Dari referensi diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang apakah ada hubungan antara karakteristik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di
Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam tahun 2012.
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan survei awal di Puskesmas Kecamatan simpang kiri terdapat kasus penderita tuberkulosis paru sebanyak 29 orang di akhir tahun 2012, dan dari
observasi penulis ketahui bahwa masih banyak karakteristik rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan di Kota Subulusalam. Oleh karena itu peneliti ingin
melihat apakah ada hubungan karakteristik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam tahun 2012 .
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan karakteristik rumah yang dengan kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam tahun 2012.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik rumah responden penderita tuberkulosis paru yang
tercatat di data rekam medis Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam 2.
Mengetahui karakteristik responden penderita tuberkulosis paru yang tercatat di data rekam medis Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam.
3. Mengetahui hubungan karakteristik responden dengan kejadian tuberkulosis
paru di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam. 4.
Mengetahui hubungan karakteristik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan bagi pelaksana program kesehatan lingkungan pemukiman
pada instansi Dinas Kesehatan Kota Subulussalam. 2.
Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas terkait dalam merencanakan program pencegahan tuberkulosis paru di Puskesmas Simpang Kiri Kota
Subulussalam. 3.
Bagi peneliti kegiatan ini merupakan sarana belajar untuk dapat membantu mencegah penyakit tuberkulosis paru yang ada di masyarakat serta dapat
menerapkan ilmu dan pengalaman belajar selama di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
4. Bagi peneliti dapat dijadikan bahan dan perbandingan untuk penelitian
selanjutnya yang lebih mendalam dan berhubungan dengan skripsi ini.
23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuberkulosis 2.1.1. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh infeksi kuman basil Mycobakterium tuberculosis tipe Humanus. Kuman tuberkulosis
pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1982. Jenis kuman tersebut adalah mycobacterium tuberculosis, mycobakterium afrium dan mycobacterium
bovis. Stanford, 1994. Sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga
menyerang organ tubuh lain. Jhon, 2002.
2.1.2. Etiologi
Penyebab penyakit tuberkulosis adalah Mycobacterium. Genus
mycobacterium memiliki beberapa spesies diantaranya mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan infeksi pada manusia. Basil tuberkulosis berbentuk batang
ramping lurus, tapi kadang-kadang agak melengkung, dengan ukuran panjang 2m-4m dan lebar 0,2m–0,5m. Organisme ini tidak bergerak, tidak membentuk spora, dan
tidak berkapsul, bila diwarnai akan terlihat berbentuk manik-manik atau granuler. Kuman ini bersifat obligat aerob dan pertumbuhannya lambat. Dibutuhkan waktu 18
jam untuk mengganda dan pertumbuhan pada media kultur biasa dapat dilihat dalam waktu 6-8 minggu. Amin, 1989.
Suhu optimal untuk untuk tumbuh pada 37
o
C. Jika dipanaskan pada suhu 60
o
C akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Disamping itu organisme ini agak resisten
terhadap bahan-bahan kimia dan tahan terhadap pengeringan, sehingga memungkinkan untuk tetap hidup dalam periode yang panjang didalam ruangan-
ruangan, selimut dan kain yang ada dikamar tidur. Dinding selnya 60 terdiri dari kompleks lemak seperti mycolic acid yang menyebabkan kuman bersifat tahan asam,
cord factor merupakan mikosida yang berhubungan dengan virulansi. Kuman yang virulen mempunyai bentuk khas yang disebut serpentine cord, Wax D yang berperan
dalam immunogenitas dan phospatides yang berperan dalam proses nekrosis kaseosa. Basil tuberkulosis sulit untuk diwarnai tapi sekali diwarnai ia akan mengikat zat
warna dengan kuat yang tidak dapat dilepaskan dengan larutan asam alkohol seperti perwarnaan Ziehl Nielsen. Organisme seperti ini di sebut tahan asam. Basil
tuberkulosis juga dapat diwarnai dengan pewarnaan fluoresens seperti pewarnaan auramin rhodamin. Depkes RI, 2002.
2.1.3. Karakteristik Kuman Tuberkulosis
Di luar tubuh manusia, kuman Mycobakterium tuberkulosis hidup baik pada lingkungan yang lembab dan tidak tahan terhadap sinar matahari. Depkes RI 2002.
Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat yang lembab, gelap tanpa sinar matahari selama bertahun-tahun. Dan akan mati bila terkena sinar
matahari, sabun lisol , karbol, dan panas api. Atmosukarto 2000.
2.1.4. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis
Pada penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan yaitu tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru merupakan bentuk yang paling sering
dijumpai yaitu sekitar 80 dari semua penderita tuberkulosis yang menyerang jaringan paru–paru ini merupakan satu–satunya bentuk dari tuberkulosis yang mudah
tertular. Tuberkulosis ekstra paru merupakan bentuk penyakit tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain, selain paru–paru seperti pleura, kelenjar limpe,
persendian tulang belakang, saluran kencing, susunan syaraf pusat dan pusat. Pada dasarnya penyakit tuberkulosis ini tidak pandang bulu karena kuman ini dapat
menyerang semua organ- organ dari tubuh. Misnadiarly 2006.
