Perempuan Pada Media PEREMPUAN DALAM MEDIA PEREMPUAN 1 Bias Gender di media.

commit to user 42 majalah Honey meningkatkan jumlah artikel-artikel feminis serta menampilkan wajah-wajah para model yang hanya mengenakan riasan tipis atau tanpa tata rias sama sekali, redakturnya harus angkat kaki Wolf, 1997:137-138. Sebagian dari hal diatas adalah cerita lama, mskipun terkadang dalam beberapa kasus cerita lama tersebut dapat terulang kembali. Menurut Ade Armando dalam Ibrahim dan Suranto, 1988:159-160 dalam beberapa dekade terakhir ini telah berkembang pula penggambaran yang lebih menyimpang dari stereotip tersebut, sesuatu yang tentunya tak bisa dilepaskan dari gencarnya serangan feminis, kendati banyak kalangan feminis yang menganggap perubahan yang terjadi tak substansif, namun paling tidak kita telah menyaksikan film semacam Who’s the Boss yang menempatkan tokoh perempuan sebagai sang eksekutif dan tokoh pria sebagai sang pengurus rumah tangga.

6.2 Perempuan Pada Media

Dalam hal perempuan sebagai objek seksual, hampir tak ada yang berubah, bila bukan semakin dikokohkan. Rosalind Cowand misalnya menulis bagaimana foto fashion di majalah-majalah perempuan telah berubah dari penampilan model penuh senyum yang berusaha menyenangkan orang kepada model tanpa senyum, menantang untuk ditundukkan kesamaan dengan apa yang dilihatnya dalam pornografi. Kontroversi majalah Vanity Fair, keluaran April 1995 lalu juga bisa menjadi contoj menarik. VF saat itu muncul dengan edisi khusus tentang tokoh-tokoh Hollywood , antara lain dengan mengetengahkan deretan tokoh penting industri film tersebut baik pria maupun perempuan. Yang commit to user 43 jadi soal kaum perempuan yang ditampilkan dari aktris seksi Susan Lansing, bukan hanya kesuksesannya dalam dunia industri hiburan melainkan juga keseksiannya. Sepuluh diantaranya ditampilkan dengan megenakan pakaian ala pakaian dalam. Sang Edotot VF hanya berkomentar : “ It’s wonderful that women can have power and sexy glamours” . Seorang sutradara waniata lain, Nora Ephon, tersebut justru menyatakan bahwa apa yang ditampilkan tersebut justru mewakili kenyataan Hollywood Ibrahim dan Suranto, 1988:160. Kehadiran mitos keindahan ini membuka jalan bagi produk-produk penopang keindahan yang dipromosikan melalui praktik-praktik terkesan seksis dalam media. Seperti yang diungkapkan oleh Sanders Berikut: “Most students, and indeed most consumers of popular culture, have a loosely-defined understanding of sexism in the media. When asked to articulate that understanding, the common response runs the gamut from busty blondes in skimpy outfits who are always rescued by handsome male heroes to fat women with their heads in their ovens Underlying assumptions about the sources of media sexism, the mechanisms by which it is re-created and transmitted, the cultural context in which gender is constructed or even the contradict seldom questioned.” Sanders, 2007 Majalah-majalah khusus pria seperti majalah Playboy, FHM For Him Magazine, Men’s Health, Maxim, Penhouse, dan sederet nama majalah lain, yang seharusnya berisi tentang gaya hidup pria dewasa dan semua hal tentang pria. Namun entah apa yang terjadi, karena justru isi yang mendominasi dari majalah tersebut adalah tentang perempuan secara seksis. Gambar dan foto perempuan yang sangat vulgar memenuhi hampir disetiap halamannya. Artikel-artikel yang terkesan menyudutkan atau memuji perempuan sangat jelas mendominasi. commit to user 44 Perempuan dalam majalah pria dewasa adalah gambaran sebuah hasil fantasi pria tentang “perempuan sexy atau cantik”. Hal ini diungkapkan oleh Melliana 2006:138 bahwa mayoritas laki-laki memandang bagian tubuh yang seksi dari seorang perempuan hanya dan hampir selalu payudara dan vagina. Dengan demikian cara perempuan menyempurnakan penampilannya tidak terlepas dari penilaian lawan jenisnya tentang menarik secara seksual. Model-model perempuan adalah objek yang dikreasi untuk mencapai fantasi tersebut, sedangkan laki-laki adalah penciptanya. Seperti yang diungkapkan oleh Aquarini Priyatna Prabasmoro, bahwa secara fisik, perempuan menjadi memilih menjadi cantik atas dasar penilaian dari pasangannya. Kecenderungan ini membuat para perempuan berusaha menjadi cantik secara fisik untuk lebih dihargai oleh pasangannya 2003:20. Menurut Ashadi Siregar dalam Ibrahim dan Suranto, 1998:129. Mengapa harus ada media perempuan, sementara setiap media umum dan spesialitas lainnya sebenarnya relevan karena sesuai dengan kebutuhannya sebagai kelompok dengan posisi sosial yang khas? Dari semaraknya media spesialitas perempuan, apakah ini pencerminan, bahwa kaum perempuan membuat segresi terhadap kaum pria? Seolah-olah ada dikotomis media untuk pria dan untuk perempuan, menimbulkan tanda tanya jika dikaitkan dengan jurnalisme majalah perempuan Indonesia. commit to user 45

7. Teori Wacana