PENGUSAHA VS MASYARAKAT

PENGUSAHA VS MASYARAKAT

Setelah penguraian kerja politik dan implikasinya yang buruk, dipahami bahwa salah satu permasalahannya adalah dari komunikasi politik yang cacat dan memperburuk relasi antar aktor

politik. Padahal, dalam pembangunan skala besar semestinya dilakukan komunikasi politik yang baik, sebab pada dasarnya

konflik politik terjadi hanya karena adanya komunikasi yang terputus di antara aktor politik sehingga tidak terjadi keseragaman ataupun kesepakatan yang menjadi satu artikulasi kepentingan

bersama. Mengapa komunikasi politik dalam pembangunan sangat

diperlukan? Karena pada dasarnya ia memiliki lima fungsi dasar: (1) memberikan informasi kepada masyarakat terhadap apa yang

terjadi di sekitarnya, (2) mendidik masyarakat terhadap arti dan signifikansi fakta yang ada, (3) menyediakan diri sebagai platform untuk menampung masalah-masalah politik sehingga bisa menjadi wacana dalam membentuk public opinion dan mengembalikan hasil opini itu kepada masyarakat, (4) Membuat publikasi yang ditujukan kepada pemerintah dan institusi politik, dan (5)

membantu agar kebijakan dan program institusi politik dapat disalurkan (McNair, 1995). Namun dalam keberjalanan komunikasi politik yang ideal tersebu, malah cacat di tengah perjalanannya.

Contoh yang paling mudah adalah, setelah diambil beberapa sampel dari kelompok masyarakat, lalu ditanyakan hal yang sama: "Bagaimana tanggapan saudara terhadap pembangunan pabrik semen?" atau "Bagaimana anda dapat mengetahui adanya pembangunan pabrik semen?". "Tidak tahu" adalah jawaban yang sangat sering ditemukan, mengindikasikan bahwa ia tidak tahu menahu dan tidak perduli dengan apa yang akan terjadi ke depannya. Atau beberapa masyrakat yang menolak dengan tegas mengatakan "Saya menolak pabrik semen, alasannya karena pertanian kami... nasib anak cucu kami... kami tidak pernah diberitahu akan ada pertambangan". Berbagai alasan lain pun bergulir dan banyak sekali macamnya.

daya utama mereka. Membuat warga lalu menginisiasi tindakan politisnya dengan menggugat PT SI terkait pembangunan pabrik semen kepada Pengadilan Tinggi Umum Negeri (PTUN).

harus berwujud dalam tindakan perlawanan. Kepentingan sosio-kultural, tradisi dan ekologi menjadi alasan utama tindakan

politis tersebut. Meskipun kepentingan masyarakat termasuk

dipertahankan. Hal ini karena seperti yang sudah disinggung dibentuk untuk penyelenggaraan kebaikan bersama. Sehingga terllihat, bahwa dalam dinamika medan politik Rembang karena perbedaan kepentingan dan nilai antara aktor politik.

Konflik tersebut juga akan mengganggu stabilitas politik baik secara makro ataupun mikro di antara seluruh aktor. Masing-masing akhirnya berlomba-lomba untuk menaikkan nilai tawar mereka supaya memenangkan perseteruan ini. Pihak perusahaan

peraturan perundang-undangan dan telah berkekuatan hukum. Sedangkan masyarakat yang ingin Pemerintah mencabut izin

syarat penguatan gugatan melalui proses hukum.

terhadap konflik politik ini, berita-berita miring yang menyalahkan ketiga pihak tidak dapat dihindari dan terus bermunculan.

saling bertentangan. Padahal, dalam pengambilan keputusan politik, harus bisa melibatkan dan menyeimbangkan tiga hal.

Secara ekstratif (penyerapan sumber-sumber material dan manusia dari masyarakat), distributif (alokasi sumber-sumber

masyarakat). Tindakan penculikan, intimidasi, dan kekerasan yang justru memecah belah masyarakat sebagai satu kesatuan. apa yang dilakukan Ganjar Pranowo dalam menanggapi konflik ini

memutuskan untuk bertindak sendiri. Maka dari itu dianggap wajar mengapa masyarakat melakukan aksi perlawanan besar-besaran terhadap pemerintahnya sendiri.

kekuatannya sebagai instrumen politik terbesar dalam konflik Rembang ini. Karena asal mula kekacauan bukan berasal dari

Pemerintah itu sendiri. Yang jelas, apabila tidak ada inisiatif yang darah dan instabilitas politik yang semakin besar.

Politik sebagai cita-cita keputusan akan kebaikan bersama seluruh pihak tidak akan pernah tercapai. Melainkan akan semakin

dan dilemahkan, siapa yang paling diuntungkan dan dikorbankan. kepentingan segala pihak. Sebab politik adalah hal-hal yang

suatu wilayah tertentu. Politik yang merupakan "the art of possible" sebab kebijakan tersebut sangat sulit untuk diterapkan. Kemudian,

dalam memunculkan upaya mendamaikan persoalan. Alih-alih kepentingan nasional demi terbangunnya pabrik semen. Di

masyarakat yang dibantu aktivis dan LSM terus berkoar menuntut diberhentikannya pendirian pabrik.

Konflik politik skala mikro tidak terelakkan, pertentangan menghambat terjadinya solusi. Dengan terang-terangan spanduk

bertuliskan "Warung Pro Semen" dipasang bersebelahan dengan mural "Tolak Pabrik Semen" di pemukiman warga. Ibu-Ibu

yang mereka punya. Sayangnya, dalam skala makro, kelompok kelompok yang lemah. Pemerintah mengalokasikan kebijakannya

terayomi.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa jawaban muncul karena adanya kepentingan mereka yang dirasa tidak didengarkan ataupun tidak terkomunikasikan dengan baik. Bagi beberapa yang setuju dengan pembangunan pabrik, mereka menjawab "Saya setuju dengan pembangunan, karena akan memajukan daerah

saya dan memberi saya pekerjaan". Jawaban tersebut muncul beberapa kali dengan keseragaman, mengindikasikan bahwa

mereka merasa pembangunan ini akan berdampak baik bagi dirinya maupun daerahnya.

Berbagai jawaban itu lalu umum disebut sebagai opini publik, tetapi kenapa opini tersebut tidak juga seragam? Justru berbeda-beda dengan kutub yang berlawanan? Dari sini bisa disimpulkan bahwa ada beberapa masyarakat yang terfragmentasi dari kebijakan politik yang telah diputuskan dan terpisah dari

informasi yang beredar secara kepentingan seharusnya. Masyarakat yang menolak ataupun tidak tahu menahu, berarti

memang tidak terdidik dengan baik apabila disesuaikan dengan realitas fakta kepentingan yang ingin diwujudkan di Rembang, yaitu pembangunan pabrik semen yang lancar. Jika komunikasi politik dilihat sebagai jembatan metodologis oleh Pemerintah dan Pengusaha, maka akan terjadi proses penciptaan kebersamaan dalam makna (the commonness in meaning) tentang fakta dan kepentingan politik. Tidak lancarnya komunikasi tersebut mau tak mau melahirkan konsekuensi dan akibat politik yang

mempengaruhi perilaku politik. Konflik, berdirinya lembaga perlawanan dan penyerangan terhadap institusi politik juga sekali

lagi harus dimaklumi karena adanya cacat komunikasi politik baik oleh Pemerintah ataupun Pengusaha.

Apabila kebersamaan makna politik publik bisa dijaga, Pemerintah ataupun Perusahaan tidak akan terganggu kepentingannya,

sayangnya hal ini sudah tidak bisa lagi menjadi antisipasi tindakan namun harus ditemukan solusi pemecahannya. Pemerintah pasti

mengerti, bahwa komunikasi politik adalah sebagai bentuk penyampaian pesan yang disusun secara sengaja dan terencana untuk memperoleh pengaruh terhadap penyebaran atau penggunaan power (kekuasaan) di tengah masyarakat. Malangnya, pengertian itu tidak terlaksana di lapangan secara teknis.