2.1.5. Penularan dan Penyebaran.
Tuberkulosis ditularkan melalui udara oleh partikel kecil yang berisi kuman tuberkulosis yang disebut “droplet nukleus”. Droplet nukleus yang berukuran 1-5m
dapat sampai ke alveoli. Droplet nukleus kecil yang berisi basil tunggal lebih berbahaya daripada sejumlah besar basil didalam partikel yang besar, sebab partikel
besar akan cenderung menumpuk dijalan napas daripada sampai ke alveoli sehingga akan dikeluarkan dari paru oleh sistem mukosilier. Batuk merupakan mekanisme
yang paling efektif untuk menghasilkan droplet nukleus. Satu kali batuk yang cepat dan kuat akan menghasilkan partikel infeksius sama banyaknya dengan berbicara
keras selama lima menit. Penyebaran melalui udara juga dapat disebabkan oleh manuver ekspirasi yang kuat seperti bersin, berteriak, bernyanyi. Satu kali bersin
dapat menghasilkan 20.000–40.000 droplet, tapi kebanyakan merupakan partikel yang besar sehingga tidak infeksius. Pasien yang batuk lebih dari 48 kalimalam akan
menginfeksi 48 dari orang yang kontak dengan pasien. Sementara pasien yang batuk kurang dari 12 kalimalam menginfeksi 28 dari kontaknya. Basil tuberkulosis
dapat juga memasuki tubuh melalui traktus gastrointestinal ketika minum susu yang mengandung mycobakterium tuberkulosis. Jalan masuk lain kedalam tubuh manusia
adalah melalui luka pada kulit atau membran mukosa, tetapi penyebaran dengan cara ini sangat jarang. Jika fokus tuberkulosis telah terbentuk pada satu bagian tubuh maka
penyakit dapat menyebar ke bagian tubuh yang lain melalui pembuluh darah, saluran limfatik, kontak langsung, saluran cerna sering dari intestinum kembali ke darah
melalui duktus torasikus dan terakhir yang paling sering melalui jalan napas. Misnadiarly, 2006.
2.1.6. Patogenesis
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh cell mediated immune response. Sel efektornya adalah makrofag, sedang limfosit biasanya sel T
merupakan immunoresponse cell. Inhalasi partikel besar yang berisi lebih dari tiga basil tuberkulosis tidak akan sampai ke alveoli, partikel akan melekat di dinding
bronkus dan akan dikeluarkan oleh sistem mukosiliari, tetapi inhalasi partikel kecil yang berisi 1-3 basil dapat sampai ke alveoli.
Basil tuberkulosis yang menginfeksi paru dalam 6–8 minggu akan menimbulkan gejala karena telah mengaktifasi limfosit T helper CD 4 cluster
diffrentiated agar memproduksi interferon gamma guna aktifasi makrofag sehingga meningkatkan kemampuan fagositosisnya. Disamping itu juga diproduksi TNF
tumor necrotizing factor oleh limfosit T dan makrofag dimana TNF berperan dalam aktifasi makrofag dan inflamasi lokal.
Basil tuberkulosis yang masuk ke alveoli akan diikuti oleh vasodilatasi dan masuknya leukosit polimorponuklear dan makrofag yang berfungsi untuk memakan
dan membunuh basil tersebut. Setelah beberapa hari maka leukosit berkurang dan makrofag jadi dominan. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan
timbul gejala pneumonia akut yang disebut dengan focus primer atau Ghon focus yang merupakan infeksi primer. Infeksi primer ini dapat sembuh dengan atau tanpa
bekas atau dapat berlanjut terus dan bakteri terus di fagosit atau berkembang biak didalam sel. Basil dapat menyebar melalui kelenjar getah bening menuju kelenjar
getah bening regional. Gabungan terserangnya kelenjar getah bening dengan fokus primer disebut kompleks ghon. Infeksi primer kadang-kadang berlanjut terus dan
perubahan patologisnya bersamaan seperti TB post primer. TB post primer umumnya terlihat pada paru bagian atas terutama pada
segmen posterior lobus atas atau pada bagian apeks lobus bawah. Terjadinya TB post
primer dapat terjadi melalui salah satu dari 3 mekanisme ini yaitu: 1. Perkembangan langsung dari TB primer
2. Reaktivasi dari TB primer endogenous 3. Reinfeksi dari luar exogenous reinfection.
Proliferasi dari basil tuberkulosis didalam nekrosis sentral diikuti dengan perlunakan dan pencairan zat-zat kaseosa yang dapat pecah ke bronkus dan
membentuk kavitas. Perdarahan dapat terjadi jika proses kaseosa berlanjut ke pembuluh darah pada dinding kavitas. Penyebaran kaseosa dan bahan-bahan cair
kedalam percabangan bronkus akan menyebarkan infeksi ke daerah paru yang lainnya. Rupturnya fokus kaseosa kedalam pembuluh darah akan mengakibatkan
terjadinya TB milier. Pemberian vaksinasi BCG yang merupakan imunisasi aktif dimana vaksin
yang digunakan merupakan kuman yang dilemahkan sehingga tidak dapat menyebabkan penyakit, melainkan masih dapat mengakibatkan imunitas. Individu
yang telah diberikan vaksin BCG secara lengkap maka didalam badannya telah terbentuk suatu kekebalan yang dapat melawan infeksi tuberkulosis sehingga
walaupun tidak dapat menjamin individu tersebut dari penyakit ini tetapi jika ia terserang tuberkulosis umumnya penyakit tidaklah berat. Infeksi tuberkulosis
berkaitan erat dengan imunitas seseorang. Meskipun penyakit tuberkulosis merupakan penyakit infeksi tetapi ternyata diperlukan juga suatu hereditas tubuh
untuk dapat menderitanya. Achmadi, 2010.
2.1.7. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis paru perlu dilakukan beberapa pemeriksaan seperti:
pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologik dan pemeriksaan laboratorium mikrobiologik.
2.1.7.1. Diagnosis Tuberkulosis Paru Pada Orang Dewasa
Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan
dinyatakan positif apabila sedikitnya dua tiga specimen SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto
rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang.
2.1.7.2. Pemeriksaan Klinis
TB disebut juga the great imitator. Oleh karena gejalanya banyak mirip dengan penyakit lainnya. Pada pemeriksaan klinis dibagi atas pemeriksaan gejala
klinis dan pemeriksaan jasmani. 1.
