Analisis Faktor Resiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks Pada Bakso Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014

(1)

ANALISIS FAKTOR RESIKO PENCEMARAN

BAHAN TOKSIK BORAKS PADA BAKSO DI

KELURAHAN CIPUTAT TAHUN 2014

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh:

MISYKA NADZIRATUL HAQ NIM: 1110101000020

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1435 H/ 2014 M


(2)

(3)

ii

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESEHATAN LINGKUNGAN

Skripsi, Juni 2014

MISYKA NADZIRATUL HAQ, NIM: 1110101000020

Analisis Faktor Resiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks Pada Bakso Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014

(XIII + 101 halaman, 13 tabel, 6 lampiran)

ABSTRAK

Boraks merupakan salah satu bahan tambahan pangan berbahaya yang dilarang penggunaannya dalam makanan. Penggunaannya pada makanan dapat merusak otak serta dapat menimbulkan gangguan pada pencernaan hingga kematian. Namun penggunaannya masih ditemukan di beberapa makanan salah satunya pada bakso. Kegunaannya adalah untuk memperbaiki tekstur serta dapat mengawetkan bakso. Jika ditemukan adanya kandungan boraks pada suatu makanan, maka dapat dikatakan makanan tersebut telah tercemar dengan boraks. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor resiko yang dapat menyebabkan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014. Desain studi pada penelitian ini adalah cross sectional dengan menggunakan kuesioner serta pemeriksaan laboratorium secara kualitatif. Populasi adalah semua pedagang bakso yang menetap di Kelurahan Ciputat. Metode penarikan sampel adalah sampel jenuh.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 14 responden (41,2%) yang tingkat pengetahuannya rendah selain itu terdapat 7 responden (20,6%) yang memiliki sikap positif terhadap penggunaan bahan toksik boraks, dan terdapat 7 responden (20,6%) yang melakukan praktik pembuatan bakso yang tidak baik. Dari hasil uji laboratorium dengan menggunakan food security kit didapatkan 10 bakso (29,4%) yang positif tercemar bahan toksik boraks. Dari hasil analisis dengan menggunakan Chi-square ditemukan tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan pengelola bakso dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat dengan p value 0,467. Ada hubungan antara sikap pengelola bakso dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat (p value = 0,014). Ada hubungan antara praktik pengelola bakso dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat (p value 0,009)

Untuk menanggulangi pencemaran yang terjadi pada makanan ini diharapkan pemerintah dapat meningkatkan pengawasan terhadap bahan tambahan pangan yang dijual di pasaran dan masyarakat dapat lebih teliti dalam membeli bahan pangan agar terhindar dari dampak negatif yang akan dihasilkan.


(4)

iii Undergraduate thesis, June 2014

MISYKA NADZIRATUL HAQ, NIM: 1110101000020

Risk Factor Analysis of Borax Toxic Compound in Meatballs in Ciputat Village 2014

(XIII + 101 pages, 13 tables, 6 attachments) ABSTRACT

Borax is one of harmfulfood additives that is forbidden to be used. Its use in food can damage brain and digestive system and may even lead to death. However, we still found borax compound in food, such as in meatballs. It is usedto add a firm rubbery texture to meatballs, or as a preservative. The aim of this research was to analyze risk factor of borax contamination in meatballs in Ciputat Village. This research used cross sectional study with quetionnaire and qualitative laboratory test. Population was all of the meatballs producers who located. Samples were taken by saturated sampling.

The results showed that there are 14 respondents (41,2%) who have poor knowledge, 7 respondents (20,6%) who have positive attitude toward borax uses, and 7 respondents (20,6%) who have bad practice toward borax uses. Laboratory examination by food security kit showed that there are 10 samples (29,4%) positively contaminated by borax. The results of Chi-square analysis indicates that there is no signifficant relation between knowledge levels and borax contamination of meatballs in Ciputat Village (pvalue = 0,467). There is relation between posistve attitude and borax contamination of meatballs in Ciputat Village (pvalue = 0,014). There is relation between meatball producer practice and borax contamination of meatballs in Ciputat Village (pvalue = 0,009).

To overcome the food contamination, government is expected to improve supervision of food additives product which is sold in market. People could be more selective whenever they want to buy food product so that they would be spared from its negative effect.

Key word: Risk Factor, Knowledge, Attitude, Practice, Borax Reference: 1954 - 2014


(5)

(6)

(7)

vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Misyka Nadziratul Haq Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 18 Oktober 1992 Warganegara : Indonesia

Agama : Islam

Alamat : Komplek Pelni Blok H2 No. 13 RT 04/019 Cimanggis – Depok 16418

Telepon : 0812 - 87693848 Email : miskanh@gmail.com

Pendidikan Formal:

1. SDI PB Soedirman (1998 – 2004)

2. SMPIT Nurul Fikri (2004 – 2007)

3. SMAIT Nurul Fikri (2007 – 2010)

4. Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan


(8)

vii

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT berkat rahmat-Nya serta dorongan yang kuat, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Faktor Resiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014”. Shalawat serta salam selalu terjunjung kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan akan iman dan pengetahuan ke zaman terang benderang akan ilmu pengetahuan.

Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi persyaratan jenjang pendidikan S-1 pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama penulisan skripsi ini, banyak pihak yang telah membantu penulis. Baik itu bantuan moril, amteri, dorongan serta bimbingan dari berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tajudin, Sp. And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Ibu Febrianti, SP, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat

3. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes dan Ibu Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan mendukung penulis di tengah kesibukannya untuk menyelesaikan skripsi ini


(9)

viii

4. Seluruh pengelola bakso di Kelurahan Ciputat yang telah bekerja sama dengan baik untuk membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

5. Keluarga yang paling penulis sayangi (Mama, Sarah, Afi, Caca) atas dukungan dan kasih sayang yang tidak ada habisnya kepada penulis.

6. Teman - teman penulis, Jeni, Hani, Huna, Nurin, Indun, Amel, Upid, Indun, Cesi, Mardi, Ilham, Agung, Supri, Rizka, Tuti, Bayu, Sofda, jama’ah Kesling 2010 & 2011 serta kesmas 2010 atas semangat dan bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Rekan - rekan yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas dukungan dan bantuannya dalam penulisan skripsi ini.

Dengan tersusunnya skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan-, oleh karna itu penulis mengharapkan saran, kritik dan bimbingan yang bisa membangun sehingga dapat mempebaiki skripsi ini, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Ciputat, 5 Juni 2014


(10)

ix

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Pertanyaan Penelitian... 6

1.4 Tujuan ... 6

1.4.1 Tujuan Umum ... 6

1.4.2 Tujuan Khusus ... 7

1.5 Manfaat ... 7

1.5.1 Manfaat Bagi Pemerintah ... 7

1.5.2 Manfaat Bagi Masyarakat ... 8

1.5.3 Manfaat Bagi Peneliti ... 8

1.6 Ruang Lingkup ... 8


(11)

x

2.1 Pangan ... 9

2.2 Keamanan Pangan ... 10

2.3 Foodborne Disease ... 12

2.4 Pencemaran Bahan Toksik pada Makanan ... 12

2.5 Bahan Tambahan Pangan ... 14

2.5.1 Definisi Bahan Tambahan Pangan ... 14

2.5.2 Fungsi Bahan Tambahan Pangan ... 15

2.5.3 Jenis Bahan Tambahan Pangan ... 16

2.5.4 Golongan Bahan Tambahan Pangan ... 17

2.5.5 Bahan Tambahan Pangan yang Tidak Diizinkan ... 18

2.6 Zat Pengawet ... 19

2.7 Boraks ... 22

2.7.1 Kegunaan Boraks ... 25

2.7.2 Pengawet Boraks pada Makanan ... 25

2.7.3 Dampak Boraks Terhadap Kesehatan ... 26

2.8 Bakso ... 28

2.8.1 Komposisi Bakso ... 31

2.8.2 Zat kimia yang ditambahkan pada bakso ... 31

2.8.3 Pembuatan Bakso ... 32

2.9 Boraks pada Bakso ... 34

2.10 Perilaku ... 34


(12)

xi

2.10.2 Sikap ... 39

2.10.3 Tindakan ... 41

2.11 Pedagang ... 41

2.11.1 Definisi Pedagang ... 42

2.12 Kerangka Teori ... 43

BAB III KERANGKA KONSEP ... 45

3.1 Kerangka Konsep... 45

3.2 Hipotesis ... 46

3.3 Definisi Operasional ... 47

BAB IV METODE PENELITIAN ... 50

4.1 Desain Studi ... 50

4.2 Lokasi Penelitian ... 50

4.3 Populasi ... 51

4.4 Sampel ... 51

4.5 Jenis Data ... 51

4.6 Pengumpulan Data ... 52

4.7 Teknik Sampling Boraks pada Bakso ... 52

4.8 Pengolahan Data ... 53

4.9 Analisis ... 54

4.10 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 55

BAB V HASIL PENELITIAN ... 58


(13)

xii

5.1.1 Jenis Kelamin ... 58

5.1.2 Usia ... 59

5.1.3 Pendidikan ... 59

5.2 Analisis Univariat ... 60

5.2.1 Gambaran Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ... 60

5.2.2 Gambaran Pengetahuan Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks ... 61

5.2.3 Gambaran Sikap Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks ... 62

5.2.4 Gambaran Praktik Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks ... 65

5.3 Analisis Bivariat ... 65

5.3.1 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ... 66

5.3.2 Hubungan Antara Sikap Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ... 67

5.3.3 Hubungan Antara Praktik Penggunaan Bahan Toksik Boraks dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ... 68

