Wawasan al-Qur'an tentang kekerabatan

(1)

iii

ﻪﺑﺎﺤﺻﺃﻭ ﻪﻟﺍ ﻰﻠﻋﻭ ﺪﻤﳏ ﺎﻧﺪﻴﺳ ﻰﻠﻋ ﻡﻼﺴﻟﺍﻭ ﺓﻼﺼﻟﺍ ﻭ ﲔﻤﻠﻌﻟﺍ ﺏﺭ ﷲ ﺪﻤﳊﺍ

ﲔﻌﲨﺃ

ﻊﺒﺗ ﻦﻣﻭ

ﺈﺑ

ﻥﺎﺴﺣ

ﱃﺍ

ﻦﻳﺪﻟﺍ ﻡﻮﻳ

،

ﺪﻌﺑ ﺎﻣﺃ

.

Segala Puji dan syukur tersanjung kehadirat Allah Swt. Atas izin dan karunian-Nya, sehingga penulis diberikan jalan kemudahan dan kemampuan untuk menyelesaikan skripsi ini, karena setiap lintasan perjalanan kita selalu di limpahi rahmat dan ridha-Nya. Shalawat dan salam seiring kerinduan, senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, seorang teladan yang sempurna hingga akhir zaman.

Kekerabatan merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Hubungan kekerabatan merupakan modal penting bagi manusia untuk mengembangkan kehidupan sosial kemasyarakatan. Adanya hubungan kekerabatan ini menjadikan manusia semakin erat berhubungan dengan orang lain dan menjadikan hidup mereka menjadi lebih baik. Kekerabatan merupakan suatu tema pertama kali yang diteliti oleh para antropolog di dunia. Mengikuti jejak ini kemudian penulis mengambil tema untuk dijadikan sebagai judul skripsi. Tema kekerabatan ini berusaha untuk dikombinasikan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang merupakan petunjuk bagi manusia, tidak salah kiranya jika hal ini kemudian penulis gunakan untuk menulis skripsi sederhana ini. Meskipun skripsi sangat sederhana namun tidak mudah bagi penulis untuk menyelesaikannya karena susahnya untuk membagi waktu antara penulisan skripsi dengan berbagai kegiatan


(2)

iv

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Dengan segala kerendahan kami haturkan ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prpf. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat), Dr. Bustamin, M.Si (Ketua Jurusan Tafsir–Hadis), Rifqi Muhammad Fatkhi, MA (Sekjur Tafsir-Hadis).

2. Drs. Zahruddin AR,M.Si selaku Pembimbing yang telah banyak membantu, membimbing serta pengarahkan penulisan skripsi ini.

3. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Khususnya dosen-dosen Tafsir-Hadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, sehingga berkat merekalah penulis mendapat setetes dari samudra imu yang sangat bermanfaat.

4. Pimpinan dan segenap staff karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FUF, UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Umum Islam Iman Jama’ Jakarta Perpustakaan Universitas Satya Negara Indonesia, Perpustakaan Universitas Negeri Jakarta, dan Perpustakaan Nasional Jakarta.

5. Teristimewa Ayahanda Ahmad dan Ibunda Ani tersayang yang telah membesarkan, merawat dan mendidik penulis dengan kelembutan dan cinta kasihnya, serta memberikan motivasi dan semangat yang begitu luar biasa


(3)

v dan cinta yang tulus.

6. Seluruh keluarga besar penulis di Depok afwan tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan motivasi, kasih sayang dan membantu penulis dalam melaksanakan skripsi, khususnya ka Dhani, ka Zaelani, dan ka Suryani yang telah selalu menasehati dan memberi pemasukan dikala bored, thank you

juga untuk myfairy Neni Prianti you always in my mind. Keponakan ku Doni, Rafli, Fahri, Damar dan Ridho yang telah membuat aku tersenyum dikala bad mod,. Thanks very much for it’s and information, hopefully they will give guide and safety by Allah Swt, Amin.

7. Sahabat-sahabat penulis di manapun berada, seluruh mahasiswa Tafsir-Hadis angkatan 2006/2007, khususnya TH B dan Sahabat KKN Bandung, satu dari ku untuk kalian semua ingat, kebersamaan kita begitu indah dan tak akan bisa terlupakan. Thank you all for being such amazing friends of me and support me for this journey. You are all the best ever I had.

Akhirnya penulispun menyadari dengan wawasan keilmuan penulis yang masih sedikit, referensi dan rujukan-rujukan lain yang belum terbaca, menjadikan penulisan ini jauh dari kesempurnaan. Namun, penulis telah berupaya menyelesaikan skripsi ini semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan penulis sebagai manusia biasa. Oleh karena itu, penulis meminta saran dan kritik yang membangun dari pembaca sebagai bahan perbaikan penulisan ini. Penulis


(4)

vi

Dengan segala kerendahan hati yang penulis miliki, penulis ingin menyampaikan harapan yang begitu besar semoga skripsi ini bermanfaat buat segenap pembaca, semoga juga setiap bantuan yang diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari Allah Swt, karena hanya pada Allah jugalah penulis memohon, semoga jasa baik yang kalian sumbangkan menjadi amal shaleh dan mendapat balasan yang lebih baik dari Allah Swt. Amin ya Rabb.

Jakarta, Nopember 2010


(5)

vii

LEMBAR PENGESAHAN... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

PEDOMAN TRANSLITERASI...viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Metode Penelitian ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II KONSEP KEKERABATAN A. Definisi Kekerabatan ... 9

B. Bentuk-Bentuk Kekerabatan ... 14

C. Peran Kekerabatan ... 21

BAB III KEBUDAYAAN MASYARAKAT ARAB A. Kondisi Geografis... 27

B. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Arab Pra-Islam... 31

C. Sistem Kekerabatan Masyarakat Arab Pra-Islam... 35

BAB IV KEKERABATAN MENURUT AL-QUR’AN A. Wacana Kekerabatan dalam al-Qur’an ... 40

B. Peran Kekerabatan dalam al-Qur’an... 43

C. Sikap Seorang Muslim Terhadap Kerabat ... 56

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 72

B. Saran-Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA... 73


(6)

viii

tidak dilambangkan

B be

T te

Ts te dan es

J Je

H h dengan garis bawah

Kh ka dan ha

D da

Dz De dan zet

R Er

Z Zet

S Es

Sy es dan ye

S es dengan garis bawah

D de dengan garis bawah

T te dengan garis bawah

Z zet dengan garis bawah

‘ koma terbalik keatas, menghadap ke kanan

Gh ge dan ha

F Ef

Q Ki

K Ka

L El

M Em

N En

W We

ـﻫ H Ha

‘ Apostrof


(7)

ix aksaranya adalah sebai beeriku:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

___َ

___ a fathah

___ِ___ i kasrah

___ُ

___ u dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي__َ__ ai a dan i

__َ __

و au a dan u

Vokal Panjang (Madd)

Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ﺎَــ â a dengan topi di atas

ﻲــ î i dengan topi di atas

ﻮـــ û u dengan topi di atas

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân


(8)

x

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”, demikian seterusnya.

Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf tamarbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

Contoh:

No Kata Arab Alih aksara

1 ﺔﻘﻳﺮﻃ tarîqah

2 ﺔﻴﻣﻼﺳﻹﺍ ﺔﻌﻣﺎﳉﺍ al-jâmî ah al-islâmiyyah

3 ﺩﻮﺟﻮﻟﺍ ﺓﺪﺣﻭ wahdat al-wujûd

Huruf Kapital

Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid Al-Ghazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.


(9)

1

A. Latar Belakang Masalah

Manusia selain sebagai makhluk individu juga makhluk sosial. Sebagai makhluk individu manusia selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, sedangkan sebagai makhluk sosial manusia akan selalu membutuhkan manusia lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut. Sebagai makhluk individu manusia hanya biasa melakukan hal-hal yang sangat terbatas, namun dengan melakukan kerja sama dengan manusia lainnya maka akan banyak hal lain yang bisa dilakukannya, tidak terkecuali juga dalam hal berkeluarga. Manusia membentuk keluarga untuk memenuhi segala kebutuhannya yang tidak terpenuhi sebagai seorang individu.

William A. Haviland, salah seorang antropolog mendefinisikan keluarga sebagai suatu kelompok yang terdiri atas seorang wanita, anak-anaknya yang masih tergantung padanya, dan setidak-tidaknya seorang pria dewasa yang diikat oleh perkawinan atau hubungan darah.1 Dalam definisi di atas disebutkan bahwa salah satu unsur dalam keluarga adalah anak-anak yang masih tergantung. Dari unsur ini bisa dilihat bahwa manusia membutuhkan lainnya karena adanya keterbatasan kemampuan yang dia miliki. Selain anak di dalam keluarga juga ada figur seorang ayah dan ibu. Di dalam keluarga seorang ayah biasa berperan sebagai kepala keluarga dan bertanggung jawab atas segala permasalahan yang

1 William A. Haviland, Anthropology, Terjemahan R.G. Soekadijo (Jakarta: Erlangga,


(10)

terjadi di dalam keluarga sedangkan ibu berperan dalam mendukung program-program dalam keluarga dan sebagai penasehat seorang ayah. Selain itu juga seorang kepala keluarga juga berperan sebagai pelindung bagi seluruh anggota keluarganya agar kebutuhan keluarganya dapat dipertahankan.

Selain berhubungan dalam satu keluarga, seorang manusia juga berhubungan dengan keluarga-keluarga lain di luar dari keluarga mereka sendiri. Hubungan ini bisa dalam bentuk hubungan dengan para tetangganya, dan tak terkecuali juga hubungan dengan para kerabat. Dalam kamus antropologi kerabat didefinisikan sebagai orang sedaerah yang dipanggil dan/atau disebut dengan istilah kekerabatan.2 Kerabat tersebut bisa dari pihak istri maupun kerabat dari pihak suami dan semua kerabat tersebut harus diperlakukan dengan baik. Hal ini sebagaimana tercantum dalam firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah ayat 83:

















)

ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ

:

٨٣

(

“Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin.” Sebagaimana berhubungan dan berbuat baik kepada kedua orang tua, berhubungan dan berbuat baik kepada kerabat pun merupakan perintah dari Allah. Setelah berbuat baik kepada kedua orang tua selanjutnya adalah berbuat baik kepada kerabat dan seterusnya sebagai mana firman Allah di atas.

