Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas, Selasa 159 di kantor KPK, Jakarta, terkait sikap diam Presiden tersebut.
Selasa, Erry ke KPK untuk mengantar kepergian dua wakil ketua KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad ianto, untuk diperiksa polisi terkait kasus
dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pencegahan larangan ke luar negeri Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo serta pencegahan dan pencabutan
pencegahan mantan Direktur Utama PT Era Giat Prima Djoko S Tjandra.
Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia TII Teten Masduki juga menyarankan agar KPK mencari dukungan politis ke Presiden dan
DPR. Presiden bisa mengambil tindakan demi misi pemberantasan korupsi di Indonesia. “KPK harus maju terus. Periksa kekayaan polisi dan jaksa. KPK punya
wewenang untuk itu,” kata dia lagi.
Wakil Ketua KPK M Jasin menyatakan, pihaknya masih melihat semua perkembangan yang terjadi dalam pemeriksaan oleh polisi itu.
“Jika sangkaannya adalah penyalahgunaan wewenang seperti dalam mencekal dan menggeledah, sudah kami tegaskan berkali-kali, hal itu dilakukan
sesuai standar prosedur operasi dan undang-undang,” tegas dia. Presiden Yudhoyono, melalui Juru Bicara Kepresidenan Andi
Mallarangeng semalam, menyatakan tak bisa ikut campur soal saling periksa yang terjadi antara KPK dan Polri.
Menurut Mallarangeng, selain tugas kedua lembaga itu berbeda, keduanya menjalankan kewenangannya pula. “Yang penting pemberantasan korupsi
berjalan dan dijalankan kedua lembaga itu,” katanya. Menurut dia, beberapa waktu lalu, Presiden Yudhoyono mempertemukan
KPK dengan Polri dalam sebuah rapat koordinasi. Rapat koordinasi pemberantasan korupsi pernah dilakukan pada 13 Juli lalu bersama dengan
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta Polri.
Anggota Komisi III DPR, Topane Gayus Lumbuun, menilai wajar Polri memeriksa pimpinan KPK atau sebaliknya, KPK memeriksa petinggi Polri.
Namun, keduanya harus memiliki bukti yang kuat.
Proses eksklusi terjadi dalam berita ini, yaitu:
a. Pasivasi
Aktif Tetapi, ketika buktinya tidak kuat seperti yang sekarang terjadi
pemeriksaan pimpinan KPK hingga ada kesan polisi mengada- adakan,
persoalannya menjadi lain Pasif
Tetapi, ketika buktinya tidak kuat seperti yang sekarang terjadi pemeriksaan pimpinan KPK hingga ada kesan diada-adakan,
persoalannya menjadi lain.
Dalam kalimat pertama jelas disebutkan aktornya adalah polisi sedangkan dalam kalimat kedua tidak disebutkan siapa aktornya. Strategi wacana pasivasi
Universitas Sumatera Utara
disini menghilangkan aktor dari pemberitaan dan lebih menyorot pada objek. Perhatian khalayak hanya tertuju kepada siapa yang menjadi korban. Khalayak
tidak akan berpikir kritis dengan memikirkan siapa subjeknya.
Proses Inklusi terjadi dalam berita ini, yaitu :
a. Objektivasi-Abstraksi
Objektivasi Sudah kami tegaskan 4 kali, hal itu dilakukan sesuai standar
prosedur operasi dan undang-undang Abstraksi
Sudah kami tegaskan berkali-kali, hal itu dilakukan sesuai standar prosedur operasi dan undang-undang
Dalam kalimat pertama disebut secara jelas berapa kali KPK menegaskan
bahwa hal yang mereka lakukan sesuai standar dan hukum yang berlaku. Sedangkan dalam kalimat keuda dibuat dengan kata yang abstrak yaitu “berkali-
kali”. Pemakaian kata berkali-kali sering digunakan bukan karena ketidaktahuan narasumber tetapi lebih kepada strategi untuk menampilkan sesuatu. Dengan kata
“berkali-kali”, khalayak bisa mempersepsikan bahwa polisi dalam hal ini tidak mau tahu dan keras kepala sehingga pembelaan “berkali-kali´oleh KPK tidak
digubris. Tentu saja dengan pernyataan ini akan menimbulkan citra buruk polri. Kamis, 17 September 2009
Jangan Lindungi Koruptor Sikap Polisi Dipertanyakan
Sikap kepolisian yang menetapkan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan sangkaan penyalahgunaan wewenang dalam penekalan dan
pencabutan cekal telah menimbulkan tanda tanya publik. sikap polisi itu justru terkesan melindungi para koruptor, yaitu Anggoro Widjojo dan Djoko Tjandra.