BAB VI PEMBAHASAN ... 69

6.1 Keterbatasan Penelitian ... 69

6.2 Analisis Univariat ... 70

6.2.1 Pengetahuan Pengelola Bakso Mengenai Penggunaan Bahan Toksik Boraks ... 70


(14)

xiii

6.2.3 Praktik Pengelolaan Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik

Boraks ... 77

6.2.4 Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ... 79

6.3 Analisis Bivariat ... 81

6.3.1 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ... 81

6.3.2 Hubungan Antara Sikap Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ... 86

6.3.3 Hubungan Antara Praktik Penggunaan Boraks dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ... 90

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

7.1 Kesimpulan ... 97

7.2 Saran ... 98

7.2.1 Saran Bagi Masyarakat ... 98

7.2.2 Saran Bagi Pemerintah ... 98

7.2.3 Saran Bagi Penelitian Selanjutnya ... 99


(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Sifat Kimia Boraks ... 23

Tabel 2.2 Syarat Mutu Bakso ... 29

Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 47

Tabel 5.1 Distribusi Jenis Kelamin Pengelola Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ... 58

Tabel 5.2 Distribusi Usia Pengelola Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ... 59

Tabel 5.3 Distribusi Pendidikan Pengelola Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ... 60

Tabel 5.4 Gambaran Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ... 61

Tabel 5.5 Distribusi Pengetahuan Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ... 61

Tabel 5.6 Gambaran Sikap Pengelola Bakso Pada Beberapa Pernyataan ... 62

Tabel 5.7 Distribusi Sikap Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ... 64

Tabel 5.8 Distribusi Praktik Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ... 65

Tabel 5.9 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ... 66

Tabel 5.10 Hubungan Antara Sikap Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ... 67

Tabel 5.11 Hubungan Antara Praktik Penggunaan Bahan Toksik Boraks dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ... 68


(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Izin Pengambilan Data

Lampiran 2 Kuesioner

Lampiran 3 Form Hasil Uji Kualitatif Boraks Lampiran 4 Output Uji Validitas dan Reliabilitas Lampiran 5 Output Analisis Data


(17)

1 BAB I

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.33 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP) dikatakan bahwa salah satu zat aditif yang dilarang digunakan dalam makanan adalah asam borat dan senyawanya (termasuk boraks), dan makanan yang mengandung bahan tersebut dinyatakan sebagai makanan berbahaya. Namun pada kenyataannya boraks masih digunakan sebagai bahan tambahan pangan salah satunya di Kanada. Canadian Food Inspection Agent (CFIA) menemukan bahwa boraks telah dijual sebagai bahan tambahan pangan. CFIA menyatakan bahwa boraks dapat menimbulkan penyakit bawaan makanan. Oleh karena itu, CFIA melarang boraks untuk digunakan pada makanan (CFIA, 2004). Hal ini didukung dengan pernyataan The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) yang memperkirakan bahwa terdapat 128.000 warga Amerika Serikat menjalani perawatan rumah sakit dan 3000 orang meninggal setiap tahunnya dikarenakan penyakit bawaan makanan. Penyakit bawaan makanan merupakan indikasi dari adanya masalah pada keamanan pangan. Salah satu yang menyebabkan suatu makanan dikatakan tidak aman adalah karena adanya kandungan bahan toksik (CDC, 2013).


(18)

Salah satu makanan yang sering ditambahkan boraks adalah bakso. Bakso adalah jenis makanan yang sangat populer dan sangat digemari masyarakat. Bakso dapat ditemui mulai dari restoran hingga pedagang keliling (Deptan, 2009). Keberadaan boraks pada bakso berfungsi untuk memperbaiki tekstur bakso serta dapat meningkatkan daya simpan. Dengan adanya keberadaan boraks pada bakso perlu dikhawatirkan dampak yang akan dihasilkan dari hal tersebut seperti gangguan otak, hati, dan ginjal. Dalam jumlah banyak, boraks menyebabkan demam, anuria, merangsang sistem saraf pusat, menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal, pingsan, koma, bahkan kematian. Dari dampak yang dihasilkan, boraks dapat dikatakan sebagai bahan toksik dikarenakan efek racunnya terhadap kesehatan (Windayani, 2010). Dengan demikian makanan yang telah terkontaminasi boraks dapat disebut makanan yang telah tercemar oleh bahan toksik (Nurmaini, 2001). Terdapat dosis dimana tidak akan terjadi dampak negatif yang membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi suatu makanan yang mengandung boraks atau No Observed Adverse Effect Level (NOAEL) adalah sebesar 8,8 mg/kg berat badan per-hari (EPA, 2006). Walaupun demikian, mengingat dampaknya yang bersifat kumulatif dan berbahaya, maka penggunaan boraks tidak sama sekali dianjurkan dan diperbolehkan pada makanan. Hal ini sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam SNI 01-3818-1995 menyatakan bahwa boraks tidak boleh ada sama sekali dalam makanan.


(19)

3

Penggunaan boraks juga ditemukan di Indonesia, seperti yang dinyatakan oleh Surveilan Keamanan Pangan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI tahun 2009 bahwa penggunaan bahan toksik boraks pada makanan di Indonesia telah mencapai 8,80%. Selain itu, di Tangerang ditemukan sebanyak 25 sampel bakso positif mengandung boraks (25%) dan rata-rata kandungan boraksnya adalah 806,86 mg/kg (Windayani, 2010).

Penggunaan boraks pada makanan dapat mengakibatkan pencemaran makanan. Pencemaran makanan perlu dicegah dengan cara mengetahui faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya pencemaran tersebut. Usaha untuk mengetahui faktor resiko yang mempengaruhi pengolahan makanan dapat mencegah terjadinya pencemaran makanan. Hal ini sesuai dengan Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP). HACCP adalah suatu sistem kontrol dalam upaya pencegahan terjadinya masalah yang didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis di dalam tahap penanganan dan proses produksi. HACCP merupakan salah satu bentuk manajemen resiko yang dikembangkan untuk menjamin keamanan pangan dengan pendekatan pencegahan (preventive) yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen (IPB, 2005)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sugiyatmi (2006) yang dilakukan terhadap pedagang makanan tradisional di Semarang, faktor resiko terjadinya pencemaran pada makanan antara lain pendidikan, pengetahuan, sikap, dan praktik pembuat makanan. Didapatkan hasil yang signifikan dari variabel – variabel tersebut jika dihubungkan dengan


(20)

pencemaran pada makanan. Berdasarkan penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa pengetahuan, sikap dan perilaku merupakan faktor resiko dari terjadinya pencemaran pada makanan jajanan. Pencemaran pada makanan ditemukan pula di Pasar Ciputat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rusli (2009) ditemukan 4 dari 5 sampel mie mengandung boraks, dengan adanya kandungan boraks pada mie tersebut dapat dikatakan bahwa telah terjadi pencemaran pada makanan di Pasar Ciputat. Hal ini tidak menutup kemungkinan meluasnya pencemaran pada makanan ke wilayah Kelurahan Ciputat, mengingat Pasar Ciputat ini terletak di Kelurahan Ciputat.

Berdasarkan paparan tersebut, timbul ketertarikan dari peneliti untuk melakukan penelitian terhadap faktor resiko yang dalam hal ini adalah pengetahuan, sikap dan praktik pada pengelola bakso terhadap pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat tahun 2014.

1.2 Perumusan Masalah

Boraks merupakan racun bagi semua sel. Pengaruhnya terhadap organ tubuh tergantung konsentrasi yang dicapai dalam organ tubuh. Bila mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks tidak langsung berakibat buruk terhadap kesehatan, tetapi senyawa tersebut diserap dalam tubuh secara kumulatif, disamping melalui saluran pencemaran boraks dapat diserap melalui kulit. Konsumsi boraks yang tinggi dalam makanan dan diserap dalam tubuh akan disimpan secara akumulatif dalam hati otak dan


(21)

5

testis serta akan menyebabkan timbulnya gejala pusing, muntah, mencret dan kram perut. Boraks dapat mempengaruhi alat reproduksi, selain itu juga dapat mempengaruhi metabolisme enzim (BPOM,2004).

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, boraks memiliki dampak yang berbahaya bagi kesehatan. Namun penggunaannya masih dilakukan oleh masyarakat. Salah satunya di Tangerang ditemukan sebanyak 25 sampel bakso positif mengandung boraks (25%) dan rata-rata kandungan boraksnya adalah 806,86 mg/kg (Windayani, 2010). Kemudian selain itu ditemukan pula di Kota Tangerang Selatan, lebih tepatnya di Kelurahan Ciputat, ditemukan 4 dari 5 sampel mie mengandung boraks (Rusli, 2009). Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa penggunaan bahan toksik boraks pada makanan semakin meluas, padahal sebenarnya sudah terdapat peraturan yang melarang penggunaan boraks pada makanan sebagai bahan tambahan.

Tentunya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat masih menggunakan bahan berbahaya tersebut pada makanan yang berakibat pada pencemaran makanan. Penelitian sebelumnya telah dilakukan terhadap mie, namun tidak menutup kemungkinan dapat ditemukannya bahan berbahaya tersebut pada makanan lain. Sehingga peneliti tertarik untuk menganalisis faktor resiko yang berasal dari perilaku atas terjadinya pencemaran bahan toksik boraks yang pada penelitian ini adalah pada bakso yang dijajakan di Kelurahan Ciputat tahun 2014.


(22)

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Apakah terdapat pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat?

