MITOS DEVELOPMENTALISME DI REMBANG

MITOS DEVELOPMENTALISME DI REMBANG

Pola pikir suatu kelompok atau bangsa adalah manifestasi dari budaya yang berasal dari pola hidup dan interaksi sehari-hari dengan lingkungannya. Di sini, Rembang adalah sebuah daerah dengan manusia yang memiliki pola hidup agraris dimana sebagian besar masyarakatnya adalah petani. Hal ini juga berarti bahwa masyarakatnya sangat dekat dengan alam dan memiliki ikatan batin terhadap tanahnya. Pertanian dipandang bukan hanya persoalan perut, namun juga urusan spiritual. Ia merupakan

yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Warga Samin yang memiliki pengalaman penolakan pabrik semen PT.SI di Pati pun

terhadap tambang semen. Respon dan kekhawatiran akan adanya fakta-fakta historis kasus sebelumnya inilah yang menjadi latar belakang psikologi sosial masyarakat.

Interaksi masyarakat yang terbagi menjadi kutub-kutub ini tentunya membangun persepsi yang terbentuk karena nilai-nilai

terhadap sumber daya. Jika elemen-elemen ini dipandang saling berhubungan dan akan melemahkan pihak tertentu, maka konflik akan mengeskalasi. Teori Citra Cermin menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan citra paralel satu sama lain,

banyak dianggap negatif. Kekerasan dan agresi diasosiasikan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok sendiri.

Dalam konflik Rembang, dimana pihak yang kalah tidak akan semen. Masing-masing pihak pun menganggap dirinya

mengemban tugas mulia. PT.SI dan kelompok pro PT.SI pembangunan ekonomi sekaligus kesejahteraan lokal. Sementara dan lingkungan.

berinteraksi dalam suatu lingkungan. Persepsi diri mendasari sosial-psikologis. Identitas dan persepsi diri ini nantinya menjadi memandang suatu hegemoni yang lain. Identitas bukanlah konsep pada momentum historis tertentu. Konsepsi identitas ini nantinya

akan mempengaruhi proses-proses konflik. Dalam konflik Rembang

Sayangnya, pola hidup seperti itu dianggap sebuah keterbelakangan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia kini. Menjadi petani bukanlah sebuah modal sosial yang baik dan disandingkan dengan istilah 'orang kampung', berpendidikan rendah dan harus diubah menjadi lebih baik seperti hidup

kebanyakan orang di kota. Sempit memang. Tapi yang patut dipertanyakan adalah, dari mana sebenarnya pola pikir ini

berasal? Apa hubungannya dengan konflik yang ada di Rembang? Dalam konsep pembangunan (development), pembangunan

adalah proses untuk melakukan transformasi dari suatu kondisi ke kondisi yang lebih baik agar masyarakat mendapatkan kesejahteraan dalam hidupnya. Acapkali pembangunan diberi pengertian sebagai proses perubahan tatanan hidup masyarakat yang sengaja direncanakan (planned social change) untuk

membuat suasana serta sistem baru (Subangun, 1994). Jadi, secara definitif pembangunan semestinya ditafsirkan sebagai perbaikan tata hidup secara terus menerus yang melingkupi seluruh sistem kehidupan menuju kondisi yang lebih baik. Konsep pembangunan melahirkan cara, gaya dan pola pikir pembangunan

(Developmentalisme). Maka dari itu ideologi normatif di atas biasanya bergeser di beberapa negara.

Developmentalisme sendiri lahir dari mazhab historis pemikiran ekonomi, antara lain perspektif pemikiran klasik, neo-klasik, sosialisme, dan semacamnya. Developmentalisme biasanya didasarkan pada dua jenis, yaitu culture specific (didasarkan pada negara mana yang melaksanakan) atau time specific (didasarkan pada waktu melaksanakan) (Katz, 1966). Indonesia sebagai mantan negara koloni, dikategorikan sebagai Negara Dunia Ketiga atau

Negara Berkembang. Label tersebut diberikan karena Indonesia dianggap sebagai sebuah negara yang memiliki keterbelakangan

dalam pertumbuhan ekonomi dan laju pembangunan. Konsep ini biasanya dikenalkan oleh Negara Maju atau Negara Dunia Pertama. Sayangnya dengan hubungan seperti ini, laju pembangunan Dunia Ketiga selalu dicampur tangani dan didominiasi oleh Negara Pertama. Jadi kita tahu betul bahwa sebenarnya hubungan antara Dunia Pertama dan Ketiga memang sengaja diciptakan. Dunia Ketiga dikategorikan sebagai negara miskin dan terbelakang, sementara Dunia Pertama diberi label negara industri maju. Hubungan semacam ini sejatinya mengacu

