Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Pengelola dengan

ditemukan oleh Rusli 2009 pada penelitiannya ditemukan kandungan boraks pada 4 dari 5 sampel mie yang ditemukan di Pasar Ciputat. Menurut Sultan 2013, boraks yang diberikan pada makanan terutama pada bakso akan membuat bakso tersebut sangat kenyal dan tahan lama. Dengan begitu, pengelola bakso tidak perlu khawatir baksonya akan kadaluarsa, dikarenakan adanya boraks tersebut yang dapat meningkatkan daya tahan bakso. Menurut Oktavia 2012, bakso yang tidak habis terjual pengelola masih dapat menjualnya kembali untuk 3 hari berikutnya jika ditambahkan boraks pada saat pembuatannya. Hal ini lah yang membuat masih maraknya penggunaan bahan toksik boraks sebagai bahan tambahan pangan.

6.3 Analisis Bivariat

6.3.1 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Pengelola dengan

Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso Pengetahuan merupakan hasil penginderaan yang diperoleh melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, raba, yang memberikan informasi tertentu kepada seseorang dan menjadi pengetahuannya. Penginderaan tersebut dapat bersumber dari pengalaman yang ada, baik berupa pengalaman belajar, bekerja serta aktivitas dan interaksi lain dalam kehidupan sehari-hari Notoatmodjo, 2003. Berdasarkan hasil uji Chi-Square didapatkan p value = 0,467 α = 0,05 yang menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso. Green menyebutkan dalam Notoadmodjo 2003 bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi perilaku seseorang. Pada penelitian ini ditemukan tidak adanya hubungan antara pengetahuan pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso. Penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian Oktavia 2012 yang menyatakan adanya hubungan antara pengetahuan terhadap penggunaan bahan toksik boraks p value = 0,032 Jika dilihat dari distribusi pengetahuan pada penelitian ini, terdapat 20 responden 58,8 berpengetahuan tinggi, dan 14 responden 41,2 yang memiliki pengetahuan rendah. Hasil tersebut mencerminkan bahwa pengetahuan yang dimiliki mayoritas responden sebenarnya sudah cukup memadai. Cukup memadainya pengetahuan responden tidak menutup kemungkinan ditemukannya pencemaran boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat. Dengan ditemukannya cemaran boraks pada bakso mencerminkan terdapat adanya tindakan penggunaan bahan toksik boraks oleh pengelola bakso sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa tidak selamanya seseorang dengan pengetahuan yang tinggi dapat melakukan tindakan atau perilaku mengenai sesuatu dengan baik. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan menurut Sarwono 1997 bahwa pengetahuan yang positif atau tinggi tidak selamanya akan diikuti dengan praktik yang sesuai. Kemungkinan terjadinya masalah ini dikarenakan adanya faktor-faktor lain yang membuat pengelola bakso tetap menggunakan boraks sebagai bahan tambahan pangan meskipun mereka mengetahui dampak yang akan terjadi ketika menggunakanannya. Faktor tersebut dapat berupa motif ekonomi. Menurut David 1985, kebutuhan individu menyebabkan keinginan dan keinginan ini menimbulkan motivasi yang menyebabkan seseorang melakukan suatu tindakan. Salah satu kebutuhan dari pengelola bakso ini adalah kebutuhan finansial. Tentunya setiap pedagang atau pengelola bakso ingin mencapai keuntungan yang besar. Berbagai upaya dapat dilakukan oleh pengelola bakso untuk mendapatkan target keuntungan usaha yang optimal. Bentuk upaya tersebut dapat berupa modifikasi cara pembuatan bakso daging sapi agar memiliki nilai sensorik yang digemari konsumen. Menurut Mujiyanto 2003, bakso yang menggunakan boraks ini dipercaya dapat memperbaiki tekstur bakso menjadi lebih kenyal dibandingkan dengan yang tidak menggunakan boraks. Penggunaan bahan toksik boraks pada bakso merupakan salah satu upaya yang dilakukan pengelola untuk mendapatkan keuntungan yang lebih meskipun