PSIKOLOGI - SOSIAL KONFLIK REMBANG

PSIKOLOGI - SOSIAL KONFLIK REMBANG

Menurut tulisan C. Seymour (2003), dimensi-dimensi dalam dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan (3)identitas. Berdasarkan dimensi-dimensi ini, pengetahuan akan sejarah, pembangunan kesadaran dan empati, menyesuaikan legitimasi, dan memetakan ketakutan menjadi kunci-kunci resolusi konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui dimensi-dimensi ini.

Setelah mengetahui adanya rencana pembangunan pabrik semen, perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik pertambangan pun muncul, misalnya kasus Freeport di Papua dan kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan oleh perusahaan tambang menunjukkan bahwa pertambangan menggusur warga lokal. Janji-janji perusahaan untuk

Analisis selanjutnya adalah ketakutan yang meruap di masyarakat konflik. Analisis ini nantinya akan berkaitan dengan konsultasi non (grievance-handling procedures) yang diselenggarakan oleh PT. SI

dan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan dalam rekam kronologis, WIUP melalui Surat Keputusan Bupati tentang pemberian izin lokasi kepada PT.SI tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kepala desa dan pihak

jawaban yang pasti. memperburuk situasi. Konsultasi dan simposium yang

diselenggarakan PT. SI tidak mampu meredam keluhan dan masa lalu. Di sisi lain, janji DPRD Rembang untuk membentuk

juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan intimidasi hingga ancaman penculikan. Tuduhan dan intimidasi merupakan salah satu pemicu ketegangan sosial-psikologis.

produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko Priyanto pada 16 Juni 2014 merupakan contoh lain betapa

masyarakat atas pemerintah dan perusahaan. Tindakan polisi dalam pengepungan tenda ibu-ibu petani yang tengah melakukan

tangisan di tengah wiridan mereka. Di sisi lain, warga kontra juga melakukan cara-cara intimidatif

untuk menunjukkan perlawanan sehingga pihak PT.SI dan pro semen juga merasakan ancaman. Misalnya, pada tanggal 19 September 2013, Ketua DPRD Rembang, Sunarto beserta sang wakil Catur Winarto, perangkat desa Tegaldowo, serta perangkat

yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Warga Samin yang memiliki pengalaman penolakan pabrik semen PT.SI di Pati pun

terhadap tambang semen. Respon dan kekhawatiran akan adanya fakta-fakta historis kasus sebelumnya inilah yang menjadi latar belakang psikologi sosial masyarakat.

Interaksi masyarakat yang terbagi menjadi kutub-kutub ini tentunya membangun persepsi yang terbentuk karena nilai-nilai

terhadap sumber daya. Jika elemen-elemen ini dipandang saling berhubungan dan akan melemahkan pihak tertentu, maka konflik akan mengeskalasi. Teori Citra Cermin menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan citra paralel satu sama lain,

banyak dianggap negatif. Kekerasan dan agresi diasosiasikan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok sendiri.

Dalam konflik Rembang, dimana pihak yang kalah tidak akan semen. Masing-masing pihak pun menganggap dirinya

mengemban tugas mulia. PT.SI dan kelompok pro PT.SI pembangunan ekonomi sekaligus kesejahteraan lokal. Sementara dan lingkungan.

berinteraksi dalam suatu lingkungan. Persepsi diri mendasari sosial-psikologis. Identitas dan persepsi diri ini nantinya menjadi memandang suatu hegemoni yang lain. Identitas bukanlah konsep pada momentum historis tertentu. Konsepsi identitas ini nantinya

akan mempengaruhi proses-proses konflik. Dalam konflik Rembang

ini membagi komunitas menjadi fragmen-fragmen (belum lagi cerita tipikal tentang pejabat-pejabat lokal yang mengambil keuntungan dari konflik yang menciptakan wahana konflik tersendiri). Ada kelompok-kelompok yang menyetujui impian kemajuan dari modernisasi dan industrialisasi. Kelompok masyarakat pro-semen ini mendukung percepatan pembangunan pabrik agar lapangan pekerjaan baru segera terbuka. Namun di sisi lain, kelompok-kelompok kontra bermunculan. Perubahan paksa

mendapatkan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat setempat karena dinilai mengabaikan aspek-aspek ekologis dan mencederai nilai-nilai kultural masyarakat. Pada tanggal 25 September 2014, misalnya massa beramai-ramai berdemonstrasi untuk mendukung pendirian PT. SI di depan Kantor Bupati

semen melakukan aksi pada tanggal 23 September 2014 (Suara Merdeka, 2015). Dalam film Samin vs Semen (2015), nampak

makan pro-semen”. Sementara di sudut lain nampak mural bertajuk “Tolak Pabrik Semen”.

Menurut tulisan C. Seymour (2003), dimensi-dimensi dalam dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan (3)identitas. Berdasarkan dimensi-dimensi ini, pengetahuan akan

legitimasi, dan memetakan ketakutan menjadi kunci-kunci resolusi konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui dimensi-dimensi ini.

Setelah mengetahui adanya rencana pembangunan pabrik semen, perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik pertambangan pun muncul, misalnya kasus Freeport di Papua dan kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan

menggusur warga lokal. Janji-janji perusahaan untuk

Analisis selanjutnya adalah ketakutan yang meruap di masyarakat konflik. Analisis ini nantinya akan berkaitan dengan konsultasi non (grievance-handling procedures) yang diselenggarakan oleh PT. SI

dan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan dalam rekam kronologis, WIUP melalui Surat Keputusan Bupati tentang pemberian izin lokasi kepada PT.SI tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kepala desa dan pihak

jawaban yang pasti. memperburuk situasi. Konsultasi dan simposium yang

diselenggarakan PT. SI tidak mampu meredam keluhan dan masa lalu. Di sisi lain, janji DPRD Rembang untuk membentuk

juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan intimidasi hingga ancaman penculikan. Tuduhan dan intimidasi merupakan salah satu pemicu ketegangan sosial-psikologis.

produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko Priyanto pada 16 Juni 2014 merupakan contoh lain betapa

masyarakat atas pemerintah dan perusahaan. Tindakan polisi dalam pengepungan tenda ibu-ibu petani yang tengah melakukan

tangisan di tengah wiridan mereka. Di sisi lain, warga kontra juga melakukan cara-cara intimidatif

untuk menunjukkan perlawanan sehingga pihak PT.SI dan pro semen juga merasakan ancaman. Misalnya, pada tanggal 19 September 2013, Ketua DPRD Rembang, Sunarto beserta sang wakil Catur Winarto, perangkat desa Tegaldowo, serta perangkat

bahwa reklamasi lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tambang tidak sebanding dengan dampak degradasi lingkungan yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Warga Samin yang memiliki pengalaman penolakan pabrik semen PT.SI di Pati pun turut terlibat sebagai aktor ketika mendukung warga yang kontra

terhadap tambang semen. Respon dan kekhawatiran akan adanya fakta-fakta historis kasus sebelumnya inilah yang menjadi latar belakang psikologi sosial masyarakat.

Interaksi masyarakat yang terbagi menjadi kutub-kutub ini tentunya membangun persepsi yang terbentuk karena nilai-nilai

dan ancaman antar kelompok, distribusi kekuasaan, dan kontrol terhadap sumber daya. Jika elemen-elemen ini dipandang saling berhubungan dan akan melemahkan pihak tertentu, maka konflik akan mengeskalasi. Teori Citra Cermin menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan citra paralel satu sama lain,

dimana persepsi diri dianggap positif dan persepsi yang lain lebih banyak dianggap negatif. Kekerasan dan agresi diasosiasikan dengan pihak lain sementara kebajikan dan keadilan diasosiaikan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok sendiri. Dalam konflik Rembang, dimana pihak yang kalah tidak akan

mendapatkan hak akan tanah yang akan digunakan sebagai pabrik semen. Masing-masing pihak pun menganggap dirinya mengemban tugas mulia. PT.SI dan kelompok pro PT.SI

menganggap diri sebagai pihak yang hendak memajukan pembangunan ekonomi sekaligus kesejahteraan lokal. Sementara itu, pihak kontra menganggap diri sebagai pejuang keadilan sosial dan lingkungan.

Identitas dapat dideskripsikan sebagai norma, kepercayaan, praktik, dan tradisi dimana seseorang atau sebuah kelompok berinteraksi dalam suatu lingkungan. Persepsi diri mendasari pemikiran tentang identitas, komponen utama dalam analisis sosial-psikologis. Identitas dan persepsi diri ini nantinya menjadi

lensa untuk meneropong dan memberikan kita kemampuan untuk memandang suatu hegemoni yang lain. Identitas bukanlah konsep yang kekal, melainkan sesuatu yang terus berubah bergantung pada momentum historis tertentu. Konsepsi identitas ini nantinya akan mempengaruhi proses-proses konflik. Dalam konflik Rembang

ini, identitas tradisi yang dimiliki masyarakat setempat sebagai masyarakat agraris dengan segala kearifan lokalnya memandang

