B. Sahnya Perjanjian
Perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum, maka dalam membuat suatu perjanjian haruslah memenuhi syarat-syarat agar terciptanya perbuatan hukum
bagi para pihak yang ingin melakukannya. Dari suatu perbuatan hukum itu akan lahir akibat hukum bagi para pihak yang melakukan perjanjian tersebut dan
lahirlah hak dan kewajiban. Tujuan dipenuhinya syarat-syarat suatu perjanjian agar kita dapat memaksakan hak dan kewajiban para pihak untuk melaksanakan
isi perjanjian tersebut atau kita dapat meminta bantuan hakim untuk memaksakannya, tetapi jika kita tidak memenuhi syarat-syarat suatu perjanjian itu
maka suatu perjanjian itu dianggap bukan perbuatan hukum dan tidak menimbulkan akibat hukum sehingga kita tidak dapat memaksakan hak dan
kewajibannya.
Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa suatu perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah
dan sebagai akibatnya perjanjian akan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar keberadaan suatu perjanjian
diakui oleh undang-undang Legally concluded contract haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang.
21
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
Syarat sahnya suatu perjanjian ini diatur pada Bab II Bagian Kedua Buku III di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
21
Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
3. Suatu pokok persoalan tertentu;
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Keempat syarat ini dibagi menjadi dua syarat pokok yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif meliputi dua syarat pertama yaitu kesepakan
mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Dikatakan sebagai syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek
perjanjian, sedangkan dikatakan sebagai syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian. Syarat objektif ini meliputi dua syarat terakhir yaitu suatu pokok
persoalan tertentu dan suatu sebab yang tidak terlarang. Untuk lebih jelasnya mengenai keempat syarat tersebut maka akan
diuraikan secara satu persatu, yaitu : 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
Suatu perjanjian itu akan timbul jika adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri satu sama lain. Maksud sepakat disini ialah adanya perjumpaan
dan penyesuaian kehendak kedua belah pihak untuk mengikatkan diri satu sama lain. Tidaklah mungkin suatu perjanjian itu dapat terlaksana jika para pihak atau
salah satu pihak tidak menyepakati untuk mengikatkan diri satu sama lain. Penyesuaian kehendak saja antara dua orang belum tentu dapat
menimbulkan suatu perikatan, karena hukum hanya mengatur perbuatan nyata daripada manusia. Kehendak tersebut haruslah saling bertemu dan agar bisa saling
bertemu haruslah dinyatakan kepada pihak tersebut dan juga dimengerti pihak tersebut. Maka inti dari kata dari sepakat adalah suatu penawaran yang diakseptir
diterimadisambut oleh lawan janjinya. Penawaran dan akseptasi bisa datang
Universitas Sumatera Utara
dari kedua belah pihak secara timbal balik. Dengan demikian suatu penawaran dan akseptasi merupakan unsur yang sangat penting untuk menentukan lahirnya
perjanjian.
22
b. Paksaan Kesepakatan para pihak ini dapat menimbulkan cacat syarat subjektif yang
terbagi atas beberapa faktor yaitu : a. Kekhilafan Kesesatan
Cacat kesepakatan yang disebabkan karena kekhilafan ini diatur dalam Pasal 1322 KUHPerdata yaitu :
“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan, kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok
persetujuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya seseorang bermaksud
untuk mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu diberikan terutama karena diri orang yang bersangkutan”.
Jadi kekhilafan itu dapat membatalkan perjanjian jika mengenai hakikat barang atau objek yang menjadi pokok persetujuan dan mengenai diri orang yang
ingin mengadakan persetujuan, yang mana dapat dibagikan menjadi dua macam yaitu error in persona dan error in substantia. Error in persona adalah kekhilafan
atau kesesatan mengenai orang yang seharusnya diperjanjikan untuk mengadakan persetujuan, sedangkan error in substantia adalah kekhilafan mengenai sifat dari
barang yang menjadi pokok persetujuan tersebut.
Mengenai paksaan yang dapat menimbulkan cacat pada persetujuan ini dirumuskan didalam Pasal 1323 sampai dengan Pasal 1327 KUHPerdata. Pasal
1323 berbunyi sebagai berikut :
22
J.Satrio, Op.cit., hal. 165.
Universitas Sumatera Utara
“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga
bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu”.
