disebutkan bahwa yang mempertanyakan sikap polisi adalah Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia
Aktif Upaya itu merupakan bagian dari pelemahan KPK yang polisi lakukan
dengan menyerang pimpinannya Pasif
Upaya itu merupakan bagian dari pelemahan KPK yang dilakukan dengan menyerang pimpinannya
Dalam kalimat pertama jelas disebutkan bahwa yang menyerang pimpinan
KPK adalah polisi. Tetapi dalam kalimat kedua tidak disebutkan siapa yang menyerang pimpinan KPK. Dalam strategi wacana ini, yang lebih ditonjolkan
adalah KPK sebagai korban. Polisi disingkirkan dari pemberitaan dan itu pasti menimbulkan citra negatif dalam pikiran khalayak.
b. Nominalisasi
Verba Ini merupakan upaya dari polisi untuk melemahkan KPK yang
dilakukan dengan menyerang pimpinannya Nominalisasi
Upaya itu merupakan bagian dari pelemahan KPK yang dilakukan dengan menyerang pimpinannya
Dalam kalimat pertama jelas disebutkan aktornya sedangkan dalam kalimat kedua tidak disebutkan siapa aktornya. Dengan penggunaan strategi
wacana nominalisasi ini maka tidak membutuhkan subjek pelaku dalam pemberitaan. Hal ini karena yang ditekankan adalah memberitahukan kepada
khalayak bahwa telah terjadi pelemahan kepada KPK. Hal ini tentu saja lebih memancing emosi khalayak.
Proses inklusi terjadi dalam berita ini, yaitu :
a. Diferensiasi-Indiferensiasi
Indiferensiasi Polisi, kok, malah sepertinya jadi pembela Anggoro dan Djoko
Universitas Sumatera Utara
Chandra Diferensiasi
Polisi, kok, malah sepertinya jadi pembela Anggoro dan Djoko Chandra, bukannya bersinergi dengan KPK memburu koruptor
Dalam kalimat pertama jelas dikatakan tindakan polisi yang seolah-olah membela Anggoro dan Djoko Chandra, tetapi kalimat yang selanjutnya
menyatakan bahwa tindakan polisi ini berbanding terbalik dengan perbuatan baik KPK yaitu memburu koruptor. Dalam kalimat ini satu pihak yaitu polisi dianggap
buruk dan pihak lain yaitu KPK dianggap baik.
b. Asimilasi-Individualisasi
Individualisasi Sikap kepolisian yang menetapkan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan sangkaan penyalahgunaan
wewenang dalam pencekalan dan pencabutan cekal telah menimbulkan tanda tanya lembaga Transparansi Internasional
Indonesia
Asimilasi Sikap kepolisian yang menetapkan dua pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan sangkaan penyalahgunaan wewenang dalam pencekalan dan pencabutan cekal telah
menimbulkan tanda tanya publik.
Kalimat pertama adalah bentuk individualisasi, karena di sana jelas
disebutkan bahwa yang bertanya-tanya adalah sebuah lembaga. Dalam kalimat kedua yang disajikan dalam bentuk asimilasi, tidak disebutkan bahwa yang
bertanya-tanya adalah sebuah lembaga tetapi publik. Dengan strategi ini dikesankan bahwa hampir semua orang yang bertanya-tanya sehingga membawa
nama publik, padahal tidak selamanya demikian. Hal seperti ini sebaiknya dihindari.
Universitas Sumatera Utara
Sabtu, 26 September 2009
Jadi Tersangka Kepala Polri : Tak Ada Dendam kepada KPK
Upaya Kepolisian Negara Republik menyidik pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi bukan sebagai bentuk penggembosan atas komisi itu.
terkait dugaan suap dan penyalahgunaan wewenang, setelah Wakil Ketua KPK nonaktif Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, Ketua KPK nonaktif
Antasari Azhar juga akan dijadikan tersangka.
Pernyataan itu dikatakan Kepala Polri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri, Jumat 259 di Jakarta. Namun, ia menolak pertanyaan wartawan terkait
kasus itu. Ia hanya bersedia menjawab pertanyaan wartawan yang terkait dengan terorisme.
Bambang menjelaskan, penyidikan terhadap Chandra dan Bibit bukan didasari testimoni Antasari terkait dugaan penyuapan. Penyidikan didasari pada
laporan polisi nomor 208K-Vii2009 SPK unit III tanggal 6 Juli 2009, yang dibuat Antasari. Isi laporan itu memuat soal dugaan penyuapan oleh Direktur
Utama PT Masaro Anggoro Widjojo terhadap pejabat KPK.
Dugaan suap atau pemerasan itu terkait penanganan KPK terhadap kasus dugaan korupsi dalam pengadaan sistem komunikasi radio terpadu Departemen
Kehutanan oleh Pt Masaro. “Ada pandangan perseteruan antara KPK dan Polri, ada balas dendam, ada
upaya menggembosi, itu tidak benar. Saya katakan tak benar. Tegas saya nyatakan, itu tidak pernah ada,” kata Bambang lagi.
Menurut dia, kasus penyuapan itumerupakan pengembangan dari kasus suap terkait anggota DPR, Yusuf Erwin Faisal, dan yang lain dalam kasus alih
fungsi hutan di Tanjung api-api, Sumatera Selatan. Sejumlah saksi juga diperiksa: Anggoro, Anggodo Widjojo, Edy Sumarsono, Putra Nevo, Antasari dan Ari
Muladi.
“Anggodo adik Anggoro menyerahkan uang senilai Rp 5,15 miliar kepad Ari Muladi dalam tiga tahap. Pertama di Hotel Peninsula pada 11 Agustus 2008
sebesar Rp 3,75 Miliar. Pada 13 November 2008 sebesar Rp 400 juta dan 13 Februari 2009 sebesar Rp 1 miliar,” papar Kapolri.
Namun, Bambang tidak menjelaskan apakah uang itu sampai kepada pejabat KPK atau tidak. “ini didukung bukti tertulis dan pengakuan Ari Muladi,
uang diperuntukkan kepada pejabat KPK untuk pencabutan cekal Anggoro,” katanya.
Dari penyerahan uang itu, ada pengembalian barang bukti PT. Masaro Radiocom yang sebelumnya disita penyidik KPK. Namun, Bambang mengakui,
setelah penyerahan uang itu, tetap keluar surat pencegahan larangan ke luar negeri terhadap Anggoro, Anggodo, David Angka, dan Putra Nevo yang
ditandatangani Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah.
“Ini karena ada satu pimpinan KPK belum dapat kucuran dana. Disarankan Ketua KPK saat itu supaya diserahkan uang senilai 124.920 dollar
Singapura atau lebih kurang Rp 1 miliar kepada Ari Muladi untuk Chandra,” katanya. Penyerahan uang itu dilakukan di areal parkir Pasar Festival, Kuningan,
Jakarta Selatan.
Universitas Sumatera Utara
Secara terpisah, menurut Sugeng Teguh Santosa, pengacar Ari Muladi, kliennya dalam pemeriksaan Juni 2009 memang mengakui menyerahkan dana
kepada pimpinan KPK, tetapi Agustus lalu keterangan itu dicabut. Ari mengaku tak pernah langsung menyerahkan dana kepada pimpinan
KPK.
Proses Eksklusi terjadi dalam berita ini, yaitu :
a. Nominalisasi