Rencana Jurnal Volume 1 No. 2 2013

Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013 144 model hybrid tersebut? Artikel ini mengidentifikasi lebih lanjut pelaksanaan model hybrid Rahman El Yunusiah, M. Yamin 1, M. Yamin 2, Sudirman 1, Sudirman 2, Sudirman 3, M. Syafei. c. Perlunya peningkatan jalan pada ruas jalan Jl. Anas Karim 2, Jl. Bukit Kandung 2, Jl. Bukit Kandung 3, Jl. M. Yamin 1, Jl. M. Yamin 3, Jl. Rasuna Said 1, Jl. Raya Padang Panjang 3, Jl. Sudirman 7, Jl. Sudirman 8, Jl. Sudirman 9, Jl. Sutan Syahrir 1, Jl. Sutan Syahrir 2. d. Perlunya konsistensi pengawasan dan pemeliharaan, terhadap prasarana jaringan jalan untuk mengantisipasi permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul di masa yang akan datang. e. Perlunya pengawasan terhadap trotoar agar tidak ditempati oleh area PKL pedagang kaki lima sehingga tidak menurunkan kapasitas jalan. f. Sebelum menjalankan hasil rekomen- dasi riset, pemerintah daerah perlu melakukan evaluasi terhadap rekomen- dasi agar pelaksanaanpenerapan hasil rekomendasi tepat sasaran dan tidak terjadi konflik sosial. g. Perlunya kajian tentang angkutan umum secara menyeluruh yang dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi jalan raya. h. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang dampak pertumbuhuan kendara- an terhadap kinerja simpang, terutama simpang-simpang di CBD Central Bussines District i. Perlunya penyediaan anggaran untuk pembebasan dan peningkatan jalan di masa yang akan datang DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2009. Sumatera Barat Dalam Angka. Padang. Badan Pusat Statistik. 2009. Padang Panjang Dalam Angka. Padang Panjang. Black, J.A. 1981. Urban Transport Planning: Theory and Practice. London: Cromm Helm. Citilabs. 1998, Cube 4.0.1 User’s Manual Software , United Kingdom Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia. 1997. Manual Kapasitas Jalan Indonesia MKJI. Jakarta. Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Barat.

2002. Rencana

Umum Jaringan Transportasi Jalan. Padang. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2006. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas. Jakarta. Papacostas, C.S. 1987. Fundamental of Transportation Engineering. Prentice Hall Inc, Englewood Cliffs. New Jersey. Sekolah Tinggi Transportasi Darat. 2009. Laporan Umum Lalu Lintas Angkutan Jalan. Bekasi. Tamin, O.Z. 1997. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, Penerbit ITB, Bandung Wiratna, V.S. 2008. SPSS Untuk Penelitian Skripsi, Tesis, Disertasi dan Umum, Penerbit Global Media Informasi. Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013 145 MODEL HYBRID DALAM PRAKTIK DEMOKRASI LOKAL MELALUI PELAKSANAAN OTONOMI NEGARA DI SUMATERA BARAT Asrinaldi A dan Yoserizal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Kampus Limau Manis, Padang 25163 e-mail: asrinaldi4yahoo.com e-mail: yose.unandgmail.com HYBRID MODELS IN THE PRACTICE OF LOCAL DEMOCRACY THROUGH DECENTRALIZATION IN WEST SUMATRA Abstract State Autonomy is an important concept in discussing local democracy in the implementation of regional autonomy in Indonesia. Through this state autonomy, then government can control the negative impact of democracy. However, the strong of state autonomy can also threaten the regional autonomy because of denying of local values . Therefore, in implementing of state autonomy should combine the implementation of modern government at lowest level with socio cultural system in local society . In line with this, the article describes how to the development of the state autonomy concept accordance with implementation of local democracy in West Sumatra. This article describes a