Program Obat Anti Tuberkulosis

kekambuhan dan menurunkan resiko penularan. Menyembuhkan pasien dengan gangguan semininal mungkin dalam hidupnya, mencegah kematian pada pasien, mencegah kerusakan paru lebih luas dan komplikasi yang terkait, mencegah kekambuhannya penyakit, mencegah kuman menjadi resisten dan melindungi kelurga dan masyarakat penderita terhadap infeksi . Jenis obat yang digunakan dalam pemberantasan TB paru antara lain 1. Isoniasid H dikenal dengan INH, bersifat bakteriasid dapat membunuh 90 populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. 2. Rifampisin R, bersifat bakteriasid dapat membunuh kuman semi dormant persisten yang tidak dapat dibunuh oleh INH. 3. Piranizamid, Z, bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel suasana asam 4. Streptomycine S, bersifat bakterisid 5. Etambutol E, bersifat bakteriotatik.

2.1.8.2. Program Obat Anti Tuberkulosis

Di Indonesia diterapkan panduan OAT sesuai rekomendasi WHO World Health Organization dan IUAT-LD International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease dengan jangka 6 enam bulan yaitu : 1. Kategori I 2HRZA 4H3R3 Tahap intensif terdiri dari Isoniasid H, Rifampisin R, Pirazanamid Z dan Etamburol E, obat diberikan setiap hari selama 2 dua bulan 2HRZE. Kemudian diteruskan tahap lanjutan yang terdiri Isoniasid dan Rifampisin diberikan 3 tiga kali seminggu selama 4 empat bulan 4H3R3 Panduan OAT kategori I diberikan untuk : 1. Pasien baru TB – Paru BTA Positif + 2. Pasien baru TBC – Paru Negatif -, Rontgen positif + yang sakit berat. 3. Penyakit paru ekstra berat. 2. Kategori II 2HRZESHRZE5H3R3E3 Tahap intensif selama 3 bulan, terdiri dari 2 bulan HRZE dan suntikan Steptomisin S, setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan 3 kali dalam seminggu. 3. Kategori III 2HR24H 3 R 3 Tahap intensif terdiri dari HR2 yang diberikan setiap hari selama 2 bulan diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu. OAT kategori ini diberikan untuk : 1. Pasien batuk TBC Paru BTA Negatif - dan rontgen positif + sakit ringan. 2. Pasien ekstra paru ringan, yaitu : Pasien Tuberkulosis kelenjar limfe limfadenitis, pleuritis eksudtiva unilateral, Tuberkuilosis kulit, Tuberkulosis tulang kecuali tulang belakang, Tuberkulosis sendi dan kelenjar adrenal. 3. Hasil Pengobatan Hasil pengobatan diklasifikasikan antara lain 1. Sembuh Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak follow - up paling sedikit 2 dua berturut-turut hasilnya negatif yaitu pada AP sebulan sebelum AP dan pada satu pemeriksaan Follow up sebelumnya. 2. Pengobatan lengkap Penderita yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut negatif. Tindak lanjut Penderita diberi tahu apabila muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap. 3. Pindah Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu Kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke Kabupaten ini dan penderita harus membawa surat pindah rujukan TB –09. 4. Drop Out DO Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA Positif. 5. Gagal Penderita BTA Positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih dan penderita dengan hasil BTA Negatif Rontgen positif menjadi BTA Positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan. 6. Meninggal Penderita TB paru yang diketahui meninggal karena sebab apapun. Harun, 2002.

2.1.9. Program Penanggulangan Tuberkulosis

Dokumen yang terkait

Hubungan Merokok Dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan

3 31 132

HUBUNGAN ANTARA KONDISI RUMAH DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS KISMANTORO Hubungan Antara Kondisi Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Kismantoro Kabupaten Wonogiri.

0 3 15

HUBUNGAN ANTARA KONDISI RUMAH DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS KISMANTORO Hubungan Antara Kondisi Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Kismantoro Kabupaten Wonogiri.

0 3 20

HUBUNGAN ANTARA KONDISI FISIK RUMAH DAN PERILAKU DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah Dan Perilaku Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Sangkrah Kota Surakarta Tahun 2016.

0 3 18

HUBUNGAN ANTARA KONDISI FISIK RUMAH DAN PERILAKU DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah Dan Perilaku Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Sangkrah Kota Surakarta Tahun 2016.

0 3 18

HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak Boyolali.

3 11 15

HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak Boyolali.

0 2 16

HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MIJEN 2011 - UDiNus Repository

0 0 2

Hubungan Karakteristik Rumah Dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012

0 0 35

HUBUNGAN KARAKTERISTIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS SIMPANG KIRI KOTA SUBULUSSALAM TAHUN 2012 SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

0 0 16