i
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Pihak manajemen suatu perusahaan berkepentingan untuk menyajikan laporan keuangan sebagai suatu gambaran prestasi kerja mereka. Laporan ini berpotensi
dipengaruhi kepentingan pribadi, sementara pihak ketiga, yaitu pihak eksternal selaku pemakai laporan keuangan sangat berkepentingan untuk mendapatkan laporan
keuangan yang dapat dipercaya. Secara umum, laporan keuangan menyediakan referensi tentang posisi keuangan pada saat tertentu, kinerja, dan arus kas dalam suatu
periode yang ditujukan bagi pengguna laporan keuangan dari luar perusahaan untuk menilai dan mengambil keputusan yang bersangkutan dengan perusahaan. Sebagai
sumber informasi, laporan keuangan harus disajikan secara wajib, transparan, dan mudah dipahami Pedoman Penyajian Laporan Keuangan dan Peraturan BAPEPAM
No. VIII.G:2000. Di sinilah peran akuntan publik sebagai pihak yang independen untuk menengahi kedua pihak agen dan prinsipal dengan kepentingan berbeda
tersebut Lee, 1993 dalam Damayanti dan Sudarma, 2007, yaitu untuk memberi penilaian dan pernyataan pendapat opini terhadap kewajaran laporan keuangan yang
disajikan. Dalam melaksanakan proses audit, akuntan publik memperoleh kepercayaan dari
klien dan para pemakai laporan keuangan untuk membuktikan kewajaran laporan
Universitas Sumatera Utara
i
keuangan yang disusun dan disajikan oleh klien. Oleh karena itu, dalam memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang diperiksa, auditor harus
bersikap independen terhadap kepentingan klien, para pemakai laporan keuangan, maupun terhadap kepentingan akuntan publik itu sendiri. Independensi secara
esensial merupakan sikap pikiran seseorang yang dicirikan oleh pendekatan integritas dan obyektivitas tugas profesionalnya. Hal ini senada dengan America Institute of
Certified Public Accountant AICPA dalam Meutia 2004 menyatakan bahwa independensi adalah suatu kemampuan untuk bertindak berdasarkan integritas dan
objektivitas. Meskipun integritas dan objektivitas tidak dapat diukur dengan pasti, tetapi keduanya merupakan hal yang mendasar bagi profesi akuntan publik. Integritas
merupakan prinsip moral yang tidak memihak, jujur, memandang dan mengemukakan fakta seperti apa adanya.
Di lain pihak, objektivitas merupakan sikap tidak memihak dalam mempertimbangkan fakta, kepentingan pribadi tidak terdapat dalam fakta yang
dihadapi Mulyadi, 2002. Dalam aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik disebutkan bahwa dalam menjalankan tugasnya, anggota KAP harus selalu
mempertahankan sikap mental independen di dalam memberikan jasa profesional sebagaimana diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik yang ditetapkan oleh
IAI. Sikap mental independen tersebut harus meliputi independen dalam fakta in fact maupun dalam penampilan in appearance Amani dan Sulardi, 2005. Wajar
adanya jika pengguna laporan keuangan, regulator, dan pihak-pihak lain selalu
Universitas Sumatera Utara
i
mempertanyakan apakah auditor bisa independen dalam menjalankan tugasnya. Keraguan tentang independensi ini bertambah berat karena kantor akuntan publik
selama ini diberi kebebasan untuk memberikan jasa non-audit kepada klien yang mereka audit. Pemberian jasa non-audit ini menambah besar jumlah dependensi
secara finansial kantor akuntan kepada kliennya. Mautz dan Sharaf 1961 dalam Nasser, et al. 2006 percaya bahwa hubungan
yang panjang bisa menyebabkan auditor memiliki kecenderungan kehilangan independensinya. Auditor yang memiliki hubungan yang lama dengan klien diyakini
akan membawa konsekuensi ketergantungan tinggi atau ikatan ekonomik yang kuat antara auditor terhadap klien. Semakin tinggi keterikatan auditor secara ekonomik
dengan klien, makin tinggi kemungkinan auditor membiarkan klien untuk memilih metode akuntansi yang ekstrim. Kekahawatiran ini dapat dibuktikan dengan adanya
bebarapa kasus manipulasi pencatatan laporan keuangan pada perusahaan – perusahaan ternama, seperti Enron, Worldcom, Xerox dan lain-lain yang pada
akhirnya menyebabkan kebangkrutan. Oleh karena itu, untuk menjaga kepercayaan publik dalam fungsi audit dan
untuk melindungi objektivitas auditor, melalui serangkaian ketentuan, profesi auditor dilarang memiliki hubungan pribadi dengan klien mereka yang dapat menimbulkan
konflik kepentingan potensial. Salah satu anjuran adalah memiliki rotasi wajib auditor AICPA, 1978a; AICPA 1978b dalam Nasser et al., 2006 karena dapat
meningkatkan kemampuan auditor dalam melindungi publik melalui peningkatan
Universitas Sumatera Utara
i
kewaspadaan untuk setiap kemungkinan ketidaklayakan, peningkatan kualitas pelayanan dan mencegah hubungan yang lebih dekat dengan klien Mautz, 1974;
Winters, 1976; Hoyle, 1978; Brody dan Moscove, 1998 dalam Nasser et al., 2006. Indonesia adalah salah satu negara yang mewajibkan pergantian kantor akuntan
