EKONOMI SEMEN: MENILIK DARI KACAMATA EKONOMI LUTHFI ANSHARI / ANGGIKA KURNIA

EKONOMI SEMEN: MENILIK DARI KACAMATA EKONOMI LUTHFI ANSHARI / ANGGIKA KURNIA

Penambangan karst yang akan mengambil lokasi di sekitar Cekungan Air Tanah Watu Putih, Pegunungan Kendheng, Rembang diperkirakan akan mengancam 28 desa di 4 kecamatan yang berada di 2 Kabupaten, Rembang dan Blora.

Penambangan Cekungan Air Tanah Watu Putih menimbulkan banyak pro kontra, salah satunya datang dari Badan Geologi Kementrian ESDM yang mengatakan bahwa lokasi penambangan CAT Watu Putih adalah daerah resapan air yang harus dilindungi keberadaannya dan dilindungi oleh Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011. Hal ini dikarenakan daerah resapan air ini akan hilang

sebesar Rp. 12 juta per tahun. Jelas tidak begitu signifikan untuk apabila dilakukan penambangan didalamnya dan pasokan air

hanya akan mengandalkan air hujan. Surono bahkan menegaskan bahwa penambangan karst untuk produksi bahan baku semen tidak sebanding dengan harga hilangnya sumber mata air di Pegunungan Kendeng tersebut.

PT Semen Indonesia (saat itu masih bernama PT Semen Gresik) telah mengurus perizinan dan mengantongi izin pembangunan pabrik semen di Rembang sejak tahun 2010 dari pihak Kabupaten Rembang (Keputusan Bupati No. 545/68/2010 soal WIUP Eksplorasi, Keputusan Bupati No. 545/04/2011 tentang IUP Eksplorasi, Keputusan Bupati No. 591/40/2011 tentang Pemberian Izin Lokasi Pembangunan Pabrik) dan pada tahun 2012 dikeluarkan izin dari

Desa Timbrangan dan Desa Tegaldowo . Kedua desa ini berkonflik

Gubernur Jawa Tengah lewat Keputusan Gubernur No. 660.1/17/2012 tentang pembangunan dan pengembangan pabrik semen oleh PT Semen Gresik.

Akhir tahun 2012 sampai tahun 2013, sekelompok warga dari desa Tegal Dowo mencoba memverifikasi kebenaran adanya

pembangunan pabrik oleh PT Semen Indonesia ke beberapa

Pemerintah Desa pun ternyata tak lagi netral karena tercium gelagat menutup-nutupi adanya pembangunan pabrik karena pada Juni 2013 warga desa Tegaldowo dihadang pihak keamanan dan perangkat desa ketika ada acara silaturahmi dengan Pemkab Rembang yang berisi sosialisasi tentang pembangunan pabrik semen.

Juni 2014 kembali warga melakukan aksi dengan mendirikan posko ‘Tolak Pabrik Semen’ di Tegaldowo sebagai pintu masuk area pendirian pabrik PT Semen Indonesia dengan ibu-ibu yang berdiam di tenda dan bermalam melakukan istigosah sampai 30 hari berikutnya. Pada November 2014, ibu-ibu Rembang kembali melakukan aksi blokir jalan masuk PT Semen Indonesia dan terjadilah pemukulan oleh aparat kepada ibu-ibu Rembang ini

seperti Preman, TNI, dan Polisi yang mencoba membubar-paksakan aksi tersebut.

Dari serangkaian aksi penolakan pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia ini, terdapat dimensi ekonomi politik dalam kontestasi kepentingan antara PT Semen Indonesia dan warga Rembang sendiri mengingat sangat strategisnya semen untuk kepentingan negara dan industri.

Dalam isu ini, bahasan kita bisa dimulai dari argumen pemerintah dan industri semen PT Semen Indonesia bahwa pembangunan pabrik semen di Rembang berkontribusi dalam membawa kesejahteraan dengan meningkatnya taraf ekonomi warga, daerah, dan nasional.