pengelola mengetahui bahwa boraks merupakan bahan yang berbahaya jika digunakan pada makanan. Atas dasar faktor inilah pengelola bakso menggunakan boraks pada bakso yang dijajakannya. Ketika pengelola bakso mencampurkan boraks ke dalam bakso, maka bakso akan dapat disimpan lebih lama dan tekstur bakso akan menjadi lebih baik. Hal inilah yang dapat menarik konsumen untuk berdatangan. Dengan tingginya pengetahuan responden yang mencapai 58,8 serta pencemaran boraks yang mencapai 29,4 mencerminkan adanya ketidakpedulian dalam diri pengelola bakso terhadap efek yang akan terjadi jika pengelola tetap menggunakan boraks pada baksonya. Hal ini dapat membuktikan bahwa pengetahuan tidak mempengaruhi terjadinya pencemaran boraks. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Lambok 2012 yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan dari penggunaan bahan toksik boraks antara responden yang berpengetahuan tinggi dan rendah dikarenakan banyak dari mereka yang tidak peduli terhadap efek bahaya yang disebabkan oleh penggunaan bahan toksik boraks dalam bakso. Walaupun ditemukan tidak ada perbedaan antara pengelola yang berpengetahuan rendah dan tinggi terkait penggunaan boraks, pengetahuan merupakan faktor terpenting dari adanya perilaku penggunaan boraks. Jika dibandingkan dengan sikap dan praktek, pengetahuan merupakan faktor yang paling penting karena pengetahuan memiliki hubungan yang sangat erat dengan perilaku. Dengan adanya pengetahuan mengenai boraks dapat membuat pengelola mempunyai pandangan yang membantu pengelola dalam memilih keputusan dalam mencampur boraks dengan bakso. Seperti yang telah diungkapkan Notoatmodjo 2003, terdapat 6 tingkatan pengetahuan salah satunya adalah evaluasi. Pada kasus penggunaan boraks, tingkat evaluasi berkaitan dengan kemampuan pengelola untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap penggunaan boraks, seperti perlu atau tidaknya boraks digunakan pada pembuatan baksonya. Adanya pengetahuannya mengenai boraks dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh pengelola bakso atas dampak yang akan terjadi di kemudian hari. Selain itu, pengetahuan juga merupakan salah satu faktor terbentuknya sebuah sikap seseorang. Pengetahuan dapat mempengaruhi kesiapan seseorang untuk bertingkah laku atau merespon sesuatu. Dengan adanya pengetahuan, seseorang dapat menentukan sikap atas rangsangan apa yang dihadapkan pada dirinya. Hal inilah yang membuat pengetahuan dijadikan sebagai faktor yang paling penting karena dengan adanya pengetahuan dapat mempengaruhi pengelola dalam mengambil keputusan untuk berperilaku. Merujuk pada pernyataan Lambok 2012, terlihat adanya ketidakpedulian dalam diri responden terkait efek dari penggunaan boraks pada bakso. Ketidakpedulian dari pengelola bakso terhadap efek yang dihasilkan dari penggunaan bahan toksik boraks tentunya dapat berakibat pada kesehatan masyarakat luas. Masyarakat sebagai konsumen bakso berada pada posisi tidak mengetahui bahwa bakso yang dikonsumsi memiliki kandungan boraks. Jika terus menerus dikonsumsi, maka dapat menimbulkan dampak yang buruk pada masyarakat. Salah satunya dampak yang akan terjadi adalah keracunan makanan. Pada tahun 2011, telah terjadi keracunan makanan pada 35 penduduk di Kota Bengkulu yang mengkonsumsi makanan mengandung boraks. Peristiwa ini dinyatakan sebagai kejadian luar biasa KLB oleh Dinas Kesehatan Bengkulu Dinkes Bengkulu, 2011. Terjadinya KLB ini dapat mengakibatkan menurunnya status kesehatan masyarakat. Terdapat beberapa cara agar terhindar dari mengkonsumsi bakso yang mengandung boraks, salah satunya adalah dengan mengenali ciri-ciri dari bakso tersebut. Bakso yang mengandung boraks memiliki struktur yang kenyal dan lebih keras, memiliki daya tahan lebih lama, warna cenderung keputihan, baunya menyengat, bila dilemparkan ke lantai akan memantul seperti bola BPOM RI, 2013.

6.3.2 Hubungan Antara Sikap Pengelola dengan Pencemaran Bahan