dan mitra audit diberlakukan secara periodik. Pemerintah telah mengatur kewajiban rotasi auditor dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 359KMK.062003 pasal 2 tentang “Jasa Akuntan Publik” perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 423KMK.062002. Peraturan
ini menyatakan bahwa pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas dapat dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik selanjutnya disebut KAP paling
lama untuk 5 lima tahun buku berturut-turut dan oleh seorang akuntan publik paling lama untuk 3 tiga tahun buku berturut-turut. Peraturan tersebut kemudian
diperbarui dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17PMK.012008 dengan kewajiban mengganti KAP setelah melaksanakan audit selama 6 enam tahun
berturut-turut dan oleh seorang akuntan publik paling lama untuk 3 tiga tahun berturut-turut. Auditor switching tersebut dapat bersifat wajib mandatory ataupun
sukarela voluntary. Auditor switching secara sukarela ini dapat dipicu oleh beberapa faktor, baik
yang berasal dari klien maupun dari pihak auditor atau KAP. Menurut Wijayanti 2010, ketika klien mengganti auditor lamanya dengan yang baru akan terjadi
informasi yang tidak simetris antara klien dengan auditor baru. Hal ini terjadi karena
Universitas Sumatera Utara
i
klien lebih mengetahui informasi yang diperlukan untuk proses audit dari pada auditor. Pada saat itu, klien dipastikan akan mencari auditor yang kemungkinan akan
sepakat dengan praktik akuntansi perusahaan. Sehingga akan ada dua kemungkinan yang terjadi ketika auditor menerima penugasan tersebut, pertama, auditor telah
memiliki informasi yang cukup lengkap tentang usaha klien dan yang kedua, auditor tidak memiliki informasi yang lengkap tentang klien tapi menerima penugasan klien
hanya karena alasan lain, misalkan alasan finansial. Berdasarkan pemikiran tersebut dan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan
oleh Nasser et al 2006, maka peneliti tertarik untuk meneliti kembali faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya auditor switching di perusahaan manufaktur yang
terdaftar di BEI periode 2008-2011. Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian Nasser et al. 2006, yaitu ukuran KAP, ukuran klien, tingkat pertumbuhan
klien, financial distress. Sedangkan penelitian ini menggunakan variabel independen yaitu ukuran perusahaan klien, financial distres, opini going concern, dan reputasi
auditor pengaruhnya terhadap variabel dependen auditor switching itu sendiri. Menurut Evy 2011 ukuran klien adalah besar atau kecilnya ukuran sebuah
perusahaan yang dapat dinyatakan dalam total aktiva, penjualan dan kapitalisasi pasar. Ketika total aktiva, penjualan dan kapitalisasi pasar semakin membesar, maka
semakin besar pula ukuran perusahaan tersebut. Menurut hasil penelitian Afriansyah dan Siregar 2007 menyatakan bahwa klien-klien dengan total aset kecil cenderung
berpindah ke KAP yang bukan tergolong Big 4, sedangkan emiten dengan total aset
Universitas Sumatera Utara
i
besar tetap memilih KAP Big 4 sebagai auditornya, yang mencerminkan kesesuaian ukuran antara KAP dengan kliennya. Kesulitan keuangan financial distress
perusahaan sebenarnya mempunyai berbagai definisi, tergantung pada cara pengukurannya. Atmini dan Wuryana 2005 dalam Wijayanti 2010 mendefinisikan
kesulitan keuangan jika beberapa tahun perusahaan mengalami laba bersih operasi negatif. Sedangkan Lau 1994 menyatakan bahwa perusahaan mengalami kesulitan
keuangan jika melakukan pemberhentian tenaga kerja. Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan memiliki dorongan kuat untuk melakukan auditor switching. Hal
ini dapat disebabkan karena kondisi perusahaan klien yang terancam bangkrut cenderung meningkatkan evaluasi subjektifitas dan kehati-hatian auditor sehingga
dalam kondisi ini perusahaan akan cenderung melakukan auditor switching. Penelitian mengenai pengaruh opini going concern terhadap pergantian
auditor masih jarang dilakukan. Maka peniliti akan menambahkan variabel tersebut ke dalam penelitian karena variabel independen opini going concern hasilnya tidak
signifikan ketika diteliti oleh Sinarwati 2010 dan Rahmawati 2011 yang dilakukan di Indonesia. Reputasi auditor juga menjadi salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap pelaksanaan auditor switching tersebut. Reputasi auditor dapat diukur dengan melihat ukuran dari KAP. KAP dikatakan sebagai KAP besar jika berafiliasi
dengan Big 4 dan dikatakan kecil jika tidak berafiliasi dengan Big 4. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Arens et al., 2003 dalam Wijayanti 2010 yang
menyatakan bahwa Penggolongan ukuran besar kecilnya kantor akuntan publik,
Universitas Sumatera Utara
i
dikatakan besar jika kantor akuntan publik tersebut berafiliasi atau mempunyai cabang dan klienya perusahaan-perusahaan besar mempunyai tenaga profesional di
atas 25 orang. Dikatakan kecil jika tidak berafiliasi, tidak mempunyai kantor cabang dan klienya perusahaan kecil dan jumlah profesionalnya kurang dari 25 orang.
1.2 Perumusan Masalah