2. Bagaimana tingkat pengetahuan pengelola bakso di Kelurahan Ciputat mengenai bahaya boraks dalam penggunaannya pada bakso terhadap kesehatan?

3. Bagaimana sikap pengelola bakso di Kelurahan Ciputat terhadap penggunaan bahan toksik boraks pada dalam pengolahan bakso?

4. Bagaimana praktik penggunaan bahan toksik boraks pada pengelola bakso di Kelurahan Ciputat?

5. Bagaimana hubungan antara tingkat pengetahuan pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat? 6. Bagaimana hubungan antara sikap pengelola dengan pencemaran bahan

toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat?

7. Bagaimana hubungan antara praktik penggunaan bahan toksik boraks dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat?

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor resiko pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014.


(23)

7

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi adanya pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat

2. Mengetahui tingkat pengetahuan pengelola terhadap penggunaan bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat.

3. Mengetahui sikap pengelola terhadap penggunaan bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat.

4. Mengetahui praktik pengelola terhadap penggunaan bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat.

5. Mengetahui adanya hubungan antara tingkat pengetahuan pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat.

6. Mengetahui adanya hubungan antara sikap pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat.

7. Mengetahui adanya hubungan antara praktik penggunaan bahan toksik boraks dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat.

1.5 Manfaat

1.5.1 Manfaat Bagi Pemerintah

Sebagai masukan bagi BPOM untuk memperbaiki upaya monitoring terhadap BTP yang kemudian dijadikan sebagai acuan


(24)

melakukan intervensi kepada para pedagang khususnya pedagang bakso yang beredar di pasaran.

1.5.2 Manfaat Bagi Masyarakat

Sebagai informasi agar masyarakat lebih berhati-hati dan lebih cermat dalam memilih dan mengonsumsi makanan yang beredar di pasaran serta meningkatkan proteksi terhadap keberadaan boraks pada makanan yang dikonsumsi.

1.5.3 Manfaat Bagi Peneliti

Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan keterampilan peneliti serta dapat mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari selama di perkuliahan.

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor resiko pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat yang dilaksanakan pada bulan April - Mei 2014 dengan sasaran penelitian adalah pedagang bakso di wilayah Kelurahan Ciputat.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan cross sectional atau potong lintang. Dalam pengumpulan data primer pencemaran toksik boraks, peneliti menggunakan alat Food Security Kit dari Laboratorium Kesehatan Lingkungan FKIK untuk menguji kandungan boraks yang ada pada bakso, sedangkan untuk pengetahuan, sikap serta praktik penggunaan bahan toksik boraks yang dilakukan pengelola bakso didapatkan melalui kuesioner.


(25)

9 BAB II

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pangan

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan ataupun minuman bagi konsumsi manusia. Termasuk di dalamnya adalah bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan atau minuman (Saparinto et al, 2006).

Kualitas pangan dapat ditinjau dari aspek mikrobiologis, fisik (warna, bau, rasa dan tekstur) dan kandungan gizinya. Pangan yang tersedia secara alamiah tidak selalu bebas dari senyawa yang tidak diperlukan oleh tubuh, bahkan dapat mengandung senyawa yang merugikan kesehatan orang yang mengkonsumsinya. Senyawa-senyawa yang dapat merugikan kesehatan dan tidak seharusnya terdapat di dalam suatu bahan pangan dapat dihasilkan melalui reaksi kimia dan biokimia yang terjadi selama pengolahan maupun penyimpanan, baik karena kontaminasi ataupun terdapat secara alamiah. Selain itu sering dengan sengaja ditambahkan bahan tambahan pangan (BTP) atau bahan untuk memperbaiki tekstur, warna dan komponen mutu lainnya ke dalam proses pengolahan pangan (Hardinsyah et al, 2001).


(26)

Berdasarkan cara perolehannya, pangan dapat dibedakan menjadi 3 (Saparinto et al, 2006) :

1. Pangan Segar

Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan. Pangan segar dapat dikonsumsi langsung ataupun tidak langsung. 2. Pangan Olahan

Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses pengolahan dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Contoh: teh manis, nasi, pisang goreng dan sebagainya. Pangan olahan bisa dibedakan lagi menjadi pangan olahan siap saji dan tidak siap saji.

3. Pangan Olahan Tertentu

Pangan olahan tertentu adalah pangan olahan yang diperuntukkan bagi kelompok tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatan. Contoh: ekstrak tanaman stevia untuk penderita diabetes, susu rendah lemak untuk orang yang menjalani diet rendah lemak dan sebagainya.

2.2 Keamanan Pangan

Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan yang aman serta bermutu dan bergizi tinggi penting perannya bagi


(27)

11

pertumbuhan, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan kecerdasan masyarakat (Cahyadi, 2008).

Keamanan pangan muncul sebagai suatu masalah yang dinamis seiring dengan berkembangnya peradaban manusia dan kemajuan ilmu dan teknologi, maka diperlukan suatu sistem dalam mengawasi pangan sejak diproduksi, diolah, ditangani, diangkut, disimpan dan didistribusikan serta dihidangkan kepada konsumen. Toksisitas mikrobiologik dan toksisitas kimiawi terhadap bahan pangan dapat terjadi pada rantai penanganan pangan dari mulai saat pra-panen, pascapanen/pengolahan sampai saat produk pangan didistribusikan dan dikonsumsi (Seto, 2001).

Sistem pangan yang ada saat ini meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan, pembinaan atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi makanan dan peranannya sampai siap dikonsumsi manusia. Setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan produksi pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku (Saparinto et al, 2006).

Keamanan pangan merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Kurangnya perhatian terhadap hal ini telah sering mengakibatkan terjadinya dampak berupa penurunan kesehatan konsumennya, mulai dari keracunan makanan akibat tidak higienisnya proses penyiapan dan penyajian sampai resiko munculnya penyakit kanker


(28)

akibat penggunaan bahan tambahan (food additive) yang berbahaya (Syah, 2005).

2.3 Foodborne Disease

Foodborne disease adalah penyakit bawaan makanan. Makanan dapat membuat orang menjadi sehat atau sakit. Makanan yang sehat membuat tubuh menjadi sehat namun, makanan yang sudah tecemar dapat menyebabkan penyakit. Oleh karena itu, makanan dan minuman yang dikonsumsi haruslah terjamin baik dari segi kualitas dan kuantitasnya.

Penyakit bawaan makanan ini terdiri dari tiga kategori yaitu, penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme termasuk parasit yang menginvasi dan bermultiplikasi dalam tubuh, penyakit yang disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang berkembang biak di saluran pencernaan dan penyakit yang disebabkan oleh konsumsi makanan yang terkontaminasi dengan bahan kimiawi yang beracun atau mengandungi toksin alami atau toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi (Sockett, 2001).

2.4 Pencemaran Bahan Toksik pada Makanan

Pencemaran pada makanan adalah pencemaran yang disebabkan oleh masuknya suatu bahan baik secara sengaja maupun tidak sengaja yang akan mempengaruhi kualitas makanan itu sendiri (Nurmaini, 2001). Salah satu penyebab pencemaran pada makanan adalah adanya penambahan zat atau bahan toksik dengan tujuan ingin meningkatkan kualitas makanan. Bahan


(29)

13

toksik adalah bahan beracun dan dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan (adverse effect) terhadap organisme hidup (New York Health, 2013).

Pencemaran bahan toksik pada makanan dapat terjadi dengan cara sengaja atau tidak sengaja. Pencemaran bahan toksik pada makanan yang terjadi dengan cara sengaja, terjadi karena bahan pencemar secara sengaja diberikan kepada makanan sebagai bahan tambahan. Pencemaran boraks yang dilarang pada makanan merupakan contoh pencemaran bahan toksik pada makanan yang terjadi dengan sengaja. Pada kejadian itu pembuat makanan dengan tujuan tertentu sengaja menambahkan boraks pada makanan yang dibuatnya. Pencemaran bahan toksik pada makanan yang terjadi dengan tidak sengaja, terjadinya pencemaran karena adanya bahan pencemar pada makanan tidak sengaja diberikan oleh pembuat makanan. Sebagai contoh, pencemaran pestisida pada makanan. Dalam hal ini pembuat makanan tidak sengaja memberikan pestisida kepada makanan yang dibuatnya. Pencemaran dapat terjadi mungkin karena air atau alat-alat yang digunakan untuk mengolahnya mengandung pestisida (Sugiyatmi, 2006)

Dalam Permenkes RI No. 33 tahun 2012 disebutkan ada 19 bahan yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dan dilarang penggunaannya dalam makanan. Di antara bahan-bahan tersebut adalah asam borat dan senyawa-senyawanya (Kemenkes RI, 2012).


(30)

2.5 Bahan Tambahan Pangan

2.5.1 Definisi Bahan Tambahan Pangan

BTP adalah bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dalam jumlah kecil dengan tujuan untuk memperbaiki penampakan, cita rasa, tekstur dan memperpanjang daya simpan. Selain itu, juga dapat meningkatkan nilai gizi seperti protein, mineral dan vitamin (Widyaningsih et al, 2006).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.33 Tahun 2012, bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Penggunaan bahan tambahan pangan dalam proses produksi pangan perlu diwaspadai bersama, baik oleh produsen maupun oleh konsumen. Dampak penggunaanya dapat berakibat positif maupun negatif bagi masyarakat. Penyimpangan dalam penggunaannya akan membahayakan kita bersama, khususnya generasi muda sebagai penerus pembangunan bangsa. Di bidang pangan kita memerlukan sesuatu yang lebih baik untuk masa yang akan datang, yaitu pangan yang aman untuk dikonsumsi, lebih bermutu, bergizi dan lebih mampu bersaing dalam pasar global. Kebijakan keamanan pangan (food safety) dan pembangunan gizi nasional (food nutrient) merupakan bagian integral dari kebijakan pangan


(31)

15

nasional, termasuk pengunaan bahan tambahan pangan (Cahyadi, 2008).