hybrid model that can be developed to strengthen the legitimacy of the government and local socio cultural systems. How these hybrid models? This article attempts to identify further related to the implementation of this hybrid model. Key Words: State autonomy, local democracy and hybrid model Abstrak Otonomi negara adalah konsep penting dalam membahas praktik demokrasi lokal dalam penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia. Melalui otonomi negara pemerintah dapat mengendalikan dampak negatif demokrasi. Namun, kuatnya otonomi negara juga dapat mengancam pelaksanaan otonomi daerah karena mengenepikan nilai lokal. Oleh karena itu, pelaksanaan otonomi negara perlu digabungkan pelaksanaannya melalui pemerintahan modern terendah sesuai dengan sistem sosiobudaya lokal masyarakat. Sejalan dengan itu, artikel ini menjelaskan pengembangan konsep otonomi negara terkait praktik demokrasi lokal di Sumatera Barat. Artikel ini menjelaskan adanya model hybrid yang dapat dikembangkan untuk memperkuat legitimasi pemerintah dan sistem sosiobudaya masyarakat lokal. Bagaimanakah model hybrid tersebut? Artikel ini mengidentifikasi lebih lanjut pelaksanaan model hybrid tersebut. Kata Kunci: Otonomi negara, demokrasi lokal dan model hybrid. Naskah masuk : 18 November 2013 Naskah diterima : 27 Desember 2013 terjadi konflik sosial. Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013 146 yang didefinisikan oleh Weber 1964:156: Jika dirujuk definisi otonomi negara kapitalis. Walaupun begitu, konsep otonomi PENDAHULUAN Masalah lain yang juga ditemukan dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah semakin menguatnya gejala politik praktis di birokrasi. Fenomena ini muncul karena kepala daerah cenderung melibatkan birokrasi untuk mendukung kepentingan politiknya. Akibatnya fungsi birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik tidak berjalan maksimal Agus Dwiyanto, 2011; Leo Agustino, 2011. Hal lain yang juga menjadi kendala dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah terjadinya eksploitasi terhadap sumber daya alam di daerah. Dengan dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah PAD, kepala daerah memberi izin kepada pengusaha untuk menggarap hutan yang sebenarnya dilindungi oleh negara. Akibatnya terjadi kerusakan yang luar biasa terhadap hutan lindung Aspinall Fealy, 2003. Munculnya permasalahan dalam penyelenggaraan otonomi daerah ini diakibatkan oleh lemahnya penerapan aturan oleh pemerintah. Padahal penerapan fungsi regulasi ini adalah gambaran kedaulatan negara, seperti yang dijelaskan Fukuyama 2005, pelaksanaan fungsi regulasi ini adalah gambaran adanya fungsi minimum negara. Negara harus dapat menciptakan dan menegakan hukum dalam kehidupan warganya sehingga dapat diciptakan ketertiban. Pandangan yang sama juga dinyatakan oleh Christensen Laegreid 2006:9 tentang pentingnya kebijakan pengaturan yang dilakukan agensi yang otonom seperti negara untuk mewujudkan tujuan melalui intervensi yang dilakukannya ke dalam masyarakat. Yang menarik, fungsi regulasi ini terkait dengan sifat otonomi negara yang menjadi dasar pelaksanaan tujuan suatu negara. Otonomi negara merupakan kemam- puan negara melaksanakan fungsinya untuk mewujudkan tujuan bersama dalam masyarakat tanpa dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang dapat “membelokkan” tujuan negara. Otonomi negara ini juga terkait dengan politik kekuasaan pusat dalam melaksanakan fungsinya. Skocpol 1985 menjelaskan pada dasarnya negara memiliki organisasi yang melaksanakan fungsinya yang dikenal dengan pemerintah. Lebih jauh Skocpol berpendapat bahwa otonomi negara ini merupakan gambaran adanya institusi negara yang