Pasca-Dependensi. Dalam konteks ini, negara tersebut mesti budayanya dalam sebuah proses pembangunan. Ketergantungan

tersebut berada dalam format "neo-kolonialisme" yang diterapkan menghapuskan kedaulatan negara tersebut (Budiman, 1995). Posisi

turunan dari konsep tersebut. Seperti yang terjadi di Rembang, wacana developmentalisme masyarakat. Angka yang awam digunakan adalah angka Produk

domestik bruto (GDP). Oleh karena itu peningkatan GDP sering disamakan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini

maka produksi barang atau jasa dalam suatu wilayah meningkat. pertambahan devisa negara. Dengan semakin bertambahnya uang

Sayangnya, pola hidup seperti itu dianggap sebuah keterbelakangan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia kini.

kebanyakan orang di kota. Sempit memang. Tapi yang patut berasal? Apa hubungannya dengan konflik yang ada di Rembang? Dalam konsep pembangunan (development), pembangunan

kesejahteraan dalam hidupnya. Acapkali pembangunan diberi membuat suasana serta sistem baru (Subangun, 1994). Jadi, secara

definitif pembangunan semestinya ditafsirkan sebagai perbaikan kehidupan menuju kondisi yang lebih baik. Konsep pembangunan (Developmentalisme). Maka dari itu ideologi normatif di atas

biasanya bergeser di beberapa negara. Developmentalisme sendiri lahir dari mazhab historis pemikiran

ekonomi, antara lain perspektif pemikiran klasik, neo-klasik, sosialisme, dan semacamnya. Developmentalisme biasanya didasarkan pada dua jenis, yaitu culture specific (didasarkan pada negara mana yang melaksanakan) atau time specific (didasarkan pada waktu melaksanakan) (Katz, 1966). Indonesia sebagai mantan

Negara Berkembang. Label tersebut diberikan karena Indonesia dalam pertumbuhan ekonomi dan laju pembangunan. Konsep ini Pertama. Sayangnya dengan hubungan seperti ini, laju didominiasi oleh Negara Pertama. Jadi kita tahu betul bahwa sengaja diciptakan. Dunia Ketiga dikategorikan sebagai negara negara industri maju. Hubungan semacam ini sejatinya mengacu

Berdasarkan hal tersebut, terciptalah tiga metode pembangunan dalam Negara Ketiga, yakni Modernisasi, Dependensi dan Pasca-Dependensi. Dalam konteks ini, negara tersebut mesti bergantung pada negara luar dan melibatkan manusia dan budayanya dalam sebuah proses pembangunan. Ketergantungan tersebut berada dalam format "neo-kolonialisme" yang diterapkan oleh negara maju terhadap negara Dunia Ketiga tanpa harus menghapuskan kedaulatan negara tersebut (Budiman, 1995). Posisi penting konsep pertumbuhan ekonomi dalam skala makro serta konsep stabilitas ekonomi dan politik secara nasional adalah

turunan dari konsep tersebut. Seperti yang terjadi di Rembang, wacana developmentalisme

menjadikan pendapatan nasional sebagai tolak ukur kesejahteraan masyarakat. Angka yang awam digunakan adalah angka Produk domestik bruto (GDP). Oleh karena itu peningkatan GDP sering disamakan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini logis jika dilihat secara makroskopis, dimana jika GDP meningkat maka produksi barang atau jasa dalam suatu wilayah meningkat.

Produksi kemudian dikaitkan dengan keuntungan atau pertambahan devisa negara. Dengan semakin bertambahnya uang

yang kita punya, semakin mampulah kita untuk membangun infrastruktur seperti rumah sakit, sekolah, jembatan, jalan aspal, dan lain sebagainya. Pertumbuhan GDP yang baik juga akan mendatangkan investor. Semakin banyak investor, semakin bertambah juga proyek-proyek yang bisa dilakukan, modal-modal baru untuk sebuah perusahaan, serta kekuatan untuk bersaing dalam kancah perekonomian internasional. Pola pikir inilah yang mendasari niatan PT. SI untuk membangun pabrik semen di Rembang.