Gejala Klinis Gejala klinis tuberkulosis paru dibagi menjadi 2 dua golongan yaitu:
1 Gejala respiratorik a Batuk ; merupakan gejala yang paling dini dan paling sering dikeluhkan.
Batuk timbul oleh karena bronkus sudah terlibat. Batuk-batuk yang
berlangsung ≥ 3 minggu harus dipikirkan adanya tuberkulosis paru.
b Batuk darah ; darah yang dikeluarkan dapat berupa garis-garis, bercak- bercak atau bahkan dalam jumlah banyak. Batuk darah dapat juga terjadi pada
bronkiektasis dan tumor paru. c Sesak napas ; dijumpai jika proses penyakit sudah lanjut dan terdapat
kerusakan paru yang cukup luas. d Nyeri dada ; timbul apabila sistem persarafan yang terdapat di pleura sudah
terlibat. 2 Gejala sistemik
a Demam ; merupakan gejala yang paling sering dijumpai, biasanya timbul pada sore dan malam hari.
b Gejala sistemik lain seperti keringat malam, anoreksia, malaise, berat badan menurun serta nafsu makan menurun.
2. pemeriksaan jasmani Pemeriksaan jasmani sangat tergantung pada luas lesi dan kelainan struktural
paru yang terinfeksi. Pada permulaan penyakit sulit didapatkan kelainan pada pemeriksaan jasmani. Suara bising napas abnormal dapat berupa dapat berupa suara
bronkial, amforik, ronki basah, suara napas melemah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. Sedangkan limfadenitis yang disebabkan oleh
M.tuberculosis dapat menyebabkan pembesaran kelenjar limfe dalam beberapa
minggu atau bulan dan selalu disertai nyeri tekan pada nodul yang bersangkutan. Lesi umumnya terletak di sekitar perjalanan vena jugularis, belakang leher ataupun di
daerah supra clavicula.
2.1.7.3. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan rutin adalah foto toraks PA. Pemeriksaan atas indikasi seperti foto apikolordotik, oblik, CT Scan. Tuberkulosis memberikan gambaran bermacam-
macam pada foto toraks gambaran radiologik yang ditemukan dapat berupa. a.
Bayangan lesi diatas lapangan paru atau segmen apikal lobus bawah b.
Bayangan berawan atau berbercak c.
Adanya kavitas tunggal atau ganda d.
Bayangan bercak milier e.
Bayangan efusi pleura umumnya unilateral f.
Destroyed lobe sampai destroyed lung g.
Kalsifikasi h.
Schwarte Berdasarkan luasnya proses yang tampak pada foto toraks dapat dibagi sebagai
berikut: a. Lesi minimal minimal lesion
Bila proses tuberkulosis paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dengan volume paru yang terletak diatas chondrosternal
junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus
vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas.
b. Lesi sedang moderately advanced lesion: Bila proses penyakit lebih luas dari lesi minimal dan dapat menyebar dengan
densitas sedang, tetapi luas proses tidak boleh lebih luas dari satu paru, atau jumlah dari seluruh proses yang ada paling banyak seluas satu paru atau bila proses
tuberkulosis tadi mempunyai densitas lebih padat, lebih tebal maka proses tersebut tidak boleh lebih dari sepertiga pada satu paru dan proses ini dapat tidak disertai
kavitas. Bila disertai kavitas maka luas diameter semua kavitas tidak boleh lebih dari 4 cm.
c. Lesi luas far advanced: Kelainan lebih luas dari lesi sedang.
2.1.7.4. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan darah rutin: Hasil pemeriksaan darah rutin kurang spesifik untuk tuberkulosis paru. Laju
endapan darah sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endapan darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositosis juga kurang spesifik.
2. Pemeriksaan bakteriologik:
Untuk pemeriksaan bakteriologik ini spesimen dapat diambil dari sputum,
bilasan lambung, jaringan baik lymph node atau jaringan reseksi operasi, cairan pleura, cucian lambung, cairan serebrospinalis, pus aspirasi abses, urine, apusan
laring. a.
Pemeriksaan mikroskopik biasa Pada pemeriksaan ini dapat dilihat adanya basil tahan asam. Dibutuhkan paling
sedikit 5000 batang kuman per cc sputum untuk mendapatkan kepositifan. Pewarnaan yang umum dipakai adalah pewarnaan Ziehl Nielsen dan pewarnaan Kinyoun-
Gabbett. Cara pengambilan sputum tiga kali 3 X dengan cara; 1. Spot sputum saat kunjungan pertama
2. Sputum pagi keesokan harinya 3. Spot pada saat mengantarkan sputum pagi pada hari kedua
b. Pemeriksaan mikroskopik fluorescens:
Dengan mikroskop fluorescens ini gambaran basil tahan asam yang terlihat lebih besar dan lebih jelas karena daya pandang diperluas dan adanya fluorescens dari
zat warna auramin-rhodamin. 3.
Kulturbiakan kuman Pada pemeriksaan ini paling sedikit 10 kuman tuberkulosis yang hidup. Jenis-
jenis pemeriksaan kultur sputum ini antara lain: a. Metode konvensional seperti Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh, Middlebrook
7H-10 dan 7H11.
b. Metode Radiometrik seperti BACTEC. Dengan teknik ini waktu yang dibutuhkan untuk isolasi dan identifikasi mikrobakterium tuberkulosis menjadi tiga minggu saja.
Untuk test sensitifitas ditambah 5-7 hari lagi.
2.1.7.5. Immunologi serologi
1. Uji Tuberkulin:
Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi pemeriksaan ini kurang berarti apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan bermakna jika didapatkan
konversi dari uji yang sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau timbul bila. Tes tuberkulin berguna dalam menentukan diagnosis penderita
terutama pada anak-anak yang mempunyai kontak dengan seorang penderita tuberkulosis yang menular, namun penderita tersebut harus diperiksa oleh dokter
yang berpengalaman. Uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk menunjukkan sedangpernah terinfeksi mycobacterium tuberculosis dan sering
digunakan dalam Screening TBC . Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90. Uji tuberkulin dibaca setelah 48-72 jam
saat ini dianjurkan 72 jam setelah penyuntikan. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi, ditandai dengan alat tulis, kemudian diukur
dengan alat pengukur transparan, diameter transversal indurasi yang terjadi dan dinyatakan hasilnya dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi sama sekali hasilnya
dilaporkan sebagai 0 mm. 2.