rasional dalam membuat dan melaksanakan keputusannya di seluruh wilayah kekuasaannya. Oleh karenanya, artikel ini mencoba menjelaskan bagaimana mengembangkan otonomi negara ini terkait dengan praktik demokrasi lokal? Namun, dari satu sisi juga tidak mengancam pencapaian tujuan bernegara melalui pelaksanaan otonomi daerah. Dapatkah otonomi negara tersebut dikembangkan berdasarkan sistem sosio- budaya masyarakat lokal? Seperti apa pengembangannya? Adakah model hybrid penyelenggaraan fungsi pemerintahan terendah sekaligus memperkuat otonomi negara? Hal ini sangat beralasan karena Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI memiliki berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosiobudaya yang beragam. Untuk menjelaskan pengembangan konsep otonomi negara berdasarkan sistem sosiobudaya lokal ini, maka penjelasan dalam artikel ini dibagi ke dalam dua aspek penting. Pertama, terkait dengan upaya mengembangkan potensi otonomi negara berdasarkan sistem sosiobudaya lokal. Dan Kedua, menjelaskan Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013 147 model hybrid penyelenggaraan pemerintah terendah di Sumatera Barat berdasarkan sistem sosiobudaya lokal tersebut. Otonomi Negara: Membangun Demokrasi Berdasarkan Sistem Sosiobudaya Masya- rakat Lokal Misalnya, menurut Skocpol 1979, negara bukan hanya sebagai tempat bertemunya kepentingan kelas dominan yang terutama kepentingan ekonomi saja. Namun, negara pada hematnya adalah institusi bebas yang menentukan caranya menjalankan kekuasaan sehingga kestabilan dalam wilayahnya dapat diwujudkan 1979:9-11. Dari sini dapat dilihat pandangan Skocpol tentang otonomi negara yang justru fokus pada faktor kekuasaan negara yang dominan dalam mengendalikan masyarakat. Dari kecenderungan ini dapat diketahui bahwa pengertian otonomi negara seperti ini amatlah dipengaruhi oleh konsep negara yang didefinisikan oleh Weber 1964:156: “[t]he claim of modern state to monopolize the use force is as essential to it as its character of compulsory jurisdiction and of continous organization.” Jika dirujuk definisi otonomi negara di atas, maka mestilah dipahami dengan me- lihat kepada adanya kekuatan tertentu yang mengendalikan kekuasaan negara tersebut sehingga negara dapat bertindak secara otoritatif ke atas masyarakatnya. Kekuatan untuk bertindak dan memaksakan itulah disebut dengan elite negara. Menurut Stepan 1978 juga menjelaskan negara sebagai organisasi yang dominan dalam menjalankan kekuasaannya. Menurutnya, negara adalah organic-statism yang memiliki fungsi yang terpusat, terutamanya dalam menciptakan kestabilan dan ketertiban dalam masyarakat. Pandangan Stepans ini agak berbeda dengan sarjana Marxis yang melihat negara sebagai cara menghasilkan pengeluaran mode of production. Selain itu, pandagan Stepan ini juga berbeda dengan sarjana pluralis yang melihat negara sebagai cara untuk mewujudkan kepentingan rasional individu. Negara organic-statism, menurut Stepan 1978:33 memiliki sifat: “…clearly interventionist and strong. However, it is important to understand that a just and stable organic order is not necessarily to be equated with established order.” Lebih jauh, Stepan juga menjelaskan bahwa dalam negara organic-statism terdapat peranan organisasi pemerintah yang menentukan penyelenggaraan kekuasaan negara. Mengapa? Ini karena negara adalah proses administrasi yang berkesinambungan, memiliki keabsahan, birokratis serta memiliki sistem paksaan yang tidak hanya dalam konteks hubungan struktur antara masyarakat sipil dan institusi-institusi publik, tetapi lebih dari itu adanya meka- nisme dominasi dan pengendalian terhadap aktivitas masyarakat sipil. Di sinilah dapat