Perihal risiko, wanprestasi dan keadaan memaksa

6. Perihal risiko, wanprestasi dan keadaan memaksa

Kata risiko, berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian. Bagaimanakah diaturnya risiko ini dalam B.W.?

Pasal 1237 menetapkan, bahwa dalam suatu perjanjian mengenai pemberian suatu barang tertentu, sejak lahirnya perjanjian itu barang tersebut sudah menjadi tanggungan orang yang berhak menagih penyerahannya. Yang dimaksudkan oleh pasal tersebut, ialah suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban hanya pada suatu pihak saja (eenzijdige overeenkomst), misalnya suatu schenking. Jadi, jikalau seseorang menjanjikan akan memberikan seekor kuda (schenking) dan kuda ini sebelum diserahkan mati karena disambar petir, maka perjanjian dianggap hapus. Orang yang harus menyerahkan kuda bebas dari kewajiban untuk menyerahkan. Ia pun tidak usah memberikan sesuatu kerugian dan akhirnya yang menderita kerugian ini ialah orang yang akan menerima kuda itu.

Akan tetapi, menurut pasal tersebut seterusnya, bila si berhutang, (yang harus menyerahkan barang) itu lalai dalam kewajibannya untuk menyerahkan barangnya, maka sejak saat itu risiko berpindah di atas pundaknya, meskipun ia masih juga dapat dibebaskan dari pemikulan risiko itu, jika ia dapat membuktikan bahwa barang tersebut juga akan hapus seandainya sudah berada di tangan si berpiutang sendiri.

Bagaimana sekarang halnya dengan risiko dalam perjanjian yang meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak, yaitu yang dinamakan perjanjian "timbal-balik" (wederkerige overeenkomst)?

Menurut pasal 1460, dalam hal suatu perjanjian jual beli mengenai suatu barang yang sudah ditentukan sejak saat ditutupnya, perjanjian barang itu sudah menjadi tanggungan si pembeli, meskipun ia belum diserahkan dan masih berada di tangan si penjual. Dengan demikian, jika barang itu hapus bukan karena salahnya si penjual, si penjual masih tetap berhak untuk menagih harga yang belum dibayar.

Akan tetapi dalam hal perjanjian pertukaran barang (ruiling), yang juga merupakan suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal-balik (wederkerig) kita melihat suatu peraturan mengenai risiko yang berlainan, bahkan sebaliknya dari apa yang ditetapkan dalam hal perjanjian jual-beli. Pasal 1545 menetapkan, bahwa jika dalam suatu perjanjian pertukaran mengenai suatu barang yang sudah ditentukan, sebelum dilakukan penyerahan antara kedua belah pihak, barang itu hapus di luar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian pertukaran dianggap dengan sendirinya hapus dan pihak yang sudah menyerahkan barangnya berhak untuk meminta kembali barangnya itu. Dengan kata lain, risiko di sini diletakkan di atas pundak si pemilik barang sendiri, dan hapusnya barang sebelum penyerahan membawa pembatalan perjanjian.

Dengan melihat peraturan tentang risiko yang saling bertentangan ini, kita bertanya manakah yang menjadi asas atau pedoman bagi suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal -balik (wederkerige overeenkomst) pada umumnya dan manakah

yang menjadi kekecualiannya? Jawabnya, ialah apa yang ditetapkan untuk perjanjian pertukaran itulah yang harus dipandang sebagai asas yang berlaku pada umumnya terhadap perjanjian-perjanjian yang meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak, sedangkan apa yang ditetapkan dalam pasal 1460 dalam hal perjanjian jual beli harus dipandang sebagai kekecualian. Dan memang juga dapat dikatakan sudah selayaknya dan seadilnya, jika dalam suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal-balik salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, dengan sendirinya pihak yang lain juga dibebaskan dari kewajibannya, karena memang seorang hanyalah menyanggupi untuk memberikan suatu barang atau untuk melakukan sesuatu perbuatan karena ia mengharapkan akan menerima juga suatu barang atau pihak lain akan melakukan suatu perbuatan pula.