ini membagi komunitas menjadi fragmen-fragmen (belum lagi cerita tipikal tentang pejabat-pejabat lokal yang mengambil keuntungan dari konflik yang menciptakan wahana konflik tersendiri). Ada kelompok-kelompok yang menyetujui impian kemajuan dari modernisasi dan industrialisasi. Kelompok masyarakat pro-semen ini mendukung percepatan pembangunan pabrik agar lapangan pekerjaan baru segera terbuka. Namun di sisi lain, kelompok-kelompok kontra bermunculan. Perubahan paksa

mendapatkan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat setempat karena dinilai mengabaikan aspek-aspek ekologis dan mencederai nilai-nilai kultural masyarakat. Pada tanggal 25 September 2014, misalnya massa beramai-ramai berdemonstrasi untuk mendukung pendirian PT. SI di depan Kantor Bupati

semen melakukan aksi pada tanggal 23 September 2014 (Suara Merdeka, 2015). Dalam film Samin vs Semen (2015), nampak

makan pro-semen”. Sementara di sudut lain nampak mural bertajuk “Tolak Pabrik Semen”.

Menurut tulisan C. Seymour (2003), dimensi-dimensi dalam dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan (3)identitas. Berdasarkan dimensi-dimensi ini, pengetahuan akan

legitimasi, dan memetakan ketakutan menjadi kunci-kunci resolusi konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui dimensi-dimensi ini.

Setelah mengetahui adanya rencana pembangunan pabrik semen, perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik pertambangan pun muncul, misalnya kasus Freeport di Papua dan kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan

menggusur warga lokal. Janji-janji perusahaan untuk

Analisis selanjutnya adalah ketakutan yang meruap di masyarakat akibat wacana pendirian pabrik semen serta ketegangan akibat

konflik. Analisis ini nantinya akan berkaitan dengan konsultasi non partisipatoris dan kegagalan prosedur penanganan keluhan (grievance-handling procedures) yang diselenggarakan oleh PT. SI dan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan dalam rekam kronologis, WIUP melalui Surat Keputusan Bupati tentang pemberian izin lokasi kepada PT.SI tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kepala desa dan pihak kecamatan yang didatangi oleh warga pun tidak memberikan

jawaban yang pasti. Kegagalan prosedur penanganan keluhan pun pada akhirnya

memperburuk situasi. Konsultasi dan simposium yang diselenggarakan PT. SI tidak mampu meredam keluhan dan kekhawatiran pihak kontra karena masih berlandas pada pola pikir neoklasik modernis yang terbukti gagal dalam berbagai kasus di masa lalu. Di sisi lain, janji DPRD Rembang untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) demi menyelesaikan kasus tersebut belum juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan mendiskusikan situasi tersebut pun seringkali ditanggapi dengan intimidasi hingga ancaman penculikan. Tuduhan dan intimidasi dari pemerintah desa terhadap Paguyuban Katentreman, misalnya, merupakan salah satu pemicu ketegangan sosial-psikologis. Paguyuban yang pada faktanya membahas tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama, pemupukan dan produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko Priyanto pada 16 Juni 2014 merupakan contoh lain betapa keterlibatan aparat keamanan memperuncing ketidakpercayaan masyarakat atas pemerintah dan perusahaan. Tindakan polisi dalam pengepungan tenda ibu-ibu petani yang tengah melakukan protes juga menimbulkan ketakutan psikologis yang nampak dalam tangisan di tengah wiridan mereka.

Di sisi lain, warga kontra juga melakukan cara-cara intimidatif untuk menunjukkan perlawanan sehingga pihak PT.SI dan pro semen juga merasakan ancaman. Misalnya, pada tanggal 19 September 2013, Ketua DPRD Rembang, Sunarto beserta sang wakil Catur Winarto, perangkat desa Tegaldowo, serta perangkat

yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Warga Samin yang memiliki pengalaman penolakan pabrik semen PT.SI di Pati pun

terhadap tambang semen. Respon dan kekhawatiran akan adanya fakta-fakta historis kasus sebelumnya inilah yang menjadi latar belakang psikologi sosial masyarakat.

Interaksi masyarakat yang terbagi menjadi kutub-kutub ini tentunya membangun persepsi yang terbentuk karena nilai-nilai

terhadap sumber daya. Jika elemen-elemen ini dipandang saling berhubungan dan akan melemahkan pihak tertentu, maka konflik akan mengeskalasi. Teori Citra Cermin menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan citra paralel satu sama lain,

banyak dianggap negatif. Kekerasan dan agresi diasosiasikan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok sendiri.