Dari rumusan Pasal diatas dapat dikatakan terdapat 3 tiga subyek yang melakukan pemaksaan yaitu orang yang mengadakan perjanjian tersebut, orang
yang bukan mengadakan perjanjian tersebut tetapi mempunyai kepentingan dalam perjanjian tersebut dan orang yang bukan mengadakan perjanjian dan tidak
mempunyai kepentingan atas perjanjian tersebut. Pasal 1324 KUHPerdata juga menjelaskan bagaimana pengertiaan paksaan
tersebut yaitu: “Paksaaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi
kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar
dalam waktu dekat. Dalam mempertimbangkan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan”.
Dari rumusan diatas dapat dikatakan bahwa paksaan itu diberikan dengan menimbulkan aspek psikologis yang mengancam dirinya dengan berupa
memberikan kekerasan atau berupa ancaman fisik yang dapat menimbulkan ketakutan baginya, sehingga ia melakukan perjanjian tersebut dibawah tekanan.
Pasal 1325 dan 1326 KUHPerdata menjelaskan mengenai paksaan yang lahir dari pihak-pihak yang bukan melakukan perjanjian saja tetapi datang dari
pihak keluarga seperti suami atau istri atau sanak keluarga dalam garis keatas maupun ke bawah, dan paksaan ini bukan dilandaskan karena rasa hormat saja
tetapi haruslah disertai dengan adanya kekerasan. Seperti yang telah dirumuskan pada Pasal 1325 dan 1326 KUHPerdata yaitu :
Pasal 1325 : “Paksaan menjadikan suatu persetujuan batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan,
Universitas Sumatera Utara
melainkan juga bila dilakukan terhadap suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah”.
Pasal 1326 : “Rasa takut karena hormat terhadap ayah, ibu atau keluarga lain dalam garis keatas, tanpa disertai kekerasan, tidak cukup untuk
membatalkan persetujuan”. c. Penipuan
Cacat persetujuan yang berupa penipuan ini diatur dalam Pasal 1328 yaitu yang berbunyi :
“Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa,
sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira,
melainkan harus dibuktikan”.
Jadi jika seseorang pihak melakukan tipu muslihat dan pihak yang satu lainnya melakukan perjanjian dengan tidak menggunakan tipu muslihat maka
perjanjian itu dapat dikatakan batal, karena terdapat unsur kesengajaan untuk melakukan tipu muslihat sehingga perjanjian itu dapat dilaksanakan. Dalam
menyatakan penipuan tidaklah dapat hanya dikatakan saja atau menuduh bahwa salah satu pihak melakukan penipuan tetapi haruslah berdasarkan pembuktian di
pengadilan bahwa pihak tersebut telah melakukan penipuan. Atas dasar 3 tiga hal yang menyebabkan kecacatan dalam perjanjian
diatas yaitu Kekhilafan kesesatan, Paksaan dan Penipuan maka dapat diminta pembatalan perjanjian tersebut ke Pengadilan Negeri berdasarkan kewenangan
relatifnya, sesuai pada Pasal 1454 KUHPerdata dengan tuntutan pembatalan suatu perikatan dalam tenggang waktu selama 5 lima Tahun dan waktu itu berlaku
dalam hal penyesatan dan penipuan sejak sehari diketahuinya penyesatan dan penipuan tersebut sedangkan dalam hal paksaan yaitu sejak hari paksaan itu
berhenti.
Universitas Sumatera Utara
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Dalam membuat suatu perjanjian haruslah dibutuhkan kecakapan
seseorang, maksud kecakapan seseorang ini adalah orang yang dapat melakukan perbuatan hukum. Orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang
yang mampu bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya yang menimbulkan akibat hukum sehingga ia menyandang hak dan kewajiban dan dapat dikatakan
sebagai subjek hukum. Orang yang cakap melakukan perbuatan hukum ditentukan melalui batas usia dan juga tidak sehat jasmani atau rohaninya, dan ketentuan
cakap melakukan perbuatan hukum ini diatur oleh undang-undang. Dalam hal melakukan perjanjian, kecakapan untuk membuat suatu perikatan diatur dalam
Pasal 1330 yang mengatur tentang orang yang tidak cakap untuk membuat persetujuan, yaitu:
a Anak yang belum dewasa;
b Orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
c Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-
undang, dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.