dilihat wujudnya otonomi negara tersebut. Singkatnya, konsep otonomi negara dalam kajian ini jelas merujuk kepada apa yang dijelaskan oleh Skocpol di atas yang menyebutkan otonomi negara sebagai bentuk kemampuan negara yang merumuskan kepentingannya dan terbebas dari pengaruh kepentingan kelas dominan dalam masyarakat kapitalis. Walaupun begitu, konsep otonomi negara ini dapat dikembangkan lagi, yaitu dengan cara memfokuskan pada penjelasan “bentuk kemampuan negara merumuskan kepentingannya secara bebas.” Bagaimanapun, pengertian ini memiliki Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013 148 dapat diidentifikasi dengan berperannya terlihat ada perubahan yang signifikan dari hubungan dengan kekuatan negara yang harus dikaitkan dengan strategi pemerintah pusat dalam melaksanakan kekuasan negara. Strategi pemerintah pusat ini terkait dengan mengendalikan demokrasi di tingkat lokal. Pengendalian terhadap demokrasi lokal tersebut dikaitkan dengan pengembangan sistem sosiobudaya masyarakat lokal sebagai basis legitimasi negara. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan pende- katan kualitatif dengan mendasarkan kajian pada kaedah grounded theory. Kaedah ini dipilih karena memudahkan peneliti mem- bangun konsep mengendalikan demokrasi lokal yang dilakukan pemerintah pusat, khususnya yang terkait dengan penguatan sistem sosiobudaya masyarakat lokal. Oleh karena itu, untuk menganalisis permasala- han di atas, maka penelitian ini memfokus- kan pada tiga daerah penelitian, yaitu Nagari Sarilamak Kabupaten Limapuluh Kota, Nagari Manggopoh Kabupaten Agam dan Nagari Koto Gaek Kabupaten Solok. Ketiga daerah ini dipilih secara sengaja karena me- menuhi kriteria sebagai daerah yang sistem sosiobudaya masyarakatknya masih berkem- bang dengan baik. Analisis data bersumber pada data wawancara sebagai data primer dan data sekunder sebagai data tambahan untuk memahami masalah yang diteliti. Informan dalam penelitian ini dipilih secara sengaja purposive sampling sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dengan pengembangannya berdasarkan teknik snowball sampling agar mendapatkan informan yang relevan sesuai dengan permasalahan yang dikaji.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Memperkuat

Otonomi Negara dan Mengembangkan Demokrasi Berdasararkan Sistem Sosiobudaya Masyarakat Lokal Dalam banyak hal, otonomi daerah yang dilaksanakan juga harus dikendalikan agar tujuan bernegara tidak dibelokkan oleh sekelompok orang yang memiliki kepentingan terhadap itu. Kecenderungan ini banyak dijumpai di daerah. Kelompok elite lokal menjadi dominan dalam aktivitas politik dan pemerintahan karena mereka menguasai sumber daya lokal. Akibatnya demokrasi lokal tidak dapat berkembang sesuai dengan kepentingan masyarakat. Mereka menguasai institusi lokal yang menjadi wadah demokrasi berkembang. Penguasaan ini berdampak pada praktik demokrasi yang hanya berorientasi pada kepentingan orang kuat lokal local strongmen. Mengapa ini terjadi? Aspek budaya dan tradisi yang hidup dalam masyarakat membenarkan tindakan elite lokal karena mereka menjadi bagian dari kelompok budaya tersebut. Realita ini juga dijumpai dalam masyarakat Sumatera Barat. Besarnya pengaruh adat dan budaya beserta legitimasi pemimpinnya dalam penyelenggaraan pemerintahan menjadi alasan bagi pemerintah daerah untuk mengembalikan penyelenggaraan pemerintahan di tingkat terendah berdasar- kan budaya masyarakat lokal ini. Kebijakan “kembali ke nagari” adalah realita kebudayaan masyarakat yang disandingkan dengan pelaksanaan pemerintahan terendah. Namun, bagaimana format penyelenggaraan bernagari ini justru tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Dalam