Menilik riwayatnya, jelaslah sudah, bahwa pasal 1460 tersebut oleh pembuat undang-undang dikutip dari Code Civil. Tetapi dalam sistem Code Civil apa yang dicantumkan pada pasal 1460 itu memang tepat, karena di situ berlaku peraturan bahwa dalam hal Menilik riwayatnya, jelaslah sudah, bahwa pasal 1460 tersebut oleh pembuat undang-undang dikutip dari Code Civil. Tetapi dalam sistem Code Civil apa yang dicantumkan pada pasal 1460 itu memang tepat, karena di situ berlaku peraturan bahwa dalam hal

Berhubung dengan sifatnya, pasal 1460 sebagai kekecualian itu, menurut pendapat yang lazim dianut, pasal tersebut harus ditafsirkan secara sempit, sehingga ia hanya berlaku dalam hal suatu barang yang sudah dibeli, tetapi belum diserahkan hapus. Tidak berlaku, misalnya jika karena suatu larangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, si penjual tidak lagi dapat mengirimkan barangnya kepada si pembeli. Dalam hal ini pernah diputuskan oleh hakim, si pembeli dibebaskan dari pembayaran harga barangnya.

Sebagaimana telah diterangkan, seorang debitur yang lalai, yang melakukan "wanprestasi," dapat digugat di depan hakim dan hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikan pada tergugat itu. Seorang debitur dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya atau memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan. Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak si berhutang ini harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan si berhutang itu, bahwa si berpiutang menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek. Pokoknya hutang itu harus "ditagih" dahulu. Biasanya peringatan ("sommatie") itu dilakukan oleh seorang jurusita dari Pengadilan, yang membuat proses-verbal tentang pekerjaannya itu, atau juga cukup dengan surat tercatat atau surat kawat, asal saja jangan sampai dengan mudah dimungkiri oleh si berhutang. Menurut undang-undang memang peringatan tersebut harus dilakukan tertulis (pasal 1238 ; bevel of soortgelijke akte), sehingga hakim tidak akan menganggap sah suatu peringatan lisan. Peringatan tidak perlu, jika si berhutang pada suatu ketika sudah dengan sendirinya dapat dianggap lalai. Misalnya dalam hal perjanjian untuk membikin pakaian mempelai, tetapi pada hari perkawinan pakaian itu ternyata belum selesai. Dalam hal ini meskipun prestasi itu dilakukan oleh si berhutang, tetapi karena tidak menurut perjanjian, maka prestasi yang dilakukan itu dengan sendirinya dapat dianggap suatu kelalaian. Ada kalanya, dalam kontrak itu sendiri sudah ditetapkan, kapan atau dalam hal-hal mana si berhutang dapat dianggap lalai. Di sini tidak diperlukan suatu sommatie atau peringatan.

Apakah yang dapat dituntut dari seorang debitur yang lalai ?

Si berpiutang dapat memilih antara berbagai kemungkinan. Pertama, ia dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun

pelaksanaan ini sudah terlambat.

Kedua, ia dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya.

Ketiga, ia dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian.

Keempat, dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik, kelalaian satu pihak memberikan hak kepada pihak yang lain untuk meminta pada hakim supaya perjanjian dibatalkan, disertai dengan permintaan penggantian kerugian.

Hak ini diberikan oleh pasal 1266 B.W. yang menentukan bahwa tiap perjanjian bilateral selalu dianggap telah dibuat dengan syarat, bahwa kelalaian salah satu pihak akan mengakibatkan pembatalan perjanjian. Pembatalan tersebut harus dimintakan pada hakim.

Dalam hubungan ini, telah dipersoalkan, apakah perjanjian itu sudah batal karena kelalaian pihak debitur ataukah harus dibatalkan oleh hakim.