Developmentalisme dalam negara Dunia Ketiga menjadi sebuah konsep dan alternatif yang mau tak mau harus diselenggarakan. Konsep pembangunan dipahami sebagai perbaikan umum dalam standar hidup: ia harus hadir sebagai sarana memperkuat negara, terutama melalui proses industrialisasi yang mengikuti pola

seragam dari negara satu ke negara lainnya. Dalam hal ini, realitas pembangunan berkaitan erat dengan peran penting pemerintah

sebagai penyelenggara. Pandangan seperti inilah yang kemudian memposisikan pemerintah sebagai subjek pembangunan dan memperlakukan rakyat sebagai objek, resipen, klien dan partisipan

pembangunan. Di balik pemerintah, bermain pula kepentingan investasi dan bisnis

yang diharapkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Nampaknya konsepsi ini diterima begitu saja oleh Indonesia tanpa kritik dan koreksi yang serius dan mendalam. Jika

masyarakat mengganggu pembangunan dengan pertanyaan maupun perlawanan, niscaya pentungan akan mendarat ke kepala atau suara tersebut tidak didengarkan sama sekali.

Di Rembang, hal tersebut terlihat dengan sangat transparan. Dengan dalih pembangunan untuk negara dan masyarakat,

pembangunan pabrik semen harus diprioritaskan. Pabrik semen dibangun demi menumbuhkan kepentingan regional, sektoral dan nasional yang akan meningkatkan pendapatan dan kekayaan, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan kesempatan kerja. Masyarakat yang melakukan perlawanan setahun belakangan telah berusaha melakukan pendekatan terhadap pemerintah, namun hasilnya nihil. Alih-alih ditanggapi atau didengarkan, ibu-ibu malah dikenai jotos dan tindak kekerasan oleh oknum aparat yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah.

dan lain sebagainya. Pertumbuhan GDP yang baik juga akan mendatangkan investor. Semakin banyak investor, semakin bertambah juga proyek-proyek yang bisa dilakukan, modal-modal

dalam kancah perekonomian internasional. Pola pikir inilah yang mendasari niatan PT. SI untuk membangun pabrik semen di Rembang.

Developmentalisme dalam negara Dunia Ketiga menjadi sebuah konsep dan alternatif yang mau tak mau harus diselenggarakan.

standar hidup: ia harus hadir sebagai sarana memperkuat negara, seragam dari negara satu ke negara lainnya. Dalam hal ini, realitas sebagai penyelenggara. Pandangan seperti inilah yang kemudian

pembangunan. Di balik pemerintah, bermain pula kepentingan investasi dan bisnis nasional. Nampaknya konsepsi ini diterima begitu saja oleh

Indonesia tanpa kritik dan koreksi yang serius dan mendalam. Jika atau suara tersebut tidak didengarkan sama sekali.

Di Rembang, hal tersebut terlihat dengan sangat transparan. pembangunan pabrik semen harus diprioritaskan. Pabrik semen

mengurangi pengangguran, dan meningkatkan kesempatan kerja. namun hasilnya nihil. Alih-alih ditanggapi atau didengarkan,

ibu-ibu malah dikenai jotos dan tindak kekerasan oleh oknum aparat yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah.

Argumen pertumbuhan tersebut sebenarnya hanyalah sebuah bentuk dikte dari negara Dunia Pertama yang meletakkan

paradigma pertumbuhan sebagai variabel penting dalam tujuan pembangunan. Kemudian oleh Pemerintah, dikte tersebut

dibangun dalam negaranya sendiri—yang kemudian lebih dikenal dengan Developmentalisme ala Negara Dunia Ketiga. Jika kita menilik persoalan di Rembang, meskipun sudah ada 4 perusahaan dan industri pertambangan di Rembang seperti milik PT Bangun Artha, PT Amir Hajar Kilsi, PT United Tractors Semen Gresik dan PT

Kurnia Artha Pratiwi, apakah Desa Tegaldowo, Pasucen, Bitingan, Suntri

dan Timbrangan

mengalami

kemajuan dalam pembangunan desanya?