Oleh karena itu selain orang-orang yang tidak termasuk kriteria diatas maka mereka dapat melakukan perjanjian atau dikatakan cakap hukum.
Mengenai anak yang belum dewasa diatur didalam Pasal 330 KUHPerdata yang mengatakan bahwa yang belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap 21 dua puluh satu Tahun dan tidak kawin sebelumnya dan apabila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 Tahun maka
Universitas Sumatera Utara
mereka tidak akan kembali berstatus belum dewasa lagi. Jadi yang dikatakan orang yang cakap hukum adalah orang yang sudah berumur 21 dua puluh satu
Tahun atau yang belum berumur 21 Tahun tetapi sudah pernah menikah sebelumnya. Tetapi dengan adanya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang dikatakan pada Pasal 7 maka adanya perbedaan batasan yaitu pada wanita yang jika ia sudah berumur 16 Tahun maka ia dapat melakukan
pernikahan sedangkan bagi pria yang sudah berumur 19 sembilan belas Tahun ia dapat melakukan pernikahan.
Orang yang tidak cakap hukum lainnya adalah orang yang ditaruh di bawah pengampuan. Maksud dari pengampuan ini dijelaskan dalam Pasal 433
KUHPerdata yaitu setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap walaupun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya,
serta seorang dewasa boleh juga ditempatkan dibawah pengampuan karena keborosannya. Jika orang yang dibawah pengampuan serta yang belum dewasa
ingin melakukan perjanjian maka dapat diwakili oleh masing-masing orangtua dan pengampuannya.
Pada ketentuan ketiga yaitu perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang atau seorang istri itu tidak cakap melakukan
perjanjian ini telah tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 1963 dan lahirnya UndangUndang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 31 Ayat 1 dan 2 yang mengatakan:
Universitas Sumatera Utara
Ayat 1 : “Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersaama
dalam masyarakat”. Ayat 2 : “Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”.
3. Suatu pokok persoalan tertentu Yang dimaksud dengan suatu pokok persoalan tertentu disini adalah
sesuatu yang didalam perjanjian tersebut harus telah ditentukan dan disepakati. Ketentuan ini sesuai dengan yang disebutkan pada Pasal 1333 KUHPerdata bahwa
barang yang menjadi obyek suatu perjanjian harus ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barangnya tidak tertentu, asal saja jumlah itu
kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Atau barang yang akan ada dikemudian hari juga bisa menjadi obyek dari suatu perjanjian, ketentuan ini disebutkan pada
Pasal 1334 KUHPerdata ayat 1.
23
Suatu perjanjian haruslah mempunyai obyek bepaald onderwerp tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat
berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada, yaitu
24
a Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan Pasal 1332.
:
b Barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain
seperti jalan, umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum dan sebagainya tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian.
c Dapat ditentukan jenisnyaPasal 1333.
d Barang yang akan datang Pasal 1334.
23
Djumadi, Op.Cit., hal. 20.
24
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hal. 79.
Universitas Sumatera Utara
4. Suatu sebab yang tidak terlarang Suatu sebab yang tidak terlarang ini diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata
yang mengatakan suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan
ketertiban umum. Jika sebab tersebut terjadi maka perjanjian itu dapat dibatalkan demi hukum.
Menurut Yurisprudensi. yang ditafsirkan dengan kausa adalah isi atau maksud dari perjanjian. Melalui syarat kausa, didalam praktek maka ia merupakan
upaya untuk menempatkan perjanjian di bawah pengawasan hakim. Oleh karena itu hakim dapat menguji apakah tujuan dari perjanjian itu dapat dilaksanakan dan
apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan Pasal 1335 sampai dengan 1337 KUHPerdata.
25
Selain syarat sahnya suatu perjanjian diatas, ada beberapa teori yang menjelaskan saat lahir dan timbulnya suatu perjanjian, yaitu
26
a Teori kehendak Wilstheori mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi
pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.
:
b Teori pengiriman Verzendtheorie mengajarkan bahwa kesepakatan
terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
25
Ibid, hal. 81.
26
Ibid, hal. 74.
Universitas Sumatera Utara
c Teori pengetahuan Vernemingstheorie mengajarkan bahwa pihak
yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.
d Teori kepercayaan Vertrouwenstheorie mengajarkan bahwa
kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.
C. Hak dan Kewajiban Para Pihak