Kecurigaan terhadap sikap polisi ini disampaikan Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia TII Teten Masduki dan Direktus Eksekutif
Universitas Sumatera Utara
Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Muchtar di Jakarta kepada Kompas, Rabu 169.
“Ternyata yang disangkakan kepada KPK bukanlah soal suap yang selama ini digembar-gemborkan polisi dan disampaikan kepada Presiden, melainkan
penyimpangan kewenangan yang menyangkut pencekalan. Ini kriminalisasi terhadap pemberantasan korupsi. Polisi, kok, malah sepertinya jadi pembela
Anggoro dan Djoko Chandra, bukannya bersinergi dengan KPK memburu koruptor,” tegas Teten.
Menurut Teten, pencekalan secara dini oleh KPK terbukti efektif untuk mengantisipasi para tersangka koruptor melarikan diri ke luar negeri. Teten juga
menilai KPK punya landasan hukum yang kuat, yaitu Pasal 12 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
“Saya melihat ini tidak terpisahkan dari upaya-upaya sistematis lainnya untuk melemahkan pemberantasan korupsi, usulan pemerintah memangkas
kewenangan penuntutan dan penyadapan, pelemahan pengadilan tipikor, dan RUU Rahasi Negara. Watak elite produk reformasi mulai kelihatan,” jelas Teten.
Zainal mengatakan, polisi harus terbuka kepada publik soal bukti yang mereka miliki. “Jika polisi tidak bisa membuka ke publik, jangan-jangan ini
bahasa lain,. Bahasa politik,” kata Zainal. Pelemahan KPK
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrahman Ruki menilai, langkah polisi menetapkan Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto
sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang harus disikapi. Upaya itu merupakan bagian dari pelemahan KPK yang dilakukan dengan menyerang
pimpinannya.
“ Di KPK, tidak masalah kalau dilempar batu atau ditembak. Namun, yang tidak tahan itu jika diserang dengan telur busuk, seperti lewat testimoni Antasari
Azhar,” kata Ruki di Jakarta. Untuk menghadapinya, lanjut Ruki, perlu dibentuk komite etik untuk
mengkaji adanya pelanggaran etik, moral, atau hukum dalam dugaan penyalahgunaan wewenang yang disangkakan kepada Chandra dan Bibit. “Jika
ternyata tidak ditemukan pelanggaran hukum, itu akan menjadi perlawanan serius dalam kasus ini,” kata dia.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pendidikan untuk Demokrasi Robertus Robert mengatakan, Presiden Yudhoyono seharusnya memahami problem
komplikasi pada masa-masa awal dan berakhirnya rezim otoritarian. “Problem yang selalu muncul di masa-masa awal dari berakhirnya rezim
otoritarian adalah pergesekan antara lembaga reformasi dan lembaga-lembaga lama, sebab selama ini lembaga-lembaga lama tersebut telah menjadi lembaga
yang korup dan sandaran dari penyalahgunaan wewenang,” katanya. Praperadilan
Masyarakat Antikorupsi Indonesia MAKI, Rabu, mempraperadilankan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia cq Kepala Badan Reserse Kriminal
Mabes Polri ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Koordinator MAKI Boyamin Salman di Solo, Rabu, menyatakan,
permohonan pemeriksaan praperadilan tidak sahnya penetapan tersangka terhadap
Universitas Sumatera Utara
dua pimpinan KPK tersebut telah didaftarkan MAKI ke PN Jakarta Selatan, Rabu kemarin.
Boyamin menilai, penetapan tersangka terhadap pimpinan KPK dengan tuduhan penyalahgunaan kewenangan baru kali ini terjadi dalam dunia hukum.
Proses eksklusi terjadi dalam berita ini, yaitu :
a. Pasivasi