9
b. Matematika merupakan kegiatan menemukan dan mempelajari pola serta
hubungan, yang meliputi dasar-dasar perhitungan, pengukuran, dan penggambaran obyek.
c. Matematika adalah sebuah bahasa simbol,
d. Matematika merupakan cara berpikir dan alat berpikir,
e. Matematika merupakan bangunan pengetahuan yang terus berubah dan
berkembang, f.
Matematika bermanfaat bagi semua orang, Dengan demikian matematika sesungguhnya bukan pembelajaran yang jauh
dari kehidupan siswa, tetapi matematika adalah pembelajaran yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Oleh karena guru atau calon guru harus berusaha
mengaplikasikan pembelajaran matematika yang berkaitan dengan kehidupan siswa agar siswa memiliki prestasi belajar yang baik pada pembelajaran matematika.
C. Pengertian Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik
Sebelum kita mengkaji tentang pengertian Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik, terlebih dahulu kita harus mengetahui latar belakang munculnya
pendekatan pembelajaran ini. Realistic mathematic education, yang diterjemahkan sebagai pendekatan
pembelajaran matematika realistik PMR adalah sebuah pendekatan belajar matematika yang dikembangkan pada tahun 1970-an oleh sekelompok ahli dari
Freudenthal institute Utrecht University di Negeri Belanda. Teori ini mengacu pada pendapat Hans Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan
dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Gagasan ini pada
10
awalnya merupakan reaksi penolakan kalangan pendidik matematika dan matematikawan Belanda terhadap gerakan matematika modern yang melanda sebagian
besar dunia saat itu seperti diungkapkan Suryanto 2010:13. Menurut Suryanto 2012:37 upaya pembaharuan pendidikan matematika pada
kurun waktu tahun 1970-an yang dipelopori oleh Hans Freudenthal dan dikembangkan di Freudenthal Institute kemudian mulai diadaptasikan di Indonesia yang sering
disebut dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia PMRI. PMRI adalah pendidikan Matematika sebagai hasil adaptasi dari Realitic Mathematic Education
RME yang telah diselaraskan dengan kondisi budaya, geografi, dan kehidupan masyarakat Indonesia.
Freudenthal Suryanto, 2010:14 berpendapat bahwa matematika sebaiknya diajarkan dengan mengaitkannya dengan realitas sejalan dengan pengalaman siswa,
serta relevan dengan masyarakat. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMR mempunyai ciri antara lain bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan
untuk menemukan kembali matematika melalui bimbingan guru, dan bahwa penemuan kembali ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai
situasi dan persoalan “dunia riil”. Menurut Gravemeijer Daitin Tarigan, 2006:3-4, bahwa pendekatan
pembelajaran matematika realistik adalah pembelajaran yang menekankan akan pentingnya konteks nyata yang harus dikenal murid dalam proses konstruksi
pengetahuan matematika oleh murid sendiri. Masalah konteks nyata merupakan bagian inti yang dijadikan starting point dalam pembelajaran matematika. Disini perlu
diketahui bahwa pembelajaran sebenarnya adalah aktivitas siswa. Gagasan ini lahir dari keyakinan Freudenthal yang memandang bahwa matematika bukan sebagai bahan
11
pelajaran, melainkan sebagai kegiatan manusia Human Activity. Demikian juga pandangan Freudenthal, bahwa matematika terkait dengan realitas, dekat dengan dunia
anak, dan relevan bagi masyarakat, sehingga apa yang harus dipelajari bukan matematika sebagai sistem tertutup, melainkan sebagai suatu kegiatan, yakni proses
matematisasi matematika. Hal ini diperjelas oleh pernyataan Gravemeijer Daitin Tarigan, 2006:3 bahwa matematika sebagai kegiatan manusiawi, aktivitas pemecahan
masalah, pencarian masalah, dan aktivitas pengorganisasian materi pelajaran”. Ini dapat berupa materi dari realitas yang harus diorganisasikan menurut pola-pola
matematis, yaitu jika masalah dari realitas hendak dipecahkan oleh siswa dalam proses pembelajaran.
Menurut pendapat Piaget Pitadjeng, 2006:27-28 pada umumnya anak SD
berumur sekitar 67-12 tahun berada pada periode operasional konkret. Periode ini disebut operasional konkret sebab berpikir logikanya didasarkan pada manipulasi fisik
objek-objek konkret. Anak yang masih berada pada periode ini untuk berpikir abstrak masih membutuhkan bantuan memanipulasi objek-objek konkret atau pengalaman-
pengalaman yang langsung dialaminya. Oleh karena itu pembelajaran matematika harus didasarkan pada benda-benda nyata atau konkret agar mempermudah peserta
didik memahami konsep-konsep matematika Menurut Elaine.B Johnson 2002:35 juga mengatakan bahwa:
“Pembelajaran dan pengajaran kontekstual yang melibatkan siswa dalam aktivitas belajar sangat penting untuk membantu mereka mengaitkan pelajaran akdemik
dengan konteks kehidupan nyata yang mereka hadapi. Dengan mengaitkan keduanya, para siswa melihat makna di dalam tugas sekolah. Ketika para siswa
menyusun proyek atau menemukan permasalahan yang menarik, ketika mereka membuat pilihan dan menerima tanggung jawab, mencari informasi dan menarik
kesimpulan, ketika mereka secara aktif memilih, menyusun, mengatur, menyentuh, merencanakan, menyelidiki, mempertanyakan dan membuat keputusan, mereka
mengkaitkan isi akademis dengan konteks dalam situasi kehidupan, dengan cara ini mereka menemukan makna”.
