ANDI BHATARA / FIRZA ALFAJR

ANDI BHATARA / FIRZA ALFAJR

makna konsep pembangunan sudah dinafikan sama sekali. Masyarakat yang mengalami konflik dan tidak diperhatikan oleh

Konflik serupa semacam ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Rembang saja, namun sudah meluas dan mulai dianggap lumrah terjadi oleh banyak pihak, termasuk masyarakat. Gejolak

berhubungan dan akan melemahkan pihak tertentu, maka konflik

perlawanan semacam ini mulai bermunculan di berbagai daerah di Indonesia sebagai Negara Dunia Ketiga atau Negara yang sedang berkembang. Saking seringnya, aksi perlawanan pun sudah menjadi suatu budaya yang kental dan melekat dan menjadi

Merdeka, 2015). Dalam film Samin vs Semen (2015), nampak

norma baru di masyarakat yang menyesuaikan diri dengan era modern dan hiper-industrialisasi. Konflik biasa terjadi dengan

juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan

alasan pembangunan dan selalu bersinggungan dengan elemen

Dalam konflik Rembang, dimana pihak yang kalah tidak akan

fundamental pembangunan, yaitu tanah dan manusia. Tanah adalah hal paling sensitif dan sumber penghidupan

manusia. Ia memiliki banyak sekali potensi baik yang ada di atas ataupun di bawahnya. Maka dari itu, klaim kepemilikan tanah seringkali mengundang konflik. Karena hal tersebut, para

produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap

pembangun harus bersinggungan dengan pemilik tanah yang

pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH

dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan

bersangkutan. Manusia yang hidup dan memiliki klaim atas tanah

Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko

tersebut, mau tidak mau harus berkonfrontasi langsung dengan para pihak pembangun.

konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat

Pilihannya hanya dua, apabila ia setuju tanah tersebut diserahkan

dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui

kepada pihak pembangun, penghidupannya yang berasal dari tanah sebelumnya harus berubah dan tergantung terhadap apa yang dibangun di atas tanah. Pilihan kedua, apabila pemilik tanah tersebut tidak setuju dengan tawaran si pembangun, ia harus siap

perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik

menghadapi upaya pembangun demi menyukseskan pembangunan. Dalam pilihan ini, hanya akan terjadi dua

sebagian besar masyarakatnya adalah petani. Hal ini juga berarti

akan mempengaruhi proses-proses konflik. Dalam konflik Rembang

kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan

kemungkinan, menang atau dikalahkan dalam pertarungan.

ini membagi komunitas menjadi fragmen-fragmen (belum lagi cerita tipikal tentang pejabat-pejabat lokal yang mengambil keuntungan dari konflik yang menciptakan wahana konflik tersendiri). Ada kelompok-kelompok yang menyetujui impian kemajuan dari modernisasi dan industrialisasi. Kelompok masyarakat pro-semen ini mendukung percepatan pembangunan pabrik agar lapangan pekerjaan baru segera terbuka. Namun di sisi lain, kelompok-kelompok kontra bermunculan. Perubahan paksa

mendapatkan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat setempat karena dinilai mengabaikan aspek-aspek ekologis dan mencederai nilai-nilai kultural masyarakat. Pada tanggal 25 September 2014, misalnya massa beramai-ramai berdemonstrasi untuk mendukung pendirian PT. SI di depan Kantor Bupati

semen melakukan aksi pada tanggal 23 September 2014 (Suara Merdeka, 2015). Dalam film Samin vs Semen (2015), nampak

makan pro-semen”. Sementara di sudut lain nampak mural bertajuk “Tolak Pabrik Semen”.

Menurut tulisan C. Seymour (2003), dimensi-dimensi dalam dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan (3)identitas. Berdasarkan dimensi-dimensi ini, pengetahuan akan

legitimasi, dan memetakan ketakutan menjadi kunci-kunci resolusi konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui dimensi-dimensi ini.