Melihat dari kondisi ekonomi-mikro warga desa sekitar lokasi pembangunan pabrik PT Semen Indonesia khususnya di

Kecamatan Gunem, Rembang, terdapat dua desa yang bisa dijadikan sampel potret kondisi kesejahteraan warga sekitar yaitu Desa Timbrangan dan Desa Tegaldowo . Kedua desa ini berkonflik langsung dengan pihak PT Semen Indonesia karena desa ini akan dijadikan kawasan tapak pabrik PT Semen Indonesia. Kedua desa ini mayoritas penduduknya berpencaharian sebagai petani yang mengandalkan sawah, tegalan, sayur mayur dan tanaman palawija juga merupakan sumber penghidupan petani-petani tersebut. Dari

karakter mata pencahariannya ini, terlihat bahwa air merupakan sumber daya yang sangat penting bagi mata pencaharian warga

Hal ini membuktikan ketidakrelevannya fungsi pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia yang melenceng dari agenda pengentasan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan warga.

kemajuan dan kesejahteraan rakyat'. Warga Rembang sudah tinggal mereka. Justru Semen Indonesia lah yang seharusnya

menghargai tanah leluhur warga Rembang. Argumen lain yang seringkali dilemparkan oleh pihak pro Asli Daerah yang akan meningkat dengan adanya pembangunan

Cekungan Air Tanah Watu Putih, Pegunungan Kendheng, Rembang diperkirakan akan mengancam 28 desa di 4 kecamatan yang berada di 2 Kabupaten, Rembang dan Blora.

Penambangan Cekungan Air Tanah Watu Putih menimbulkan Kementrian ESDM yang mengatakan bahwa lokasi penambangan

CAT Watu Putih adalah daerah resapan air yang harus dilindungi keberadaannya dan dilindungi oleh Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011. Hal ini dikarenakan daerah resapan air ini akan hilang

hanya akan mengandalkan air hujan. Surono bahkan menegaskan Pegunungan Kendeng tersebut.

PT Semen Indonesia (saat itu masih bernama PT Semen Gresik) Rembang (Keputusan Bupati No. 545/68/2010 soal WIUP Eksplorasi,

Keputusan Bupati No. 545/04/2011 tentang IUP Eksplorasi, Keputusan Bupati No. 591/40/2011 tentang Pemberian Izin Lokasi

Gubernur Jawa Tengah lewat Keputusan Gubernur No. 660.1/17/2012 tentang pembangunan dan pengembangan pabrik semen oleh PT Semen Gresik.

Akhir tahun 2012 sampai tahun 2013, sekelompok warga dari desa Tegal Dowo mencoba memverifikasi kebenaran adanya pembangunan pabrik oleh PT Semen Indonesia ke beberapa

warga dari kategori Sugih Tenan, Sugih, Sedengan dan Mlarat. 75% memiliki sawah sekitar 0,5-1ha, sapi: 2-3 ekor, sepeda motor 1-2.

kekayaan sektor pertaniannya sebanyak 23 Miliar per tahun. Dengan rata-rata jumlah warga desa 1.500 orang, berarti warga Desa Timbrangan saja telah berpenghasilan Rp. 50.000,00 per hari

World Bank yaitu berpenghasilan US$2/hari atau Rp. 25.000,00 per harinya. Ini merupakan bukti riil bahwa desa Timbrangan sebagai salah satu sampel desa di Gunem telah bebas dari kemiskinan.

akan dilakukan PT SI lewat pembebasan tanah warga untuk community development. Belajar dari pengalaman sebelumnya

yaitu pabrik PT Semen Indonesia yang juga berada di Jawa yaitu Tuban, Jawa Timur, ternyata program CSR dari PT SI yang hanya sebesar Rp. 12 juta per tahun. Jelas tidak begitu signifikan untuk

kapur ditambang. Bentuk CSR lainnya berupa penyediaan pun ternyata mandeg. Pelatihan kerja baru sekali. Bantuan beras

juga baru sekali, hanya 2,5 kilogram per keluarga. Itu pun setelah berkali-kali demo ke pabrik oleh Gerakan Pemuda Peduli Aspirasi Rakyat.

Selain itu menurut dokumen amdal, PT SI butuh 1751 pekerja dengan 1200 diantaranya adalah pekerja konstruksi dan PT SI pun berkewajiban untuk mempekerjakan 50% dari tenaga kerja non-skilled dari warga di kawasan Ring 1. Namun jika kita lihat populasi desa Tegaldowo saja, 4000 dari 5000 warganya adalah

upaya pembebasan lahan. Ketersediaan lowongan kerja dengan pencahariannya hilang karena tanahnya yang dijual ke PT SI. Tidak

gelagat menutup-nutupi adanya pembangunan pabrik karena

semen. ‘Tolak Pabrik Semen’ di Tegaldowo sebagai pintu masuk area

pendirian pabrik PT Semen Indonesia dengan ibu-ibu yang berdiam berikutnya. Pada November 2014, ibu-ibu Rembang kembali

melakukan aksi blokir jalan masuk PT Semen Indonesia dan terjadilah pemukulan oleh aparat kepada ibu-ibu Rembang ini

membubar-paksakan aksi tersebut. Semen Indonesia ini, terdapat dimensi ekonomi politik dalam

kontestasi kepentingan antara PT Semen Indonesia dan warga kepentingan negara dan industri.

dan industri semen PT Semen Indonesia bahwa pembangunan dan nasional.

Melihat dari kondisi ekonomi-mikro warga desa sekitar lokasi pembangunan pabrik PT Semen Indonesia khususnya di

Desa Timbrangan dan Desa Tegaldowo . Kedua desa ini berkonflik langsung dengan pihak PT Semen Indonesia karena desa ini akan dijadikan kawasan tapak pabrik PT Semen Indonesia. Kedua desa

juga merupakan sumber penghidupan petani-petani tersebut. Dari

Hal ini membuktikan ketidakrelevannya fungsi pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia yang melenceng dari agenda pengentasan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan warga.

kemajuan dan kesejahteraan rakyat'. Warga Rembang sudah tinggal mereka. Justru Semen Indonesia lah yang seharusnya

menghargai tanah leluhur warga Rembang. Argumen lain yang seringkali dilemparkan oleh pihak pro Asli Daerah yang akan meningkat dengan adanya pembangunan

Cekungan Air Tanah Watu Putih, Pegunungan Kendheng, Rembang diperkirakan akan mengancam 28 desa di 4 kecamatan yang berada di 2 Kabupaten, Rembang dan Blora.

Penambangan Cekungan Air Tanah Watu Putih menimbulkan Kementrian ESDM yang mengatakan bahwa lokasi penambangan

CAT Watu Putih adalah daerah resapan air yang harus dilindungi keberadaannya dan dilindungi oleh Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011. Hal ini dikarenakan daerah resapan air ini akan hilang

hanya akan mengandalkan air hujan. Surono bahkan menegaskan Pegunungan Kendeng tersebut.

PT Semen Indonesia (saat itu masih bernama PT Semen Gresik) Rembang (Keputusan Bupati No. 545/68/2010 soal WIUP Eksplorasi,

Keputusan Bupati No. 545/04/2011 tentang IUP Eksplorasi, Keputusan Bupati No. 591/40/2011 tentang Pemberian Izin Lokasi

Gubernur Jawa Tengah lewat Keputusan Gubernur No. 660.1/17/2012 tentang pembangunan dan pengembangan pabrik semen oleh PT Semen Gresik.