12
Dari pendapat Elaine.B Johnson di atas memberikan kepada kita satu bentuk pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang melibatkan siswa dalam
proses pembelajaran. Dengan demikian, pembelajaran matematika sebaiknya diaplikasikan dalam dunia nyata yang ditemukan siswa sehari-hari, sehingga proses
pembelajaran matematika adalah memberikan pengalaman kepada siswa tentang pemecahan masalah yang dihadapi siswa sehari-hari.
Syaiful Sagala 2006:88 juga memberikan pandangan bahwa konstruktivisme
Construstivism merupakan landasan berpikir filosofi pendekatan kontekstual, yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks
yang terbatas dan dengan tidak tiba-tiba”. Pengetahuan bukan hanya seperangkat fakta- fakta, konsep, atau kaidah yang siap diambil dan diingat. Akan tetapi manusia harus
mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Landasan berpikir konstruktivisme ini agak berbeda dengan pandangan kaum
obyektivitas, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran, sehingga dalam padangan konstruktivisme, strategi memperoleh pengetahuan lebih diutamakan
dibandingkan dengan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan: 1 menjadikan
pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa; 2 memberikan kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan 3 menyadarkan siswa agar
menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar. Menurut Romberg Daitin Tarigan, 2006:3 mulai tahun 1990-an pembelajaran
matematika realistik merupakan pendekatan dalam pendidikan matematika, diadaptasi di beberapa sekolah di Amerika Serikat. Pendekatan ini muncul dengan nama
Mathematic in Conteks. Di Indonesia, pembelajaran matematika realistik diperkenalkan
13
pada tahun 2001 di beberapa Perguruan Tinggi secara berkolaboratif melalui Proyek Pendidikan Matematika Realistik di SD. Dengan demikian, Indonesia merupakan salah
satu negara yang baru dalam mengadopsi pembelajaran matematika realistik, untuk itu perlu direalisasikan di sekolah dasar saat ini.
Paradigma baru dalam pembelajaran sekarang ini khususnya Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia menekankan terhadap proses
pembelajaran dimana aktivitas siswa dalam mencari, menemukan dan membangun sendiri pengetahuan yang dia perlukan benar-benar menjadi pengalaman belajar
tersendiri bagi setiap individu. Menurut Suryanto 2010, 41: a
Penemuan Kembali secara Terbimbing. Melalui masalah kontekstual yang realistik dan mengandung topik-topik matematis tertentu yang disajikan, siswa diberi
kesempatan untuk membangun dan menemukan kembali ide dan konsep matematis.
b Matematisasi Progresif. Upaya mengarah ke pemikiran matematis dan dikatakan
progresif karena dilalui dalam dua langkah berurutan, yaitu: i matematisasi horizontal berawal dari masalah kontekstual yang diberikan dan berakhir pada
matematika yang formal, dan kemudian ii matematisasi vertikal dari matematika formal ke yang lebih luasrumit.
c Fenomena Didaktis. Menekankan pada fenomena pembelajaran yang bersifat
mendidik dan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa.
d Membangun sendiri model. Prinsip ini menunjukkan adanya fungsi jembatan yang
berupa model. Pembelajaran yang berpangkal pada masalah kontekstual dan akan menuju ke matematika formal, serta ada kebebasan pada siswa, maka tidak
14
mustahil siswa akan mengembangkan model sendiri untuk mempermudah pemahamannya. Paradigma baru pendidikan sekarang ini juga lebih menekankan
pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Dalam PMRI, siswa dipandang sebagai seseorang yang memiliki
pengetahuan dan pengalaman sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya sehingga siswa dapat mengembangkan pengetahuan tersebut apabila diberikan
kesempatan untuk mengembangkannya. Dengan demikian, siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas kita dapat menarik suatu pengertian bahwa pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik adalah suatu pendekatan
pengajaran dalam pembelajaran matematika yang berdasarkan pada ide bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan matematika harus dihubungkan secara nyata
terhadap konteks kehidupan sehari-hari siswa sebagai suatu sumber pengembangan dan sebagai area aplikasi dalam proses pendidikan. Dengan kata lain, Pendekatan
Matematika Realistik adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran. Dengan demikian seharusnya
proses pembelajaran matematika dilaksanakan secara realistik yang memungkinkan siswa untuk belajar lebih bermakna sesuai dengan kebutuhan siswa sehingga dapat
meningkatkan prestasi siswa.
D. Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik