data tanah wakaf dimiliki orang lain yang tidak berhak,
menjadi sengketa dan tidak dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.41
Memang ada kendala kenapa tanah wakaf di Indonesia sampai saat ini masih
banyak yang belum mempunyai sertifikat tanah wakaf, karena banyaknya tanah wakaf yang
tidak mempunyai bukti perwakafan, seperti surat-surat yang memberikan keterangan bahwa
tanah tersebut telah diwakafkan. Tanah wakaf yang tidak mempunyai bukti administratif
tersebut karena banyak para wakif yang menjalankan tradisi lisan dengan kepercayaan yang
tinggi jika akan mewakafkan tanahnya tanahnya kepada Nazhir perorangan maupun
lembaga, khususnya pelaksanaan wakaf sebelum PP No.28 Tahun 1977.
Di samping faktor awal keengganan wakif dalam pembuatan sertifikat wakaf, di
lingkungan internal birokrasi sendiri, khususnya BPN terdapat beberapa kendala. Kendala
utama adalah faktor pembiayaan administrasi proses sertifikasi wakaf yang belum memadai
dari pihak pemerintah, khususnya Departemen Agama. Anggaran bantuan sertifikasi dari
Departemen Agama memang selalu diajukan, namun karena keterbatasan anggaran Negara,
sehingga belum mendapat alokasi dana yang memadai.
41
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif, (Jakarta:
(58)
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT KECAMATAN CIKOLE SUKABUMI
A. Kecamatan Cikole
I. Letak Geografis Kecamatan Cikole
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 6 Tahun 2008 tentang
Pembentukan Dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah Kota Sukabumi, Pasal 27 ayat 1
menyebutkan bahwa Kecamatan merupakan Perangkat Daerah sebagai pelaksana teknis
kewilayahan yang mempunyai wilayah kerja tertentu, dipimpin oleh Camat yang berada
dibawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Daerah, melalui Sekretaris Daerah.42
Disamping Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 6 Tahun 2008 tentang
Pembentukan Dan Susunan Organisasi Dan Perangkat Daerah Kota Sukabumi, Camat
menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Walikota Sukabumi
berdasarkan Keputusan Walikota Sukabumi Nomor 184 Tahun 2004 tentang Pelimpahan
Sebagian Kewenangan Pemerintahan dari Walikota Sukabumi kepada Camat, dan meliputi
22 bidang.
42
(59)
Table 3.1
Luas Wilayah Kecamatan Cikole Per Januari 201043
NO. Nama Kelurahan Luas Wilayah
1 Kel. Gunung Parang 64,40 Ha
2 Kel. Selabatu 96,46 Ha
3 Kel. Cikole 78,84 Ha
4 Kel. Kebonjati 48,16 Ha
5 Kel. Cisarua 200,30 Ha
6 Kel. Subang Jaya 220,12 Ha
Jumlah 708,28 Ha
Keterangan: Data Kecamatan Cikole
Berdasarkan datas diatas bahwa luas wilayah dari Kecamatan Cikole adalah 708,28
Ha. Dengan luas wilayah paling luas adalah kelurahan Subang Jaya dengan luas 220,12 Ha.
II. Demografis masyarakat wilayah Kecamatan Cikole: a) Jumlah Penduduk
43
(60)
Tabel 3.2
Jumlah Penduduk Kecamatan Cikole Tahun 200944
No Kelurahan Lelaki Perempuan Jumlah
1 Cikole 2.666 2.767 5.433
2 Selabatu 4.634 4.732 9.366
3 Kebonjati 3.866 3.942 7.808
4 Gunung Parang 1.923 2.419 4.342
5 Cisarua 8.306 8.212 16.518
6 Subang Jaya 6.542 6.387 12.929
Jumlah 27.937 28.459 56.396
Keterangan: Data Kecamatan Cikole
a) Menurut Agama45
- Pemeluk Agama Islam : 49.908
- Pemeluk Agama Protestan : 1.943
- Pemeluk Agama Khatolik : 1.605
- Pemeluk Agama Hindu : 781
- Pemeluk Agama Budha : 528
44
Ibid. h. 4 45
(61)
b) Sarana Peribadatan
Tabel berikut menguraikan jumlah sarana peribadatan yang ada di wilayah
Kecamatan Cikole.