Akhir tahun 2012 sampai tahun 2013, sekelompok warga dari desa Tegal Dowo mencoba memverifikasi kebenaran adanya pembangunan pabrik oleh PT Semen Indonesia ke beberapa

warga dari kategori Sugih Tenan, Sugih, Sedengan dan Mlarat. 75% warga di dua desa ini masuk kedalam kategori sedengan dimana

memiliki sawah sekitar 0,5-1ha, sapi: 2-3 ekor, sepeda motor 1-2. Menurut hitung cepat yang dilakukan oleh Cahyono dan Kusnadi pada akhir tahun 2014 di Desa Timbrangan, satu desa di kecamatan Gunem mampu menghasilkan total penghasilan dari kekayaan sektor pertaniannya sebanyak 23 Miliar per tahun. Dengan rata-rata jumlah warga desa 1.500 orang, berarti warga Desa Timbrangan saja telah berpenghasilan Rp. 50.000,00 per hari yang telah melewati batas ambang standar kemiskinan menurut

World Bank yaitu berpenghasilan US$2/hari atau Rp. 25.000,00 per harinya. Ini merupakan bukti riil bahwa desa Timbrangan sebagai salah satu sampel desa di Gunem telah bebas dari kemiskinan.

Mari bandingkan dengan jatah corporate social responsibility yang akan dilakukan PT SI lewat pembebasan tanah warga untuk pembangunan pabrik dan program jangka panjangnya di sektor community development. Belajar dari pengalaman sebelumnya yaitu pabrik PT Semen Indonesia yang juga berada di Jawa yaitu

Tuban, Jawa Timur, ternyata program CSR dari PT SI yang hanya sebesar Rp. 12 juta per tahun. Jelas tidak begitu signifikan untuk

masyarakat sekitar, malah cenderung tidak mampu menyelamatkan warga dari efek kerusakan alam adanya pabrik semen misal, kondisi sumber air menjadi langka semenjang gunung kapur ditambang. Bentuk CSR lainnya berupa penyediaan lapangan kerja, pelatihan ketenagakerjaan dan bantuan sembako pun ternyata mandeg. Pelatihan kerja baru sekali. Bantuan beras juga baru sekali, hanya 2,5 kilogram per keluarga. Itu pun setelah berkali-kali demo ke pabrik oleh Gerakan Pemuda Peduli Aspirasi Rakyat.

Selain itu menurut dokumen amdal, PT SI butuh 1751 pekerja dengan 1200 diantaranya adalah pekerja konstruksi dan PT SI pun berkewajiban untuk mempekerjakan 50% dari tenaga kerja non-skilled dari warga di kawasan Ring 1. Namun jika kita lihat populasi desa Tegaldowo saja, 4000 dari 5000 warganya adalah petani yang terancam tidak dapat bertani lagi karena adanya upaya pembebasan lahan. Ketersediaan lowongan kerja dengan jumlah yang tak sebanding ini pun tidak mampu dijadikan tumpuan hidup bagi seluruh warga Ring 1 yang mata pencahariannya hilang karena tanahnya yang dijual ke PT SI. Tidak

gelagat menutup-nutupi adanya pembangunan pabrik karena

semen. ‘Tolak Pabrik Semen’ di Tegaldowo sebagai pintu masuk area

pendirian pabrik PT Semen Indonesia dengan ibu-ibu yang berdiam berikutnya. Pada November 2014, ibu-ibu Rembang kembali

melakukan aksi blokir jalan masuk PT Semen Indonesia dan terjadilah pemukulan oleh aparat kepada ibu-ibu Rembang ini

membubar-paksakan aksi tersebut. Semen Indonesia ini, terdapat dimensi ekonomi politik dalam

kontestasi kepentingan antara PT Semen Indonesia dan warga kepentingan negara dan industri.

dan industri semen PT Semen Indonesia bahwa pembangunan dan nasional.

Melihat dari kondisi ekonomi-mikro warga desa sekitar lokasi pembangunan pabrik PT Semen Indonesia khususnya di

Desa Timbrangan dan Desa Tegaldowo . Kedua desa ini berkonflik langsung dengan pihak PT Semen Indonesia karena desa ini akan dijadikan kawasan tapak pabrik PT Semen Indonesia. Kedua desa

juga merupakan sumber penghidupan petani-petani tersebut. Dari

Hal ini membuktikan ketidakrelevannya fungsi pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia yang melenceng dari agenda pengentasan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan warga. Triliun kekayaan alam dari tanah air yang menjadi penopang hidup berjuta hajat nyawa manusia di Gunem, Rembang akan terenggut oleh pembangunan pabrik semen dengan tujuan agung 'demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat'. Warga Rembang sudah sejahtera tanpa perlu adanya pabrik semen disekitar tempat tinggal mereka. Justru Semen Indonesia lah yang seharusnya menghargai tanah leluhur warga Rembang.

Argumen lain yang seringkali dilemparkan oleh pihak pro pembangunan pabrik semen adalah berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah yang akan meningkat dengan adanya pembangunan

Cekungan Air Tanah Watu Putih, Pegunungan Kendheng, Rembang diperkirakan akan mengancam 28 desa di 4 kecamatan yang berada di 2 Kabupaten, Rembang dan Blora.

Penambangan Cekungan Air Tanah Watu Putih menimbulkan Kementrian ESDM yang mengatakan bahwa lokasi penambangan

CAT Watu Putih adalah daerah resapan air yang harus dilindungi keberadaannya dan dilindungi oleh Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011. Hal ini dikarenakan daerah resapan air ini akan hilang

hanya akan mengandalkan air hujan. Surono bahkan menegaskan Pegunungan Kendeng tersebut.

PT Semen Indonesia (saat itu masih bernama PT Semen Gresik) Rembang (Keputusan Bupati No. 545/68/2010 soal WIUP Eksplorasi,

Keputusan Bupati No. 545/04/2011 tentang IUP Eksplorasi, Keputusan Bupati No. 591/40/2011 tentang Pemberian Izin Lokasi

Gubernur Jawa Tengah lewat Keputusan Gubernur No. 660.1/17/2012 tentang pembangunan dan pengembangan pabrik semen oleh PT Semen Gresik.

Akhir tahun 2012 sampai tahun 2013, sekelompok warga dari desa Tegal Dowo mencoba memverifikasi kebenaran adanya pembangunan pabrik oleh PT Semen Indonesia ke beberapa

warga dari kategori Sugih Tenan, Sugih, Sedengan dan Mlarat. 75% memiliki sawah sekitar 0,5-1ha, sapi: 2-3 ekor, sepeda motor 1-2.

kekayaan sektor pertaniannya sebanyak 23 Miliar per tahun. Dengan rata-rata jumlah warga desa 1.500 orang, berarti warga Desa Timbrangan saja telah berpenghasilan Rp. 50.000,00 per hari

World Bank yaitu berpenghasilan US$2/hari atau Rp. 25.000,00 per harinya. Ini merupakan bukti riil bahwa desa Timbrangan sebagai salah satu sampel desa di Gunem telah bebas dari kemiskinan.

akan dilakukan PT SI lewat pembebasan tanah warga untuk community development. Belajar dari pengalaman sebelumnya

yaitu pabrik PT Semen Indonesia yang juga berada di Jawa yaitu Tuban, Jawa Timur, ternyata program CSR dari PT SI yang hanya sebesar Rp. 12 juta per tahun. Jelas tidak begitu signifikan untuk

kapur ditambang. Bentuk CSR lainnya berupa penyediaan pun ternyata mandeg. Pelatihan kerja baru sekali. Bantuan beras

juga baru sekali, hanya 2,5 kilogram per keluarga. Itu pun setelah berkali-kali demo ke pabrik oleh Gerakan Pemuda Peduli Aspirasi Rakyat.

