6.2 Analisis Univariat
6.2.1 Pengetahuan Pengelola Bakso Mengenai Penggunaan Bahan
Toksik Boraks
Pada variabel pengetahuan, sikap dan praktek data dikumpulkan melalui wawancara dengan instrumen kuesioner.
Wawancara dilakukan secara langsung dengan pengelola bakso. Pada penelitian ini pengetahuan responden diukur melalui kuesioner
yang terdiri dari 15 pertanyaan meliputi pengetahuan mengenai boraks, kegunaannya, dampak yang ditimbulkan, serta peraturan
yang berkaitan dengan penggunaan bahan toksik boraks. Dari kuesioner tersebut didapatkan 20 responden 58,8 yang
berpengetahuan tinggi terkait penggunaan bahan toksik boraks. Sedangkan pada kategori pengetahuan rendah terdapat 14 responden
41,2. Menurut
Notoatmodjo 2003,
pengetahuan dapat
dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Jika dilihat dari distribusi pendidikannya, pendidikan sebagian besar responden sudah
tergolong baik. Pendidikan secara umum dapat dikaitkan dengan tingkat pengetahuan. Tingkat pendidikan yang rendah diasumsikan
memiliki keterkaitan dengan tingkat pengetahuan yang rendah, termasuk pengetahuan mengenai boraks. Hal ini didukung dengan
penelitian Handoko 2010 yang menyatakan tingkat pendidikan
yang relatif rendah diasumsikan berkaitan dengan rendahnya pengetahuan mengenai cara pembuatan bakso daging sapi yang
aman bagi kesehatan. Pada penelitian ini ditemukan sebesar 55,9 responden
memiliki pendidikan
tinggi, sehingga
hal ini
menyebabkan pengetahuan yang dimiliki responden dapat
dinyatakan cukup memadai. Pengetahuan seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh
lingkungan, tingkat pendidikan seseorang, tetapi sumber informasi, pengalaman, serta kegiatan penyuluhan juga mempengaruhi tingkat
pengetahuan seseorang Notoatmodjo, 2003. Dari hasil wawancara dengan responden didapatkan bahwa responden mendapatkan
informasi mengenai boraks bersumber dari berita di televisi saja. Responden yang berpengetahuan tinggi dapat dikatakan sering
mendapatkan informasi mengenai boraks melalu media massa. Hal ini didukung oleh penelitian Habsah 2009 yang menyatakan bahwa
pedagang yang berpengetahuan baik cenderung sering melihat tayangan di televisi seputar boraks sehingga pengetahuan yang
dimilikinya mengenai boraks dapat dikatakan cukup memadai. Boraks yang sudah ramai diperbincangkan di media massa ini
seharusnya menjadi sumber pengetahuan untuk masyarakat untuk mengetahui lebih dalam mengenai bahan tambahan pangan yang
dilarang ini. Responden yang memiliki pengetahuan rendah memiliki kecenderungan jarang melihat media massa sehingga berdampak
pada ketidaktahuannya mengenai boraks sebagai bahan tambahan yang dilarang. Disamping jarangnya responden melihat media massa,
kemungkinan lain yang menyebabkan masih adanya responden yang memiliki pengetahuan yang rendah adalah kurangnya konsentrasi
dalam menjawab pertanyaan dikarenakan adanya konsumen yang membeli saat dilakukan wawancara, sehingga konsentrasi responden
terpecah saat dilakukan wawancara. Saat wawancara berlangsung, tidak sedikit konsumen yang datang, sehingga wawancara sempat
tertunda beberapa kali dikarenakan responden harus melayani konsumen terlebih dahulu. Namun dengan datangnya beberapa
konsumen dapat dipastikan bahwa wawancara tidak dapat terdengar oleh konsumen yang datang karena wawancara berlangsung di
tempat yang jauh dari konsumen sehingga kecil kemungkinannya bahwa konsumen dapat mendengar wawancara tersebut.
Selain kurangnya
konsentrasi pada
diri responden,
diperkirakan ada rasa takut pada diri responden ketika diwawancara mengenai boraks, sehingga responden lebih memilih untuk
menjawab dengan seadanya. Respon tersebut terlihat saat pertama kali peneliti menanyakan kesediaan responden untuk diwawancarai
mengenai boraks. Banyak responden yang sempat menolak secara halus atau meminta orang lain untuk diwawancarai. Selain itu
terlihat saat responden ditanyakan mengenai peraturan dilarangnya menggunakan boraks pada makanan, sebagian besar responden
terlihat mengetahui hal tersebut. Dalam kasus ini diperkirakan bahwa sebenarnya responden telah mengetahui bahwa boraks merupakan
bahan yang dilarang untuk digunakan, namun responden tetap menggunakannya demi mencari keuntungan yang lebih. Hal ini juga
didukung oleh teori Singarimbun 1989 yang mengatakan responden tidak ingin diketahui pikiran yang sesungguhnya karena
takut untuk mengutarakan pemikirannya, maka responden lebih memilih menjawa
b “tidak tahu”.
Selain pengetahuan umum mengenai boraks, berdasarkan wawancara ternyata responden banyak yang tidak mengetahui bahwa
air bleng yang digunakan untuk merendam bakso yang mereka gunakan mengandung boraks. Menurut Bambang 2008, boraks
sendiri memiliki nama sebutan lain seperti air bleng, garam bleng, pijer, dan cetitet. Menurut pengetahuan responden, air bleng yang
mereka gunakan merupakan bahan yang lumrah digunakan dalam penbuatan makanan, bukan merupakan bahan berbahaya. Menurut
beberapa responden penggunaan air bleng diperlukan agar tekstur bakso lebih kenyal dan lebih awet. Dengan menggunakan air bleng
bakso yang diproduksinya menjadi lebih disenangi para konsumen. Selain itu, mereka juga menganggap bahwa tidak ada dampak yang
akan terjadi ketika konsumen mengkonsumsi bakso yang menggunakan air bleng tersebut. Hal ini terlihat pada jawaban
responden saat menjawab pertanyaan mengenai dampak dari
penggunaan bahan toksik boraks. Masih terdapat beberapa responden yang menganggap tidak akan terjadi apapun ketika
mengkonsumsi boraks. Menurut pendapat responden, belum ada pembeli yang mengatakan sakit setelah mengkonsumsi bakso yang
menggunakan air bleng saat proses pembuatannya. Pada dasarnya, dampak dari penggunaan bahan toksik boraks tidak akan muncul
sesaat setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks. Senyawa boraks akan diserap dalam tubuh secara kumulatif dan akan
terlihat dampaknya
setelah mengkonsumsi
makanan yang
mengandung boraks dalam jangka waktu yang lama BPOM, 2004. Mengingat dampaknya yang tidak langsung terlihat, responden
menganggap bahwa dampak dari mengkonsumsi boraks tidak perlu dikhawatirkan.
6.2.2 Sikap Pengelola Bakso Mengenai Boraks