Menurut pendapat yang paling banyak dianut, bukanlah kelalaian debitur yang menyebabkan batal, tetapi putusan hakim yang membatalkan perjanjian, sehingga putusan itu bersifat "constitutief" dan tidak "declaratoir." Malahan hakim itu mempunyai suatu kekuasaan "discretionair," artinya ia berwenang untuk menilai wanprestasi debitur. Apabila kelalaian itu dianggapnya terlalu kecil, hakim berwenang untuk menolak pembatalan perjanjian, meskipun ganti rugi yang diminta harus diluluskan.

Tentu saja kedua pihak yang berkontrak dapat juga mengadakan ketentuan bahwa pembatalan ini tidak usah diucapkan oleh hakim, sehingga perjanjian dengan sendirinya akan hapus manakala satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

Penggantian kerugian, dapat dituntut menurut undang-undang berupa "kosten, schaden en interessen " (pasal 1243 dsl).

Yang dimaksudkan kerugian yang dapat dimintakan penggantian itu, tidak hanya yang berupa biaya-biaya yang sungguh- sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh- sunggguh menimpa harta benda si berpiutang (schaden), tetapi juga yang berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang akan didapat seandainya si berhutang tidak lalai (winstderving). Misalnya, dalam hal seorang direktur sandiwara

yang telah mengadakan suatu kontrak dengan pemain yang tersohor yang tiba-tiba dengan tiada alasan menyatakan tidak jadi main, sehingga pertunjukan terpaksa tidak dapat berlangsung. Kerugian yang nyata-nyata diderita oleh direktur sandiwara itu, ialah ongkos- ongkos persiapan yang telah dikeluarkan, sedangkan kehilangan keuntungan berupa pendapatan harga karcis yang akan didapatnya dari pertunjukan tersebut. Dalam hal seorang penjual barang yang lalai menyerahkan barangnya, si pembeli dapat meminta penggantian kehilangan keuntungan, jika sudah ada orang lain yang suka membeli lagi barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi daripada harga yang harus dibayar oleh si pembeli itu.

Tetapi juga tidak semua kerugian dapat dimintakan penggantian. Undang-undang dalam hal ini mengadakan pembatasan, dengan menetapkan, hanya kerugian yang dapat dikira-kirakan atau diduga pada waktu perjanjian dibuat (te voorzien) dan yang sungguh-sungguh dapat dianggap sebagai suatu akibat langsung dari kelalaian si berhutang saja dapat dimintakan penggantian. Dan jika barang yang harus diserahkan itu berupa uang tunai, maka yang dapat diminta sebagai penggantian kerugian ialah bunga uang menurut penetapan undang-undang, yaitu yang Tetapi juga tidak semua kerugian dapat dimintakan penggantian. Undang-undang dalam hal ini mengadakan pembatasan, dengan menetapkan, hanya kerugian yang dapat dikira-kirakan atau diduga pada waktu perjanjian dibuat (te voorzien) dan yang sungguh-sungguh dapat dianggap sebagai suatu akibat langsung dari kelalaian si berhutang saja dapat dimintakan penggantian. Dan jika barang yang harus diserahkan itu berupa uang tunai, maka yang dapat diminta sebagai penggantian kerugian ialah bunga uang menurut penetapan undang-undang, yaitu yang

Selanjutnya, karena terjadinya perkara di depan hakim itu disebabkan oleh kelalaiannya si berhutang, maka ia juga akan dihukum untuk membayar biaya perkara.

Ada orang yang mengatakan, sebagai lawan kelalaian seorang berhutang, ialah kelalaian seorang berpiutang atau "moracredito-ris" ("mora" berarti kelalaian). Misalnya A telah menjual suatu partai barang "franco gudang" kepada B, sehingga B harus mengambil sendiri barang itu dari gudang. Jika B tidak mengambil barang tersebut, hingga melampaui waktu yang ditentukan, maka A menderita kerugian karena ia terpaksa terus membayar sewa gudang. Dikatakannya, bahwa B melakukan moracreditoris atau lalai sebagai seorang berpiutang. Sebenarnya perkataan ini tidak tepat, karena hanya seorang berhutang saja (seorang yang memikul kewajiban) dapat melalaikan kewajiban. Betul B, pihak berhak terhadap penyerahan barang, tetapi mengenai penerimaan (pengambilan dari gudang) ia tidak lain dari seorang yang berkewajiban untuk mengambilnya sendiri (berhutang), karenanya sebagai orang yang memikul kewajiban, ia diancam dengan sanksi- sanksi apabila ia melalaikan kewajibannya, seperti seorang berhutang pada umumnya. Dengan demikian, jika ada alasan, ia dapat juga dihukum menggantikan kerugian pada si penjual barang.