banyak hal yang terjadi justru penyelenggaraan Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013 149 pemerintahan terendah yang mereduksi hakikat kehidupan bernagari dalam masyarakat Sumatera Barat Asrinaldi Yoserizal, 2011. Keadaan ini bertentangan dengan semangat otonomi daerah, terutama dalam menguatkan demokrasi lokal. Walaupun bagaimanapun, demokrasi lokal tepatnya dapat dilaksanakan karena menjadi bagian kebiasaan masyarakat lokal Kahin, 2005. Demokrasi lokal di Sumatera Barat dapat diidentifikasi dengan berperannya lembaga pemerintahan di nagari seperti Badan Musyawarah Nagari, badan yang menjadi kekuatan penyeimbangan dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari di bawah kendali wali nagari. Begitu juga dalam menempatkan institusi Kerapatan Adat Nagari KAN yang mengalami reduksi peran yang sistematis. Lembaga KAN pada masa sekarang menjadi lembaga yang mengurusi masalah adat istiadat. Artinya, peran lembaga adat hanya berkisar pada urusan pemberian gelar penghulu di nagari sako dan pengurusan harta warisan di nagari pusako. Padahal pada masa lalu, KAN menempati posisi yang strategi, selain menjadi lembaga penasehat sengketa yang ada di nagari, juga menjadi lembaga tertinggi yang menentukan arah perjalanan nagari. 1 . Biasanya yang menjadi wali nagari adalah orang pilihan musyawarah para penghulu artistokrat adat dan biasanya wali nagari juga berasal dari kelompok penghulu adat ini. Artinya, wali nagari ini bukanlah sembarang orang, namun mereka yang dipilih memenuhi kriteria yang disepakti bersama. Jelas ini berbeda dengan keadaan sekarang. Wali nagari dipilih secara langsung dengan melibatkan seluruh masyarakat. Akan tetapi persyaratannya yang tidaklah seketat yang dulu karena disesuaikan dengan dinamika demokrasi dalam masyarakat. Memang terlihat ada perubahan yang signifikan dari model bernagari yang mengkombinasikan nilai sosiobudaya masyarakatnya dengan kehidupan politik modern. Karenanya jabatan wali nagari tidak lagi di dominasi oleh kaum penghulu adat, tapi sudah terbuka dikompetisikan termasuk oleh masyarakat biasa. Inilah perubahan mendasar dalam penyelenggaraan nagari saat ini. Di satu sisi, perubahan ini membawa dampak yang berarti bagi perluasan partisipasi masyarakat. Namun, di sisi lain jabatan wali nagari mengalami degradasi yang tidak lagi dijabat oleh kelompok arirokrat, seperti penghulu yang ada di nagari. Apa yang dilakukan pemerintah di tingkat lokal ini merupakan gambaran wujudnya otonomi negara dalam penye- lenggaraan demokrasi di tingkat lokal yang semakin berkembang. Tentu dengan perkembangan masyarakat ini, negara juga harus dapat mengembangkan potensi otonominya sehingga legitimasinya dapat diperkuat. Namun, idealnya potensi otonomi negara ini dapat dikembangkan dengan cara mensinergikannya dengan sistem sosiobudaya masyarakat di Sumatera Barat. Pertama yang dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi otonomi negara adalah dengan memperkuat kembali sistem sosiobudaya masyarakat lokal. Jelas, sistem sosiobudaya ini adalah bagian dari sumber ideologi negara yang terus berkembang sehingga menuntut negara terus memperbaharui nilai dasarnya. Nilai dasar ideologi tersebut jelas hidup dan berkembang dalam masyarakat, termasuk di dalamnya sistem sosiobudaya etnis Minangkabau. Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013 150 Mengembangkan potensi otonomi negara dari sistem sosiobudaya masyarakat lokal ini dapat dilakukan dengan cara menghidupkan kembali nilai demokrasi yang dipraktikkan oleh masyarakat. Misalnya, di Sumatera Barat nilai demokrasi yang masih hidup dalam praktik bernagari adalah tradisi musyawarah dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari. Ini dapat dilihat di nagari Sarilamak, Kabupaten Limapuluh Kota. Seperti yang dijelaskan oleh Zulfahmi angota Badan Musyawarah Bamus Nagari Sarilamak yang menjelaskan: “Pembuatan kebijakan di Nagari Sarilamak selalu mengutamakan musyawarah dan mufakat yang melibatkan semua pihak dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari. Jadi proses pembuatan kebijakan tidak hanya melibatkan Wali Nagari dan perangkatnya saja.” Dukungan untuk melaksanakan musyawarah dan mufakat dalam penyelengaraan ini juga dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota. “Ini sudah menjadi kebijakan pemerintah daerah mendukung demokrasi lokal dapat diselenggarakan di setiap nagari”, kata Camat Harau Elvi Rahmi. Selain pelaksanaan musyawarah dan mufakat, dukungan terhadap praktik demokrasi lokal di nagari juga dilakukan dengan cara mensinergikan kegiatan adat dengan penyelenggaraan pemerintahan di tingkat terendah. Misalnya, sebelum melaksanakan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Musrenbang di tingkat nagari, masyarakat nagari berdiskusi di tingkat jorong merencanakan usulan yang dibawa dalam forum Musrenbang tersebut. Bahkan pemerintah kabupaten menjadikan jorong sebagai basis utama pelayanan publik di nagari berdasarkan nilai adat dan budaya setempat. Contohnya dapat dilihat dalam penguatan peran kelompok petani pemakai air di Jorong Aie Putih di nagari Sarilamak dalam mengelola irigasi di daerah mereka. “Masyarakat bersama-sama membuat kese- pakatan untuk mengelola saluran irigasi agar dapat dimanfaatkan secara maksimal.” Dalam hal ini, pembangunan irigasi yang dibantu pemerintah daerah diserahkan kepada masyarakat untuk dikelola sesuai dengan kebiasaan mereka yang diwariskan secara turun temurun. Jadi, rangsangan yang diberikan pemerintah daerah dalam bentuk pembangunan di nagari ini menghidupkan kembali tradisi adat masyarakat lokal. Secara tidak langsung hal ini dapat menguatkan legitimasi pemerintah dalam melaksanakan fungsinya di daerah. Di lain pihak, sistem sosiobudaya yang berkembang dalam masyarakat menjadi pengikat individu- individu di nagari untuk saling bekerjasama dan saling menghargai sehingga integrasi sosial ini menjadi modal dalam melaksanakan fungsi pemerintahan. Inilah bagian penting dari proses pembentukan modal sosial seperti yang dijelaskan Deth 2008:200 “a relationship among individuals; that is, as a property of individuals, found in networks of individual citizens.” Aspek inilah yang menjadi asas dalam mewujudkan tujuan demokrasi melalui pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Jika modal sosial ini berkembang, maka secara tidak langsung legitimasi pemerintah semakin kuat. Jika legitimasi menguat, maka negara tidak perlu menggunakan kekuatan despotiknya dalam mewujudkan tujuan negara. Malah dalam keadaan ini, negara dapat mewujudkan tujuan tersebut hanya dengan menggunakan kekuasaan infrastrukturnya cf. Mann, Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013 151 1986. Kekuasaan infrastruktur negara ini terkait dengan cara negara masuk ke dalam aktivitas masyarakat melalui aturan dan kebijakan, program, dan sebagainya. Inilah yang berhasil dilakukan negara dalam kehidupan bernagari sehingga aktivitas demokrasi dapat dikendalikan. Kedua, potensi otonomi negara dapat dikembangkan, jika pembuatan aturan yang dilakukan pemerintah menggunakan sebagian atau keseluruhan aturan sosial dalam masyarakat. Walaupun negara memiliki kekuasaan despotik-kekuasaan yang menjadi ciri negara yang otonom, namun dalam perkembangan demokrasi modern, penggunaan kekuasaan ini jarang digunakan. Justru penggunaan kekuasaan despotik ini