2.5.2 Fungsi Bahan Tambahan Pangan

Fungsi dasar bahan tambahan pangan yaitu (Hughes, 1987): 1. Untuk mengembangkan nilai gizi suatu makanan.

Biasanya untuk makanan diet dengan jumlah secukupnya. Di banyak negara, termasuk Amerika dan Inggris, nutrisi tertentu harus ditambahkan ke dalam makanan pokok berdasarkan peraturan mereka.

2. Untuk mengawetkan dan memproduksi makanan.

Demi kesehatan kita dan untuk mencegah penggunaan bumbu dengan masa singkat dan fluktuasi harga, sangatlah penting makanan itu dibuat mampu menahan pengaruh racun dalam jangka waktu selama mungkin.

3. Menolong produksi

Fungsi ini memiliki peranan yang penting untuk menjamin bahwa makanan diproses seefisien mungkin dan juga dapat menjaga keadaan makanan selama penyimpanan.

4. Untuk memodifikasi pandangan kita.

Bahan tambahan ini mengubah cara kita memandang, mengecap, mencium, merasa dan bahkan mendengar bunyi makanan yang kita makan (kerenyahan). Ada dua alasan utama mengapa menggunakan bahan tambahan ini, pertama karena ekonomi,


(32)

misalnya makanan dengan bahan dan bentuk yang kurang bagus dapat dibuat lebih menarik dengan meniru produksi yang lebih berkualitas. Kedua, adalah karena permintaan publik, misalnya dalam masakan modern dimana bahan makanan dasar dimodifikasi.

2.5.3 Jenis Bahan Tambahan Pangan

Pada umumnya bahan tambahan pangan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu (Winarno, 1992):

1. Aditif sengaja yaitu aditif yang diberikan dengan sengaja dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman atau kebasaan, memantapkan bentuk atau rupa dan lain sebagainya.

2. Aditif tidak sengaja yaitu aditif yang terdapat dalam makanan dalam jumlah sangat kecil sebagai akibat dari proses pengolahan.

Bila dilihat dari asalnya, aditif dapat berasal dari sumber alamiah seperti lesitin, asam sitrat, dan lain sebagainya, dapat juga disintesis dari bahan kimia yang mempunyai sifat serupa dengan bahan alamiah yang sejenis, baik susunan kimia maupun sifat metabolismenya seperti misalnya β-karoten, asam askorbat, dan lain-lain. Pada umumnya bahan sintetik mempunyai kelebihan


(33)

17

yaitu lebih pekat, lebih stabil, dan lebih murah. Walaupun demikian ada kelemahannya yaitu sering terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga mengandung zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan, dan kadang-kadang bersifat karsinogenik yang dapat merangsang terjadi kanker pada hewan atau manusia.

2.5.4 Golongan Bahan Tambahan Pangan

Menurut PERMENKES RI No. 33 tahun 2012, bahan tambahan pangan yang digunakan dalam pangan terdiri atas beberapa golongan sebagai berikut:

1. Antibuih (Antifoaming agent); 2. Antikempal (Anticaking agent); 3. Antioksidan (Antioxidant);

4. Bahan pengkarbonasi (Carbonating agent); 5. Garam pengemulsi (Emulsifying salt); 6. Gas untuk kemasan (Packaging gas) 7. Humektan (Humectant);

8. Pelapis (Glazing agent); 9. Pemanis (Sweetener); 10. Pembawa (Carrier);

11. Pembentuk gel (Gelling agent); 12. Pembuih (Foaming agent);

13. Pengatur keasaman (Acidity regulator); 14. Pengawet (Preservative);


(34)

15. Pengembang (Raising agent); 16. Pengemulsi (Emulsifier); 17. Pengental (Thickener); 18. Pengeras (Firming agent); 19. Penguat rasa (Flavour enhancer); 20. Peningkat volume (Bulking agent); 21. Penstabil (Stabilizer);

22. Peretensi warna (Colour retention agent); 23. Perisa (Flavouring);

24. Perlakuan tepung (Flour treatment agent); 25. Pewarna (Colour);

26. Propelan (Propellant); dan 27. Sekuestran (Sequestrant).

2.5.5 Bahan Tambahan Pangan yang Tidak Diizinkan

BTP yang tidak diizinkan atau dilarang digunakan dalam makanan menurut PERMENKES RI No. 33 tahun 2012:

1. Asam borat dan senyawanya (Boric acid)

2. Asam salisilat dan garamnya (Salicylic acid and its salt)

3. Dietilpirokarbonat (Diethylpyrocarbonate, DEPC) 4. Dulsin (Dulcin)

5. Formalin (Formaldehyde)


(35)

19

7. Kalium klorat (Potassium chlorate) 8. Kloramfenikol (Chloramphenicol)

9. Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils)

10. Nitrofurazon (Nitrofurazone) 11. Dulkamara (Dulcamara) 12. Kokain (Cocaine)

13. Nitrobenzen (Nitrobenzene)

14. Sinamil antranilat (Cinnamyl anthranilate) 15. Dihidrosafrol (Dihydrosafrole)

16. Biji tonka (Tonka bean)

17. Minyak kalamus (Calamus oil) 18. Minyak tansi (Tansy oil) 19. Minyak sasafras (Sasafras oil)

2.6 Zat Pengawet

Zat pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat tumbuhnya bakteri, sehingga tidak terjadi fermentasi (pembusukan), pengasaman atau penguraian makanan karena aktifitas jasad-jasad renik (bakteri) (Fardiaz, 2007). Zat pengawet terdiri dari senyawa organik dan senyawa anorganik dalam bentuk asam dan garamnya.

1. Pengawet Organik

Zat pengawet organik lebih banyak dipakai daripada zat pengawet anorganik karena pengawet organik lebih mudah dibuat dan dapat


(36)

terdegradasi sehingga mudah diekskresikan. Bahan pengawet organik yang sering digunakan adalah: asam sorbat, asam propianat, dan asam benzoat.

2. Pengawet Anorganik

Pengawet anorganik yang masih sering dipakai dalam bahan makanan adalah: nitrit, nitrat dan sulfit (Rohman dan Sumantri, 2007).

Banyak cara yang telah dilakukan untuk mengawetkan bahan pangan, misalnya pengalengan makanan, pengawetan (asinan/manisan) dalam botol, pendinginan, pemanasan, pengeringan dan penggaraman. Dalam melakukan pengawetan biasanya digunakan bahan kimia dan dewasa ini penggunaannya semakin bertambah karena merupakan salah satu pilihan yang menguntungkan bagi produsen makanan olahan.

Alasan produsen dalam penggunaan bahan pengawet adalah (Fardiaz, 2007):

1. Kebutuhan teknis.

Dewasa ini banyak perubahan yang terjadi, misalnya pengawet pada mentega, banyak digunakan asam sitrat dan vitamin E dari pada butil hidroksi anisol (BHA) dan butil hidroksi toluen (BHT).

2. Memperpanjang masa simpan.

Hal ini merupakan masalah yang sukar. Produsen dan konsumen sama-sama berkepentingan, artinya konsumen


(37)

21

menginginkan produk lebih awet supaya tidak belanja setiap hari dan produsen pun ingin makanan cukup waktu untuk pendisribusian dan penjualannya.

3. Melengkapi teknik pengawetan.

Adanya pengawet membuat warna tetap selama masa distribusi. Teknik pengawetan misalnya dengan pemanasan menjadi lebih sempurna. Artinya untuk mengawetkan suatu bahan tidak diperlukan suhu yang terlalu tinggi lagi.

4. Mengganti kehilangan antioksidan dan pengawet alami secara proses. Pengawet juga berfungsi untuk menambah antioksidan yang ada pada bahan makanan secara alami dan oleh karena perlakuan pada prosesnya menjadi hilang atau berkurang.

5. Menanggulangi masalah higienis.

Segi higienis dalam pabrik, jauh dari memadai. Bahan pengawet dapat membantu membuat makanan tidak cepat rusak, akibat sanitasi pabrik yang kurang baik.

6. Kebutuhan ekonomi

Bahan pengawet yang digunakan adalah sangat sedikit. Tetapi untungnya sangat besar karena makanan menjadi awet dan dapat disimpan dalam waktu lama.

Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau


(38)

memperlambat proses fermentasi, pengasaman atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba. Akan tetapi tidak jarang produsen menggunakannya pada pangan yang relatif awet dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur (Syah, 2005).

Pemakaian bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena dengan bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik bersifat patogen yang dapat menyebabkan keracunan atau gangguan kesehatan lainnya maupun mikrobial non patogen yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan, misalnya pembusukan. Namun dari sisi lain, bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang merupakan bahan asing yang masuk bersama bahan pangan yang dikonsumsi. Apabila pemakaian bahan pangan dan dosisnya tidak diatur dan diawasi, kemungkinan besar akan menimbulkan kerugian bagi pemakainya, baik yang bersifat langsung, misalnya keracunan; maupun yang bersifat tidak langsung atau kumulatif, misalnya apabila bahan pengawet yang digunakan bersifat karsinogenik (Cahyadi, 2008).