2 Ariyono Suyono dan Aminuddin Siregar, Kamus Antropologi, (Jakarta: Akademika


(11)

Kerabat merupakan pihak yang dekat kepada seseorang setelah keluarga sendiri, untuk itulah menjalin hubungan baik dengan kerabat menjadi sangat penting. Dalam beberapa hal, di mana keluarga tidak dapat membantu memecahkan permasalahan karena adanya keterbatasan, kerabat menjadi pilihan selanjutnya untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut. Sebagai contoh adalah ketika nabi Muhammad Saw mengalami banyak gangguan dari kaum kafir Quraisy, ketika dukungan dari keluarga sendiri sudah maksimal, nabi membutuhkan dukungan dari kerabat-kerabat Beliau untuk melanjutkan perjuangan dakwahnya, munculah Abu Thalib, paman nabi, yang menjadi pelindung nabi selama dakwahnya di Makkah. Meskipun Abu Thalib bukanlah seorang muslim, namun karena adanya kekerabatan dengan nabi Muhammad, Abu Thalib dengan suka rela menggunakan harta dan kedudukannya demi kelanjutan dakwah nabi.

Namun tidak semua kerabat akan berbuat baik terhadap kerabat lainnya, selalu saja ada sebagian dari kerabat yang berlaku tidak baik, bahkan sering terjadi permusuhan antara satu dengan lainnya padahal mereka mempunyai hubungan kerabat. Sebagai contoh adalah Abu Lahab, salah seorang paman nabi Muhammad Saw, selalu menghalang dakwah Beliau, bahkan al-Qur’ân pun mengabadikannya karena perbuatannya yang tidak baik kepada nabi Muhammad Saw. Firman Allah dalam al-Qur’ân surat al-Lahab: 1-3











)

ﺐﳍﺍ

:

٣

(


(12)

“Binasahlah kedua tangan Abu Lahab dan Sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.”

Ketika gangguan kaum kafir Quraisy kepada nabi semakin meningkat, Nabi memutuskan untuk meminta bantuan kepada kerabatnya di Thaif. Meskipun dalam masalah ini Beliau tidak mendapatkan hasil yang memuaskan namun hal ini menunjukkan pentingnya peran dan bantuan kerabat bagi tercapainya tujuan seseorang.

Dalam beberapa permasalahan lain hubungan kekerabatan menjadi sangat penting karena menyangkut berbagai hal dalam kehidupan seseorang seperti dalam hal pemberian waris, shadaqah dan lainnya. Dalam masalah pemberian warisan misalnya disebutkan bahwa dalam pembagian warisan lebih didasarkan pada hubungan kerabat. Sebagaimana disebutkan al-Qur’ân pada surat al-Anfal ayat 75:















)

ﻞﻔﻧﻵﺍ

:

٧٥

(

“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu Kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu termasuk golonganmu. Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu.”

Dalam permasalahan pemberian warisan, pada ayat di atas, disebutkan bahwa orang yang mempunyai hubungan kekerabatan menjadi penting dan lebih diutamakan dalam penerimaan harta warisan dibanding dengan orang-orang yang


(13)

bukan kerabat. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya peran penting kerabat sehingga memunculkan hak-hak pada diri kerabat tersebut yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan manusia sebagaimana dalam permasalahan pewarisan, tidak hanya dalam permasalahan agama saja, tetapi juga permasalahan sosial yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itulah perlu kiranya membahas permasalahan kekerabatan, karena permasalahan kekerabatan akan selalu berkembang disesuaikan dengan perkembangan kebudayaan masyarakat dan tantangan yang dihadapi manusia dalam menjalani kehidupan.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pada penulisan skripsi ini, penulis akan membahas permasalahan kekerabatan dalam al-Qur’ân. Sebagaimana dijelaskan dalam latar belakang di atas permasalahan kekerabatan sangatlah kompleks. Permasalahan kerabat tidak hanya menyangkut permasalahan pribadi tetapi juga permasalahan sosial dan budaya. Berbagai permasalahan tersebut antara lain: Bagaimana seseorang mengidentifikasi diri mereka dalam permasalahan kekerabatan, bagaimana mereka mengidentifikasi orang lain sebagai kerabat mereka, batasan apa yang digunakan untuk menentukan kekerabatan, dan bagaimana peran kerabat dalam kehidupan seseoarang dan dalam kehidupan bermasyarakat.

Banyaknya permasalahan dalam kekerabatan mengharuskan penulis untuk membatasi permasalahan kekerabatan yang akan dibahas. Permasalahan yang dibahas dibatasi pada permasalahan kekerabatan menurut ilmu antropologi yang


(14)

mencakup bentuk-bentuk kelompok kekerabatan dan peran kekerabatan dalam kehidupan. Adapun pembahasan ayat al-Qur’ân dibatasi pada ayat yang berkaitan dengan permasalahan kekerabatan. Hal ini menjadi penting agar permasalahan yang dibahas menjadi lebih fokus.

Berdasarjan identifikasi masalah dan pembatasan masalah di atas, penulis menyimpulkan rumusan permasalahan diantaranya:

1. Bagaimana al-Qur’ân menyikapi permasalahan-permasalahan tentang kekerabatan?

2. Bagaimana peran kekerabatan dalam al-Qur’ân?

3. Bagaimana sikap seorang muslim kepada para kerabat?

Permasalahan kekerabatan tersebut menjadi penting karena masalah kekerabatan ini selalu digunakan oleh manusia baik itu untuk tujuan baik maupun untuk tujuan tidak baik. Untuk itulah denagn adanya pembahasan kekerabatan ini dapat mengambil langlah terbaik dalam menghadapi permasalahan tersebut.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui solusi/gambaran yang diberikan al-Qur’ân dalam menyikapi permasalahan tentang kekerabatan menurut al-Qur’ân.

2. Untuk mengetahui peran kekerabatan menurut al-Qur’ân.

3. Untuk mengetahui bagaimana sikap seorang muslim terhadap kerabat. Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini adalah:


(15)

1. Secara teoritis hasil penulisan diharapkan menambah cakrawala ilmu pengetahuan agam pada diri penulis khususnya dan umat Islam pada umumnya.

2. Secara praktis penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi informasi kekerabatan dalam al-Qur’ân yang akurat terhadap masyarakat luas.

3. Sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjana (S1) dari program studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian

Di dalam menulis skripsi ini, penulis menggunakan system penelitian kepustakaan (Library Research), dimana semua datanya dikumpulkan dari berbagai sumber dokumentasi. Tahap awal penelitian dilakukan dengan mengumpulkan berbagai sumber yang berasal dari berbagai buku dan literatur yang terkait dengan penelitian. Sumber-sumber tersebut antara lain berupa buku-buku Antropologi khususnya yang berkaitan dengan permasalahan kekerabatan dan buku-buku sejarah yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat Arab serta sumber pustaka dari buku-buku tafsir al-Qur’ân. Sumber-sumber tersebut kemudian diolah dan diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang dibahas yaitu tentang kekerabatan. Selanjutnya data-data hasil olahan tersebut digunakan untuk menganalisis permasalahan kekerabatan dalam al-Qur’ân.

Adapun teknik penulisan yang digunakan adalah mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Skripsi/Tesis” Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008


(16)

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan skripsi dan mengetahui secara garis besar tentang sistematika pembahasan skripsi ini, maka penulis membagi bab-bab pada skripsi ini menjadi lima bab. Tiap-tiap bab memiliki kaitan yang erat satu sama lain.

Bab I Pendahuluan, mencakup tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Rumusan Masalah, Manfaat Penulisan, Tujuan Penulisan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

Bab II Konsep Kekerabatan, terdiri dari definisi kekerabatan, bentuk-bentuk kekerabatan, dan peran kekerabatan.

Bab III Kebudayaan Masyarakat Arab, terdiri dari Kondisi Geografis, Kebudayaan Masyarakat Arab Pra-Islam, dan Sistem Kekerabatan Masyarakat Arab Pra-Islam.

Bab IV Kekerabatan Menurut Al-Qur’ân, yang terdiri dari wacana kekerabatan dalam al-Qur’ân, Peran kekerabatan dalam al-Qur’ân, Sikap seorang muslim terhadap kerabat.


(17)

9

A. Definisi Kekerabatan

Kekerabatan merupakan salah satu permasalahan yang banyak dibicarakan dalam antropologi, yaitu ilmu tentang manusia.1 Para ahli Antropologi, sejak pertama kali kemunculan Antropologi, memberikan banyak perhatian terhadap studi kekerabatan. Studi kekerabatan merupakan bidang yang pertama kali diteliti dalam studi-studi Antropologi. Mereka melakukan studi kekerabatan bersamaan dengan studi tentang masyarakat, adat istiadat, dan ciri-ciri fisik masyarakat. Studi kekerabatan kemudian berkembang seiring dengan berkembangnya Antropologi itu sendiri. Studi kekerabatan ini dimulai dengan penelitian terhadap suku-suku terasing khususnya dibelahan bumi Amerika seperti Suku Indian, orang Eskimo dan lain-lain.

Ahli Antropologi yang dikenal sebagai perintis studi tentang kekerabatan adalah Lewis Henry Morgan (1818-1881).2 Dalam bukunya System Of

Consanguinty And Affinity Of The Human Family (1871), Morgan meneliti suku Indian di Amerika Utara. Penelitian ini sebenarnya merupakan usaha dari Morgan untuk membuktikan gagasannya bahwa orang Indian Amerika berasal dari daratan Asia. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengklasifikasikan dan membanding-bandingkan sistem-sistem kekerabatan bangsa-bangsa dari berbagai daerah

1 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineke Cipta, 2000), cet. ke-8

hal.11.