Masyarakat sekarang justru berperang dengan institusi politik Pemerintah dan Penguasa. Mereka yang seharusnya sebagai pihak

pernah secara terang-terangan dilakukan di hadapan Ganjar sendiri. Ketika ia hadir di tapak pabrik untuk bertemu dengan

tangan tanda niat bersalaman. Di situ terlihat jelas bahwa warga dengan pemimpinnya. Hal serupa juga terjadi kepada Suyanto menanyakan perihal pembangunan pabrik semen. Aktor politik

sisanya seperti H. Abdul Hafidz (Wakil Bupati) dan Sunarto (Ketua

jarak di antara mereka. Sekarang sama dimengerti bahwa bentuk perlawanan dan

ketidak-berfungsinya sistem komunikasi politik. Padahal, dalam kata-kata, efektifitas komunikasi, dan bentuk penjelasan bahasa

politik. Melainkan substansi informasi yang dihadirkan, sehingga politik dilaksanakan (Graber, 1981). Lalu apa substansi informasi

yang dihadirkan di Rembang? Sebenarnya hampir tidak ada sama menutup-nutupi informasi terhadap masyarakat luas, dan kepentingan tersebut.

komunikasi: apa yang ia pikir dan rasakan tergantung pengalaman-pengalaman sebelumnya baik pesan verbal ataupun nonverbal (Vardiansyah, 2004). Melihat pola komunikasi

menerima pesannya, justru menyingkapkan motif mereka. Bahwa

Dampak-dampak yang dialami oleh masyarakat situs proyek dan perubahan sosial yang tengah berjalan (Joyce&MacFarlane,

2001). Sebagai gambaran situasi awal, masyarakat desa-desa di petani. Karenanya, struktur sosialnya terbentuk dalam

paguyuban-paguyuban tani untuk berbagi pengalaman seputar panen. Dinamika sosial ini mencerminkan tradisi agraris yang

kental dalam kehidupan masyarakat setempat. Kearifan sosial masyarakat agraris juga terefleksi dalam aktivitas barter hasil panen.

Sebaliknya, logika PT SI dan pemerintah memproyeksikan bahwa sosial. Kepala Biro Humas PT SI Abimanyu mengatakan bahwa

usaha kuliner, kontrakan, atau kos-kosan terbilang prospektif menjelang berdirinya pabrik semen (mataairradio, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Budi Sulistyo: “...mengubah budaya

budaya industri yang mengandalkan keahlian (Ardianto, 2015).

hidup masyarakat industri.

Namun hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Pertama, pihak informasi dengan memisah-misahkan receiver (penerima pesan)

dalam jalur komunikasi politik. Kedua, medium penyampai pesan dibuat sehingga pesan tidak transparan dan multiinterpretasi. receiver, sehingga tidak terjadi kesesuaian antara pesan yang ingin

disampaikan dan pesan yang diterima. Sebagai contoh fakta di Rembang, Ganjar Pranowo dianggap yang dianggap tidak efektif (Dwicipta, 2014). Ketika Ganjar dihujat

beramai-ramai di media sosial Twitter ketika ia memberikan semen. Ganjar secara innocent menyatakan bahwa ia tidak tahu

apa-apa sebelumnya soal Rembang, padahal secara logika kebijakan politik, surat tembusan haruslah melalui Ganjar. Ganjar

dengannya. Ganjar dalam audiensi menanyai orang-orang yang

gugatan warga yang menolak. Sehingga dalam proses politik yang tersebut.

sebelumnya telah berada di kawasan mereka. Berkurangnya air, penolakan tapi tidak didengarkan oleh pihak perusahaan.

mereka melakukan penolakan besar-besaran, berhubung perusahaan tambang yang didirikan berskala besar. Menyebabkan

wilayah mereka. jelas, bahwa rata-rata dari mereka adalah pejabat desa ataupun terhadap daerah mereka. Setelah disurvey di lapangan pun,

rata-rata dari mereka adalah pemilik warung dan bukanlah petani yang bekerja di ladang. Kalaupun mereka petani, kebanyakan tanahnya adalah tanah yang ditawari akan dibeli oleh perusahaan. Maka dengan ini, jelas pula motif dari aktor-aktor yang terlibat dalam komunikasi politik di Rembang.

membenahi tuntutan masyarakat. Masyarakat yang menolak juga harus memiliki kekuatan hukum yang sama sebelumnya. Maka

perseteruan ini hanyalah berujung di Pengadilan. Kubu-kubu ini mempertemukan kepentingan mereka. Namun, hal ini memang

benar-benar sulit dilakukan, berhubung komunikasi politik yang awalnya pun sudah tidak memiliki etika dalam berpolitik.

sisanya seperti H. Abdul Hafidz (Wakil Bupati) dan Sunarto (Ketua

masyarakat agraris juga terefleksi dalam aktivitas barter hasil

Namun hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Pertama, pihak pemerintah atau institusi politik menyembunyikan beberapa informasi dengan memisah-misahkan receiver (penerima pesan)

terhadap daerah mereka. Setelah disurvey di lapangan pun,

dalam jalur komunikasi politik. Kedua, medium penyampai pesan tidak menyesuaikan fakta yang ada dengan kebijakan politik yang

kata-kata, efektifitas komunikasi, dan bentuk penjelasan bahasa

mempengaruhi perilaku politik. Konflik, berdirinya lembaga

dibuat sehingga pesan tidak transparan dan multiinterpretasi. Ketiga, bahasa komunikasi politik tidak menyesuaikan dengan para receiver, sehingga tidak terjadi kesesuaian antara pesan yang ingin

disampaikan dan pesan yang diterima. Sebagai contoh fakta di Rembang, Ganjar Pranowo dianggap

sebagai seorang politis yang culas akibat komunikasi politiknya yang dianggap tidak efektif (Dwicipta, 2014). Ketika Ganjar dihujat beramai-ramai di media sosial Twitter ketika ia memberikan pernyataan dalam audiensi dengar pendapat di tapak pabrik semen. Ganjar secara innocent menyatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa sebelumnya soal Rembang, padahal secara logika kebijakan politik, surat tembusan haruslah melalui Ganjar. Ganjar

pengalaman-pengalaman sebelumnya baik pesan verbal ataupun

nonverbal (Vardiansyah, 2004). Melihat pola komunikasi

juga diketahui menyeleksi orang yang akan melakukan audiensi

dengannya. Ganjar dalam audiensi menanyai orang-orang yang ingin bertemu dia, kalau bukan warga asli Rembang ia tidak mau

ataupun tidak terkomunikasikan dengan baik. Bagi beberapa yang setuju dengan pembangunan pabrik, mereka menjawab "Saya

saya dan memberi saya pekerjaan". Jawaban tersebut muncul dirinya maupun daerahnya.

berbeda-beda dengan kutub yang berlawanan? Dari sini bisa informasi yang beredar secara kepentingan seharusnya.

pembangunan pabrik semen yang lancar. Jika komunikasi politik

kepentingan politik. Tidak lancarnya komunikasi tersebut mau tak mempengaruhi perilaku politik. Konflik, berdirinya lembaga

oleh Pemerintah ataupun Pengusaha. Apabila kebersamaan makna politik publik bisa dijaga, Pemerintah

namun harus ditemukan solusi pemecahannya. Pemerintah pasti

penggunaan power (kekuasaan) di tengah masyarakat. Malangnya, pengertian itu tidak terlaksana di lapangan secara teknis.

Pemerintah dan Penguasa. Mereka yang seharusnya sebagai pihak

Komunikasi politik dari masyarakat terhadap Ganjar bahkan pernah secara terang-terangan dilakukan di hadapan Ganjar sendiri. Ketika ia hadir di tapak pabrik untuk bertemu dengan

warga yang berdemo, beberapa warga tampak tidak mau bersalaman dengannya meskipun Ganjar sudah melonjorkan tangan tanda niat bersalaman. Di situ terlihat jelas bahwa warga menentukan sikap politiknya dan mengkomunikasikannya terhadap Ganjar, sebagai sinyal bahwa masyarakat berpisah dengan pemimpinnya. Hal serupa juga terjadi kepada Suyanto (Kepala Desa Tegaldowo) dan Teguh Gunawarman (Camat Gunem) yang memberikan jawaban seperti yang Ganjar berikan saat warga menanyakan perihal pembangunan pabrik semen. Aktor politik sisanya seperti H. Abdul Hafidz (Wakil Bupati) dan Sunarto (Ketua

DPRD Rembang) yang mengkonfrontasi warga dengan saran agar mendukung pembangunan pabrik semen terhadap warga yang menolak hanya memperkeruh suasana politik dan memperluas jarak di antara mereka.

Sekarang sama dimengerti bahwa bentuk perlawanan dan terpisahnya masyarakat dari pemimpinnya adalah sebuah objek komunikasi politik yang dihasilkan (political outcomes) dari ketidak-berfungsinya sistem komunikasi politik. Padahal, dalam komunikasi politik sebagian besar kuncinya bukan saja permainan kata-kata, efektifitas komunikasi, dan bentuk penjelasan bahasa politik. Melainkan substansi informasi yang dihadirkan, sehingga menjadi sebuah setting dan makna yang sama ketika kebijakan politik dilaksanakan (Graber, 1981). Lalu apa substansi informasi yang dihadirkan di Rembang? Sebenarnya hampir tidak ada sama sekali, karena pihak Pemerintah dan Penguasa seakan

menutup-nutupi informasi terhadap masyarakat luas, dan menyeleksi masyarakat yang akan bekerja sama menyukseskan

kepentingan tersebut. Dalam setiap pesan dari komunikasi politik yang dilakukan, dapat

ditelaah sebuah makna yang merupakan wujud dari motif komunikasi: apa yang ia pikir dan rasakan tergantung pengalaman-pengalaman sebelumnya baik pesan verbal ataupun nonverbal (Vardiansyah, 2004). Melihat pola komunikasi

Pemerintah dan Penguasa dengan menyeleksi masyarakat yang menerima pesannya, justru menyingkapkan motif mereka. Bahwa

Dampak-dampak yang dialami oleh masyarakat situs proyek dan perubahan sosial yang tengah berjalan (Joyce&MacFarlane,

2001). Sebagai gambaran situasi awal, masyarakat desa-desa di petani. Karenanya, struktur sosialnya terbentuk dalam

paguyuban-paguyuban tani untuk berbagi pengalaman seputar panen. Dinamika sosial ini mencerminkan tradisi agraris yang

kental dalam kehidupan masyarakat setempat. Kearifan sosial masyarakat agraris juga terefleksi dalam aktivitas barter hasil panen.

Sebaliknya, logika PT SI dan pemerintah memproyeksikan bahwa sosial. Kepala Biro Humas PT SI Abimanyu mengatakan bahwa

usaha kuliner, kontrakan, atau kos-kosan terbilang prospektif menjelang berdirinya pabrik semen (mataairradio, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Budi Sulistyo: “...mengubah budaya

budaya industri yang mengandalkan keahlian (Ardianto, 2015).

hidup masyarakat industri.

Namun hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Pertama, pihak informasi dengan memisah-misahkan receiver (penerima pesan)

dalam jalur komunikasi politik. Kedua, medium penyampai pesan dibuat sehingga pesan tidak transparan dan multiinterpretasi. receiver, sehingga tidak terjadi kesesuaian antara pesan yang ingin

disampaikan dan pesan yang diterima. Sebagai contoh fakta di Rembang, Ganjar Pranowo dianggap yang dianggap tidak efektif (Dwicipta, 2014). Ketika Ganjar dihujat

beramai-ramai di media sosial Twitter ketika ia memberikan semen. Ganjar secara innocent menyatakan bahwa ia tidak tahu

apa-apa sebelumnya soal Rembang, padahal secara logika kebijakan politik, surat tembusan haruslah melalui Ganjar. Ganjar

dengannya. Ganjar dalam audiensi menanyai orang-orang yang

gugatan warga yang menolak. Sehingga dalam proses politik yang tersebut.

sebelumnya telah berada di kawasan mereka. Berkurangnya air, penolakan tapi tidak didengarkan oleh pihak perusahaan.

mereka melakukan penolakan besar-besaran, berhubung perusahaan tambang yang didirikan berskala besar. Menyebabkan

wilayah mereka. jelas, bahwa rata-rata dari mereka adalah pejabat desa ataupun terhadap daerah mereka. Setelah disurvey di lapangan pun,

rata-rata dari mereka adalah pemilik warung dan bukanlah petani yang bekerja di ladang. Kalaupun mereka petani, kebanyakan tanahnya adalah tanah yang ditawari akan dibeli oleh perusahaan. Maka dengan ini, jelas pula motif dari aktor-aktor yang terlibat dalam komunikasi politik di Rembang.

membenahi tuntutan masyarakat. Masyarakat yang menolak juga harus memiliki kekuatan hukum yang sama sebelumnya. Maka

perseteruan ini hanyalah berujung di Pengadilan. Kubu-kubu ini mempertemukan kepentingan mereka. Namun, hal ini memang

benar-benar sulit dilakukan, berhubung komunikasi politik yang awalnya pun sudah tidak memiliki etika dalam berpolitik.

ataupun tidak terkomunikasikan dengan baik. Bagi beberapa yang setuju dengan pembangunan pabrik, mereka menjawab "Saya

saya dan memberi saya pekerjaan". Jawaban tersebut muncul dirinya maupun daerahnya.

berbeda-beda dengan kutub yang berlawanan? Dari sini bisa informasi yang beredar secara kepentingan seharusnya.

pembangunan pabrik semen yang lancar. Jika komunikasi politik

kepentingan politik. Tidak lancarnya komunikasi tersebut mau tak mempengaruhi perilaku politik. Konflik, berdirinya lembaga

oleh Pemerintah ataupun Pengusaha. Apabila kebersamaan makna politik publik bisa dijaga, Pemerintah

namun harus ditemukan solusi pemecahannya. Pemerintah pasti

penggunaan power (kekuasaan) di tengah masyarakat. Malangnya, pengertian itu tidak terlaksana di lapangan secara teknis.

Pemerintah dan Penguasa. Mereka yang seharusnya sebagai pihak

pernah secara terang-terangan dilakukan di hadapan Ganjar sendiri. Ketika ia hadir di tapak pabrik untuk bertemu dengan

tangan tanda niat bersalaman. Di situ terlihat jelas bahwa warga dengan pemimpinnya. Hal serupa juga terjadi kepada Suyanto menanyakan perihal pembangunan pabrik semen. Aktor politik

sisanya seperti H. Abdul Hafidz (Wakil Bupati) dan Sunarto (Ketua

jarak di antara mereka. Sekarang sama dimengerti bahwa bentuk perlawanan dan

ketidak-berfungsinya sistem komunikasi politik. Padahal, dalam kata-kata, efektifitas komunikasi, dan bentuk penjelasan bahasa

politik. Melainkan substansi informasi yang dihadirkan, sehingga politik dilaksanakan (Graber, 1981). Lalu apa substansi informasi

yang dihadirkan di Rembang? Sebenarnya hampir tidak ada sama menutup-nutupi informasi terhadap masyarakat luas, dan kepentingan tersebut.

komunikasi: apa yang ia pikir dan rasakan tergantung pengalaman-pengalaman sebelumnya baik pesan verbal ataupun nonverbal (Vardiansyah, 2004). Melihat pola komunikasi

menerima pesannya, justru menyingkapkan motif mereka. Bahwa

Dampak-dampak yang dialami oleh masyarakat situs proyek dan perubahan sosial yang tengah berjalan (Joyce&MacFarlane,

2001). Sebagai gambaran situasi awal, masyarakat desa-desa di petani. Karenanya, struktur sosialnya terbentuk dalam

paguyuban-paguyuban tani untuk berbagi pengalaman seputar panen. Dinamika sosial ini mencerminkan tradisi agraris yang

kental dalam kehidupan masyarakat setempat. Kearifan sosial masyarakat agraris juga terefleksi dalam aktivitas barter hasil panen.

Sebaliknya, logika PT SI dan pemerintah memproyeksikan bahwa sosial. Kepala Biro Humas PT SI Abimanyu mengatakan bahwa

usaha kuliner, kontrakan, atau kos-kosan terbilang prospektif menjelang berdirinya pabrik semen (mataairradio, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Budi Sulistyo: “...mengubah budaya

budaya industri yang mengandalkan keahlian (Ardianto, 2015).

hidup masyarakat industri.

Namun hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Pertama, pihak informasi dengan memisah-misahkan receiver (penerima pesan)

dalam jalur komunikasi politik. Kedua, medium penyampai pesan dibuat sehingga pesan tidak transparan dan multiinterpretasi. receiver, sehingga tidak terjadi kesesuaian antara pesan yang ingin

disampaikan dan pesan yang diterima. Sebagai contoh fakta di Rembang, Ganjar Pranowo dianggap yang dianggap tidak efektif (Dwicipta, 2014). Ketika Ganjar dihujat

beramai-ramai di media sosial Twitter ketika ia memberikan semen. Ganjar secara innocent menyatakan bahwa ia tidak tahu

apa-apa sebelumnya soal Rembang, padahal secara logika kebijakan politik, surat tembusan haruslah melalui Ganjar. Ganjar

dengannya. Ganjar dalam audiensi menanyai orang-orang yang

sempat hengkang dari tapak pabriknya karena dikalahkan oleh gugatan warga yang menolak. Sehingga dalam proses politik yang terjadi di Rembang, Pengusaha tidak ingin hal serupa terulang, maka dari itu ia melakukan pola komunikasi politik yang tidak etis tersebut.

Masyarakat sendiri menolak karena didasari motif berupa pengalaman buruk terhadap perusahaan tambang skala kecil yang sebelumnya telah berada di kawasan mereka. Berkurangnya air,

debu yang dihasilkan transportasi pabrik dan menutupi pertanian mereka dan menyebabkan rusaknya tanaman, melakukan aksi penolakan tapi tidak didengarkan oleh pihak perusahaan. Merupakan hasil akumulasi pengalaman yang menjadi motif mereka melakukan penolakan besar-besaran, berhubung perusahaan tambang yang didirikan berskala besar. Menyebabkan ketakutan masyarakat yang besar akan kerusakan yang terjadi di wilayah mereka.

Masyarakat yang pro terhadap pembangunan semen pun motifnya jelas, bahwa rata-rata dari mereka adalah pejabat desa ataupun warga yang selalu diseleksi sebelumnya dan memahami mengapa pembangunan pabrik semen perlu didirikan dan apa dampak terhadap daerah mereka. Setelah disurvey di lapangan pun, rata-rata dari mereka adalah pemilik warung dan bukanlah petani yang bekerja di ladang. Kalaupun mereka petani, kebanyakan tanahnya adalah tanah yang ditawari akan dibeli oleh perusahaan. Maka dengan ini, jelas pula motif dari aktor-aktor yang terlibat dalam komunikasi politik di Rembang.

Hal ini membuat menemukan bagaimana solusi pemecahan masalahnya secara politis pun sulit, karena sampai sekarang pihak Pemerintah dan Pengusaha masih belum mau turun tangan untuk membenahi tuntutan masyarakat. Masyarakat yang menolak juga seakan dipersulit untuk melakukan komunikasi karena mereka harus memiliki kekuatan hukum yang sama sebelumnya. Maka perseteruan ini hanyalah berujung di Pengadilan. Kubu-kubu ini haruslah mau bekerja sama dalam interaksi politik untuk dapat mempertemukan kepentingan mereka. Namun, hal ini memang benar-benar sulit dilakukan, berhubung komunikasi politik yang

sebagian besar dilakukan oleh Pemerintah dan Pengusaha dari awalnya pun sudah tidak memiliki etika dalam berpolitik.