Tabel 3.2
Jumlah Sarana Peribadatan46
No Sarana Peribadatan Jumlah
1 Mesjid 80
2 Langgar 84
3 Mushola 22
4 Majelis Ta‟lim 104
5 Gereja 12
6 Vihara 1
7 Pesantren 5
Jumlah 308
Keterangan: Data Kecamatan Cikole
B. KUA KECAMATAN CIKOLE
1. Letak Geografis Wilayah KUA Kecamatan Cikole
Dalam pembahasan sebelumnya telah di jelaskan masalah seputar wakaf menurut
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, pembahasan selanjutnya adalah dengan
memfokuskan pada proses perwakafan yang berlaku di wilayah KUA Kecamatan Cikole.
46
(62)
KUA Cikole terletak dalam Kecamatan Cikole di Sukabumi tengah tepatnya di Kota
Madya yang terdiri dari 6 (enam) kelurahan, yaitu:47
a. Kelurahan Selabatu
b. Kelurahan Kebonjati
c. Kelurahan Cikole
d. Kelurahan Gunung Parang
e. Kelurahan Cisarua
f. Kelurahan Subang Jaya
Kecamatan Cikole luasnya 708,28 Ha, yang terbagi dalam 68 Rw dan 327 Rt
dengan jumlah penduduk sampai akhir bulan Februari 2010 sebanyak 53.977 jiwa dengan
jumlah laki-laki 25.866 dan jumlah perempuan 28.111 jiwa dan meliputi 17.435 kepala
keluarga.
Adapun batasan wilayah Kecamatan Cikole antara lain sebelah utara berbatasan
dengan desa Cisarua dan desa Sukaraja, sebelah timur berbatasan dengan desa Sukaraja,
sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Gunung Puyuh dan Kelurahan Sriwidari, dan
sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Tipar dan Kelurahan Nanggeleng.48
Berikut pembagian kondisi atau keadaan
47
Ibid. h. 3 48
Agus Bukhari. Pengurus Administrasi Zakat dan Wakaf. Hasil wawancara pribadi tanggal 19 juni
(63)
Adapun letak KUA Cikole sekarang ini adalah berdampingan dengan kantor
Kecamatan Cikole, tepatnya di jalan. Mayawati Atas No. 11 Sukabumi kode pos 43113,
dengan luas tanah 120 M² dan luas bangunan 90 M² dan dibangun pada Tahun 1991.
Letak KUA Kecamatan Cikole tidak sulit dijangkau oleh masyarakat karena
posisinya yang sangat kondusif, artinya KUA tersebut berada di tengah-tengah lingkungan
masyarakat. Sehingga sangat mudah bagi masyarakat untuk datang berkonsultasi mengenai
masalah perselisihan keluarga dan perkawinan. Kondisi bangunan KUA Kecamatan Cikole
yang permanent dari segi kesehatan dan lingkungan maupun kegunaan juga layak untuk
digunakan.49
Ruangan atau gedung tersebut sangat nyaman digunakan dalam aktifitas apapun
seperti bimbinga penyuluhan agama dan pemberian penjelasan pada masyarakat yang
berada di wilayah tersebut, khususnya dalam kehidupan keluarga atau rumah tangga dalam
perkawinan.
2. Tugas KUA Kecamatan Cikole
Berdasarkan Keputusan Menteri Agama (KMA No. 517 Tahun 2001) KUA Cikole
adalah instansi Departemen Agama yang mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas
49
(1)
telah terpenuhi semua rukun, syarat, fungsi dan peruntukkan wakaf. dengan kata lain,
praktik wakaf sudah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan
fiqh. Meskipun masih terdapat beberapa lembaga atau nadzir yang sebagian kecil masih
belum mengerti proses pengelolaan dan pengembangan sesuai dengan
(2)
BAB V
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Dari uraian bab demi bab sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, hasil
penelitian ini menemukan:
a. Jumlah tanah wakaf yang belum bersertifikat dari tahun 2005 – 2009 di Kecamatan Cikole sebanyak 12 tanah wakaf, yang tersebar di empat
kelurahan yaitu kelurahan Kebon Jati, Cikole, Cisarua dan Subang jaya.
b. Jumlah tanah wakaf yang sudah bersertifikat dari tahun 2005 – 2009 di Kecamatan Cikole sebanyak 5 tanah wakaf, yang tersebar di tiga kelurahan
yaitu kelurahan Kebon Jati, Cisarua dan Subang jaya.