Dalam konflik Rembang, dimana pihak yang kalah tidak akan semen. Masing-masing pihak pun menganggap dirinya

mengemban tugas mulia. PT.SI dan kelompok pro PT.SI pembangunan ekonomi sekaligus kesejahteraan lokal. Sementara dan lingkungan.

berinteraksi dalam suatu lingkungan. Persepsi diri mendasari sosial-psikologis. Identitas dan persepsi diri ini nantinya menjadi memandang suatu hegemoni yang lain. Identitas bukanlah konsep pada momentum historis tertentu. Konsepsi identitas ini nantinya

akan mempengaruhi proses-proses konflik. Dalam konflik Rembang

ini membagi komunitas menjadi fragmen-fragmen (belum lagi cerita tipikal tentang pejabat-pejabat lokal yang mengambil keuntungan dari konflik yang menciptakan wahana konflik tersendiri). Ada kelompok-kelompok yang menyetujui impian kemajuan dari modernisasi dan industrialisasi. Kelompok masyarakat pro-semen ini mendukung percepatan pembangunan pabrik agar lapangan pekerjaan baru segera terbuka. Namun di sisi lain, kelompok-kelompok kontra bermunculan. Perubahan paksa

mendapatkan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat setempat karena dinilai mengabaikan aspek-aspek ekologis dan mencederai nilai-nilai kultural masyarakat. Pada tanggal 25 September 2014, misalnya massa beramai-ramai berdemonstrasi untuk mendukung pendirian PT. SI di depan Kantor Bupati

semen melakukan aksi pada tanggal 23 September 2014 (Suara Merdeka, 2015). Dalam film Samin vs Semen (2015), nampak

makan pro-semen”. Sementara di sudut lain nampak mural bertajuk “Tolak Pabrik Semen”.

Menurut tulisan C. Seymour (2003), dimensi-dimensi dalam dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan (3)identitas. Berdasarkan dimensi-dimensi ini, pengetahuan akan

legitimasi, dan memetakan ketakutan menjadi kunci-kunci resolusi konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui dimensi-dimensi ini.

Setelah mengetahui adanya rencana pembangunan pabrik semen, perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik pertambangan pun muncul, misalnya kasus Freeport di Papua dan kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan

menggusur warga lokal. Janji-janji perusahaan untuk

Analisis selanjutnya adalah ketakutan yang meruap di masyarakat konflik. Analisis ini nantinya akan berkaitan dengan konsultasi non (grievance-handling procedures) yang diselenggarakan oleh PT. SI

dan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan dalam rekam kronologis, WIUP melalui Surat Keputusan Bupati tentang pemberian izin lokasi kepada PT.SI tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kepala desa dan pihak

jawaban yang pasti. memperburuk situasi. Konsultasi dan simposium yang

diselenggarakan PT. SI tidak mampu meredam keluhan dan masa lalu. Di sisi lain, janji DPRD Rembang untuk membentuk

juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan intimidasi hingga ancaman penculikan. Tuduhan dan intimidasi merupakan salah satu pemicu ketegangan sosial-psikologis.

produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko Priyanto pada 16 Juni 2014 merupakan contoh lain betapa

masyarakat atas pemerintah dan perusahaan. Tindakan polisi dalam pengepungan tenda ibu-ibu petani yang tengah melakukan

tangisan di tengah wiridan mereka. Di sisi lain, warga kontra juga melakukan cara-cara intimidatif

untuk menunjukkan perlawanan sehingga pihak PT.SI dan pro semen juga merasakan ancaman. Misalnya, pada tanggal 19 September 2013, Ketua DPRD Rembang, Sunarto beserta sang wakil Catur Winarto, perangkat desa Tegaldowo, serta perangkat

yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Warga Samin yang memiliki pengalaman penolakan pabrik semen PT.SI di Pati pun

terhadap tambang semen. Respon dan kekhawatiran akan adanya fakta-fakta historis kasus sebelumnya inilah yang menjadi latar belakang psikologi sosial masyarakat.

Interaksi masyarakat yang terbagi menjadi kutub-kutub ini tentunya membangun persepsi yang terbentuk karena nilai-nilai

terhadap sumber daya. Jika elemen-elemen ini dipandang saling berhubungan dan akan melemahkan pihak tertentu, maka konflik akan mengeskalasi. Teori Citra Cermin menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan citra paralel satu sama lain,

banyak dianggap negatif. Kekerasan dan agresi diasosiasikan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok sendiri.

Dalam konflik Rembang, dimana pihak yang kalah tidak akan semen. Masing-masing pihak pun menganggap dirinya

mengemban tugas mulia. PT.SI dan kelompok pro PT.SI pembangunan ekonomi sekaligus kesejahteraan lokal. Sementara dan lingkungan.

berinteraksi dalam suatu lingkungan. Persepsi diri mendasari sosial-psikologis. Identitas dan persepsi diri ini nantinya menjadi memandang suatu hegemoni yang lain. Identitas bukanlah konsep pada momentum historis tertentu. Konsepsi identitas ini nantinya