Nyatanya, ekonomi yang dijanjikan hanya dirasakan oleh segelintir pihak saja. Pekerjaan yang selalu mengimingi warga hanya bisa dirasakan oleh mereka yang lulusan SMA atau sederajat. Padahal

sebagian besar warganya banyak yang tidak sekolah atau hanya lulus SD. Pekerjaan memang didapatkan, tapi hanya sebatas satpam dan pekerja konstruksi. Lalu apakah bekerja seperti itu berpenghasilan lebih besar daripada bertani? Apa untungnya apabila pertambangan semen dating dan menutupi lahan pertanian mereka? Lalu siapa yang paling diuntungkan dari pembangunan semen di Rembang ini?

Dengan mengaplikasikan developmentalisme ala Dunia Ketiga di Rembang, konsep Modernisasi, Dependensi, dan Pasca-Dependensi diterapkan ke dalam masyarakatnya sendiri. Dengan paradigma tersebut, wajar apabila masyarakat Rembang yang sebagian besar petani dilabeli sebagai 'masyarakat tradisional' yang harus dimodernisasi. Kemudian ia harus dikenalkan dengan sistem dan budaya industri. Tanahnya disulap menjadi industri besar-besaran

dengan menawarkan pekerjaan sebagai ganti kerja cocok tanamnya. Sehingga masyarakat yang dari dulu menggantungkan hidupnya terhadap tanah menjadi dependen kepada pihak pembangun dan Pemerintah.

Telinga masyarakat Rembang tidak boleh bosan dengan suguhan pihak PT SI mengenai kesejahteraan ekonomi dan pernyataan "bahwa pertanian tidak memberikan kesejahteraan dibandingkan pertambangan". Misalnya seperti yang diungkapkan Budi Sulistyo, seorang pakar ITB yang menjadi peneliti untuk studi kelayakan

Diskusi dan istighosah warga

mengandalkan keahlian”. Kalimat tersebut memperlihatkan bahwa usaha pertanian memang dianggap tidak menjanjikan kesejahteraan dan merupakan cara tradisional untuk

mendapatkan uang. Solusi mengentaskan kemiskinan memang paling baik disinyalir olehnya adalah lewat industri, dan dalam hal

ini pertambangan semen yang akan dilakukan oleh PT SI di Rembang.

Kita tahu produksi semen domestik dapat pula memenuhi permintaan semen di pasar internasional. Dengan itu Indonesia bisa membeli produk-produk yang tidak ada di pasar domestik. Keterlibatan dalam perdagangan internasional dianggap kunci untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang bagi Indonesia. Melalui hal tersebut, konsep pertumbuhan ekonomi

digunakan sebagai alat ukur dan parameter keberhasilan pembangunan

masyrakatnya. Developmentalisme ala Dunia Ketiga membuat legitimasi

dan

kesejahteraan

pembangunan pada mekanisme pasar, alih teknologi, angka Gross

Pemerintah dan PT SI disini justru bertindak dengan pola pikir developmentalisme yang melenceng dari hakikatnya, sehingga menimbulkan perlawanan. Pola pikir pembangunan tak bisa disamakan dengan developmentalisme, karena prioritasnya sudah tentu beda, apalagi dengan developmentalisme ala Dunia Ketiga. Pembangunan semestinya dilakukan dengan pendekatan kepada faktor manusianya dan menciptakan kondisi yang bisa memungkinkan masyarakat menikmati kesejahteraan hidup yang lebih baik. Pembangunan justru seharusnya dapat menghasilkan solidaritas baru yang mengakar ke bawah. Ia memperhatikan keragaman budaya, lingkungan serta menjunjung tinggi martabat dan kebebasan manusia dan masyarakat.

Maka, jangan

melakukan pembangunan pertambangan semen untuk menyembunyikan hal yang lebih mendasar—apalagi menjadi biang keladi dan sumber masalah yang justru meningkatkan angka kemiskinan dan pengangguran. Sebab pembangunan yang sekarang sedang berjalan malah menciptakan masalah struktural dan konflik horizontal yang ada di masyarakat. Warga jadi sibuk berdemo, bukannya fokus kembali menghidupi diri untuk pertanian. Hasil pertanian mereka gunakan untuk membiayai kelompok menyuarakan suara pada pihak pembangun. Perseteruan antara warga dan hilangnya kesejahteraan bukan masalah ekonomi semata, tapi berkaitan dengan kesejahteraan lingkungan, psikologi, fiskal dan spiritual. Bukankah kasus Rembang ini menunjukkan bahwa pembangunan yang terjadi menafikan esensi pembangunan itu sendiri? Jangan sampai pembangunan pabrik semen di Rembang menjadi sebatas euforia jangka pendek demi mengikuti

sampai

developmentalisme

pasar internasional dan malah melupakan rakyat kita sendiri.