2 Haviland, Anthropology, Terjemahan R.G. Soekadijo (Jakarta: Erlangga, 1985), jilid 2,


(18)

didunia. Penelitian pertama yang dia lakukan adalah penelitian terhadap masyarakat Iroquois. Dalam penelitian ini, mula-mula Morgan tertarik akan suatu gejala tertentu yaitu gejala bahwa istilah-istilah kekerabatan dalam bahasa Iroquois itu tidak sama dengan istilah kekerabatan dalam bahasa Inggris. Istilah

hanih misalnya berbeda isinya dengan istilah father. Istilah hanih menunjukan banyak individu, yaitu ayah, semua saudara pria ayah, dan semua saudara pria ibu. Sebaliknya istilah father hanya menunjukan seorang individu saja yaitu ayah.3 Adanya perbedaan tersebut membuat Morgan berusaha untuk mengetahuinya. Menurutnya dibelakang perbadaan sistem istilah itu terletak juga suatu perbedaan sistem kekerabatan dan adanya perbedaan sikap, hak-hak dan kewajiban orang terhadap ayah dan saudara pria ayah tersebut. Karyanya ini kemudian menunjukan nilai potensial yang terdapat dalam studi tentang distribusi sistem-sistem kekerabatan yang berbeda-beda, dengan menunjukan hubungan yang ada antara terminologi dan pelaku, karyanya memperlihatkan pentingnya kekerabatan untuk studi sosial.

Studi lainnya tentang kekerabatan dilakukan oleh Claude Levi-Strauss seorang Antropologi Perancis. Kajiannya mengenai kekerabatan berpusat pada penemuan adanya aturan-aturan perkawinan yang sama diberbagai masyarakat di Australia, Asia dan Amerika yang tidak ada ikatan sejarah satu sama lain. Semua masyarakat ditandai oleh aturan-aturan bahwa seseorang harus menikah dengan sepupu silangnya. Sistem kekerabatan seperti ini berbeda dari sistem-sistem

3 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1981),


(19)

kekerabatan yang dikenal Antropolog Inggris di Afrika.4 Studi kekerabatan pun semakin berkembang seiring dengan ditemukannya berbagai penemuan yang membuat para Antropolog mengkaji lebih dalam studi kekerabatan tersebut. Beberapa penemuan menarik adalah ditemukannya perbedaan sistem kekerabatan antara satu suku dengan sistem kekerabatan suku lainnya. Perbedaan terletak baik dalam bentuk-bentuk sistem kekerabatan misalnya sistem kekerabatan orang Yahudi di Amerika Serikat.

Orang-orang Yahudi di Amerika Serikat mengembangkan suatu sistem kekerabatan dalam bentuk kekerabatan bilateral. Kekerabatan bilateral adalah menghubungkan seseorang lain saudara dekat melalui laki-laki dan perempuan. Dengan lain perkataan, orang lain menelusuri keturunannya melalui kedua orang tuanya sekaligus, dan mengakui adanya banyak leluhur.5

Adapun contoh dalam perbedaan terminologi pada sistem kekerabatan adalah perbedaan terminologi sistem kekerabatan orang Iroquois dengan terminologi sistem kekerabatan orang Inggris. Orang Iroquois mempunyai terminologi sistem kekerabatan yang berbeda dengan terminologi sistem kekerabatan orang Inggris. Dalam terminologi kekerabatan orang Iroquois, sebutan untuk ayah seseorang dan saudara ayah adalah disebut dengan satu istilah, seperti juga ibu seseorang dan saudara perempuan ibu yaitu dengan sebutan Hanih, sedangkan dalam terminologi sistem kekerabatan orang Inggris, ayah seseorang dipanggil dengan sebutan berbeda dengan sebutan saudara ayah, begitu

4 Levi-Strauss dikutip oleh Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer: Suatu

Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 193.

5 Haviland, Anthropology, Terjemahan R.G. Soekadijo (Jakarta: Erlangga, 1985), jilid


(20)

juga sebutan ibu seseorang berbeda dengan sebutan saudara ibu seseorang. Adapun perbedaan dalam fungsi yaitu masyarakat mengembangkan berbagai sistem kekerabatan yang disesuaikan dengan kondisi sosial budaya mereka, seperti orang Hugao, mengembangkan kelompok kekerabatan yang terdiri atas turunan empat pasang orang tua nenek dan kakek yang digunakan dalam masyarakat dimana jaringan kekerabatan, ikatan sosial dan politik sangat ketat. Sedangkan orang Ila, penduduk pemelihara ternak di Zambia, menggunakan kekerabatan untuk menentukan hak seseorang dalam menggunakan tanah pertanian, bagiannya dalam pembagian gandum dan barang-barang lain.6

Berbagai penemuan dari penelitian tentang sistem kekerabatan tersebut, memberikan gagasan bagi para Antropolog untuk mendefinisikan konsep kekerabatan. Dalam bahasa Inggris kekerabatan disebut dengan istilah kinship. Kekerabatan secara bahasa menunjuk pada “hubungan darah”, yang dimaksud dengan kerabat adalah mereka yang bertalian berdasarkan ikatan “darah” dengan kita.7 Dalam pernyataan ini hubungan keturunan antara orang tua dan anak merupakan ikatan pokok kekerabatan. Gagasan di atas kurang lebih sama definisi kekerabatan dalam kamus Antropologi. Dalam kamus Antropologi, kekerabatan adalah kerabat; kelompok. Kerabat adalah orang, sedarah yang dipanggil dan/atau disebut dengan istilah kekerabatan.8 Sedangkan kelompok adalah kesatuan kolektif manusia yang beridentitas sama; dalam bentuk adat istiadatnya, system

6 Haviland, Anthropology,Terjemahan R.G. Soekadijo (Jakarta: Erlangga, 1985), jilid

2,hal. 105

7 Roger M. Keesing, Antropologi Budaya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1980),

hal. 212.

8Suyono dan Aminuddin Siregar, Kamus Antropologi, (Jakarta: Akademika Pressindo,


(21)

normanya yang mengatur pola-pola intelektual antara masing-masing manusia. Definisi di atas merupakan definisi kekerabatan secara sederhana dimana yang dimaksud dengan kerabat hanyalah orang sedarah. Konsekuensinya dari definisi adalah orang yang tidak mempunyai hubungan darah seperti orang yang mempunyai hubungan karena perkawinan adalah bukan merupakan kerabat.

Levi-Strauss memberikan pendapatnya berkaitan dengan hubungan kekerabatan. Menurutnya paling sedikit ada tiga sebab seseorang bisa disebut kerabat, yaitu kerabat karena hubungan darah, kerabat karena hubungan kawin, dan kerabat karena hubungan keturunan. Kerabat karena hubungan darah yaitu kerabat karena adanya hubungan antara individu dengan saudara-saudara sekandungnya yang berupa hubungan darah. Hubungan kerabat karena perkawinan adalah hubungan individu dengan pasangannya yang berupa hubungan karena perkawinan, yang menghubungkan kelompok saudara sekandungnya sendiri dengan saudara sekandung pasangannya. Sedangkan hubungan kekerabatan karena keturunan adalah hubungan individu dengan anak-anak mereka, yang berupa hubungan keturunan.9

Definisi lain dikemukakan oleh Roger M. Keesing. Keesing mendefinisikan kekerabatan adalah jaringan hubungan yang diciptakan berdasarkan hubungan genealogi dan berdasarkan landasan sosial (termasuk didalamnya berdasarkan adopsi) yang mengikuti bentuk hubungan alami genealogi orang tua.10 Titik berat pada definisi ini adalah bentuk hubungan.

9 Levi-Strauss dikutip oleh Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi 1, (Jakarta:

Universitas Indonesia (UI-Press), 1987), hal. 214.

10 Keesing, Kin Groups and Social Structure, (Philadelphia: Harcort Brace Jovanovich


(22)

Bentuk hubungan yang dikembangkan oleh Keesing ini bertujuan untuk mengakomodir jika terdapat hubungan kekerabatan yang bukan di dasarkan pada hubungan darah, perkawinan, dan keturunan sebagaimana dikemukakan oleh Levi-Strauss. Contoh bentuk hubungan ini adalah adopsi yang merupakan bentuk hubungan yang tidak berdasarkan hubungan darah, perkawinan dan keturunan.

Definisi di atas adalah sebagian dari definisi kekerabatan yang dikemukakan oleh para Antropolog berdasarkan penelitian yang mereka lakukan. Dari berbagai definisi yang dikemukakan di atas, inti dari definisi yang membuat orang menjadi kerabat dengan orang lain adalah adanya hubungan antara individu satu dengan individu lainnya, hubungan ini bisa berupa hubungan darah, perkawinan, dan keturunan ataupun bentuk hubungan yang menyebabkan mereka menjadi kerabat.

B. Bentuk-Bentuk Kekerabatan

Memahami kekerabatan dari definisinya merupakan hal yang penting, namun untuk memahami kekerabatan lebih lanjut perlu juga mengetahui bentuk-bentuk dari kekerabatan itu sendiri. Sebelum berbicara mengenai bentuk-bentuk-bentuk-bentuk kekerabatan terlebih dahulu berbicara mengenai prinsip penarikan garis keturunan. Prinsip penarikan garis keturunan menurut Antropologi paling sedikit terdapat empat prinsip yaitu:

1. Prinsip patrilineal atau patrilineal descent, yang menghitungkan hubungan kekerabatan melalui pria saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap individu dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk didalam batas


(23)

hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya jatuh di luar batas itu.

2. Prinsip matrilineal atau matrilineal descent, yang menghitungkan hubungan kekerabatan melalui wanita saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap individu dalam masyarakat semua kerabat ibunya masuk dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ayahnya jatuh di luar batas itu.

3. Prinsip bilineal atau bilineal descent, yang menghitungkan hubungan kekerabatan melalui pria saja untuk sejumlah hak dan kewajiban tertentu dan melalui wanita saja untuk sejumlah hak dan kewajiban yang lain, dan karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap individu dalam masyarakat kadang-kadang semua kaum kerabat ayahnya masuk dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan kaum kerabat ibunya jatuh di luar batas itu, dan kadang-kadang sebaliknya.