2.7 Boraks

Boraks atau dalam nama ilmiahnya dikenal sebagai sodium tetraboratedecahydrate (Na2B4O7·10H2O) merupakan bahan pengawet yang dikenal masyarakat awam untuk mengawetkan kayu, antiseptik kayu dan pengontrol kecoa.


(39)

23

Tabel 2.1 Sifat Kimia Boraks Sifat Kimia Keterangan Titik didih 320oC

Titik lebur 75oC

pH 9,5

Kelarutan 6 g/100 ml air

Sumber: BPOM, 2002

Dalam pasaran boraks biasa disebut dengan air bleng, garam bleng, pijer atau cetitet. Masyarakat umumnya menggunakan boraks sebagai pengawet pada mie, bakso, lontong, kerupuk uli, makaroni, ketupat.

Tampilan fisik boraks adalah berbentuk serbuk kristal putih. Boraks tidak memiliki bau jika dihirup menggunakan indera pencium serta tidak larut dalam alkohol. Indeks keasaman dari boraks diuji dengan kertas lakmus adalah 9,5, ini menunjukkan tingkat keasaman boraks cukup tinggi (Bambang, 2008).

Asam borat atau boraks (boric acid) merupakan zat pengawet berbahaya yang tidak diizinkan digunakan sebagai campuran bahan makanan. Boraks adalah senyawa kimia dengan rumus Na2B4O7 10H2O berbentuk kristal putih, tidak berbau dan stabil pada suhu dan tekanan


(40)

normal. Dalam air, boraks berubah menjadi natrium hidroksida dan asam borat (Syah, 2005).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 33 Tahun 2012, asam borat dan senyawanya merupakan salah satu dari jenis bahan tambahan makanan yang dilarang digunakan dalam produk makanan. Karena asam borat dan senyawanya merupakan senyawa kimia yang mempunyai sifat karsinogen. Meskipun boraks berbahaya bagi kesehatan ternyata masih banyak digunakan oleh masyarakat sebagai bahan tambahan makanan, karena selain berfungsi sebagai pengawet, boraks juga dapat memperbaiki tekstur bakso dan kerupuk hingga lebih kenyal dan lebih disukai konsumen (Mujianto, 2003).

Karekteristik boraks antara lain (Riandini, 2008): 1. Warna adalah jelas bersih

2. Kilau seperti kaca

3. Kristal ketransparanan adalah transparan ke tembus cahaya 4. Sistem hablur adalah monoklin

5. Perpecahan sempurna di satu arah 6. Warna lapisan putih

7. Mineral yang sejenis adalah kalsit, halit, hanksite, colemanite, ulexite dan garam asam bor yang lain.

8. Karakteristik yang lain: suatu rasa manis yang bersifat alkali.


(41)

25

2.7.1 Kegunaan Boraks

Boraks bisa didapatkan dalam bentuk padat atau cair (natrium hidroksida atau asam borat). Baik boraks maupun asam borat memiliki sifat antiseptik dan biasa digunakan oleh industri farmasi sebagai ramuan obat, misalnya dalam salep, bedak, larutan kompres, obat oles mulut dan obat pencuci mata. Selain itu boraks juga digunakan sebagai bahan solder, pembuatan gelas, bahan pembersih/pelicin porselin, pengawet kayu dan antiseptik kayu (Aminah dan Himawan, 2009).

Boraks juga dapat digunakan sebagai algaesida, fungisida, herbisida dan insektisida. Boraks sering digunakan untuk mengendalikan insekta seperti semut atau kecoa (EPA, 2006).

2.7.2 Pengawet Boraks pada Makanan

Meskipun bukan pengawet makanan, boraks sering pula digunakan sebagai pengawet makanan. Selain sebagai pengawet, bahan ini berfungsi pula mengenyalkan makanan. Makanan yang sering ditambahkan boraks diantaranya adalah bakso, lontong, mie basah, kerupuk, dan berbagai makanan tradisional seperti “lempeng” dan “alen-alen”(Yuliarti, 2007).


(42)

2.7.3 Dampak Boraks Terhadap Kesehatan

Boraks merupakan racun bagi semua sel. Pengaruhnya terhadap organ tubuh tergantung konsentrasi yang dicapai dalam organ tubuh. Karena kadar tertinggi tercapai pada waktu diekskresi maka ginjal merupakan organ yang paling terpengaruh dibandingkan dengan organ yang lain. Bila mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks tidak langsung berakibat buruk terhadap kesehatan, tetapi senyawa tersebut diserap dalam tubuh secara kumulatif, disamping melalui saluran pencernaan boraks dapat diserap melalui kulit. Konsumsi boraks yang tinggi dalam makanan dan diserap dalam tubuh akan disimpan secara akumulatif dalam hati otak dan testis serta akan menyebabkan timbulnya gejala pusing, muntah, mencret dan kram perut. Boraks dapat mempengaruhi alat reproduksi, selain itu juga dapat mempengaruhi metabolisme enzim (BPOM,2004).

Menurut standar internasional WHO, dosis fatal boraks berkisar 3-6 gram perhari untuk anak kecil dan bayi, untuk dewasa sebanyak 15-20g per-hari dapat menyebabkan kematian. Tidak adanya dampak negatif yang membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi suatu makanan yang mengandung boraks atau No Observed Adverse Effect Level (NOAEL) adalah sebesar 8,8 mg/kg berat badan per-hari (EPA, 2006).


(43)

27

Menurut PERMENKES No.33 tahun 2012 tentang bahan tambahan pangan, boraks merupakan bahan tambahan yang dilarang karena 50% dari yang terabsorbsi diekresikan lewat urin, sedangkan sisanya dieksresikan 3-7 hari/lebih.

Efek negatif dari penggunaan bahan toksik boraks dalam pemanfaatannya yang salah pada kehidupan dapat berdampak sangat buruk pada kesehatan manusia. Boraks memiliki efek racun yang sangat berbahaya pada sistem metabolisme manusia sebagai halnya zat-zat tambahan makanan lain yang merusak kesehatan manusia.

Keracunan kronis dapat disebabkan oleh absorpsi dalam waktu lama. Akibat yang timbul diantaranya anoreksia, berat badan turun, muntah, diare, ruam kulit, alposia, anemia dan konvulsi. Penggunaan bahan toksik boraks apabila dikonsumsi secara terus-menerus dapat mengganggu gerak pencernaan usus, kelainan pada susunan saraf, depresi dan kekacauan mental. Dalam jumlah serta dosis tertentu, boraks bisa mengakibatkan degradasi mental, serta rusaknya saluran pencernaan, ginjal, hati dan kulit karena boraks cepat diabsorbsi oleh saluran pernapasan dan pencernaan, kulit yang luka atau membran mukosa (Saparinto et al, 2006).

Gejala awal keracunan boraks bisa berlangsung beberapa jam hingga seminggu setelah mengonsumsi atau kontak dalam dosis


(44)

toksis. Gejala klinis keracunan boraks biasanya ditandai dengan hal-hal berikut (Saparinto et al, 2006):

1. Sakit perut sebelah atas, muntah dan mencret 2. Sakit kepala dan gelisah

3. Penyakit kulit berat

4. Muka pucat dan kadang-kadang kulit kebiruan 5. Sesak nafas dan kegagalan sirkulasi darah 6. Hilangnya cairan dalam tubuh

7. Degenerasi lemak hati dan ginjal

8. Otot-otot muka dan anggota badan bergetar diikuti dengan kejang-kejang

9. Kadang-kadang tidak kencing dan sakit kuning

10. Tidak memiliki nafsu makan, diare ringan dan sakit kepala

2.8 Bakso

Bakso adalah makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serelia dengan atau tanpa penambahan makanan yang diizinkan (BSN, 1995). Biasanya istilah bakso tersebut diikuti dengan nama jenis dagingnya seperti bakso ikan, bakso ayam, bakso sapi. Berdasarkan bahan bakunya terutama ditinjau dari jenis daging dan jumlah tepung yang digunakan dibedakan atas 3 yaitu: bakso daging yang dibuat dari daging yang sedikit mengandung urat, misalnya daging penutup, pendasar gandik dengan penambahan tepung lebih sedikit daripada berat daging yang digunakan;


(45)

29

bakso urat adalah bakso yang dibuat dari daging yang banyak mengandung jaringan ikat atau urat misalnya daging iga. Penambahan tepung pada bakso urat lebih sedikit daripada jumlah daging yang digunakan; sedangkan bakso aci adalah bakso yang jumlah penambahan jumlah tepungnya lebih banyak dibanding dengan jumlah daging yang digunakan.

Bakso sebagai salah satu produk industri pangan, memiliki standar mutu yang telah ditetapkan. Adapun standar mutu bakso menurut SNI 01-3818-1995, dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Syarat Mutu Bakso

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1. Keadaan:

1.1 Bau Normal, khas daging

1.2 Rasa Gurih

1.3 Warna Normal

1.4 Tekstur Kenyal

2. Air % b/b Maks 70,0

3. Abu (dihitung atas dasar bahan kering)

% b/b Maks. 3,0

4. Protein (N x 6,25) dihitung atas dasar bahan kering


(46)

Tabel 2.2 Lanjutan

Sumber: Standar Nasional Indonesia, 1995

5. Lemak % b/b Min. 2,0

6. Boraks - Tidak boleh ada sesuai

dengan SNI 7. Bahan tambahan

makanan

-

8. Cemaran logam

8.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 2.0

8.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks 20.0

8.3 Seng (Zn) mg/kg Maks 40.0

8.4 Timah mg/kg Maks 40.0

8.5 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,03

9. Cemaran arsen (As) mg/kg Maks. 0,5 10. Cemaran mikroba:

10.1 Angka lempeng total

Koloni/g Maks. 1.0 x 105

10.2 Bakteri bentuk coli APM/g Maks. 10

10.3 E.coli APM/g Maks. 1.0 x 104

10.4 Enterococci Koloni/g Maks. 1 x 103 10.5 C.perfingens Koloni/g Maks. 1 x 102

10.6 Salmonella - Negatif


(47)

31

2.8.1 Komposisi Bakso

Dalam pembuatan bakso disamping daging diperlukan bahan-bahan lain seperti:

1. Daging, daging dicuci bersih kemudian digiling sebagai campuran pada saat pengulenan dengan tepung terigu 2. Tepung, yang digunakan umumnya tepung tapioka,

gandum, atau tepung aren, dapat digunakan secara sendiri – sendiri maupun campuran, dalam jumlah 10 – 100% atau lebih dari berat daging.