dapat mengancam legitimasi pemerintah yang berkuasa. Menurut Mann 1986, kekuasaan despotik ini cenderung digunakan pada rezim yang diktator dan kekuasaan raja yang absolute pada masa abad pertengahan hingga abad ke-18. Tidak berarti dalam negara modern, kekuasaan despotik ini tidak ada sama sekali. Kekuasaan ini digunakan, jika keadaan memaksa dan mengancam kedaulatan negara karena kerusuhan sosial yan mengarah pada revolusi sosial. Pembangunan demokrasi di tingkat lokal dapat diperkuat melalui pelaksanaan otonomi daerah secara konsisten. Sesuai dengan tujuan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, maka di setiap daerah di Indonesia muncul kekhasan dalam melaksanakan otonomi tersebut. Kehidupan bernagari menjadi model praktik berdemokrasi yang berkembang dalam realita etnik Minangkabau. Jauh sebelum NKRI terben- tuk, praktik bernagari dalam aktivitas politik dan pemerintahan sudah dijalani oleh masyarakat Imran Manan, 1995. Justru sejak kemerdekaan hingga masa Orde Baru praktik bernagari ini mengalami perubahan sesuai dengan politik rezim yang berkuasa Mestika Zet et al., 1998; Kahin, 2005. Sejauh ini pemerintah belum sepenuhnya mengembangkan pengaturan pelaksanaan demokrasi berdasarkan nilai lokal. Bahkan dalam konteks bernagari yang dikenal dengan ciri demokrasi deliberatif telah bergeser menjadi demokrasi liberal. Seperti yang dijelaskan di atas, mekanisme musyawarah dan mufakat yang menjadi ciri dalam pembuatan keputusan di nagari, seringkali mencantumkan mekanisme voting yang bersifat individual, akibatnya orientasi pembuatan keputusan tidak lagi pada permufakatan, melainkan pemilihan. Ini terjadi karena pemaknaan demokrasi dalam peraturan yang dibuat pemerintah diartikan sebagai wujud mekanisme pemilihan langsung yang melibatkan individu-individu warga negara. Walaupun tidak salah, namun telah mengaburkan hakikat demokrasi lokal di Sumatera Barat. Ketiga, otonomi negara dapat dikembangkan melalui penguatan ekonomi masyarakat berbasiskan nagari. Potensi otonomi negara dapat dikembangkan, jika kesejahteraan masyarakat meningkat. Dalam hal ini, kehidupan bernagari yang berdasarkan sosiobudaya masyarakat tidak hanya mencakup aspek politik dan pemerintahan saja melainkan juga aspek ekonomi. Nagari sebagai basis penyelenggaraan pemerintahan terendah juga memiliki fungsi ekonomi bagi masyarakatnya. Karenanya di nagari ditemukan adanya sumber-sumber ekonomi yang dikelola langsung oleh nagari. Misalnya, sumber pendapatan dari pasar nagari, tanah ulayat, hutan nagari, Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013 152 signifikan. Hal ini juga ditegaskan oleh Walinagari langsung menjadi Ketua gambarkan bahwa Walinagari ada Dengan demikian Walinagari mem KAN hanya merefleksikan pengelolaan dan sebagainya. Misalnya, di Nagari Sarilamak, keberadaan pasar serikat nagari sangat membantu nagari meningkatkan pendapatan aslinya. Pasar serikat nagari ini melibatkan empat nagari lainnya yang saling bertetangga, yaitu Nagari Tarantang, Nagari Harau dan Nagari Solok Bio-Bio. Hasil dari pengelolaan pasar ini, yaitu sebanyak 70 persen menjadi sumber pendapatan asli nagari dan sisanya sebanyak 30 persen menjadi bagian pemerintah kabupaten. Apalagi di nagari, persoalan ekonomi ini menjadi hambatan utama bagi mereka untuk berpartisipasi dalam politik. Orientasi masyarakat di nagari untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga adalah aspek utama ketimbang memenuhi kebutuhan mereka berpartisipasi. Oleh karenanya, pembangunan ekonomi yang dilakukan negara, khususnya dalam skala mikro dapat membantu meningkatkan produktivitas masyarakat.

2. Mengembangkan Otonomi Negara Berdasarkan Model Hybrid Dalam