4. Prinsip bilateral atau bilateral descent, yang menghitungkan hubungan kekerabatan melalui pria maupun wanita. Prinsip bilateral sebenarnya tidak mempunyai suatu akibat yang selektif, karena bagi tiap individu dalam masyarakat semua kaum kerabat ibu maupun ayahnya masuk dalam hubungan kekerabatannya sehingga tidak ada batas sama sekali.11

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa prinsip penarikan keturunan mempunyai konsekuensi terhadap hubungan individu dengan para kerabatnya. Adanya perbedaan prinsip penarikan garis keturunan mengakibatkan perbedaan

11 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1981),


(24)

dalam hubungan individu dengan para kerabat mereka tersebut. Setelah mengetahui prinsip penarikan keturunan selanjutnya adalah mengetahui bentuk kekerabatan. Para ahli Antropologi mengklasifikasikan bentuk-bentuk kekerabatan yang didasarkan dari hasil penelitian-penelitian yang mereka lakukan terhadap berbagai kelompok masyarakat didunia. Dalam klasifikasi ini istilah yang dipakai untuk menunjukan kekerabatan adalah dengan sebutan kelompok kekerabatan (kingroup). Bentuk-bentuk kelompok kekerabatan sebagaimana banyak terdapat dalam literatur-literatur Antropologi yaitu:

1. Keluarga Inti (Nuclear Family)

Keluarga inti disebut juga keluarga batih. Keluarga inti adalah kesatuan keluarga yang terdiri dari orang tua dan anak-anak yang masih tergantung.12 Keluarga inti merupakan bentuk kelompok kekerabatan yang ada dan dikenal seluruh masyarakat didunia. Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang isteri, dan anak-anak mereka yang belum kawin. Anak tiri dan anak angkat yang secara resmi mempunyai hak wewenang yang kurang lebih sama dengan anak kandungnya dapat pula dianggap sebagai anggota suatu keluarga inti. Bentuk keluarga inti seperti ini adalah bentuk keluarga inti yang sederhana atau biasa disebut keluarga batih yang berdasarkan monogamy. Dalam hal ini ada seorang suami dan seorang isteri sebagai ayah-ibu dari anak. Sebaliknya ada keluarga batih yang bentuknya lebih kompleks, ialah apabila ada lebih dari seorang suami atau isteri. Keluarga inti serupa ini disebut juga keluarga inti yang

12 Keesing, Kin Groups, and Social Structure, (Philadelphia: Harcort Brace Jovanovich


(25)

berdasarkan poligami. Sebagian besar jumlah penduduk dunia hidup dalam keluarga inti yang berdasarkan monogami.13

2. Keluarga Luas (Extended Family)

Keluarga luas adalah kumpulan keluarga inti, yang saling berhubungan karena sedarah dan hidup bersama.14 Kelompok kekerabatan ini selalu terdiri lebih dari satu keluarga inti, tetapi seluruhnya merupakan suatu kesatuan sosial yang amat erat dan biasanya hidup dan tinggal bersama pada suatu tempat artinya dalam satu rumah atau pada satu pekarangan. Ada pula keluarga luas yang tinggal bersama dalam satu rumah besar tetapi terpecah ke dalam keluarga-keluarga. Intinya masing-masing tinggal dalam satu rumah khusus, tetapi amat berdekatan satu dengan lain pada satu pekarangan. Ditinjau dari sudut komposisinya, ada tiga macam keluarga luas yang semuanya berdasarkan suatu adat menetap sesudah nikah yang tertentu; dan kalau adat itu mulai berubah maka lambat laun keluarga luas dalam masyarakat yang bersangkutan akan retak dan akhirnya hilang. Ketiga macam keluarga luas itu adalah:15

a. Keluarga luas utrolokal, yang berdasarkan adat ultrolokal dan yang terdiri dari suatu keluarga senior dengan keluarga-keluarga batih dari anak-anak laki maupun perempuan. Utrolokal adalah adat menetap bagi pengantin baru yang

13 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok , Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1981),

cet. ke-5 hal. 105

14 Haviland, Anthropologi, Terjemahan R.G. Soekadijo (Jakarta: Erlangga, 1985), jilid

2,hal.93

15 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok, Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1981),


(26)

memberikan kemerdekaan untuk menetap dipusat kediaman kaum kerabat suami atau disekitar kediaman kauam kerabat isteri.

b. Keluarga luas virilokal, yang berdasarkan adat virilokal dan yang terdiri dari suatu keluarga inti senior dengan keluarga inti dari anak-anak laki. Virilokal adalah penentuan tempat tinggal bagi pengantin baru menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami.

c. Keluarga luas uxorilokal, yang berdasarkan adat uxorilokal dan yang terdiri dari suatu keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga batih dari anak-anak perempuan. Uxorilokal adalah penentuan tempat tinggal bagi pengantin baru menetap disekitar kediaman kaum kerabat isteri.

3. Kindred

Kindred adalah satu kesatuan kaum kerabat yang melingkari seseorang yang melakukan aktivitas. Aktivitas-aktivitas itu adalah biasanya berupa pertemuan-pertemuan, upacara-upacara, atau pesta-pesta yang diadakan pada tingkat-tingkat sekitar siklus kehidupan (life-cycle). Pada hari ulang tahun, atau yang diadakan berhubung dengan kematian, pemakaman, pokoknya aktivitas-aktivitas sekitar rumah tangga. Pada pertemuan-pertemuan, upacara-upacara, dan pesta-pesta serupa itu biasanya hanya para kerabat yang timggal dekat dalam desa atau kota yang sama yang dapat hadir, walaupun tergantung kepada pentingnya pertemuan atau upacara. Ada kalanya para keabat yang tinggal jauh di lain desa dan kota juga berusaha untuk hadir. Sebaliknya kaum kerabat yang tinggal jauh itu juga berguna kalau seseorang harus berpergian jauh dan datang disuatu desa


(27)

atau kota dimana ada kaum kerabat yang termasuk kindred-nya, dalam keadan itu biasanya ia bisa mendapat tempat untuk bermalam pada warga kindred-nya itu. Sering kali seorang anggota kindred juga berguna sebagai perantara untuk mengembangkan koneksi.16

4. Keluarga Ambilineal

Keluarga ambilineal adalah suatu kelompok kekerabatan yang berkorporasi (corporate kingroup). Kelompok kekerabatan ini terjadi bila suatau keluarga luas yang utrolokal mendapat suatu kepribadian yang disadari oleh para warganya, tidak selama waktu mereka hidup saja, tetapi yang dianggap ada sejak dua tiga angkaqtan dalam waktu yang lampau. Kelompok ini biasanya terdiri dari 25-30 orang. Semua warganya masih hidup dalam satu jangka waktu, dan masih saling kenal dan tahu akan hubungan kekerabatannya. Kelompok kekerabatan ini menghidupkan rasa kepribadiannya karena menguasai sejumlah harta produktif, yang semuanya dapat dinikmati warganya. Dalam kelompok ini seorang keturunan dapat memilih menggabungkan diri dengan kelompok keturunan ibu atau ayah.17

5. Klen

Klen merupakan suatu kelompok kekerabatan yang terdiri dari segabungan keluarga luas yang merasakan diri berasal dari seorang nenek moyang, yang satu

16 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok, Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1981),

cet. ke-5 hal. 110

17 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok, Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1981),


(28)

dengan yang lain terikat melalui garis-garis keturunan nenek moyang dan yang satu dengan yang lain terikat melalui garis-garis keturunan laki-lakinya saja adalah patrilineal dan melalui garis keturunan wanitanya saja adalah matrilineal. Warga-warga dari klen biasanya masih mengetahui hubungan kekerabatan mereka masing-masing, masih saling kenal-mengenal dan saling bergaul, karena sebagian besar biasanya masih tinggal dalam satu desa meskipun tidak usah dalam satu rumah atau compound.18

6. Fratri (Phratry)

Fratri adalah kelompok-kelompok kekerabatan yang fatrilineal atau matrilineal, yang sifatnya lokal dan yang merupakan gabungan dari kelompok-kelompok klen setempat. Kelompok klen yang bisa bergabung dalam fratri bisa klen kecil atau bisa juga bagian-bagian lokal dari klen besar. Penggabungan dari bagian-bagian lokal dari klen ini sering kali tidak merata sifatnya untuk seluruh klen. Para anggota fratri tidak dapat menelusuri secara teliti hubungan keturunan dengan leluhur bersama mereka, meskipun mereka mengakui bahwa leluhur itu ada.19

7. Moety

Moety atau biasa disebut paroh masyarakat adalah kelompok kekerbatan gabungan klen seperti fratri, tetapi yang selalu merupakan separuh dari

18 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok, Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1981),

cet. ke-5 hal.121

19 Haviland, Anthropologi, Terjemahan R.G. Soekadijo (Jakarta: Erlangga, 1985), jilid 2,.


(29)

masyarakat. Demikian tergantung kepada struktur masyarakat, maka suatu moety bisa berupa gabungan dari klen-klen kecil dan bisa juga gabungan-gabunganh dari bagian-bagian lokal dari klen besar. Definisi lain yaitu pembagian masyarakat menjadi dua kategori atau kelompok sosial, yang karakteristik karena keturunan patrilineal (patri-moety) atau keturunan matrilineal (matri-moety). Kelompok-kelompok kekerabatan diatas merupakan pembagian kelompok kekerabatan berdasarkan keturunan, selain kelompok kekerabatn diatas masih ad lagi kelompok kekerabatan lain. Kelompok kekerabatan lain itu adalah kelompok kekerabatan bilateral.

Kekerabatan bilateral adalah menghubungkan seseorang dengan lain-lain saudara dekat melalui laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, orang menelusuri keturunannya melalui kedua orang tuanya sekaligus dan mengakui adanya banyak leluhur. Secara teoritis, orang secara sama berhubugan dengan semua keluarga dari kedua pihak, baik dari ibu maupun ayah. Kekerabatan bilateral ini merupakan karakteristik masyarakat barat.20

C. Peran Kekerabatan

Sistem kekerabatan dalam kehidupan manusia mempunyai banyak peran. Koentjaraningrat, Bapak Antropologi Indonesia, memberikan beberapa contoh peran dari sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat. Peran-peran sosial sistem kekerabatan dalam masyarakat antara lain:21

20 Haviland, Anthropologi, Terjemahan R.G. Soekadijo (Jakarta: Erlangga, 1985), jilid 2,.

hal. 119

21 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok, Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1981),


(30)

1. Menatalaksanakan kehidupan rumah tangga

Peran utama dari suatu sistem kekerabatan adalah dalam pelaksanaan kehidupan rumah tangga. Kehidupan rumah tangga ini biasanya dijalankan dalam satu keluarga inti atau beberapa keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah. Dalam kehidupan rumah tangga biasanya seorang bapak berperan sebagai pencari nafkah dan sebagai penanggung jawab utama dalam berbagai permasalahan rumah tangga. Sedangkan ibu berperan untuk mengelola kehidupan rumah tangga, mengasuh dan mendidik anak-anak. Peran ini biasanya dilakukan dalam keluarga inti dan keluarga luas.