3. Pati, semakin tinggi kandungan patinya semakin rendah mutu serta murah harganya.

4. Garam dapur dan bumbu, digunakan sebagai adonan penyedap untuk mendapatkan rasa yang enak.

5. Es, digunakan untuk mempertahankan suhu rendah untuk menghasilkan emulsi yang baik.

2.8.2 Zat kimia yang ditambahkan pada bakso

Pada pembuatan bakso zat kimia yang biasa ditambahkan oleh pedagang seperti:

1. Benzoat, diperbolehkan dan aman dikonsumsi asalkan tidak melebihi kadar yang ditentukan

2. Boraks, biasanya boraks dengan dosis 800-4000 ppm atau 0,5 – 1 % (dari berat adonan) dicampur ke dalam adonan,


(48)

untuk mendapatkan produk bakso yang kering, kesat atau kenyal teksturnya.

3. Tawas, digunakan untuk mengeringkan sekaligus mengeraskan permukaan

4. Titanium dioksida (TiO2), penambahan zat ini dalam adonan bakso umumnya sekitar 0,5-1,0% dari berat adonan, digunakan sebagai bahan pemutih untuk menghindarkan terjadinya bakso berwarna gelap

5. STPP (Sodium Tri-polyphosphate), STPP secara umum diijinkan dan telah banyak digunakan dalam makanan untuk keperluan perbaikan tekstur dan meningkatkan daya cengkram air (Pratomo, 2009)

2.8.3 Pembuatan Bakso

Pembuatan bakso terdiri dari persiapan bahan, penghancuran daging, pencampuran bahan dan pembuatan adonan, pencetakan dan pemasakan. Berikut penjelasan setiap tahapnya:

1. Persiapan

Persiapan bahan meliputi pemilihan daging dan penyiangan bahan tambahan lainnya. Daging bisa dipilih yang segar, bersih atau dibersihkan dari lemak permukaan dan jaringan ikat atau urat.

2. Penghancuran daging


(49)

33

daging, sehingga protein yang larut dalam larutan garam akan mudah keluar. Penghancuran daging untuk bakso dapat dilakukan dengan cara mencacah, menggiling atau mencincang sampai lumat.

3. Pencampuran bahan dan pembuatan adonan.

Pembuatan adonan dapat dilakukan dengan mencampur seluruh bagian bahan kemudian menghancurkannya sehingga membentuk adonan. Atau dengan menghancurkan daging bersama-sama garam dan es batu terlebih dulu, baru kemudian dicampurkan bahan-bahan lain dengan alat yang sama atau menggunakan mixer. 4. Pemasakan bakso

Pemasakan bakso biasanya dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, bakso dipanaskan dalam panci berisi air hangat sekitar 600C sampai 800C, sampai bakso mengeras dan mengambang di permukaan air. Pada tahap selanjutnya bakso dipindahkan ke dalam panci lainnya yang berisi air mendidih, kemudian direbus sampai matang, biasanya sekitar 10 menit. Pemasakan bakso dalam dua tahap tersebut dimaksudkan agar permukaan produk bakso yang dihasilkan tidak keriput dan tidak pecah akibat perubahan suhu yang terlalu cepat (Menristek, 2006)


(50)

2.9 Boraks pada Bakso

Pemakaian boraks untuk memperbaiki mutu bakso sebagai pengawet telah diteliti pada tahun 1993. Di DKI Jakarta ditemukan 26% bakso mengandung boraks, baik di pasar swalayan, pasar tradisional dan pedagang makanan jajanan. Pada pedagang bakso dorongan ditemukan 7 dari 13 pedagang menggunakan boraks dengan kandungan boraks antara 0,01 – 0,6%.

Berikut ini cara pembuatan boraks pada bakso:

1. Daging yang sudah digiling halus oleh mesin penggiling dimasukkan ke dalam wadah.

2. Setelah daging tersebut dicampurkan dengan sagu dan bumbu lainnya, pengolah mencampurkan bahan bakso dengan boraks

3. Setelah itu bakso dibentuk dan direbus kemudian dikeringkan dan siap untuk dihidangkan (Eka, 2013)

2.10 Perilaku

Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri.

Menurut Robert Kwick (1974) dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku manusia


(51)

35

merupakan hasil dari pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (berpikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan. Perilaku aktif dapat dilihat, sedangkan perilaku pasif tidak tampak, seperti pengetahuan, persepsi, atau motivasi. Beberapa ahli membedakan bentuk-bentuk perilaku ke dalam tiga domain yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan atau sering kita dengar dengan istilah knowledge, attitude, practice (Sarwono, 2004).

2.10.1 Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Menurut Notoatmojo (2003), pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya, namun bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah akan mutlak berpengetahuan rendah,


(52)

sebab pengetahuan tidak mutlak diperoleh melalui pendidikan formal saja melainkan dapat diperoleh melalui pendidikan non formal.

Menurut Notoatmodjo, pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih melekat dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan yang cukup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yaitu:

1. Tahu (Know)

Tahu dapat diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Yang termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasi serta menyatakan.

2. Memahami (Comprehention)

Memahami artinya sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan di mana dapat menginterprestasikan secara benar.


(53)

37

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi ataupun kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi ini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum – hukum, rumus, metode, prisip dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (Analysis)

Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menyatakan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (Syntesis)

Sintesis yaitu menunjukan pada suatu kemampuan untuk melaksanakan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu keseluruhan yang baru atau dengan kata lain merupakan suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi merupakan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.


(54)

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Nursalam (2003):

1. Faktor Internal a. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi. Pendidikan seseorang dapat diperoleh secara formal, informal dan non formal. Pendidikan disebut juga dengan pendidikan prasekolah dan berupa rangkaian jenjang yang telah baku. Misalnya SD, SMP, SMA dan PT (Perguruan Tinggi). Pendidikan non formal lebih difokuskan pada pemberian keahlian dan skil yang berguna untuk terjun ke masyarakat. Sedangkan pendidikan informal merupakan pendidikan yang berada disamping pendidikan formal dan non formal. Menurut UU RI No.2 Tahun 1989 ada tiga jenjang dari pendidikan yaitu pendidikan dasar jika pendidikan ibu (SD dan SMP), menengah jika (SMA) dan tinggi jika pendidikan ibu PT (Perguruan Tinggi).


(55)

39

b. Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

c. Umur

Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Sedangkan menurut Huclok (1998) semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja.

2. Faktor Eksternal a. Faktor lingkungan

Lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada di sekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok.

b. Sosial budaya

Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi sikap dalam menerima informasi.

2.10.2 Sikap

Sikap (attitude) menurut Sarwono (2003) adalah kesiapan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku atau merespons sesuatu baik terhadap rangsangan positif maupun rangsangan negatif dari


(56)

suatu objek rangsangan. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas. Akan tetapi sikap merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk berperilaku.

Sikap merupakan respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak langsung dilihat akan tetapi harus ditafsirkan terlebih dahulu sebagai tingkah laku tetutup.

Menurut Allport (1954) seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2005), sikap memiliki pokok, yakni :

a. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek b. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu konsep c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)

Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, antara lain : a. Menerima

b. Merespon c. Menghargai

d. Bertanggung jawab

Pengkategorian sikap terdiri dari:

a. Sikap positif, kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, menghadapkan objek tertentu.

b. Sikap negatif, terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai objek tertentu (Zuriah, 2003).


(57)

41

2.10.3 Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan.

Tindakan dibedakan atas beberapa tingkatan :

a. Persepsi, merupakan mekanisme mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

b. Respon terpimpin, yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh. c. Mekanisme, yaitu dapat melakukan sesuatu secara otomatis

tanpa menunggu perintah atau ajakan orang lain.

d. Adopsi, merupakan Suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu telah dimodifikasikan tanpa mengurangi kebenaran dari tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2007).

2.11 Pedagang

Pada penelitian ini, pengelola bakso yang dimaksud adalah pengelola yang membuat sekaligus menjajakan bakso, sehingga pengelola dapat dikategorikan sebagai pedagang.


(58)

2.11.1 Definisi Pedagang

Menurut Damsar (1997) pedagang adalah orang atau institusi yang memperjualbelikan produk atau barang, kepada konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung. Pedagang dibedakan menurut jalur distribusi yang dilakukan yaitu:

a. Pedagang distributor (tunggal) yaitu pedagang yang memegang hak distribusi satu produk dari perusahaan tertentu.

b. Pedagang (partai) besar yaitu pedagang yang membeli suatu produk dalam jumlah besar yang dimaksudkan untuk dijual kepada pedagang lain.

c. Pedagang eceran, yaitu pedagang yang menjual produk langsung kepada konsumen.


