efek yang dihasilkan dari penggunaan bahan toksik boraks tentunya dapat berakibat pada kesehatan masyarakat luas. Masyarakat sebagai
konsumen bakso berada pada posisi tidak mengetahui bahwa bakso yang dikonsumsi memiliki kandungan boraks. Jika terus menerus
dikonsumsi, maka dapat menimbulkan dampak yang buruk pada masyarakat. Salah satunya dampak yang akan terjadi adalah
keracunan makanan. Pada tahun 2011, telah terjadi keracunan makanan pada 35 penduduk di Kota Bengkulu yang mengkonsumsi
makanan mengandung boraks. Peristiwa ini dinyatakan sebagai kejadian luar biasa KLB oleh Dinas Kesehatan Bengkulu Dinkes
Bengkulu, 2011. Terjadinya KLB ini dapat mengakibatkan menurunnya status kesehatan masyarakat.
Terdapat beberapa cara agar terhindar dari mengkonsumsi bakso yang mengandung boraks, salah satunya adalah dengan
mengenali ciri-ciri dari bakso tersebut. Bakso yang mengandung boraks memiliki struktur yang kenyal dan lebih keras, memiliki daya
tahan lebih lama, warna cenderung keputihan, baunya menyengat, bila dilemparkan ke lantai akan memantul seperti bola BPOM RI,
2013.
6.3.2 Hubungan Antara Sikap Pengelola dengan Pencemaran Bahan
Toksik Boraks pada Bakso
Sikap attitude menurut Sarwono 2003 adalah kesiapan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku atau merespons sesuatu
baik terhadap rangsangan positif maupun rangsangan negatif dari suatu objek rangsangan. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau
aktivitas. Akan tetapi sikap merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk berperilaku. Sikap merupakan reaksi atau respon
yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Pada
penelitian ini sikap digolongkan menjadi 2, yaitu sikap negatif atau menolak dan sikap positif atau menyenangi.
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan Chi- square didapatkan p value = 0,014
α = 0,05 yang dapat dinyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara sikap pengelola dengan
pencemaran bahan toksik boraks pada bakso. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Yunarni 1999 yang juga menyatakan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara sikap dengan keberadaan boraks pada bakso p value = 0,032.
Berdasarkan hasil analisis univariat yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa 27 dari 34 pengelola bakso 79,4 memiliki sikap
yang negatif atau tidak menyetujui penggunaan bahan toksik boraks dalam proses pembuatan makanan terutama bakso. Sikap pengelola
bakso yang baik diperoleh dari pengalaman pengelola sendiri maupun orang lain lingkungan baik itu keluarga maupun teman dan
kerabat pengelola bakso yang memiliki pengalaman mengenai penggunaan bahan toksik boraks pada bakso. Pengalaman tersebut
mempengaruhi sikap pengelola bakso terhadap penggunaan bahan
toksik boraks. Lin 2011 dalam penelitiannya pada penjaja makanan goreng menyatakan bahwa sikap penjual makanan yang baik
diperoleh dari pengalaman penjual makanan maupun orang lain lingkungan baik itu keluarga maupun teman dan kerabat penjual
makanan yang memiliki pengalaman. Pengalaman tersebut mempengaruhi sikap penjual makanan terhadap perilaku yang
dilakukannya. Sikap merupakan faktor perdisposisi adanya perilaku
penggunaan bahan toksik boraks. Dapat dikatakan sikap memiliki andil yang cukup besar dalam pengambilan keputusan penggunaan
boraks. Jika seseorang memperlihatkan sikap negatif terhadap penggunaan bahan toksik boraks maka orang tersebut tidak akan
menggunakan boraks sebagai bahan tambahan pada makanannya, dengan begitu tidak akan ditemukan kandungan boraks pada bakso
dan pada akhirnya tidak akan terjadi pencemaran bahan toksik boraks pada bakso. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini yang
menemukan bahwa terdapat 22 responden 81,5 yang memiliki sikap negatif atau tidak menyetujui penggunaan bahan toksik boraks
yang baksonya negatif mengandung boraks. Dari hasil penelitian yang telah didapatkan dapat tergambar
bahwa sikap yang dimiliki masyarakat mengenai boraks sudah terbilang cukup baik. Dari pemaparan sebelumnya dapat dinyatakan
bahwa sikap memiliki hubungan dengan pencemaran boraks pada
makanan. Dengan adanya sikap yang baik dapat mendukung masyarakat untuk tidak menggunakan boraks pada makanan. Angka
keracunan pangan yang tadinya sebesar 18.144 kasus BPOM RI, 2011 dapat diturunkan jika sikap yang dimiliki masyarakat di
Indonesia adalah sikap negatif atau menolak penggunaan bahan toksik boraks. Agar sikap negatif ini dapat terwujud, masyarakat
harus dipaparkan pengetahuan mengenai dampak dari penggunaan bahan toksik boraks pada kesehatan tubuh.
Adanya kandungan boraks pada makanan dapat menyebabkan keracunan pangan. Menurut BPOM RI 2008, keracunan pangan
sudah menjadi kejadian luar biasa KLB yang menjadi keprihatinan di tingkat nasional maupun global. Adanya KLB keracunan pangan
ini tentunya dapat mempengaruhi status kesehatan masyarakat Indonesia. Adanya penggunaan boraks pada makanan ini ikut
berperan dalam terjadinya KLB keracunan pangan. Namun, sangat disayangkan belum didapatkan data pasti mengenai besarnya
pengaruh penggunaan boraks pada keracunan pangan ini. Salah satu yang dapat dilakukan dalam rangka mengendalikan
kasus keracunan pangan ini adalah dengan memperbaiki sikap yang dimiliki masyarakat melalui penanaman pemahaman mengenai
bahaya boraks dengan mengadakan penyuluhan mengenai bahan tambahan pangan.
6.3.3 Hubungan Antara Praktik Penggunaan Boraks dengan