2. M emelihara harta milik kelompok

Peran selanjutnya adalah memelihara harta benda. Harta benda ini bisa berupa sekumpulan harta pusaka atau memegang hak ulayat atau hak milik komunal atas harta produktif. Bentuk harta benda dalam masyarakat sederhana biasa berupa tanah dengan segala hal yang ada pada tanah itu atau hewan ternak yang mereka miliki. Pemiliharaan harta benda ini sangat penting karena dengan semakin banyaknya penduduk maka harta yang berupa tanah akan semakin berkurang padahal kebutuhan hidup semakin meningkat Untuk itulah diperlukan pemeliharaan agar harta benda dapat mencukupi kebutuhan kelompok mereka. Peran ini antara lain dilakukan oleh keluarga inti, keluarga luas, keluarga ambilineal dan klan.


(31)

3. Kesatuan dalam mencari mata pencaharian hidup

Peran selanjutnya adalah menjadi kesatuan dalam mencari mata pencaharian hidup. Manusia dalam mencari mata pencaharian biasa melakukannya secara berkelompok. Hal ini biasanya dilakukan dalam mayarakat bertani. Menurut kebiasaan masyarakat bertani, dalam mengolah lahan mereka selalu dilakukan secara berkelompok. Kegiatan seperti menananm padi, memanen hasil pertanian dan Iain-lain mereka lakukan secara berkelompok. Usaha yang mereka lakukan adalah usaha-usaha produktif yang berguna bagi pemenuhan kehidupan kelompok mereka. Peran ini lebih banyak dilakukan pada kelompok keluarga ini dan keluarga luas.

4. Melaksanakan gotong-royong

Peran lain dari kelompok kekerabatan adalah dalam hal pelaksanaan gotong royong. Peran ini bersifat kadangkala artinya peran ini dilakukan ketika ada hal-hal tertentu yang membutuhkan gotong royong. Hal-hal yang membutuhkan gotong royong seperti membangun rumah. Membangun rumah, di mana dibutuhkan banyak tenaga manusia untuk melakukannya, kelompok kekerabatan sangat bermanfaat untuk melaksanakan kegiatan ini. Gotohg royong dilakukan karena hal ini tidak dapat dilakukan secara individu ataupun keluarga inti yang hanya terdiri dari sedikit orang. Untuk itu diperlukan kelompok kekerabatan lain seperti keluarga luas dan kindred dan klen untuk melakukan gotong royong.


(32)

5. Melindungi dan memberi bantuan kepada warga dalam keadaaan darurat

Peran lain adalah melindungi dan memberi bantuan kepada warga dalam keadaan darurat. peran ini juga bersifat kadangkala. Pemberian bantuan darurat ini biasanya dilakukan ketika ada anggota kelompok kekerabatan yang mengalami musibah. Pada keadaan mi anggota kelompok kekerabatan lam yang tidak tertimpa musibah akan membantu anggota tersebut, bantuan yang diberikan bisa berupa bantuan material dan bisa juga berupa bantuan spiritual. Peran ini bisa dilakukan oleh keluarga inti, keluarga luas, kindred, keluarga ambilineal dan klen.

6. Membina Rasa Identitas Kelompok Kekuasaan dan Gengsi

Peran lain dari kelompok kekerabatan adalah untuk membina rasa identitas kelompok kekuasaan dan gengsi. Pembianaan ini diperlukan agar identitas mereka tidak hilang. Apalagi pada saat ini dimana identitas sering dimanipulasi untuk berbagai kepentingan pribadi. Identitas kelompok ini dibina untuk mempertahankan apa yang telah diperoleh kelompok kekerabatan. Dengan adanya pembinaan identitas ini maka ikatan dalam kelompok kekerabatan akan semakin kuat sehingga kekuasan dan gengsi kelompok kekerabatan dapat dipertahankan. Peran ini membina rasa identitas kelompok kekuasaan dan gengsi dilakukan oleh semuaj kelompok kekerabatan.


(33)

7. Memelihara Norma-Norma dan Adat Tradisional

Peran memelihara norma-norma dan adat tradisonal merupakan peran yang penting dalam kekerabatan. pemeliharaan norma-norma dan adat tradisioanl dilakukan sebagai bentuk penghoramatan atas apa yang diwariskan nenek moyang. Pemeliharaan norma-norma dan adat tradisional juga berarti pemeliharaan terhadap kebudayan masyarakat setempat. Kebudaayan ini biasa berupa aktivitas-aktivitas dalam siklus kehidupan. Pemeliharaan noma-norma dan adat tradisional juga berfungsi untuk mempertahankan keutuhan masyarakat. Peran ini dilakukan oleh semua kelompok kekerabatan.

8. Menyelenggarakan kehidupan keagamaan dari seluruh kelompok kesatuan.

Kehidupan masyarakat sederhana, yang masih kental dengan ritual dan upacara, menggunakan upacara-upacara keagamaan untuk menyatukan kelompok mereka. Bagi mereka upacara keagamaan ini sangat penting karena selain sebagai ritual juga berfungsi untuk menjaga keutuhan kelompok mereka. Upacara keagamaan ini dilakukan secara bersama-sama dengan seluruh anggota kelompok kekerabatan lain. Peran menyeleggarakan kehidupan keagaamn ini dapat dilakukan oleh seluruh kelompok kekerabatan kecuali klen.

9. Menjadi dasar dari organisasi politik.

Hubungan kekerabatan juga berperan dalam pembentukan organisasi politik. Dalam beberapa masyarakat sederhana kelompok kekerabatan digunakan untuk menunnjukkan besarnya dukungan anggota kelompok terhadap organisasi poitik mereka. Dukungan dari kelompok sangat diperlukan karena hai ini sangat


(34)

berpengaruh terhadap tujuan yang akan mereka capai. Beberapa cara yang mereka gunakan untuk menunjukkan banyaknya dukungan terhadap mereka adalah dengan memanfatkan kelompok kekerabatan. pemanfaatan kelompok kekerabatan untuk tujuan politik merupakan hal biasa kita temui pada saatjni, terutama dalam hal pemilihan pemimpin. Para calon pemimpin dengan memanfaatkan hubungna kekerabatan yang mereka miliki berusaha untuk meraih dukungan dari masyarakat.

Peran-peran di atas merupakan peran kelompok kekerabatan yang secara umum terdapat di berbagai masyarakat dunia. Peran kelompok kekerabatan ini sangat mempengaruhi dalam pelaksanan aktifitas sehari-hari maupun aktifitas insidential.


(35)

27

A. Kondisi Geografis

Secara etimologi, ''Arab berarti gurun Sahara, dan tanah tandus yang tidak mengandung air dan tumbuhan, Sejak dahulu, istilah ini digunakan untuk menyebut Jazirah Arab, juga untuk kaum yang mendiami tanah tersebut dan menjadikannya sebagai negeri mereka. Jazirah Arab, sebelah barat dibatasi oleh Laut Merah dan anak Jazirah Sina, sebelah timur dibatasi oleh Teluk Arab dan sebagian besar negeri Irak bagian selatan, sebelah Selatan dibatasi oleh Laut Arab yang merupakan bentangan dari Laut India, dan sebelah utara dibatasi oleh negeri Syam dan sebagian dari negeri Irak.1

Jazirah Arabia adalah sebuah wilayah yang berbentuk Semenanjung. Semenanjung adalah daratan yang menjorok ke laut. Semenanjung Arab atau disebut juga Semenanjung barat daya Asia, merupakan semenanjung terbesar pada peta dunia. Sebagian ahli menggambarkan wilayah ini berbentuk bujur sangkar dengan panjang kurang lebih 1300 mil dan lebar 750 mil, yang membentang di sebelah barat daya benua Asia.2

Secara geografis, daerah ini terbagi menjadi tiga wilayah, yaitu:

1. Arabia Petrix atau Petraea, yang terletak di barat daya padang pasir Syiria, wilayah ini berpusat di dataran Sinai, daerah kerajaan nabasia yang beribukota

1 Shafiyur Rahman al-Mubarakfuri, Sejarah Hidup Muhammad, terjemahan Rahmat

(Jakarta: Robbani Press, 2002), hall.

2 Ali Sodiqin, Antropologi al-Quran: Model Dialektika Wahyu & Budaya, (Yogyakarta:


(36)

di Petra.