ELISA Enzyme Linked Immmunosorbent Assay Merupakan tes serologi yang mendeteksi respons humoral berupa proses
antigen-antibodi yang terjadi. Dengan cara ini maka dapat ditentukan kadar antibodi terhadap basil tuberkulosis pada serum penderita.Dari hasil penelitian didapatkan
bahwa IgG saja yang memberikan kenaikan diatas normal secara bermakna. Sayangnya uji serologis ini hanya memberikan sensitifitas yang sedang saja 62.
Pada penelitian ini untuk menetapkan diagnosis pasien sebagai penderita tuberkulosis paru ditetapkan berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik dan
radiologik. Dikatakan menderita tuberkulosis jika didapatkan salah satu dari berikut ini:
1. Klinis +, bakteriologik +, radiologik + 2. Klinis +, bakteriologik -, radiologik +
.
2.1.8. Pengobatan Penyakit TB Paru 2.1.8.1. Tatalaksanaan Pengobatan TB Paru diberikan dalam dua tahap yaitu :
1. Tahap Intensif awal dimana pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi
langsung untuk mencegah kekebalan atau resistensi terhadap semua OAT Obat Anti Tuberkulosis, terutama Rifampisin. Bila tahap ini diberikan secara tepat
pasien menular menjadi tidak menular dalam waktu dua minggu. Sebagian besar TBC Paru BTA Positif + menjadi BTA Negatif - pada akhir
pengobatan ini. 2.
Tahap lanjutan, pasien mendapat obat dalam jangka waktu yang lebih lama dan jenis obat lebih sedikit untuk mencegah kekambuhan. Tujuan dari pengobatan
pasien TB paru adalah penyembuhan pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan dan menurunkan resiko penularan. Menyembuhkan pasien dengan gangguan semininal mungkin dalam hidupnya, mencegah kematian pada
pasien, mencegah kerusakan paru lebih luas dan komplikasi yang terkait, mencegah kekambuhannya penyakit, mencegah kuman menjadi resisten dan
melindungi kelurga dan masyarakat penderita terhadap infeksi . Jenis obat yang digunakan dalam pemberantasan TB paru antara lain
1. Isoniasid H dikenal dengan INH, bersifat bakteriasid dapat membunuh
90 populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. 2.
Rifampisin R, bersifat bakteriasid dapat membunuh kuman semi dormant persisten yang tidak dapat dibunuh oleh INH.
3. Piranizamid, Z, bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada
dalam sel suasana asam 4.
Streptomycine S, bersifat bakterisid 5.
Etambutol E, bersifat bakteriotatik.
2.1.8.2. Program Obat Anti Tuberkulosis
Di Indonesia diterapkan panduan OAT sesuai rekomendasi WHO World Health Organization dan IUAT-LD International Union Againts Tuberculosis and
Lung Disease dengan jangka 6 enam bulan yaitu : 1.
Kategori I 2HRZA 4H3R3 Tahap intensif terdiri dari Isoniasid H, Rifampisin R, Pirazanamid Z dan
Etamburol E, obat diberikan setiap hari selama 2 dua bulan 2HRZE. Kemudian diteruskan tahap lanjutan yang terdiri Isoniasid dan Rifampisin diberikan 3 tiga kali
seminggu selama 4 empat bulan 4H3R3
Panduan OAT kategori I diberikan untuk : 1.
Pasien baru TB – Paru BTA Positif + 2.
Pasien baru TBC – Paru Negatif -, Rontgen positif + yang sakit berat. 3.
Penyakit paru ekstra berat. 2.
Kategori II 2HRZESHRZE5H3R3E3 Tahap intensif selama 3 bulan, terdiri dari 2 bulan HRZE dan suntikan
Steptomisin S, setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang
diberikan 3 kali dalam seminggu.
3. Kategori III 2HR24H
3
R
3
Tahap intensif terdiri dari HR2 yang diberikan setiap hari selama 2 bulan diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu. OAT kategori ini diberikan untuk :
1. Pasien batuk TBC Paru BTA Negatif - dan rontgen positif + sakit ringan.
2. Pasien ekstra paru ringan, yaitu : Pasien Tuberkulosis kelenjar limfe
limfadenitis, pleuritis eksudtiva unilateral, Tuberkuilosis kulit, Tuberkulosis tulang kecuali tulang belakang, Tuberkulosis sendi dan kelenjar adrenal.
3. Hasil Pengobatan
Hasil pengobatan diklasifikasikan antara lain 1.
Sembuh
Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak follow - up
paling sedikit 2 dua berturut-turut hasilnya negatif yaitu pada AP sebulan sebelum AP dan pada satu pemeriksaan Follow up sebelumnya.
2. Pengobatan lengkap
Penderita yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut negatif. Tindak
lanjut Penderita diberi tahu apabila muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap.
3. Pindah
Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu Kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke Kabupaten ini dan
penderita harus membawa surat pindah rujukan TB –09. 4.
Drop Out DO Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan
berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA Positif.
5. Gagal
Penderita BTA Positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 satu bulan sebelum akhir pengobatan atau
lebih dan penderita dengan hasil BTA Negatif Rontgen positif menjadi BTA Positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
6. Meninggal
Penderita TB paru yang diketahui meninggal karena sebab apapun. Harun, 2002.