Selain itu menurut dokumen amdal, PT SI butuh 1751 pekerja dengan 1200 diantaranya adalah pekerja konstruksi dan PT SI pun berkewajiban untuk mempekerjakan 50% dari tenaga kerja non-skilled dari warga di kawasan Ring 1. Namun jika kita lihat populasi desa Tegaldowo saja, 4000 dari 5000 warganya adalah

upaya pembebasan lahan. Ketersediaan lowongan kerja dengan pencahariannya hilang karena tanahnya yang dijual ke PT SI. Tidak

PT SI juga berencana untuk memperbesar ekspor dan ekspansi pabrik ke pasar ASEAN. Dan pembangunan pabrik di Rembang ini

ekspor PT SI ke pasar ASEAN. Maka kesimpulannya, pembangunan pabrik baru PT Semen apalagi warga Rembang. Dalih peningkatan PAD, pertambahan perundang-undangan yang berlaku sudah cukup bagi kita untuk

pembangunan infrastruktur nasional MP3EI, tetapi sebagai bentuk pengumpulan profit sebanyak-banyaknya dalam pemenuhan

permintaan proyek property swasta.

Dari pendapatan desa yang berjumlah rata-rata 23 Milliar per tahun itu PPN atau PPh nya telah disumbangkan sebanyak 11% ke pemerintah, berarti setiap tahunnya Pemerintah Kabupaten Rembang mendapatkan Pendapatan Asli Daerah atas alokasi pemasukan sebanyak 2,3 Milliar per tahunnya dari produksi

pertanian satu desa di Kecamatan Gunem saja. Total 28 Desa di sekitar lokasi Pembangunan Pabrik Semen PT SI maka akan ada sekitar 60 milliar per tahun yang hilang apabila pabrik semen PT SI berdiri. Klaim PAD akan naik apabila adanya pembangunan pabrik telah terpatahkan.

Beralih ke pentingnya semen sebagai sektor pendukung agenda pembangunan negara yaitu Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pernyataan ini dijadikan dalil pada saat PT Semen Indonesia menang perkara di Pengadilan Tinggi Umum Negara pada 16 April kemarin. Dalil ini hanyalah justifikasi PT Semen Indonesia untuk membangun pabrik di Rembang sebagai upaya melancarkan agenda ekspansi dan dominasi perusahaannya di pasar semen Indonesia, bukannya untuk mendukung kebutuhan semen nasional yang akan menunjang pembangunan industri nasional dibawah MP3EI. Buktinya adalah, Kementrian Perindunstrian, Panggah Susanto, menjelaskan bahwa MP3EI harus menyebar fokusnya tidak hanya di Jawa tetapi luar jawa sehingga ia ingin menggeser permintaan semen ke luar jawa. Hal ini dikarenakan keharusan ketersediaan semen di luar jawa untuk mendukung distribusi konstruksi proyek-proyek MP3EI di Indonesia, 73% tersebar di luar jawa.

Selain hal-hal yang telah dipaparkan, pembangunan pabrik semen PT SI di Rembang juga diselimuti oleh retorika nasionalis lainnya misalnya melindungi ketahanan pasar industri semen dari goncangan produk asing ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN berlangsung. Lagi-lagi adalah argumen yang tidak relevan. Kondisi kompetisi industri semen Indonesia (yang tidak sehat karena karakteristik pasar yang oligopolis) belakangan turun geliatnya di pasar industri semen karena PT SI sebagai share leader mematok harga terlalu tinggi sehingga terjadi persaingan tidak sehat sampai pemerintah harus intervensi harga pasar semen untuk membujuk SI agar menurunkan harganya sebesar Rp. 3.000,00/sak sehingga harganya menjadi Rp. 60.000,00/sak. Hal ini dilakukan untuk merangkul perusahaan lain untuk masuk ke dalam kompetisi pasar

PT SI juga berencana untuk memperbesar ekspor dan ekspansi pabrik ke pasar ASEAN. Dan pembangunan pabrik di Rembang ini adalah salah satu yang nantinya dijadikan pemasok komoditas ekspor PT SI ke pasar ASEAN.

Maka kesimpulannya, pembangunan pabrik baru PT Semen Indonesia sejatinya bukanlah untuk kepentingan rakyat Indonesia,

apalagi warga Rembang. Dalih peningkatan PAD, pertambahan lapangan kerja dan landasan hukumnya yang bahkan menyalahi perundang-undangan yang berlaku sudah cukup bagi kita untuk melihat bahwa tujuan utama pembangunan pabrik semen di Rembang bukanlah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Rembang atau pemenuhan pasokan semen nasional dalam rangka pembangunan infrastruktur nasional MP3EI, tetapi sebagai bentuk dominasi dan ekspansi pasar dalam negeri dan agenda

pengumpulan profit sebanyak-banyaknya dalam pemenuhan permintaan proyek property swasta.

Dari pendapatan desa yang berjumlah rata-rata 23 Milliar per tahun itu PPN atau PPh nya telah disumbangkan sebanyak 11% ke

Rembang mendapatkan Pendapatan Asli Daerah atas alokasi pertanian satu desa di Kecamatan Gunem saja. Total 28 Desa di

sekitar lokasi Pembangunan Pabrik Semen PT SI maka akan ada sekitar 60 milliar per tahun yang hilang apabila pabrik semen PT SI berdiri. Klaim PAD akan naik apabila adanya pembangunan pabrik telah terpatahkan.

Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pernyataan ini dijadikan dalil pada saat PT Semen Indonesia menang perkara di Pengadilan Tinggi Umum Negara pada 16 April kemarin. Dalil ini hanyalah justifikasi PT Semen Indonesia untuk membangun pabrik

menunjang pembangunan industri nasional dibawah MP3EI. Buktinya adalah, Kementrian Perindunstrian, Panggah Susanto, menjelaskan bahwa MP3EI harus menyebar fokusnya tidak hanya

semen ke luar jawa. Hal ini dikarenakan keharusan ketersediaan proyek-proyek MP3EI di Indonesia, 73% tersebar di luar jawa. Selain hal-hal yang telah dipaparkan, pembangunan pabrik semen

PT SI di Rembang juga diselimuti oleh retorika nasionalis lainnya goncangan produk asing ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN

berlangsung. Lagi-lagi adalah argumen yang tidak relevan. Kondisi pasar industri semen karena PT SI sebagai share leader mematok

pemerintah harus intervensi harga pasar semen untuk membujuk SI agar menurunkan harganya sebesar Rp. 3.000,00/sak sehingga harganya menjadi Rp. 60.000,00/sak. Hal ini dilakukan untuk pemerintah harus intervensi harga pasar semen untuk membujuk SI agar menurunkan harganya sebesar Rp. 3.000,00/sak sehingga harganya menjadi Rp. 60.000,00/sak. Hal ini dilakukan untuk

(Alkatiri, 2010). Sejatinya, Indonesia adalah sebuah bangsa yang menjunjung tinggi

Hak Asasi Manusia. Hal ini terlihat pada tercantumnya prinisip-prinsip penegakan HAM pada dasar-dasar negara ini, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Dalam Pancasila, ada dua sila yang

pada sila ke dua dan sila ke lima. Sedangkan pada UUD 1945, pasal-pasal penjaminan akan hak asasi warganya terdapat dalam pasal 28, dimana dalam pasal ini terkandung 27 materi tentang Hak Asasi Manusia (Asshidiqie, 2005).

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) atau lebih sering disingkat DUHAM yang dideklarasikan di Paris pada tahun 1948. Kini, DUHAM lah yang

mendefiniskan HAM. Seperti kita ketahui bersama, kedua asas juga digali dari mutiara-mutiara kebijaksanaan hidup bangsa kita

sendiri. dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa menghargai hak asasi manusia. Niatan baik pemerintah Indonesia dalam perlindungan HAM juga

terlihat lebih serius pasca Reformasi 1998. MPR RI mengeluarkan Ketetapan MPR No. XVII/MPR 1998 tentang HAM untuk penegakan HAM di Indonesia. Melalui TAP ini, negara menghendaki agar pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lampau tidak lagi terjadi di