2. Arabia Deserta, yakni sebutan lain untuk daerah padang pasir suriah sampai Mesopotamia (Badiyah).

3. Arabia Felix, yaitu daerah Yaman. wilayah ini adalah yang paling subur, di mana kaum Ma'in dan Saba' bertempat tinggal dan membangun peradaban.3

Dataran Semenanjung Arab menurun dari barat ke Teluk Persia dan dataran rendah Mesopotamia. Tulang punggung semenanjung ini merupakan gugusanpegunungan yang berbaris (sejajar dengan pantai sebelah barat dengan ketinggian lebih dari 9.000 kaki di Madyan di sebelah utara dan 14.000 kaki di Yaman di sebelah selatan. Gunung al-Sarih di Hijaz mencapai ketinggian 10.000 kaki. Dari bagian tulang punggung ini, kaki gunung sebelah timur menurun dan panjang; sedangkan di sebelah barat, mengarah ke Laut Merah, curam dan pendek. Sisi selatan Semenanjung Arab, tempat air laut terus mengalami penyusutan rata-rata 72 kaki per tahun, dibingkai oleh dataran-dataran rendah, Tihamah. Nejed, dataran tinggi sebelah utara, memiliki ketinggian rata-rata 2.500 kaki. Puncak tertinggi dari gugusan Pegunungannya' Syammar, merupakan pegunungan batu granit merah, Gunung Aja', dengan ketinggian sekitar 5.550 kaki di atas permukaan laut. Di belakang dataran rendah pesisir pantai terbentang dataran dengan beragam ketinggian di ketiga sisinya. Kecuali pegunungan dan dataran-dataran tinggi yang disebutkan di atas, wilayah terscbut terutama terdiri atas gurun pasir dan padang tandus. Padang-padang tandus itu merupakan dataran

3 Hasan Ibrahim, Islamic History and Culture from 632 to 1968, dikutip oleh Sodiqin,


(37)

luas di antara perbukitan yang tertutup pasir dan menyimpan kandungan air bawah tanah. Di antara sejumlah daratan gurun di kawasan itu, terdapat tiga jenis gurun: 1. Nufûd besar, sebuah bentangan daratan berpasir putih atau kemerahan yang

menyelimuti wilayah yang sangat luas di Semenanjung Arab Utara. Sebutan klasik untuk dataran semacam itu adalah al-bâdiyah, kadang-kadang juga disebut al-dahnâ. Meskipun berudara kering, kecuali di beberapa sumber air, pada musim dingin al-Nufûd disirami air hujan sehingga dataran itu diselimuti hamparan rerumputan yang menghijau dan berubah menjadi surga bagi kawanan unta dan domba milik suku-suku Badui nomad.

2. Al-Dahnâ' (tanah merah), dataran berpasir merah yang membentang dari Nufiid besar di utara hingga al-Rab' al-Khali di selatan. Hamparan gurun pasir ini membentuk pola busur besar mengarah ke sebelah tenggara, dengan panjang lebih dari 1020 km. Bagian sebelah barat terkadang disebut al-Ahqâf (gurun pasir). Pada peta kuno, al-Dahna' biasanya disebut juga Rab' al-Khâli (tanah kosong). Ketika musim hujan, al-Dahni' diselimuti oieh bentangan padang rumput hijau yang menarik orang-orang badui dan ternaknya selama beberapa bulan dalam setahun, tapi pada musim panas wilayah itu sepi dari denyut kehidupan.

3. Al-Harrah, sebuah daratan yang terbentuk dari lava bergelombang dan retak-retak di atas permukaan pasir berbatu. Bentangan daratan vulkanik jenis ini banyak dijumpai di wilayah Semenanjung sebelah barat dan tengah, dan menjorok ke utara hingga wilayah Hauran sebelah timur. Yaqut mencatat tak kurang dari tiga puluh buah Harrah. Letusan vulkanik terakhir yang


(38)

diriwayatkan oleh para sejarawan Arab terjadi pada 1256 M. Dalam lingkaran gurun pasir dan padang tandus ini terdapat dataran tinggi, Nejed, sebuah wilayah yang dihuni oieh kaum wahabi. Di Nejed, batuan sedimen telah lama dikenal; di mana-mana bisa dijumpai wilayah sempit berpasir. Bukit syammar terdiri atas batu-batu granit dan batuan hitam dari letusan gunung vulkanik.4

Adapun dari kondisi cuaca, Semenanjung Arab merupakan salah satu wilayah terkering dan terpanas. Meskipun diapit oleh lautan di sebelah barat dan timur, laut itu terlalu kecil untuk dapat memengaruhi kondisi cuaca Afro-Asia yang jarang turun hujan. Lautan di sebelah selatan memang membawa partikel air hujan, tapi badai gurun (samum) musiman menyapu wilayah tersebut dan hanya menyisakan sedikit kelembaban di wilayah daratan. Angin timur (al-shaba) yang sejuk dan menyegarkan menjadi tema yang sangat disukai oleh para penyair fuab. Di Hijaz, tempat kelahiran Islam, musim kering yang berlangsung selama tiga tahun atau lebih merupakan hal yang lumrah. Hujan badai yang singkat dan banjir yang cukup besar kadang-kadang menimpa Mekah dan Madinah, dan pernah beberapa kali hampir meruntuhkan Ka’bah. Setelah hujan turun, tanaman gurun untuk makanan ternak bertumbuhan. Di sebelah utara Hijaz, Oasis terpencil yang paling besar luasnya sekitar 17 km persegi, merupakan sumber kehidupan satu-satunya bagi pendudukut sekitar lima perenam penduduk Hijaz adalah nomaden. rata-rata suhu di dataran rendah hijaz mendekati 90'F dengan suhu sedikit di bawah 70'F. Madinah terasa lebih menyegarkan dibanding kota tetangganya di Selatan, Mekah. Semenanjung Arab sama sekali tidak memiliki satu pun sungai

4 Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Terjemahan R. Cecep Lukman Yasin dkk,


(39)

besar yang mengalir sepanjang dua musim dan bermuara di laut ia juga tidak memiliki aliran sungai yang bisa dilaluli kapal. Sebagai ganti sungai, semenajung arab memiliki jaringan wadi (danau) yang menampung limpahan curah hujan yang cukup deras. Wadi-wadi ini juga mempunyai peran lain mereka menjadi penentu arah rute perjalanan kafilah dan jemaah haji. Kondisi geografis ini tentunya sangat mempengaruhi kondisi sosial budaya mereka.

B. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Arab Pra-Islam

Masyarakat arab hidup dalam kondisi georgafis yang keras. Perbedaan suhu di sebagaian masyarakat sangat ekstrim, jika udara panas maka suhunya sangat panas sekali, begitu juga jika udara dingin kondisi suhunya juga berubah sangat dingin. Selain itu juga kondisi tanah dan tempat tinggal masyarakat sebagian besar berupa gurun, tanahnya berpasir dan gunung-gunung tandus serta kebanyakan tidak berpenduduk, karena kekurangan air di samping iklimnya yang panas dan kering. Kondisi gegrafis yang seperti di atas mempengaruhi kondisi sosial budaya masyarakat arab.

Secara umum, penduduk Arab terbagi menjadi dua kelompok, yaitu 'Arab

atau penduduk kota dan ‘Ârâb atau penduduk desa. kelompok 'Ârâb bertempat tinggal di kota yang merupakan pusat peradaban. Mereka memiliki rumah yang berbentuk bangunan permanen. Sebutan mereka adalah Ahl al-Madâr atau penduduk kota. Mereka hidup dengan berdagang sehingga lebih maju kehidupannya. Akan tetapi, semangat individualisme mereka lebih kuat daripada komunalisme. Hal ini disebabkan perdagangan telah menimbulkan transformasi


(40)

pemikiran di kalangan mereka. Di Makkah, yang merupakan kota perdagangan tidak terdapat struktur pemerintahan yang mengendalikan masyarakat Otoritas masyarakat dipegang oleh malâ, semacam dewan klan atau senat yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil suku. Lembaga ini lebih menyerupai lembaga musyawarah dan tidak memiliki hak eksekutif. Otoritasnya hanya seputar masalah moralitas tanpa disertai kewenangan bertindak.5

Di samping itu, terdapat institusi lokal atau jabatan-jabatan yang memiliki fungsi tertentu seperti, hijâbah, Tsiqâyah, rifâdah, nadwah, liwâ' dan qiyâdah. Hijâbah ialah penjaga pintu ka'bah atau yang memegang kucinya. Tsiqâyah

adalah yang menydiakan air tawar -yang sangat sulit diperoleh di Makkah-, untuk para peziarah, serta yang menyeidakan minuman keras yang dibuat dari kurma.

Rifâdah, penyediaan makanan bagi mereka semua, Nadwah pimpinan rapat pada setiap tahun musim. dan Liwâ' panji yang dipancangkan pada tombak lalu ditancapkan sebagai lambang tentara yang sedang menghadapi musuh, dan

Qiyâdah berarti pimpinan pasukan bila dalam keadaan perang.6

Kelompok Â'râb hidup dalam tenda-tenda dan disebut dengan ahl al-Wabar (penduduk desa) atau dikenal dengan suku Badui. setiap tenda mewakili sebuah keluarga, yang merupakan satu rumah tangga yang terdiri dari seorang ayah, anak laki-lakinya, dan keluarga mereka yang merupakan keturunan langsung. Wilayah yang ditempati tenda-tenda membenuk hayy. Semua anggota

hayy rnembentuk sebuah klan (qawm), di mana hak dan tanggung jawab klan

5 Sodiqin, Antropologi Al-Qur’ân, Model Dialektika Wahyu & Budaya, (Yogyakarta:

Ar-Ruzz Media, 2008) hal. 42-43

6 Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera Antar Nusa,


(41)

bersifat kolektif berdasarkan solidaritas kelompok atau ashabiyah. Sejumlah klan yang sedarah kemudian bersama-sama membentuk suku (qabîlah).7

Masyarakat Badui tinggal di padang pasir yang tanpa air dan tumbuh-tumbuhan. Mereka tidak suka bertani, tetapi lebih suka berpcrang dan membunuh. Sumber perekonomian mereka adalah pedang dan panah. Masyarakat ini mewakili bentuk adaptasi kehidupan manusia terhadap kondisi lingkungannya. Pekerjaan utama mereka adalah penggembala ternak (pastoral). Mereka adalah kelompok suku nomad yang berkelana dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Tujuannya adalah mencari daerah-daerah yang berumput dan memiliki sumber air untuk kehidupan mereka dan ternaknya. Meskipun nomad, mereka memiliki tatanan nilai, kebiasaan, dan adat istiadat sendiri. Identitas mereka dapat dilihat dari caranya berpakaian. Mereka biasanya memakai pakaian bawah yang panjang

(tsaûb) dan ikat pinggang. Pakaian arasnya longgar (aba) dan menggunakan penutup kepala berupa syal (kufiyya) yang diikat dengan tali ('iqâd).8

Selain orang-orang Arab asli, dikenal juga kelornpok mawali. kelompok ini merupakan orang-orang non-Arab, yang terdiri dari:

1. Orang yang menggantungkan diri pada suatu kaum, tetapi bukan berasal dari golongannya.

2. Orang Arab tapi keturunari dari suku lain, mereka meninggalkan sukunya sendiri dan bergabung dengan suku yang lainnya.