2.1.9. Program Penanggulangan Tuberkulosis
Dalam menangani masalah tuberkulosis di suatu Negara seperti Indonesia diperlukan program penanggulangan yang terencana baik, dapat dilakukan sesuai
dengan situasi dan kondisi yang ada, dapat dievaluasi dan dapat memberikan hasil yang optimal dalam menurunkan angka kesakitan serta kematian akibat penyakit ini,
belum semua negara di dunia memiliki program penanggulangan tuberkulosis yang berskala nasional Tuberkulosis Control Programme NTP.
2.1.9.1 Berskala Nasional dan Terintegrasi
Badan Kesehatan Nasional dunia WHO telah menggariskan beberapa hal yang patut dilakukan oleh suatu program nasional penanggulanggan tuberkulosis.
Program ini seyogyanya benar-benar berskala nasional mengingat tuberkulosis biasanya tersebar secara luas di seluruh daerah di suatu negara , dan untuk
mendapatkan dampak yang bermakna, maka program tersebut harus dikerjakan dalam cakupan yang luas.
Selain harus berskala nasional, WHO juga menganjurkan agar program penanggulangan tuberkulosis ini bersifat permanen, menetap, terus-menerus
dilakukan dan jangan terputus di tengah jalan. Dalam proses pelaksanaan program maka kasus tuberkulosis baru masih akan tetap muncul, dan karena itu perlu
tersedianya pelayanana kesehatan. Guna mendapatkan hasil yang optimal, diharapkan agar program
penanggulangan tuberkulosis ini berintegrasi dengan program pelayanan kesehatan yang ada di negara itu. Khususnya dalam pelayanan kesehatan primer. Jadi untuk
mendapatkan pelayanan bagi penyakit tuberkulosis. Seseorang cukup datang ke Puskesmas setempat.
2.1.9.2. Program
1. Imunisasi BCG
Penanggulangan tuberkulosis mencakup berbagai kegiatan guna menurunkan jumlah penderita dan kematian akibat penyakit ini. Imunisasi BCG adalah salah
satunya mencegah timbulnya tuberkulosis berat yang dapat mematikan. Cakupan imunisasi BCG di berbagai belahan dunia kini telah cukup baik, berkisar antara 80
sampai 90. Secara organisatoris, program pemberian imunisasi BCG ini ditangani bersama-sama dengan pemberian immunisasi yang lain, yang tergabung dalam suatu
program yang disebut Progran pengembangan ImunisasiPPI expanded Programme of immunizationEPI
2. Case Finding Penemuan Kasus
Bagian terpenting lainya adalah penemuan penderita. Dengan berbagai upaya perlu dilakukan agar kita dapat menemukan penderita sedini mungkin. Untuk
dilakukan diagnosis secara benar, dan dilakukan penyuluhan kesehatan yang luas dan melibatkan berbagai lapisan masyarakat, agar semua perlu tahu perannya dalam
membantu upaya penemuan penderita. Setelah ditemukan penderita kemudian dilanjutkan dengan pengobatan. Aditama, 2000.
2.1.10. Manajemen TBC Berbasis Wilayah
Manajemen penyakit TBC berbasis wilayah, pada prinsipnya harus memperhatikan 2 kelompok besar kegiatan sekaligus, yang hendaknya dilakukan
secara paripurna dan simultan. Dua kegiatan pokok tersebut adalah: 1. Manajemen kasus
Tata laksana kasus TBC secara aktif adalah pencarian kasus yang dilakukan oleh puskesmas, baik dengan penyebaran poster ataupun pelibatan kader desa atau
petugas lapangan. Pencarian kasus juga dilakukan oleh organisasi swadaya masyarakat seperti Perkumpulan Pemberantasan TBC PPTI. Kasus-kasus diperiksa
diobati, ditindaklanjuti sampai terbukti sembuh. Beberapa puskesmas mengintgrasi kegiatan pencarian kasus TBC secara aktif ini melalui juru kusta yang di samping
mencari kusta juga TBC. 2. Manajemen faktor risiko.
Manajemen faktor risiko tidak ada dalam pedoman nasional. Pengobatan atau program penanggulangan TBC sulit dilaksanakan kesinambungannnya atau
sustainability nya sulit terjamin tanpa memperhatikan penangggulangan faktor risiko. DOTS yang mengendalikan pengobatan pada akhirnya akan mengalami fase hard
rock yakni menemui kesulitan dalam penanggulangan. Oleh sebab itu diperlukan manajemen faktor risiko TBC, yaitu pengendalian berbagai variabel yang berperan
timbulnya kejadian penyakit TBC, khususnya disekitar penderita aktif. Keduanya harus dilakukan secara simultan dan didukung oleh surveilance yang baik.
Achmadi, 2010.
2.2. Faktor Resiko Kejadian Tuberkulosis
Faktor risiko yaitu semua variabel yang berperan timbulnya kejadian penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor risiko TBC saling berkaitan satu sama lain.
Berbagai faktor risiko dapat dikelompokkan kedalam 2 kelompok faktor risiko. Yaitu
2.2.1. Kependudukan 1.
Usia
Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada Panti
penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden
tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75 penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50
tahun.
2. Jenis kelamin
Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita tuberkulosis paru laki-laki hampir dua kali lipat
dibandingkan jumlah penderita tuberkulosis paru pada wanita, yaitu 42,34 pada laki-laki dan 28,9 pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita tuberkulosis
paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5, sedangkan penderita tuberkulosis
paru pada wanita menurun 0,7. tuberkulosis paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan
merokok sehingga memudahkan terjangkitnya tuberkulosis paru dimana Kebiasaan
merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. 3.
Penyakit Penyerta
Umumnya penderita tuberkulosis paru dalam keadaan malnutrisi dengan berat badan sekitar 30-50 kg atau indeks masa tubuh kurang dari 18,5 pada orang dewasa.