c. Sedangkan jumlah tanah wakaf yang masih dalam proses sertifikat dari
tahun 2005 – 2009 di Kecamatan Cikole sebanyak 9 tanah wakaf, yang tersebar di lima kelurahan yaitu kelurahan Selabatu, Kebon Jati, Cikole,
Cisarua dan Subang jaya.
d. Berdasarkan data yang didapat di lapangan ada dua faktor yang
menyebabkan masyarakat tidak mencatatkan ikrar wakaf yaitu jauhnya jarak
KUA dan calon wakif menganggap hal tersebut tidak penting.
(3)
a. Penulisan skripsi ini semoga dapat di jadikan acuan bagi para penerus bangsa
yang ingin meneliti lebih dalam mengenai permasalahan wakaf.
b. Dalam penulisan dan penelitian ini penulis mempunyai banyak kekurangan
sehinggahasil dari penelitiannya kurang sempurna, maka penulis
mengharapkan adanya penyempurnaan sesuai dengan perkembangan zaman.
c. Bagai para pengajar dan pembina perwakafan diharapkan adanya
penyempurnaan atas karya – karyanya sehingga dapat di pergunakan sesuai dengan permasalahan yang terjadi.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita, (Bandung: Penerbit Alumni, 1979)
Al-Alabij, Adijani, Perwakafan Tanah Di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002)
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Daar El-Fikr), Juz 3
Ali, Muhammad Daud Sistem dan Pengembangan Ekonomi Islam Melalui Zakat dan Wakaf, ( Jakarta: UI Press, 2004)
Al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa adilatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), Juz VII
Ar-Rifa‟i, M. Nasib Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), jilid 1, cet. Ke-1
Asy –Syarbini, Mughnil Muhtaz, (Mesir: Musthafaal-baby al-Halaby, 1957M-1337H) Juz 2 Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Undang-Undang Republik
Indonesia No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004)
_____________, Paradigma baru wakaf di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005)
____________, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, (Jakarta: Depag Agama RI, 2006
_____________, Peraturan Perundangan Perwakafan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006)
(5)
____________, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006)
___________, Wakaf, Strategi Pengamanan Tanah Wakaf, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004)
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam di indonesia, (Jakarta: Departeman Agama RI, 1998)
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Fiqh Wakaf, (Jakarta, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2006)
Effendi, Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004), cet. Ke-1
Fiqr, Sayyid Ali al- Mu‟amalah al- Madiyah wa al-Adabiyah, (Mesir: Musthafa al-babyal-Halabi, 1938), Juz 2
Hadikusumo, Hilman, Ensiklopedi Hukum Adat dan Adat Budaya Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni, 1977)
Halaqoh, Wakaf, Tradisi Sejak Zaman Nabi, Dialog Jumat Tabloid Republika, 17 Oktober 2008. Halim, Abdul, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Ciputat: Ciputat Press, 2005), cet. Ke-1
Hersanti, Eksistensi Wakaf Menurut Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, diakses pada tanggal 20 januari 2010 dari http://lontar.cs.ui.ac.id/gateway/file?file=digital/85839-T 16355a.pdf
Ismail, Bustamam Hukum Islam Tentang Wakaf, Infaq dan Haji, diakses pada tanggal 20 januari 2010 dari http://hbis.wordpress.com/
(6)
Juhaya, Perwakafa di Indonesia: Sejarah, Pemikiran , Hukum dan Perkenbangannya, (Bandung: yayasan piara pengembanag ilmu agama dan humaniora,1995)
Junaidi, Achmad, Menuju Era Wakaf Produktif, (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006)
Muslim, Imam Abu Husain bin Hajjaj Qusyary Nisabury, Shahih Muslim, (Mesir: Daar al-Hadits al-Qahirah, 1994), jilid VI, cet. 1
Nasution, Mustafa E. Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam: Peluang dan Tantangan Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, (Jakarta: PSTTI-UI, 2006)
Qahaf, Munzir Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta: Khalifa, 2007), cet Ke-3
Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), cet. Ke-4
Shihab, M. Quraish Tafsir Al – Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al- Qur‟an). (Jakarta. Lentera Hati. 2002) Vol. 1.
Usman, Suparman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1999), Cet Ke-11