3. Tawanan perang yang sudah dibebaskan oleh tuan-tuannya.

7 Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Terjemahan R. Cecep Lukman Yasin dkk,

(Jakarta: Serambi Ilmu Kencana, 2008), hal.32

8 Sodiqin, Antropologi Al-Qur’ân, Model Dialektika Wahyu & Budaya, (Yogyakarta:


(42)

4. Orang-orang non-Arab (al-'Ajâm) yang memiliki kepandaian dan keahlian.9 Kelompok sosial lain adalah kaum budak. Budak ini pada awalnya lahir sebagai akibat adanya perang antarsuku. Suku yang kalah akan menyerahkan anak-anak dan kaum perempuan sebagai tawanan yang kemudian dijadikan budak. Di samping itu, terdapat pula budak yang berasal dari luar Arab, yaitu Afrika. Kehadiran mereka berkaitan dengan kepenthigan perdagangan.

Lain di Makkah lain pula yang terjadi di masyarakat Madinah. Jika Makkah adalah pusar perdagangan, maka Madinah merupakan wilayah pertanian. Banyaknya oasis di wilayah ini yang menyebabkan tanah subur dan cocok untuk pertanian dan perkebunan. Tetapi, sistem pertanian di wilayah ini tetap tunduk pada sifat kesukuan, di mana tanah dimiliki secara bersama. perkampungan masyarakatnya menyebar di antara hutan kecil kelapa dan tanah ladang. Masyarakat Madinah tidak memiliki lembaga pemerintahan. Masing-masing suku mempunyai aturan sendiri yang dipegangi untuk anggotanya. Hal ini kerap kali menimbulkan permusuhan antarsuku, karena ketiadaan lembaga mediator. Masyarakat Madinah merupakan masyarakat yang heterogen. Terdapat sebelas klan dan delapan di antaranya adalah beragama yahudi. penduduknya terdiri dari tiga komunitas besar, yaitu kelompok Yahudi, Arab pagan, dan penganut kristen. Di antara ketiga komunitas tersebut, kelompok yahudi adalah yang paling mendominasi. Merekalah yang memiliki lahan pertanian dan perkebunan serta menguasai perdagangan. Di samping itu, mereka juga memiliki profesi sebagai tukang emas dan pandai besi.

9 Sodiqin, Antropologi Al-Qur’ân, Model Dialektika Wahyu & Budaya, (Yogyakarta:


(43)

C. Sistem Kekerabatan Masyarakat Arab

Kaum Arab oleh para ahli sejarah dibagi menjadi tiga bagian, sesuai dengan silsilah keturunanya, yaitu:10

1. Arab Bâ'idah, yaitu kaum Arab terdahulu yang rincian sejarah mereka tidak dapat diketahui secara sempurna, seperti kaum 'Âd, Tsamûd, Thasam, 'Amlâq, dan lain-lain.

2. Arab 'Âribah, yaitu kaum Arab, yang berasal dari garis keturunan Ya'rîb bin Yasyjib bin Qahthan, dan dinamakan Arab Qahthaniyyah.

3. Arab Musta'âribah, yaitu kaum Arab yang berasal dari garis keturunan Isma'il, dan dinamakan Arab Adnaniyyah.

Arab Musta'âribah sebagaimana disebutkan di atas berasal dari garis keturunan Ismail. Ismail menikah dua kali, dan dari pernikahan kedua, yaitu dengan Madladi bin Amru pemimpin kabilah Jurhum, Ismail dikaruniai dua belas anak, semuanya laki-laki. Mereka adalah Nabit atau Nabyût, Qidar Adba'il, Mabsyam, Masyma', Daûma, Masiya, Hadad, Yatma, Yathur, Nafis, dan Qaidama, Dari mereka itu terpecah menajdi dua belas kabilah, dan semuanya tinggal di Makkah. Kemudian, kabilah-kabilah tersebut menyebar di seluruh jazirah arab, bahkan ada yang keluar Jazirah. Adapun anak-anak Qidar bin Ismail tetap tinggal di Makkah. Disana, mereka menngembangkan keturunannnya. Di antara keturunan mereka adalah Adnan dan anaknya, Ma'ad dari dialah keturunan Adnaniyah terpelihara. Adnan adalah kakek yang kedua puiuh satu dalam silsilah keturunnan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Anak keturunan Ma'ad,

10 Shafiyur Rahman al-Mubarakfuri, Sejarah Hidup Muhammad, terjemahan Rahmat


(44)

yakni dari anaknya yang bernama Nizar. Terpecah menjadi berbagai kabitah. Dikatakan bahwa Ma'ad tidak mempunyai anak selain Nizar. Nizar memiliki empat anak dan dari mereka terpecah menjadi empat kabilah besar, yaitu : lyyad, Anmar, Rabî'ah dan Mudlar. Yang paling banyak anak keturunannya adalah Rabi'ah, Anazah, Abdul Qais, dua orang anak Walil yaitu Bakr dan Taghlab, Hanfah, dan lain-lainnya. Kabilah Mudlar terpecah menjadi dua kabilah besar, yaitu: Qais Allan bin Mudlar dan Ilyas bin Mudlar. Termasuk keturunan Qais Ailan adalah: Banu Salim, Banu Hauzan dan Banu Ghathfan. Sedangkan anak keturunan Ghathfan adalah Abas, Dziban, Asyja', dan Ghani bin A'shar. Termasuk keturunan Ilyas bin Mudlar adalah: Tamim bin Murah, Hudzail bin Mudrikah, Banu Asad bin Khuzaimah, dan anak keturunan Kinanah bin Khuzaîmah. Diantara anak keturunan kinanah adalah Quraisy; mereka adalah anak-ahak Fihr bin Malik bin Nadlar bin Kinanah. Quraisy terpecah menjadi kabilah, di antaranya yang terkenal adalah; Jamah, Saham, Adi, Makhzum, Taim, Zahrah, dan anak keutruanan Qushay bin Kilab yaitu Abdud-Dar bin Qushay, Asad bin Abdul Uza bin Qushay dan Adul Manaf bin Qushay. Dari Abdu Manaf ada empat kabilah yaitu: abdu Syams, Naufal, al-Muththalib, dan Hasyim. Dan dari Hasyim terpilih pemimpin kita Muhammad bin Abdul Muthalib bin Hasyim.11

Silsilah di atas menunujukkan bahwa bangsa arab selalu mengingat pendahulu-pendahulu mereka dan khusunya penduduk Makkah, mereka mengembangkan garis keturunan melalui laki-laki atau disebut patrilineal. Patrilinela adalah menghitungkan hubunagn kekerabaan melalui pria saja, dan

11 Shafiyur Rahman al-Mubarakfuri, Sejarah Hidup Muhammad, terjemahan Rahmat


(45)

karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap individu dalam masyarakat senya kaum kerabat ayahnya masuk di dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kerabat ibunya jatuh di luar batas itu.12 Pada sistem ini garis laki-laki menjadi penentu nasab seseorang. Otoritas tertiggi berada di bawah laki-laki yang tertua atau kepala keluarga. Perkawinan bersifat virilocal tetapi juga berlaku uxorilocal. Virilocal adalah adat yang menetukan bahwa pengantin baru menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami, sedangkan uxorilocal adalah adat yang menetukan bahwa pengantin baru menetap di kediaman kaum kerabat istri.13

Berbeda dengan kaum penduduk Arab di Makkah, Suku Badui sebagai suku nomaden yang suka mengembara, mengembangkan sistem kekerabatan yang berbeda. Pada suku badui setiap tenda mewakili sebuah keluarga, yang merupakan satu rumah tangga yang terdiri dari seorang ayah, anak laki-lakinya, dan keluarga mereka yang merupakan keturunan langsung. Suku badui dalam melakukan pengembaraan menggunakan kabilah sebagi dasar hidup. Mereka hidup dengan anggota-anggota kabilahnya atau kabilah lain sesamanya dalam persamaan yang penuh.14 Perempuan suku Badui menikmati kebebasan yang lebih luas daripada perempuan di perkotaan. Meskipun terjadi praktik poligami, mereka bebas memilih calon suami dan bebas pula menceraikannya. Di satu sisi, perempuan dianggap bukan keiuarga penuh, karena kondisi biologis mereka yang tidak sesuai

12 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok, Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1981),

cet. ke-5 hal.129

13 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok, Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1981),

cet. ke-5 hal.103

14 Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera Antar Nusa,


(46)

dengan karakter suku yang gemar berperang. Tetapi, terdapat pula kebebasan perempuan dalam perdagangan, perkawinan, maupun dalam hal lain.15

Bagi masyarakat Arab sistem kekerabatan ini sangat berguna. Beberapa keguanaan sistem kekerabatan terlihat dalam kehidupan mereka. Sistem kekerabatan ini antara lain digunakan dalam perniagaan dan peperangan. Dalam perniagaan misalnya, orang-orang Quraisy dalam melakukan perniagaan selalu berkelompok. Dalam membentuk kelompok atau kafilah, dasar pembentukan kafilah ini adalah hubungan kekerabatan mereka. Dalam perniagaan yang membutuhkan waktu perjalanan yang cukup lama dan melintasi padang pasir mereka membutuhkan kelompok yang terdiri dari kerabat-kerabat mereka. Seperti halnya nabi yang melakukan perjalanan niaga dengan pamannya Abu Thalib. Selain dalam perniagaan mereka juga memanfaatkan sistem kekerabatan untuk keperluan perang. Sebagaimana diketahui bahwa ikatan kesukuan orang arab sangat erat, sehingga bila terjadi gesekan dengan suku-suku lain maka mereka akan berperang untuk memepertahankan kehormatan suku mereka. Perang merupakan jalan yang paling mudah bagi kabilah-kabilah ini bila timbul perselisihan yang tidak mudah diselesaikan dengna cara terhormat. Di antara perang yang diikuti nabi sebelum beliau diangkat adalah perang Fijar. Perang fijar terjadi antara suku Quraisy dengan Suku Hawazin. Perang berlangsung kurang lebih empat tahun. Dalam perang ini Nabi berperan sebagai pengambil panah

15 Sodiqin, Antropologi Al-Qur’ân, Model Dialektika Wahyu & Budaya, (Yogyakarta:


(47)

milik musuh untuk kemudian diberikan kepada pamannya, selain itu juga ada yang berpendapat nabi bertugas ikut memamanah musuh.16

Nabi di masa kecilnya juga memanfaatkan peran sistem kekerabatannya untuk menunjang kehidupannya. Ketika kedua orang tua (beliau telah meninggal, beliau diasuh oleh kakeknya yang bernama Abdul Muthalib. Hal ini merupakan salah satu dari fungsi sistem kekerabatan yaitu melindungi dan memberi bantuan kepada kerabat dalam keadaan darurat. Selain itu ketika kakek beliau Abdul Muthalib meninggal, beliau kemudian diasuh oleh pamannya yang bernama Abu Thaiib, yang masih juga bagian dari kerabatnya. Hal ini memperlihatkan bahwa bagi masyarakat Arab jika ada seorang anak yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya maka ia akan diasuh oleh kerabatnya.

16Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera Antar Nusa,


(1)

69

"Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'qfkan dan berlapang dada. apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. "

Mengenai ayat di atas Quraish Shihab memberikan penjelasan dalam tafsirnya:

"Salah satu bentuk godaan setan adalah mencari dalih agar seorang enggan membantu oran lain. ...ayat ini turun menyangkut Sayyidina Abu Bakr ra. dan orang-orang yang enggan memberi bantuan kepada yang butuh. Ayat ini menyatakan: Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dalam kesalehan beragama serta akhlak luhur dan kelapangan rezeki di antara kamu hai orang-orang yang beriman, janganlah mereka bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat-nya, orang-orang yang miskin dan para muhajirin yakni orang-orang yang pindah dari Mekah menuju Madinah atau tempat yang lain. Pada jalan Allah dan demi menegakkan agama-Nya, dan sipapun yang memerlukan uluran tangan, hanya dengan alasan bahwa yang bersangkutan pernah melakukan kesalahan terhadapnya atau karena ketersinggungan pribadi. Sebaiknya mereka yang mampu itu berhati besar, serta terus membantu yang butuh...33

Dari sini jelaslah meskipun orang tersebut mempunyai kesalahan kepada kita, kita tetap diharuskan memberi bantuan kepada mereka apalagi mereka adalah bagian dari kerabat kita. Untuk itulah kita harus tetap membantu kerabat kita dan kita tidak tergoda oleh bujuk rayu setan untuk tidak memberi bantuan kepada kerabat.

c. Memutuskan Hubungan kekeluargaan

Sikap lain yang tidak boleh dilakukan seorang muslim terhadap kerabatanya adalah memtuskan hubungan kekeluargaan. Pemutusan hubungna ini

33Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, (Ciputat: Lentera Hati 2002), cet 1, ,vol. 9, hal, 310


(2)

70

biasnya terjadi ketika menjadi seorang penguasa atau mempunyai kekuasaan yang membuat kita lupa dengan kerabat kita. Hal ini sebagaimana tercantum dalam al-Qur’ân surat Muhammad ayat 22-23









































"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka Itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka."

Berkaitan dengan ayat di atas, Quraish Shihab, memberikan penjelasan bahwa sifat memutuskah hubungan kekerabatan merupakan ciri dari orang munafik:

"Ayat di atas menjatuhkan kutukan kepada mereka yang melakukan perusakan di bumi serta memutuskan tali hubungan silaturrahmi, serta menjadikan keduanya sebagai ciri orang-orang kafir/munafik. Seorang mukmin pastilah selalu berupaya menghindari kedua jenis kedurhakaan.

Al-Qurtubhi mengemukakan bahwa kata rahim yang perlu disambung ada dua macam rahim khusus, yakni hubungan kekeluargaan yang berpangkal dari ayah dan ibu seseorang. Dan yang kedua bersifat umum. Yakni hubungan yang terjalin atas dasar persamaan agama, inipun tidak boleh diputuskan. Ini menuntut jalinan kasih sayang, bantu membantu, nasehat, menasehati, serta menjatuhkan gangguan terhadap mereka."34

34 , Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, (Ciputat: Lentera Hati 2002), cet 1,vol. 13. hal 146


(3)

71

Berdasarkan pendapat di atas dapat dikatakan bahwa memutuskan hubungan kekerabatan merupakan sikap yang dikutuk Allah dan merupakan ciri kaum munafik. Sebagai seorang muslim kita haras menghindari sikap tersebut karena hal ini dapat memecah hubungan kekerabatan dan persaudaraan sesama kaum muslimin.

Sifat-sifat di atas merupakan perbuatan yang haras dihindari seorang muslim. Perbuatan tercela seperti berbuat keji, kemungkaran, permusuhan, tidak memberikan hak untuk kerabat, memutuskan hubungan kekeluargaan merupakan perbuatan yang dilarang oleh Islam. Perbuatan ini tidak hanya memutuskan tali persaudaraan tetapi juga bisa memecah belah kesatuan dan mengancam keutuhan umat.


(4)

72

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab terdahulu dan perumusan masalah maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Kekerabatan dalam al-Qur’ân secara umum diungkapkan dengan kata qurbâ dan arham,. Kata qurbâ didefinisikan sebagai orang yang mempunyai kedekatan dalam garis keturunan (nasab), dan kata arham didefinisikan sebagai kerabat dalam kedekatan kasih sayang.

Peran kekerabatan sangat penting dalam kehidupan seorang manusia. Peran kekerabatan sebagaimana dalam al-Qur’ân hanya bisa dilakukan ketika berada di dunia. Adapun dalam kehidupan di akhirat peran kekerabatan tidak bisa dilakukan. Kerabat berperan dalam hal pemberian warisan, wasiat dan nafkah.

Sikap seorang muslim terhadap para kerabat adalah menjaga silaturrahmi dengan kerabat dan menghindari berbagai sikap yang dapat memutuskan tali silaturrahmi tersebut.

B. Saran-Saran

1. Seorang muslim harus menjaga hubungannya dengan keluarga, dan kerabat-kerabatanya.

2. Menjaga hubungan harus dilandasi sikap yang baik dan sesuai dengan nilai-nilai al-Qur’ân.

3. Hubungan silaturahmi dengan kerabat harus tetap dijaga karena kerabat merupakan bagian penting dalam kehidupan di dunia.


(5)

73

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Abdullah Yusuf, Tafsir Yusuf Ali: Tafsir Qur’an 30 juz: Teks Terjemah dan Tafsir; cet 3, Bogor; Pustaka Literatur Antara Nusa, 2009.

Asy- Syanqithi, Syaikh, Tafsir Adwa’ ul Bayan , Jakarta : Pustaka Azzam, 2006, cet 1,

al-Farran, Syaikh Ahmad Musthafa, Tafsir al-Imam as-Syafi’i, Menyelami Kedalaman Kandungan Al-Qur’ân, Dar At-Tadmuriyyah,Riyadh,2006, jilid1

Ali, Atabik, Muhdlor, Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika,1998.

Baqi-Al, Muhammad Fuad, Al-Mu'jam Al-Mufahras Lialfadhi Alqur'an Al-Karim, Beirut: Darul Fikr, 2000

Departemen Agama RI, Al-Qur’ân dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) Jakarta: 2005, Jilid 5

Fachruddin, Ensildopedia Al-Qur’ân, Jakarta: Rineke Cipta, 1992

Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, terjemahan Ali Audah, Jakarta: Litera Antar Nusa, cet 37,2008.

Hamka, Tafsir al-azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982

Haviland, William A., Anthropology 4th Edition, Terjemahan R.G. Soekadijo,

Jakarta: Erlangga, 1985, jilid 2.

Hitti, Philip K., History Of The Arabs, Terjemahan R. Cecep Lukman Yasin dkk, Jakarta: Serambi Ilmu Kencana, 2008

Keesing, Roger M., Kin Groups And Social Structure, Philadelphia: Harcort Brace Jovanovich College Publisher.

______, Antropologi Budaya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1980),

Koenjtaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat, 1972

_____, Pengantar ttmu Antropologi, Jakarta: Rineke Cipta, cet ke-8,2000.

_____, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1987.


(6)

74

Muhammad Ibn Mukarram Ibn Mandhur al-Mishr, Lisan al-Arabi, (Beirut, Daral-Shadr),juzXII,

Mubarakfuri-Al, Shafiyur Rahman, Sejarah Hidup Muhammad, terjemahan Rahmat, Jakarta: Robbani Press, 2002.

Naisaburi-al Al-Imam Abi al-Husain Muslim ibn al-Hujjaj al-Qusairi, Shahih Muslim, Beirut, dar al-Hazm,

Parkin, Robert, Kinship: An Introduction To The Basic Concepts, Maiden: Blackwell Publishers Inc, 1997

Quthb,Sayid Tafsir Fi Zhilalil Qur'an, Jakarta: Gema Insani Frees, 2004

Saifuddin, Achmad Fedyani, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Pamdigma, Jakarta: Kencana, 2006

Shihab, M. Quraish- Tafsir al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’ân Ciputat, Lentera Hati, vol 2, cet 1,2000

Sodiqin, AH, Antropologi al-Quran: Model Dialektika Wahyu & Budaya, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008

Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: lembaga Penerbit Fakultas ekonomi Universitas Indoneia, 2004.

Suparlan, Parsudi, Hubungan Antar-Sukubangsa, Jakarta: KIK Press, 2004

Suyono, Ariyono, dan Siregar, Aminuddin, Kamus Antropologi, Jakarta: Akademika Pressindo, 1985

Suyuti-Al, Jalaluddin, Rj-wayat Turunnya Ayat-Ayat Suci Al-Qur’ân, Terjemahan M. Abdul Mujieb AS., Surabaya: Mutiara Ilmu, 1986.

Sya'rawi, Muhammad Mutawalli, Tafsir Sya'rawi, Jakarta: Duta Azhar, 2004. Thabari-Al, Abu Ja'far Muhammad bin Jarir, Tafsir al-Thabari, terjemahan Ahsan

Askan, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.

Tafsir Ibnu Mas’ud: Studi tentang Ibnu Mas’ud dan Tafsirnya. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, cet 1.