Sebagaimana telah diterangkan, seseorang debitur yang digugat di depan hakim karena ia dikatakan telah melalaikan kewajibannya, dapat membela dirinya — untuk menghindarkan dirinya dari penghukuman yang merugikan — dengan mengajukan keadaan-keadaan di luar kekuasaannya yang memaksanya hingga ia tidak dapat menepati perjanjian (overmacht). Pembelaan itu bermaksud agar ia tidak dipersalahkan tentang tidak ditepatinya perjanjian itu.

Untuk dapat dikatakan suatu "keadaan memaksa," (overmacht atau force majeur), selain keadaan itu, "di luar kekuasaannya" si berhutang dan "memaksa," keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat, setidak-tidaknya tidak dipikul risikonya oleh si berhutang. Jika si berhutang berhasil dalam membuktikan adanya keadaan yang demikian itu, tuntutan si berpiutang akan ditolak oleh hakim dan si berhutang terluput dari penghukuman, baik yang berupa penghukuman untuk memenuhi perjanjian, maupun penghukuman untuk membayar penggantian kerugian.

Keadaan memaksa ada yang bersifat mutlak (absoluut), yaitu dalam halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjiannya (misalnya barangnya sudah hapus karena bencana alam), tetapi ada juga yang bersifat tak mutlak (relatief), yaitu berupa suatu keadaan di mana perjanjian masih dapat juga dilak-

s an akan, tetapi dengan pengorbanan-pengorbanan yang sangat besar dari hak si berhutang. Misalnya harga barang yang masih s an akan, tetapi dengan pengorbanan-pengorbanan yang sangat besar dari hak si berhutang. Misalnya harga barang yang masih

Jika barang yang dimaksudkan dalam perjanjian sudah musnah di luar kesalahan si berhutang, teranglah pelaksanaan perjanjian sudah tak dapat dituntut. Yang sulit bagi hakim untuk memutuskan ialah jika barang itu masih ada atau dapat didatangkan, sehingga perjanjian sebetulnya masih dapat dilaksanakan. Dalam hal yang demikian ini hakim harus mempertimbangkan apakah sungguh- sungguh terdapat suatu keadaan yang sedemikian, hingga dapat dikatakan tidak sepatutnya lagi untuk dalam keadaan itu memaksa si berhutang memenuhi perjanjiannya. Jadi yang diambil sebagai ukuran oleh hakim tidak lagi, sungguh-sungguhkah tidak mungkin melaksanakan perjanjian, tetapi cukup dalam suatu keadaan sudah tidak sepatutnya lagi untuk memaksa si debitur menepati perjanjiannya. Misalnya dalam hal dikeluarkannya larangan oleh Pemerintah yang disebutkan di atas tadi, di mana sudah terang tidak sepatutnya untuk mengharapkan si berhutang masih juga mengirimkan barangnya dengan memikul risiko ia akan dihukum penjara karena melanggar peraturan Pemerintah.

Jika sebagai akibat kejadian yang tidak disangka-sangka itu, barang yang dimaksudkan dalam perjanjian telah menjadi hapus, teranglah pelaksanaan perjanjian sudah tidak dapat dituntut untuk seterusnya, hingga praktis perjanjian itu sudah hapus. Akan tetapi jika barang itu masih ada dan masih utuh pula, menurut pendapat yang lazim dianut dalam pelaksanaan perjanjian: penyerahan, masih dapat dituntut oleh si berpiutang, manakala keadaan memaksa sudah berakhir. Hanya jelas, ia tidak boleh menuntut pembayaran kerugian, karena tidak ada kesalahan pada pihak si berhutang.