Sementara berat badan yang lebih kecil 85 dari berat badan ideal kemungkinan mendapat tuberkulosis paru adalah 14 kali lebih besar dibandingkan dengan berat
badan normal. Ini yang menjadi pemikiran bahwa malnutrisi atau penurunan berat badan telah menjadi faktor utama peningkatan resiko tuberkulosis menjadi aktif. Pola
makan orang Indonesia yang hampir 70 karbohidrat dan hanya 10 protein yang pada penyakit kronis selalu disertai dengan tidak selera makan, tidak mau makan,
tidak bisa makan atau tidak mampu membeli makanan yang mempunyai kandungan gizi baik kurang protein, sehingga penderita ini mempunyai status gizi yang buruk.
Selain faktor gizi, penyakit seperti Diabetes Mellitus DM dan infeksi HIV merupakan salah satu faktor risiko yang tidak berketergantungan untuk
berkembangnya infeksi saluran napas bagian bawah. Prevalensi tuberkulosis paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non DM dan aktivitas kuman tuberkulosis
meningkat 3 kali pada DM berat dibanding DM ringan. Penderita tuberkulosis menular dengan sputum BTA positif yang juga mengidap HIV merupakan
penularan kuman tuberkulosis tertinggi. tuberkulosis diketahui merupakan infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan pada pasien dengan reaksi seropositif.
Apabila seseorang dengan seropositif tertular kuman ini maka karena kekebalannya rendah, besar sekali kemungkinannya akan langsung menderita tuberkulosis. Hal ini
berbeda sekali dengan orang normal atau mereka dengan seronegatif, karena kuman ini yang masuk akan dihambat oleh reaksi imunitas yang ada dalam tubuhnya.
Disamping itu penyakit tuberkulosis pada mereka dengan seropositif cepat berkembang kearah perburukan. Kepmen PU no 20KPRS1986
4. Kondisi Sosial ekonomi
WHO 2003 menyebutkan 90 penderita TBC di dunia menyerang sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan TBC bersifat
timbal balik, TBC merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia menderita TBC. Kondisi soasial ekonomi itu sendiri mungkin tidak hanya
berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi buruk serta perumahan yang tidak sehat dan akses
terhadap pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya.
Menurut perhitungan, rata-rata penderita tuberkulosis kehilangan 3 sampai 4 bulan waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan setahun secara
total mencapai 30 dari pendapatan rumah tangga. Achmadi, 2010.
5. Prilaku
Prilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita tuberkulosis paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara
pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhirnya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.
2.2.2. Lingkungan
1. Kepadatan Hunian dan Kondisi Rumah
Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit. Semakin padat maka perpindahan penyakit semakin cepat, khususnya penyakit menular
melalui udara akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita tuberkulosis dengan BTA positif. Kepadatan hunian ditempat tinggal
penderita tuberkulosis paru paling banyak adalah tingkat kepadatan rendah. suhu didalam ruangan erat kaitannya dengan kepadatan hunian dan ventilasi rumah.
Kondisi kepadatan hunian perumahan atau tempat tinggal lainnya seperti penginapan, panti-panti tempat penampungan akan besar pengaruhnya terhadap risiko penularan.
Di daerah perkotaan urban yang lebih padat dari pada di pedesaan. Ventilasi cukup menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga
keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga. Ventilasi yang baik juga menjaga dalam kelembaban humidity yang optimum. Kelembaban
yang optimal sehat adalah sekitar 40–70. Kelembaban yang lebih Dari 70 akan berpengaruh terhadap kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara di dalam
ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban juga merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen
penyebab penyakit. Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya matahari
ini dapat diperoleh dari ventilasi maupun jendelagenting kaca. Suhu udara yang ideal dalam rumah antara 18 - 30°C. Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat
bervariasi, mycobacterium tuberculosis tumbuh optimal pada suhu 37°C. Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat membunuh mycobacterium tuberculosis. Bakteri
tahan hidup pada tempat gelap, sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang gelap. Azwar, 2000.
2. Lantai Rumah
Secara hipotetis jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian tuberkulosis, melalui kelembaban dalam ruangan, lantai tanah cenderung
menimbulkan kelembaban dengan demikian viabilitas kuman tuberkulosis dilingkungan juga sangat mempengaruhi.
3. Ventilasi
Ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi pergantian udara dalam rumah serta mengurangi kelembaban. Luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah
≥10 luas lantai rumah. Luas lantai 10 lantai rumah mengakibatkan berkurangnya
konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrai karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan
peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan dari kulit dan
penyerapan. Azwar, 2007 Ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara, juga dengan kata lain
mengencerkan konsentrasi kuman tuberkulosis dan kuman lain terbawa keluar dan mati terkena sinar ultraviolet.
Menurut Supriyono dalam Achmadi 2010 menghitung di Ciampea risiko untuk terkena tuberkulosis 5,2 kali pada penghuni yang memiliki ventilasi buruk
dibanding penduduk berventilasi memenuhi syarat kesehatan. Meski secara skeptical bias saja terdapat bisa karena sebab lain, misalnya kemiskinan.
4. Pencahayaan
Rumah sehat memerlukan cahaya cukup, khususnya cahaya alam berupa cahaya matahari. Cahaya matahari minimal masuk 60 lux dengan syarat tidak menyilaukan.
Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga mempunyai daya untuk membunuh bakteri. Hal ini dibuktikan oleh Robert Koch 1843-1910. Dari hasil
penelitiannya Robert Koch menyimpulkan sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit tuberkulosis paru, dengan mengusahakan masuknya sinar
matahari masuk melalui jendela atau genteng kaca. Azwar, 2007.
5. Kelembaban
Menurut Mulyadi dalam Achmadi 2010 meneliti di kota bogor, penghuni rumah yang mempunyai kelembaban ruang keluarga lebih besar dari 60 berisiko
terkena TBC 10,7 kali dibanding penduduk yang tinggal pada perumahan yang memiliki kelembaban lebih kecil atau sama dengan 60.