Setelah mengetahui adanya rencana pembangunan pabrik semen, perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik pertambangan pun muncul, misalnya kasus Freeport di Papua dan kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan

menggusur warga lokal. Janji-janji perusahaan untuk

Analisis selanjutnya adalah ketakutan yang meruap di masyarakat konflik. Analisis ini nantinya akan berkaitan dengan konsultasi non (grievance-handling procedures) yang diselenggarakan oleh PT. SI

dan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan dalam rekam kronologis, WIUP melalui Surat Keputusan Bupati tentang pemberian izin lokasi kepada PT.SI tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kepala desa dan pihak

jawaban yang pasti. memperburuk situasi. Konsultasi dan simposium yang

diselenggarakan PT. SI tidak mampu meredam keluhan dan masa lalu. Di sisi lain, janji DPRD Rembang untuk membentuk

juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan intimidasi hingga ancaman penculikan. Tuduhan dan intimidasi merupakan salah satu pemicu ketegangan sosial-psikologis.

produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko Priyanto pada 16 Juni 2014 merupakan contoh lain betapa

masyarakat atas pemerintah dan perusahaan. Tindakan polisi dalam pengepungan tenda ibu-ibu petani yang tengah melakukan

tangisan di tengah wiridan mereka. Di sisi lain, warga kontra juga melakukan cara-cara intimidatif

untuk menunjukkan perlawanan sehingga pihak PT.SI dan pro semen juga merasakan ancaman. Misalnya, pada tanggal 19 September 2013, Ketua DPRD Rembang, Sunarto beserta sang wakil Catur Winarto, perangkat desa Tegaldowo, serta perangkat

Konflik serupa semacam ini sebenarnya tidak hanya terjadi di terjadi oleh banyak pihak, termasuk masyarakat. Gejolak

berkembang. Saking seringnya, aksi perlawanan pun sudah modern dan hiper-industrialisasi. Konflik biasa terjadi dengan

fundamental pembangunan, yaitu tanah dan manusia. manusia. Ia memiliki banyak sekali potensi baik yang ada di atas

ataupun di bawahnya. Maka dari itu, klaim kepemilikan tanah seringkali mengundang konflik. Karena hal tersebut, para

bersangkutan. Manusia yang hidup dan memiliki klaim atas tanah para pihak pembangun.

yang dibangun di atas tanah. Pilihan kedua, apabila pemilik tanah pembangunan. Dalam pilihan ini, hanya akan terjadi dua

kemungkinan, menang atau dikalahkan dalam pertarungan.

Sekarang di Rembang, pembangunan terus berjalan dan masyarakat telah menetapkan pilihannya, yakni untuk berhadapan

langsung dengan segala daya upaya menghentikan pembangunan. Kondisi ambang ini sebenarnya adalah kondisi yang sangat tidak menentu dan dihindari dalam konsep pembangunan. Pembangunan sejatinya dimaknai sebagai segala upaya untuk menciptakan proses perubahan sosial (social change) dari kondisi tertentu ke kondisi lain yang lebih baik. Dari fenomena ini saja, makna konsep pembangunan sudah dinafikan sama sekali. Masyarakat yang mengalami konflik dan tidak diperhatikan oleh pihak pembangun merupakan sebuah bukti bahwa pembangunan bukan ditujukan untuk masyarakat, tapi untuk pihak pembangun semata.

Ini adalah konsep yang sudah salah kaprah dan jelas-jelas memiliki kepentingan lain di baliknya. Secara logika, dalam hakikat konsep

pembangunan bukankah masyarakat semestinya menjadi subjek? Apabila masyarakat Rembang digebuk seperti kini, bukankah ini artinya mereka hanya menjadi objek? Lalu dengan kondisi perpecahan antara pihak pembangun dan masyarakat seperti sekarang, apa yang sebenarnya menjadi faktor utamanya? Berangkat dari ide pembangunan yang membicarakan soal perubahan sosial, maka harus ditarik lebih jauh dan mengakar lagi hal-hal yang mempengaruhi dan menumbuhkan sebuah institusi

sosial; yaitu budaya dan pola pikir masyarakat yang digunakan dan sedang berkembang. Faktor-faktor inilah yang menjadi inti dari

perpecahan dan merupakan suatu kunci perbaikan di Rembang.