(59)

43

2.12 Kerangka Teori

Modifikasi sumber:

Winarno, 1994; Notoatmodjo, 2003; Nurmaini, 2001; Mulia, 2005; Sarwono, 2004

Menurut Mulia (2005) foodborne disease adalah penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar. Pencemaran makanan dapat disebabkan oleh sanitasi makanan yang buruk. Sanitasi makanan yang buruk dapat disebabkan 3 faktor yakni; faktor fisik, faktor kimia dan faktor biologi. Diantara 3 faktor tersebut, boraks masuk ke kategori kimia. Boraks merupakan suatu jenis senyawa kimia yang bersifat toksik sering digunakan sebagai bahan tambahan pada makanan (Winarno


(60)

1994). Adanya bahan toksik dalam makanan mengindikasikan bahwa makanan tersebut telah tercemar. Menurut Nurmaini (2001), penggunaan bahan toksik boraks pada makanan merupakan pencemaran bahan toksik yang terjadi dengan cara sengaja atau terjadi karena bahan pencemar secara sengaja diberikan kepada makanan sebagai bahan tambahan. Perilaku menurut Notoatmodjo (2003) merupakan hasil dari pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan pemaparan tersebut maka terbentuklah kerangka teori seperti demikian.


(61)

45

BAB III

3 KERANGKA KONSEP 3.1 Kerangka Konsep

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan bagan pada kerangka teori dapat terlihat bahwa foodborne disease disebabkan oleh adanya makanan tercemar dan makanan tersebut dapat tercemar dikarenakan sanitasi yang buruk yang dapat disebabkan oleh faktor fisik, kimia, dan biologi. Pada penelitian ini, faktor yang akan diteliti adalah faktor kimia sesuai dengan tujuan dari penelitian ini adalah ingin menganalisis pencemaran boraks pada makanan, dimana boraks merupakan salah satu jenis senyawa kimia yang biasa ditambahkan pada makanan. Makanan yang dimaksud pada penelitian adalah bakso. Penggunaan bahan toksik boraks pada bakso di penelitian ini dilihat dari dari keberadaan cemaran boraks pada bakso melalui uji laboratorium.

Cemaran toksik boraks pada bakso Pengetahuan pengelola

terkait bahaya boraks

Sikap pengelola terhadap penggunaan bahan toksik

boraks pada bakso

Praktik pengelola terhadap penggunaan

bahan toksik boraks dalam pengolahan bakso


(62)

Sesuai dengan teori Notoatmodjo (2003) yang disesuaikan dengan penelitian ini, penggunaan bahan toksik boraks oleh pengelola bakso dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu: pengetahuan pengelola terkait bahaya boraks, sikap pengelola terhadap penggunaan bahan toksik boraks, serta tindakan yang dalam hal ini berupa praktik pengelola terhadap penggunaan bahan toksik boraks dalam pengolahan bakso. Pada penelitian ini akan dilihat bagaimana pengaruh dari pengetahuan, sikap dan praktik dari pengelola bakso terhadap cemaran boraks yang terdapat pada bakso tersebut.

3.2 Hipotesis

1. Adanya hubungan antara tingkat pengetahuan pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat 2. Adanya hubungan antara sikap pengelola dengan pencemaran bahan

toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat

3. Adanya hubungan antara praktik penggunaan bahan toksik boraks dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat.


(63)

47

3.3 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur

Skala Ukur 1. Pengetahuan

pengelola terkait bahaya boraks

Pemahaman dan

pengetahuan responden tentang bahaya boraks.

Wawancara Kuesioner Tinggi: jika jawaban benar ≥ 8 butir soal

Rendah: jika jawaban benar < 8 butir soal. (Wijaya et al, 2013)


(64)

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur 2.. Sikap pengelola

terhadap penggunaan bahan toksik boraks pada bakso

Respon yang

ditunjukkan responden penggunaan bahan toksik boraks pada bakso

Wawancara Kuesioner - Sikap positif: jika jawaban benar ≥5 butir soal (>50%) - Sikap negatif: jika jawaban benar <5 butir soal (<50%) (Hidayat, 2007)

Ordinal

3. Praktik penggunaan bahan toksik boraks

Kegiatan yang dilakukan pengelola berkaita dengan penggunaan bahan toksik boraks


(65)

49

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

dalam pengolahan bakso

dalam proses pengolahan bakso

1= Baik

4. Pencemaran bahan toksik boraks pada bakso

Terdeteksinya

kandungan boraks pada bakso saat uji kualitatif dengan menggunakan alat uji.

Pengukuran Food Security Kit

Warna kertas uji: 0= Tidak berubah warna (tidak terjadi pencemaran)

1 = Merah bata (terjadi pencemaran)


(66)

50 BAB IV

4 METODE PENELITIAN 4.1 Desain Studi

Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional dimana data yang menyangkut variabel bebas dan variabel terikat akan dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan.

4.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan. Luas Kelurahan Ciputat adalah 183,34 Ha/km2 dengan jumlah penduduk 18.880 jiwa. Kelurahan Ciputat terdiri dari 15 RW. Berikut batas geografi Kelurahan Ciputat:

Utara : Kelurahan Sawah Lama Selatan : Kelurahan Pondok Cabe Ilir

Barat : Kelurahan Kedaung & Kelurahan Pamulang Timur Timur : Kelurahan Cempaka Putih/Kelurahan Cipayung

Berdasarkan hasil studi pendahuluan, di Kelurahan Ciputat terdapat sebanyak 34 pedagang bakso yang berjualan secara menetap. Seluruh pedagang tersebut merupakan responden pada penelitian ini.


(67)

51

4.3 Populasi

Populasi adalah keseluruhan unit analisis yang karakteristiknya akan diduga. Anggota unit populasi disebut elemen populasi (Sumantri, 2011). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang bakso yang berjualan secara menetap di Kelurahan Ciputat.

4.4 Sampel

Sampel adalah sebagian populasi yang ciri-cirinya diselidiki atau di ukur (Sumantri, 2011). Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu menggunakan sampel jenuh. Sampel jenuh merupakan teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel, atau penelitian yang ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil. Istilah lain sampel jenuh adalah sensus, dimana anggota populasi dijadikan sampel (Sugiono, 2005). Sampel pada penelitian ini berjumlah 34 responden yang merupakan pedagang bakso menetap yang berlokasi di sekitar kelurahan Ciputat. Jumlah tersebut didapatkan berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan melalui turun ke lapangan untuk mencari serta mengumpulkan data seluruh pedagang yang berjualan bakso secara menetap di Kelurahan Ciputat.

4.5 Jenis Data

Data pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dengan melakukan pengukuran langsung. Data primer dalam penelitian ini adalah cemaran bahan toksik


(68)

boraks, pengetahuan, sikap serta praktik penggunaan bahan toksik boraks yang dilakukan pengelola bakso. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah data pedagang bakso yang berasal dari Kelurahan Ciputat.

4.6 Pengumpulan Data

Data primer diperoleh dari hasil pengukuran terhadap variabel yang akan diteliti langsung dan kuesioner yang diisi oleh responden. Pengetahuan, sikap serta praktik penggunaan bahan toksik boraks yang dilakukan pengelola bakso didapatkan melalui kuesioner sedangkan, pencemaran bahan toksis boraks pada bakso diperoleh dari pengukuran menggunakan Food Security Kit.

Pengumpulan data dengan kuesioner dilakukan dengan mengunjungi pengelola bakso satu persatu ke lokasi berjualannya untuk melakukan wawancara. Selain wawancara, peneliti juga membeli bakso yang dijual oleh pengelola tersebut untuk diambil sampelnya serta diuji dengan menggunakan Food Security Kit.

4.7 Teknik Sampling Boraks pada Bakso

Pada penelitian ini, sampel diambil dan diuji kandungannya dengan tes kit atau alat uji yang bernama food security kit. Food security kit merupakan alat yang berfungsi untuk menguji kandungan bahan kimia berbahaya yang terdapat dalam makanan.


(69)

53

Berikut langkah-langkah penggunaan alat Food Security Kit: 1. Haluskan bakso sebanyak 10 gram menggunakan mortar

2. Setelah bakso menjadi halus, masukkan ke dalam gelas kaca atau tabung reaksi

3. Tambahkan dengan 10 ml air panas, aduk dan biarkan hingga dingin

4. Tambahkan 10 - 15 tetes reagen cair, kemudian aduk kembali 5. Celupkan kertas uji ke dalam air campuran sampai terendam

sebagian

6. Keringkan kertas uji di bawah terik matahari atau anginkan. Setelah kering, amati kertas uji yang telah tercelup. Jika tebentuk warna merah bata pada kertas, maka dapat disimpulkan bakso mengandung boraks.

4.8 Pengolahan Data

Pengolahan data yang dilakukan terdiri dari serangkaian tahapan yang harus dilakukan meliputi:

1. Data Coding

Kegiatan mengklasifikasikan data dan memberikan kode untuk masing-masing kelas sesuai dengan tujuan dikumpulkannya data. Peneliti membuat kode untuk setiap jawaban dari pertanyaan pada kuesioner. Pada penelitian ini coding dilakukan saat seluruh responden telah mengisi kuesioner.


(70)

2. Data Editing

Penyuntingan data dilakukan sebelum proses pemasukan data. Proses editing ini dilakukan peneliti setelah data terkumpul untuk pengecekan jika ada data yang salah atau meragukan sehingga masih dapat ditelusuri kembali kepada responden/informan yang bersangkutan.