Kelembaban merupakan sarana baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, termasuk tuberkulosis sehingga viabilitas lebih lama.
Seperti telah dikemukakan kelembaban berhubungan dengan kepadatan penghuni dan ventilasi. Topografi menurut penelitian juga berpengaruh terhadap
kelembaban, wilayah lebih tinggi cenderung memiliki kelembaban lebih rendah. Achmadi, 2010.
6. Ketinggian
Ketinggian secara umum mempengaruhi kelembaban dan suhu lingkungan. Setiap kenaikan 100 meter, selisih suhu udara dengan permukaan laut sebesar 0,5
Ketinggian berkaitan juga dengan kerapatan oksigen. M. tuberculosis sangat aerob, sehingga diperkirakan kerapatan oksigen dipegunungan akan mempengaruhi
viabilitas kuman TBC olander, 2003. C.
2.3. Rumah
Dalam undang-undang No 1 tahun 2011 tentang perumahan dan permukiman disebutkan rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal
yang layak huni, sarana membina keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya serta merupakan aset bagi pemiliknya.
Menurut Azwar 2007 rumah berfungsi untuk melepaskan rasa lelah, tempat bergaul dan membina rasa kekeluargaan diantara anggota keluarga, tempat
berlindung, dan menyimpan barang berharga, dan rumah merupakan status lambang sosial. Rumah yang layak huni harus memenuhi standar kesehatan agar penghuni
rumah tersebut dapat terjamin kesehatannya.
Menurut Depkes RI 2002 rumah harus memenuhi empat kriteria agar bisa dikatakan sehat yaitu :
1. Memenuhi kebutuhan fisiologis
Berupa pencahayaan, penghawaan, ruang gerak yang cukup, dan terhindar dari kebisingan.
2. Memenuhi kebutuhan psikologis
Antara lain privacy yang cukup dan komunikasi yang sehat antar penghuni rumah.
3. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit
Antara lain penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan limbah rumah tangga, bebas dari vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan,
cukup sinar matahari pagi dan terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran.
4. Memenuhi persyaratan pencegahan kecelakaan
Antara lain konstruksi bangunan tidak mudah roboh dan tidak mudah terbakar, posisi garis sempadan jalan dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh
tergelincir. Menurut dinas perumahan dan permukiman RI tahun 2008 rumah adalah
rumah sebagai tempat tinggal yang memenuhi ketetapan atau ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi penghuni rumah dari
bahaya atau gangguan kesehatan, sehingga memungkinkan penghuni memperoleh derajat kesehatan yang optimal.
2.3.1. Kriteria Rumah Sehat
Adapun kriteria rumah sehat yang tercantum dalam Residential Environment dari WHO 1974, antara lain :
1. Harus dapat melindungi dari hujan, panas, dingin, dan berfungsi sebagai tempat
istirahat. 2.
Mempunyai tempat untuk tidur, masak, mandi mencuci, jamban dan kamar mandi.
3. Dapat melindungi dari bahaya kebisingan dan bebas dari pencemaran.
4. Bebas dari bahan bangunan yang berbahaya.
5. Terbuat dari bahan bangunan yang kokoh dan dapat melindungi penghuninya
dari gempa, keruntuhan dan penyakit menular. 6.
Memberi rasa aman dan lingkungan tetangga yang serasi. Kriteria rumah sehat menurut Winslow, antara lain :
1. Dapat memenuhi kebutuhan fisiologis
2. Dapat memenuhi kebutuhan pikologis
3. Dapat menghindari terjadinya kecelakaan
4. Dapat menghindarkan terjadinya penularan penyakit.
Di Indonesia terdapat kriteria untuk rumah sehat sederhana, yaitu : 1.
Luas tanah antara 60–90 meter persegi 2.
Luas bangunan antara 21–36 meter persegi
3. Memiliki fasilitas kamar tidur, WC kamar mandi, dan dapur
4. Berdinding batu bata dan diplester
5. Memiliki lantai dari ubin keramik, dan langit–langit dari triplek
6. Memiliki sumur atau air PAM
7. Memiliki fasilitas listrik minimal 450 watt
8. Memiliki bak sampah dan saluran air limbah chandra, 2007.
Menurut Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal PPM dan PL Tahun 2002 secara umum rumah di katakan sehat apabila memenuhi kriteria :
1. Memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan, penghawaan dan ruang
gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu 2.
Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain privacy yang cukup, komunikasi yang sehat antara anggota keluarga dan penghuni rumah.
3. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah
dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja, dan limbah rumah tangga bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar
matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, di samping pencahayaan dan penghawaan yang cukup.
4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul dari
luar maupun dari dalam rumah antara lain persyaratan garis sempadan jalan, konstruksi yang tidak mudah roboh, dan tidak mudah terbakar.
Selain kriteria di atas faktor– faktor kebutuhan yang perlu di perhatikan berkaitan dengan perumahan adalah :
a. Kebutuhan Fisiologis
1. Suhu Ruangan
Suhu ruangan sebaiknya tetap berkisar antara 18–20
2. Penerangan
C suhu ruangan dipengaruhi oleh suhu udara luar, pergerakan udara, kelembaban udara, suhu
benda–benda yang ada di sekitarnya
Rumah harus cukup mendapatkan penerangan pada siang hari maupun malam hari, idealnya penerangan di peroleh dengan bantuan listrik. Setiap
ruangan di upayakan mendapat sinar matahari di pagi hari. 3.
Ventilasi udara Pertukaran udara yang cukup membuat hawa ruangan tetap segar cukup
mengandung oksigen. Setiap rumah harus memiliki jendela yang memadai, luas jendela keseluruhan kurang lebih 15 dari luas lantai. Susunan ruangan
harus sedemikian rupa sehingga udara dapat mengalir bebas jika jendela dan pintu terbuka.