ataupun tidak terkomunikasikan dengan baik. Bagi beberapa yang setuju dengan pembangunan pabrik, mereka menjawab "Saya

saya dan memberi saya pekerjaan". Jawaban tersebut muncul dirinya maupun daerahnya.

berbeda-beda dengan kutub yang berlawanan? Dari sini bisa informasi yang beredar secara kepentingan seharusnya.

pembangunan pabrik semen yang lancar. Jika komunikasi politik

kepentingan politik. Tidak lancarnya komunikasi tersebut mau tak mempengaruhi perilaku politik. Konflik, berdirinya lembaga

oleh Pemerintah ataupun Pengusaha. Apabila kebersamaan makna politik publik bisa dijaga, Pemerintah

namun harus ditemukan solusi pemecahannya. Pemerintah pasti

penggunaan power (kekuasaan) di tengah masyarakat. Malangnya, pengertian itu tidak terlaksana di lapangan secara teknis.

Pemerintah dan Penguasa. Mereka yang seharusnya sebagai pihak

pernah secara terang-terangan dilakukan di hadapan Ganjar sendiri. Ketika ia hadir di tapak pabrik untuk bertemu dengan

tangan tanda niat bersalaman. Di situ terlihat jelas bahwa warga dengan pemimpinnya. Hal serupa juga terjadi kepada Suyanto menanyakan perihal pembangunan pabrik semen. Aktor politik

sisanya seperti H. Abdul Hafidz (Wakil Bupati) dan Sunarto (Ketua

jarak di antara mereka. Sekarang sama dimengerti bahwa bentuk perlawanan dan

ketidak-berfungsinya sistem komunikasi politik. Padahal, dalam kata-kata, efektifitas komunikasi, dan bentuk penjelasan bahasa

politik. Melainkan substansi informasi yang dihadirkan, sehingga politik dilaksanakan (Graber, 1981). Lalu apa substansi informasi

yang dihadirkan di Rembang? Sebenarnya hampir tidak ada sama menutup-nutupi informasi terhadap masyarakat luas, dan kepentingan tersebut.

komunikasi: apa yang ia pikir dan rasakan tergantung pengalaman-pengalaman sebelumnya baik pesan verbal ataupun nonverbal (Vardiansyah, 2004). Melihat pola komunikasi

menerima pesannya, justru menyingkapkan motif mereka. Bahwa

Dampak-dampak yang dialami oleh masyarakat situs proyek dan perubahan sosial yang tengah berjalan (Joyce&MacFarlane,

2001). Sebagai gambaran situasi awal, masyarakat desa-desa di petani. Karenanya, struktur sosialnya terbentuk dalam

paguyuban-paguyuban tani untuk berbagi pengalaman seputar panen. Dinamika sosial ini mencerminkan tradisi agraris yang

kental dalam kehidupan masyarakat setempat. Kearifan sosial masyarakat agraris juga terefleksi dalam aktivitas barter hasil panen.

Sebaliknya, logika PT SI dan pemerintah memproyeksikan bahwa sosial. Kepala Biro Humas PT SI Abimanyu mengatakan bahwa

usaha kuliner, kontrakan, atau kos-kosan terbilang prospektif menjelang berdirinya pabrik semen (mataairradio, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Budi Sulistyo: “...mengubah budaya

budaya industri yang mengandalkan keahlian (Ardianto, 2015).

hidup masyarakat industri.

Namun hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Pertama, pihak informasi dengan memisah-misahkan receiver (penerima pesan)

dalam jalur komunikasi politik. Kedua, medium penyampai pesan dibuat sehingga pesan tidak transparan dan multiinterpretasi. receiver, sehingga tidak terjadi kesesuaian antara pesan yang ingin

disampaikan dan pesan yang diterima. Sebagai contoh fakta di Rembang, Ganjar Pranowo dianggap yang dianggap tidak efektif (Dwicipta, 2014). Ketika Ganjar dihujat

beramai-ramai di media sosial Twitter ketika ia memberikan semen. Ganjar secara innocent menyatakan bahwa ia tidak tahu

apa-apa sebelumnya soal Rembang, padahal secara logika kebijakan politik, surat tembusan haruslah melalui Ganjar. Ganjar

dengannya. Ganjar dalam audiensi menanyai orang-orang yang