3. Data Structure

Data structure dikembangkan sesuai dengan analisis yang akan dilakukan dan jenis perangkat lunak yang dipergunakan. Pada penelitian ini perangkat lunak yang digunakan adalah SPSS. 4. Data Entry

Pada proses data entry, peneliti memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam program SPSS diantaranya data mengenai pengetahuan, sikap, praktik pada pengelola bakso serta pencemaran yang terjadi pada bakso tersebut.

5. Data Cleaning

Proses pembersihan data ini dilakukan setelah data telah selesai dimasukkan. Pembersihan data ini dilakukan dengan melihat distribusi frekuensi.

4.9 Analisis

Analisis univariat yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran pada masing – masing variabel yang telah diteliti.


(71)

55

Data disampaikan dalam bentuk distribusi frekuensi menurut masing – masing variabel yang telah diteliti. Variabel dependen pada penelitian ini yaitu cemaran bahan toksik boraks, sedangkan variabel independen pada penelitian ini adalah pengetahuan, sikap dan praktik pengelola bakso.

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Analisis bivariat dalam penelitian ini menggunakan uji Chi-Square, yaitu uji yang dilakukan dimana variabel yang dihubungkan keduanya adalah kategorik.

Untuk melihat hasil kemaknaan dari perhitungan statistik menggunakan batas kemaknaan 0,05 yaitu (Hastono, 2001):

 Kriteria hipotesis nol (Ho) ditolak apabila nilai p < 0,05 yang berarti ada signifikansi perbedaan yang bermakna secara statistik  Kriteria hipotesis (Ho) diterima apabila nilai p > 0,05 yang berarti

tidak ada signifikansi perbedaan yang bermakna secara statistik.

4.10 Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada 10 orang pengelola bakso dimana sampel yang dipilih adalah sampel yang memiliki karakteristik yang sama dengan sampel dalam penelitian

A. Uji Validitas

Uji validitas dalam penelitian ini berhubungan dengan pertanyaan – pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner mengenai


(72)

substansi pertanyaan tingkat pengetahuan, sikap dan praktik pengelola bakso. Uji validitas ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana ukuran atau nilai yang menunjukkan tingkat kebenaran alat ukur dengan cara mengukur korelasi antar variabel. Dengan total skor variabel pada analisis reliabilitas dengan melihat nlai correlation corrected item dengan ketentuan jika nilai r hitung > r tabel (0,6319) maka dinyatakan valid.

Dari 16 pertanyaan untuk variabel pengetahuan terdapat 15 pertanyaan yang valid, sehingga peneliti memutuskan untuk menghilangkan 1 pertanyaan yang tidak valid. Sehingga total pertanyaan untuk variabel pengetahuan adalah sebanyak 15 pertanyaan. Sedangkan untuk variabel sikap dan praktik seluruh pertanyaannya valid. Sehingga total pertanyaan pada kuesioner ini adalah sebanyak 33 pertanyaan.

B. Uji Reliabilitas

Pertanyaan dinyatakan reliabel jika jawaban responden terhadap pertanyaan adalah konsisten. Reliabilitas menunjukkan bahwa suaru instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Reliabilitas data merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat menunjukkan ketepatan dan dapat dipercaya.

Hasil uji reliabilitas ini menunjukkan nilai Alpha sebesar 0,741. Kuesioner atau angket dikatakan reliabel jika memiliki nilai


(73)

57

Cronbach’s Alpha > 0,05. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa instrumen yang telah diuji dikatakan reliabel karena mempunyai nilai Cronbach’s Alpha > 0,05.


(74)

BAB V

5 HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Responden

Karakteristik responden terdiri dari jenis kelamin, usia dan pendidikan.

5.1.1 Jenis Kelamin

Berikut distribusi jenis kelamin pengelola bakso di Kelurahan Ciputat yang dijadikan responden pada penelitian:

Tabel 5.1 Distribusi Jenis Kelamin Pengelola Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014

Jenis Kelamin

Frekuensi Persentase (%)

Laki - laki 22 64,7

Perempuan 12 35,3

Total 34 100

Pada tabel 5.1 terlihat bahwa responden terbanyak adalah berjenis kelamin laki – laki dengan jumlah sebanyak 22 responden (64,7%).


(75)

59

5.1.2 Usia

Berikut distribusi usia pengelola bakso di Kelurahan Ciputat yang menjadi responden pada penelitian:

Tabel 5.2 Distribusi Usia Pengelola Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014

Kategori Usia

Frekuensi Persentase (%)

<25 8 23,5

25 - 45 24 70,6

>45 2 5,9

Total 34 100

Pada tabel 5.2 terdapat 3 kategori usia yaitu < 25 tahun (remaja), 25 – 45 tahun (dewasa), dan > 45 tahun (lansia) (Depkes RI, 2009). Terlihat bahwa pengelola bakso mayoritas berada pada usia 25 – 45 tahun yaitu sebanyak 24 responden (70,6%).

5.1.3 Pendidikan

Berikut distribusi pendidikan pengelola bakso di Kelurahan Ciputat yang menjadi responden pada penelitian:


(76)

Tabel 5.3 Distribusi Pendidikan Pengelola Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014

Kategori Pendidikan

Frekuensi Persentase (%)

Rendah 15 44,1

Tinggi 19 55,9

Total 34 100

Pada tabel 5.3 terlihat bahwa 19 responden (55,9%) memiliki pendidikan tinggi, sedangkan sebanyak 15 responden (44,1%) memiliki pendidikan rendah.

5.2 Analisis Univariat

Analisis univariat merupakan analisis yang dilakukan untuk melihat gambaran pada masing – masing variabel yang telah diteliti. Analisis ini diantara dilakukan pada pencemaran bahan toksik boraks, pengetahuan, sikap dan prakek pedagang bakso di Kelurahan Ciputat.

5.2.1 Gambaran Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso Berikut hasil identifikasi pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat:


(1)

120

s1 s2 s3 s4 s5 s6 s7 s8 s9 s10 TOTAL_SIKAP

s1 Pearson Correlation 1 .764* .764* .375 .612 .102 .667* .764* .764* 1.000** .897**

Sig. (2-tailed) .010 .010 .286 .060 .779 .035 .010 .010 .000 .000

N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

s2 Pearson Correlation .764* 1 .524 .218 .356 .356 .509 .524 .524 .764* .712*

Sig. (2-tailed) .010 .120 .545 .312 .312 .133 .120 .120 .010 .021

N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

s3 Pearson Correlation .764* .524 1 .218 .356 .356 .509 .524 .524 .764* .712*

Sig. (2-tailed) .010 .120 .545 .312 .312 .133 .120 .120 .010 .021

N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

s4 Pearson Correlation .375 .218 .218 1 .612 .102 .667* .218 .764* .375 .571

Sig. (2-tailed) .286 .545 .545 .060 .779 .035 .545 .010 .286 .085


(2)

s5 Pearson Correlation .612 .356 .356 .612 1 .167 .408 .802** .802** .612 .732*

Sig. (2-tailed) .060 .312 .312 .060 .645 .242 .005 .005 .060 .016

N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

s6 Pearson Correlation .102 .356 .356 .102 .167 1 .408 .356 -.089 .102 .333

Sig. (2-tailed) .779 .312 .312 .779 .645 .242 .312 .807 .779 .347

N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

s7 Pearson Correlation .667* .509 .509 .667* .408 .408 1 .509 .509 .667* .761*

Sig. (2-tailed) .035 .133 .133 .035 .242 .242 .133 .133 .035 .011

N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

s8 Pearson Correlation .764* .524 .524 .218 .802** .356 .509 1 .524 .764* .783**

Sig. (2-tailed) .010 .120 .120 .545 .005 .312 .133 .120 .010 .007

N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10


(3)

122

Sig. (2-tailed) .010 .120 .120 .010 .005 .807 .133 .120 .010 .007

N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

s10 Pearson Correlation 1.000** .764* .764* .375 .612 .102 .667* .764* .764* 1 .897**

Sig. (2-tailed) .000 .010 .010 .286 .060 .779 .035 .010 .010 .000

N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

TOTAL_SIKAP Pearson Correlation .897** .712* .712* .571 .732* .333 .761* .783** .783** .897** 1

Sig. (2-tailed) .000 .021 .021 .085 .016 .347 .011 .007 .007 .000

N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).


(4)

123

LAMPIRAN 5

hasil pengukuran sikap * hasil uji dengan boraks kit Crosstabulation

hasil uji dengan boraks kit

Total positif boraks negatif boraks

hasil pengukuran sikap sikap positif Count 5 22 27

% within hasil pengukuran

sikap 18.5% 81.5% 100.0%

sikap negatif Count 5 2 7

% within hasil pengukuran

sikap 71.4% 28.6% 100.0%

Total Count 10 24 34

% within hasil pengukuran

sikap 29.4% 70.6% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 7.496a 1 .006

Continuity Correctionb 5.164 1 .023

Likelihood Ratio 6.944 1 .008

Fisher's Exact Test .014 .014

Linear-by-Linear Association 7.275 1 .007

N of Valid Casesb 34

a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,06.

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

hasil pengukuran sikap *


(5)

124

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 7.496a 1 .006

Continuity Correctionb 5.164 1 .023

Likelihood Ratio 6.944 1 .008

Fisher's Exact Test .014 .014

Linear-by-Linear Association 7.275 1 .007

N of Valid Casesb 34

a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,06. b. Computed only for a 2x2 table


(6)

Lampiran 6

Prosedur Uji