4. Jumlah Ruangan atau Kamar
Jumlah ruangan atau kamar diperhitungkan berdasarkan jumlah penghuni yang tinggal di rumah tersebut atau sekitar 5m
2
b. Kebutuhan Psikologis
per orang.
1. Keadaan rumah dan sekitarnya, harus memperhatikan unsur keindahan
sehingga rumah tersebut menjadi pusat kesenangan rumah tangga yang sehat.
2. Adanya kebebasan yang cukup bagi setiap anggota keluarga yang tinggal di
rumah keluarga tersebut. 3.
Untuk setiap anggota keluarga terutama yang mendekati dewasa harus memiliki ruangan tersendiri sehingga privacinya tidak terganggu.
4. Harus ada ruangan untuk hidup bermasyarakat, seperti ruangan untuk
menerima tamu. c.
Bahaya Kecelakaan atau Kebakaran 1.
Konstruksi rumah dan bahan – bahan bangunan harus kuat sehingga tidak mudah runtuh.
2. Memiliki sarana pencegah kecelakaan di sumur, kolam atau tempat lain
terutama untuk anak–anak. 3.
Bangunan terbuat dari material yang tidak mudah terbakar. 4.
Memiliki alat pemadam kebakaran terutama yang menggunakan gas. 5.
Lantai kedap air dan tidak licin. d.
Lingkungan 1.
Memiliki sumber air bersih dan sehat yang tersedia sepanjang tahun. 2.
Memiliki tempat pembuangan kotoran, sampah dan pembuangan air limbah yang baik.
3. Dapat mencegah perkembangbiakan vektor penyebab penyakit.
4. Letak rumah jauh dari sumber pencemaran dengan jarak minimal sekitar 5
km dan bebas banjir Chandra, 2007.
2.3.2.1 Adapun ketentuan persyaratan kesehatan rumah tinggal menurut
Kepmenkes No. 829MenkesSKVII1999 adalah sebagai berikut :
1. Bahan bangunan a. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat
membahayakan kesehatan, antara lain : debu total kurang dari 150 µgm2, asbestos kurang dari 0,5 seratm 3 per 24 jam, plumbum Pb kurang dari 300 mgkg bahan
b. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen.
2. Komponen dan penataan ruangan a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan.
b. Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan mudah dibersihkan.
c. Langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan. d. Bumbungan rumah 10 m dan ada penangkal petir.
e. Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. f. Dapur harus memiliki sarana pembuangan asap.
3. Pencahayaan Pencahayaan alam danatau buatan langsung maupun tidak langsung dapat
menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.
4. Kualitas udara a. Suhu udara nyaman antara 18–30
b. Kelembaban udara 40–70 C
c. Gas SO2 kurang dari 0,10 ppm24 jam d. Pertukaran udara 5 kaki
3
e. Gas CO kurang dari 100 ppm8 jam menitpenghuni
f. Gas formaldehid kurang dari 120 mgm
3
5. Ventilasi .
Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10 luas lantai. 6. Vektor penyakit
Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah. 7. Penyediaan air
a. Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter oranghari
b. Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih danatau air minum menurut Permenkes 416 tahun 1990 dan Kepmenkes 907 tahun 2002.
8. Sarana penyimpanan makanan Tersedia sarana penyimpanan makanan yang aman.
9. Pembuangan Limbah a. Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak
menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah. b. Limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau, tidak
mencemari permukaan tanah dan air tanah. 10. Kepadatan hunian
Luas kamar tidur minimal 8 m
2
2.4 Kerangka Konsep
dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang tidur. Penyelenggara pembangunan perumahan pengembang yang tidak memenuhi
ketentuan tentang persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman dapat dikenai sanksi pidana danatau sanksi administrasi sesuai dengan UU No. 4
1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, dan UU No. 23 1992 tentang Kesehatan, serta peraturan pelaksanaannya.
Variabel Independen Variabel Dependen
2.5 Hipotesa Penelitian
1. Ho : tidak ada hubungan kepadatan hunian dengan tuberkulosis paru.
Ha: ada hubungan kepadatan hunian dengan tuberkulosis paru 2.
Ho : tidak ada hubungan jenis lantai dengan tuberkulosis paru Ha : ada hubungan jenis lantai dengan tuberkulosis paru
3. Ho : tidak ada hubungan ventilasi dengan tuberkulosis paru
Ha : ada hubungan ventilasi dengan tuberkulosis paru 4.
Ho : tidak ada hubungan pencahayaan dengan tuberkulosis paru Ha : ada hubungan pencahayaan dengan tuberkulosis paru
Kasus
Karakteristik Responden:
1. Pendidikan
2. Pekerjaan
3. Penghasilan
Karakteristik Rumah: 1.
Kepadatan Hunian 2.
Ventilasi 3.
Jenis Lantai 4.
Pencahayaan 5.
Kelembaban 6.
Suhu
Kontrol
5. Ho : tidak ada hubungan suhu dengan tuberkulosis paru
Ha : ada hubungan suhu dengan tuberkulosis paru 6.
Ho : tidak ada hubungan kelembaban dengan tuberkulosis paru Ha : ada hubungan kelembaban dengan tuberkulosis paru
7. Ho : tidak ada hubungan tingkat pendidikan dengan tuberkulosis paru
Ha : ada hubungan tingkat dengan tuberkulosis paru 8.
Ho : tidak ada hubungan jenis pekerjaan dengan tuberkulosis paru Ha : ada hubungan jenis pekerjaan dengan tuberkulosis paru
9. Ho : tidak ada hubungan penghasilan dengan tuberkulosis paru
Ha : ada hubungan penghasilan dengan tuberkulosis paru
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian