Kabupaten Bogor sangat bertentangan dengan pasal 30 UUD 1945 yang menyatakan adanya kesamaan hak warga negara dalam mengenyam pendidikan.
Peminggiran perempuan di sektor pendidikan menjadi suatu hal yang penting dan menarik untuk dikaji karena peminggiran perempuan di sektor pendidikan
mungkin saja tidak hanya berhenti sampai di permasalahan perempuan lebih rendah secara intelektual dibanding laki-laki, tetapi bisa merambat ke berbagai
permasalahan lain. Hal ini disebabkan oleh pendidikan yang tidak hanya bermanfaat bagi individu untuk berjuang di segi ideologis dan politis, tetapi
pendidikan juga bermanfaat bagi individu untuk berjuang melawan kemiskinan, kebodohan, dan ketidakberdayaan. Peminggiran perempuan di sektor pendidikan
dapat menyebabkan permasalahan krusial lain yang berkelanjutan. Oleh karena itu, akses perempuan dalam memperoleh pendidikan menjadi isu yang perlu
diperjuangkan.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Data pendidikan di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor menunjukkan adanya ketimpangan jumlah siswa laki-laki dan perempuan dalam melanjutkan
pendidikan dari jenjang SMP menuju jenjang SMA. Hal inilah yang mengantarkan penelitian ini kepada pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai
berikut: 1. Sejauh mana ketimpangan gender dalam bidang pendidikan di Kecamatan
Cariu? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan ketimpangan gender
dalam bidang pendidikan di Kecamatan Cariu?
3. Apa dampak dari ketimpangan gender dalam bidang pendidikan di Kecamatan Cariu terhadap kehidupan sosiokultural masyarakat Kecamatan
Cariu?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian di atas, yaitu:
1. Mengetahui sejauh mana ketimpangan gender dalam bidang pendidikan yang terjadi di Kecamatan Cariu.
2. Mengetahui faktor-faktor yang berhubuangan dengan ketimpangan gender dalam bidang pendidikan di Kecamatan Cariu.
3. Mengetahui dampak dari ketimpangan gender dalam bidang pendidikan tehadap kehidupan sosiokultural masyarakat Kecamatan Cariu.
1.4. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian di atas, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pelengkap literatur bagi kalangan akademik yang membahas mengenai
ketimpangan gender dalam pendidikan, khususnya pendidikan perempuan di daerah pedesaan. Selanjutnya, diharapkan penelitian ini juga bermanfaat untuk
kalangan nonakademik, yaitu masyarakat, swasta, dan pemerintah dalam untuk memperbaiki ketimpangan akses pendidikan antara laki-laki dan perempuan di
masa yang akan datang.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Gender
Untuk mengetahui konsep gender, Fakih 1996 menekankan pentingnya memahami perbedaan antara konsep gender dan seks. Seks merupakan pensifatan
atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, dan hal itu tidak dapat dirubah karena
merupakan ketentuan Tuhan atau kodrat. Gender diterjemahkan sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan
secara sosial maupun kultural, dengan kata lain, hal-hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta
berbeda dari tempat ke tempat lainnya, disebut dengan konsep gender. Hal serupa dikemukakan Widyatama 2006, dalam membahas bias
gender, terlebih dahulu memperkenalkan konsep gender yang dipandangnya sebagai sesuatu yang berbeda dengan seks jenis kelamin. Pengertian seks
sebagai jenis kelamin adalah pembedaan yang didasarkan pada fisik manusia dan diterima oleh manusia secara taken for granted. Konsep gender adalah pembedaan
yang dibangun melalui konstruksi sosial maupun kultural manusia. Hal inilah yang kemudian memunculkan stereotipi gender, bahwa laki-laki harus maskulin
dan perempuan harus feminin. Widyatama 2006 menekankan bahwa dalam pespektif gender, maskulinitas maupun femininitas merupakan suatu pilihan, tidak
bersifat wajib.
Handayani dan Sugiarti 2006 memperlihatkan perbedaan seks dan gender melalui lirik sebuah lagu yang populer di Indonesia yang berbunyi:
Diciptakan alam pria dan wanita, dua makhuk asuhan dewata, wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan
sangkar madu, namun adakala pria tak berdaya, tekuk lutut di sudut kerling wanita
Kalimat pertama lagu tersebut menunjukkan pengertian seks, sedangkan kalimat selanjutnya menunjukkan pengertian gender. Untuk memperjelas konsep
seks dan gender dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Perbedaan Seks dan Gender
No. Karakteristik Seks
Gender
1. Sumber
Pembeda Tuhan
Manusia masyarakat 2. Visi,
Misi Kesetaraan
Kebiasaan 3.
Unsur Pembeda
Biologis alat
reproduksi Kebudayaan
tingkah laku
4. Sifat Kodrat, tertentu, tidak dapat
dipertukarkan Harkat, martabat, dapat
dipertukarkan
5. Dampak Terciptanya nilai-nilai:
kesempurnaan, keniKmatan, kedamaian, dll. Sehingga
menguntungkan kedua belah pihak.
Terciptanya norma- normaketentuan tentang
pantas atau tidak pantas laki-laki dan perempuan
melakukan sesuatu, sering merugikan salah satu pihak.
6. Keberlakuan Sepanjang masa ,dimana saja,
tidak mengenal pembedaan kelas.
Dapat berubah, musiman, dan berbeda antara kelas.
Sumber: Unger 1979 dalam Handayani dan Sugiarti 2006
2.1.1.1. Manifestasi Ketidakadilan Gender
Perbedaan gender sesungguhnya bukanlah suatu masalah, yang menjadi masalah adalah bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan,
baik bagi kaum laki-laki maupun terutama bagi kaum perempuan. Ketidakadilan
gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni Fakih, 1996:
1. Gender dan Marginalisasi Proses marginalisasi yang mengakibatkan kemiskinan, sesungguhnya
banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan, yang disebabkan oleh berbagai kejadian, misalnya penggusuran,
bencana alam, dilihat dari sisi lain pun marginalisasi dapat diakibatkan oleh kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, dan bahkan asumsi ilmu
pengetahuan. 2. Gender dan Subordinasi
Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang
menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Semua keputusan haruslah diambil oleh pihak laki-laki.
3. Gender dan Strereotipi Secara umum, stereotipi adalah pelabelan negatif atau penandaan terhadap
suatu kelompok tertentu. Salah satu jenis stereotipi adalah yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu,
umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan stereotipi yang dilekatkan pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, penandaan yang berawal dari
asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan
stereotipi ini.
4. Gender dan Kekerasan Kekerasan
violence adalah serangan atau invansi assault terhadap fisik maupun intergritas mental psikologis seseorang. Salah satu jenis kekerasan adalah
kekerasan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh
ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. 5. Gender dan Beban Kerja
Anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta kaum perempuan tidak cocok untuk dijadikan kepala rumah tangga,
berakibat bahwa semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Di kalangan keluarga miskin, beban yang sangat berat harus
ditanggung oleh perempuan sendiri. Terlebih-lebih jika si perempuan tersebut harus bekerja, maka ia memikul beban kerja ganda. Pada kalangan menengah ke
atas, beban kerja ini kemudian dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga.
2.1.2. Persepsi
DeVito 1997 mendefinisikan persepsi sebagai berikut: Perception is the process you became aware of objects, events,
and especially people through your sense: sight, smell, touch, and hearing. Perception is an active, not a passive process. Your
perception result from what exist in the outside world and from your own experiences, desires, needs, loves, and hatreds .
Jalaludin Rakhmat 2004 mendefinisikan persepsi sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi sifatnnya memang
sangat subjektif, yaitu tergantung pada subjek yang melaksanakan persepsi itu sendiri Sarwono, 1999.
Dua hal yang ingin diketahui dalam persepsi sosial, yaitu keadaan dan perasaan orang lain saat ini, di tempat ini melalui komunikasi non-lisan kontak
mata, busana, gerakan tubuh, dan sebagainnya atau lisan dan kondisi yang lebih permanen yang ada di balik segalanya yang tampak saat ini niat, sifat, motivasi,
dan sebagainya yang diperkirakan menjadi penyebab dari kondisi saat ini Sarwono, 1999.
Ada faktor dari luar dan dari dalam yang mempengaruhi persepsi dintaranya sebagai berikut
1
: Wilson, 2000 dalam Kamarullah, 2005 1. Faktor Eksternal atau dari luar :
- Concreteness, yaitu wujud atau gagasan yang abstrak yang sulit di
persepsikan dibandingkan dengan yang objektif . - Novelty atau hal yang baru, biasanya lebih menarik untuk dipersepsikan
dibandingkan dengan hal-hal yang lama. - Velocity atau percepatan misalnya gerak yang cepat untuk menstimulasi
munculnya persepsi lebih efektif dibandingkan dengan gerakan yang lambat.
- Conditioned stimuli, stimulus yang dikondisikan. 2. Faktor Internal
- Motivation . misalnya merasa lelah menstimulasi untuk berespon terhadap istirahat
1
http:tinjauan.blogdrive.com diakses pada tanggal 25 April 2008.
- Interest, hal-hal yang menarik lebih di perhatikan daripada yang tidak menarik.
- Need, kebutuhan akan hal tertentu akan menjadi pusat perhatian. - Assumptions, juga mempengaruhi persepsi sesuai dengan pengalaman
melihat, merasakan dan lain-lain.
2.1.3. Pendidikan 2.1.3.1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan dalam artian sederhana adalah usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan
Hasbullah, 1997. Seiring dengan perkembangan jaman, pendidikan pun turut mengalami perkembangan, namun tentunya dengan beberapa pengertian dasar
yang masih melekat. Pendidikan perlu dipahami sebagai berikut Hasbullah, 1997:
1. Pendidikan merupakan suatu proses terhadap anak didik berlangsung terus sampai anak didik mencapai pribadi dewasa susila. Proses ini berlangsung
dalam jangka waktu tertentu. Bila anak didik sudah mencapai pribadi dewasa susila, maka ia sepenuhnya mampu bertindak sendiri bagi
kesejahteraan hidupnya dan masyarakatnya. 2. Pendidikan merupakan perbuatan manusiawi. Pendidikan lahir dari
pergaulan antar orang dewasa dan orang yang belum dewasa dalam suatu kesatuan hidup. Tindakan mendidik yang dilakukan oleh orang dewasa
dengan sadar dan disengaja didasari oleh nilai-nilai kemanusiaan. Tindakan tersebut menyebabkan orang yang belum dewasa menjadi
dewasa dengan memiliki nilai-nilai kemanusiaan, dan hidup menurut nilai- nilai tersebut. Kedewasaan diri merupakan tujuan pendidikan yang hendak
dicapai melalui perbuatan atau tindakan pendidikan. 3. Pendidikan merupakan hubungan antar pribadi pendidik dan anak didik.
Dalam pergaulan terjadi kontak atau komunikasi antara masing-masing pribadi. Hubungan ini jika meningkat ke taraf hubungan pendidikan, maka
menjadi hubungan antara pribadi pendidik dan si anak didik, yang pada akhirnya melahirkan tanggung jawab pendidikan dan kewibawaan
pendidikan. Pendidik bertindak demi kepentingan dan keselamatan anak didik, dan anak didik mengakui kewibawaan pendidik dan bergantung
padanya. 4. Tindakan atau perbuatan mendidik dan menuntun anak didik mencapai
tujuan-tujuan tertentu, dan dalam hal ini tampak pada perubahan- perubahan dalam diri anak didik. Perubahan sebagai hasil pendidikan
merupakan gejala kedewasaan yang secara terus-menerus mengalami penigkatan sampai penentuan diri atas tanggung jawab sendiri oleh anak
didik atau terbentuknya pribadi dewasa susila.
Sekolah merupakan salah satu lembaga penyelenggara pendidikan. Sekolah adalah salah satu organisasi yang tumbuh dan berkembang di tengah-
tengah masyarakat Syafaruddin dan Anzizhan, 2004. Sekolah merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa elemen. Pada dasarnya pendidikan di sekolah
merupakan bagian dari pendidikan di dalam keluarga, yang sekaligus juga merupakan lanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Berikut ini merupakan
beberapa karakteristik proses pendidikan yang berlangsung di sekolah Hasbullah,1997:
1. Pendidikan diselenggarakan secara khusus dan dibagi atas jenjang yang memiliki hubungan hierarkhis.
2. Usia anak didik di suatu jenjang pendidikan relatif homogen. 3. Waktu pendidikan relatif lama sesuai dengan program pendidikan yang
harus dilaksanakan. 4. Materi atau isi pendidikan lebih banyak sersifat akademis dan umum.
5. Adanya penekanan tentang kualitas pendidikan sebagai jawaban terhadap kebutuhan di masa yang akan datang.
2.1.3.2. Peranan Keluarga dalam Pendidikan
Keluarga atau rumah tangga merupakan kesatuan unit sosial terkecil yang membentuk masyarakat. Menurut Depdikbud 2005 sebagaimana dikutip Fathoni
2008, bagi setiap orang, keluarga suami, istri, dan anak-anak mempunyai arti penting dalam proses sosialisasi untuk dapat memahami, menghayati budaya yang
berlaku di masyarakat. Menurut Hasbullah 2006, sumbangan keluarga bagi pendidikan anak
adalah sebagai berikut: 1. Cara orang tua melatih anak untuk menguasai cara-cara mengurus diri, seperti
cara makan, buang air, berbicara, berjalan, berdoa, sungguh-sungguh membekas dalam diri anak karena berkaitan erat dengan perkembangan
dirinya sebagai pribadi.
2. Sikap orang tua sangat mempengaruhi perkembangan anak. Sikap menerima atau menolak, sikap kasih sayang atau acuh tak acuh sikap sabar atau tergesa-
gesa, sikap melindungi atau membiarkan secara langsung mempengaruhi reaksi emosional anak.
Pendidikan anak di sekolah merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, sekolah, dan pemerintah. Keluarga merupakan penentu pendidikan
sekolah seorang anak, karena kelurgalah yang mampu menjadi pendorong maupun penghambat seorang anak untuk sekolah atau tidak. Pendidikan
merupakan salah satu aspek kehidupan manusia yang memerlukan pengambilan keputusan. Manusia harus memutuskan, apa yang menjadi dasar dan tujuan
pendidikan, serta harus bagaimana agar tujuan tersebut tercapai. Oleh karena itu, manusia harus mengenali persoalan-persoalan substansi kehidupan manusia dan
kebutuhannya terhadap pendidikan serta mampu menentukan alternatif pencapaian tujuan Syafaruddin dan Anzizhan, 2004.
2.1.3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi terhadap Pendidikan
Pendidikan mempengaruhi dua faktor, yaitu faktor intenal dan eksternal. Fathoni 2008 menyebutkan bahwa faktor internal terdiri dari umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan kepala keluarga, jumlah tanggungan, pendapatan keluarga, persepsi terhadap pendidikan, dan status sosial ekonomi dalam
masyarakat. Faktor eksternal terdiri dari kebijakan pemerintah, sarana pendidikan, jarak sarana pendidikan, dan biaya pendidikan.
2.1.3.4. Dampak Pendidikan terhadap Kehidupan Sosial Budaya
Pembangunan pendidikan memiliki tiga pokok perkembangan kepribadian manusia, yaitu perkembangan kognitif, konatif, dan afektif Dinas Pendidikan DI
Yogyakarta, 1996. Perkembangan konatif, sering juga disebut sebagai intelektual meliputi perkembangan pengetahuan dan pemahaman. Perkembangan konatif
meliputi penghayatan berbagai kebutuhan, sedangkan perkembangan afektif menyangkut perekembangan alam peran. Ketiga perkembangan kepribadian
manusia tersebut kemudian akan berdampak pada kehidupan sosial budaya individu dan lingkungan terdekatnya.
Kehidupan sosial budaya masyarakat meliputi kehidupan kekerabatan, pencapaian lapangan pekerjaan, interaksi sosial, dan pranata sosial.
1. Dampak terhadap Kekerabatan. Kekerabatan diduga dipengaruhi oleh usia menikah. Usia menikah akan
berpengaruh pada pola menetap setelah menikah. Diasumsikan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, cenderung usia menikah terlambat
dan akan membentuk keluarga batih. Satu hal yang menarik yang biasa terjadi di pedesaan adalah anggapan bahwa menikahkan anak pada usia
dini adalah salah satu usaha untuk menghindari gunjingan anaknya tidak laku kawin para tetangga.
2. Dampak terhadap Pekerjaan Pendidikan dapat berdampak pada berbagai aspek di bidang
ketenagakerjaan. Pendidikan yang rendah memungkinkan keterbatasan kesempatan lapangan pekerjaan, variasi pekerjaan, dan peluang memasuki
lapangan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin Dinas Pendidikan DI Yogyakarta, 1996.
3. Dampak terhadap Interaksi Sosial Manusia pada dasarnya mempunyai naluri untuk hidup dengan orang lain,
atau berhubungan dengan orang lain. Ada hasrat utama manusia untuk membentuk keserasian dengan orang lain, yaitu keinginan atau interes
untuk menjadi satu dengan orang lain yang berada di sekitarnya atau masyarakat, dan keinginan untuk menyatu dengan suasana sekelilingnya.
4. Dampak terhadap Pranata Sosial Pranata sosial dalam hal ini dapat dilihat dari keterlibatan seseorang atau
keluarga dalam kesibukan sosial di lingkungannya dan partisipasinya dalam kegiatan kepercayaan sosial.
2.1.4. Data Umum Pendidikan Propinsi Jawa Barat
Berdasarkan komposisi penduduk Jawa Barat pada tahun 2005, yang telah dikelompokkan menurut umur, diketahui bahwa proporsi penduduk laki-laki dan
perempuan pada semua kelompok umur 4-5 tahun, 5-6, 6-7 tahun, 7-12 tahun, 13-15 tahun, dan 16-18 tahun dapat dikatakan relatif seimbang dengan disparitas
gender yang relatif kecil. Tidak ada perbedaan mencolok dalam hal jumlah penduduk laki-laki dan perempuan pada semua kelompok umur di Propinsi Jawa
Barat. Dapat diasumsikan bahwa seharusnya tidak ada perbedaan jumlah siswa yang mencolok antara siswa laki-laki dan perempuan di semua tingkat sekolah,
baik Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Umum, maupun Sekolah Menengah Atas. Hal ini bertentangan dengan kenyataan mengenai jumlah siswa laki-laki dan
perempuan yang terdaftar di dua Sekolah Mengengah Atas yang terdapat di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor. Berikut adalah tabel komposisi penduduk
Kecamatan Cariu per kelompok umur, berdasarkan jenis kelamin.
Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Umur Sekolah dan Jenis Kelamin Di Jawa Barat 2005
No. Kelompok
Umur Tahun
Laki-laki Perempuan
Total Disparitas
P-L Jumlah Jumlah
1. 4-5 -
- -
- 1.542.842 -
2. 5-6
816.457 52,21
747.464 47,79
1.563.921 -4,42
3. 6-7 -
- -
- 2.377.471 -
4. 7-12 2.231.379 48,60 2.360.108
51,40 4.591.487 2,80
5. 13-15 1.045.173 48,53 1.108.712
51,47 2.153.885 2,94
6. 16-18 1.170.729 50,38 1.153.079
49,62 2.323.808 -0,76
Sumber: Profil Pendidikan Tahun 2005, Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat
Berdasarkan komposisi penduduk yang sedang bersekolah di Jawa Barat, diketahui bahwa proporsi laki-laki semakin lama semakin tinggi dibandingkan
dengan proporsi penduduk perempuan pada selang umur yang semakin tua. Hal ini terbukti dari disparitas gender yang bertanda negatif pada kelompok umur
tinggi. Data penduduk berumur 4-5 tahun dan 6-7 tahun tidak diketahui berdasarkan proporsi jenis kelamin.
Tabel 3. Komposisi Penduduk yang Sedang Bersekolah Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Jawa Barat 2005
No. Kelompok Umur
Tahun Laki-laki
Perempuan Total Disparitas
P-L Jumlah Jumlah
1. 7-12 2.556.795
50,81 2.475.086
49,19 5.031.881 -1,62
2. 13-15 926.911 51,85 860.194 48,15 1.787.705 -3,7
3. 16-18 558.215 56,80 424.422 43,19 982.637 -13,61 Sumber: SUSEDA Jawa Barat Tahun 2005, Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat.
Hal serupa juga tergambar pada data tingkat Kabupaten. Data Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa jumlah penduduk perempuan usia sekolah yang masih
bersekolah semakin menurun seiring dengan meningkatnya kelompok umur apabila dibandingkan dengan penduduk laki-laki usia sekolah yang masih
bersekolah Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2005. Kesenjangan pendidikan antara perempuan dan laki-laki usia sekolah semakin jelas terlihat dari data
penduduk yang putus sekolah.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Putus Sekolah Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin Kabupaten Bogor 2005-2006
Tingkat Pendidikan
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
SD+MI 120 33,33 240
66,67 SMP+MTs
60 33,33 120 66,67
SMA+MA 90 33,33 180
66,67 Jumlah
270 33,33 540 66,67
Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor 2005
Perbandingan antara penduduk perempuan dan laki-laki yang putus sekolah di semua jenjang pendidikan menunjukkan presentase yang sama yaitu
33,33 persen laki-laki dan 66,67 persen perempuan. Hal ini berarti penduduk perempuan yang putus sekolah di semua jenjang pendidikan jumlahnya mencapai
dua kali lipat dibandingkan laki-laki.
2.2. Kerangka Pemikiran
Di era globalisasi ini, pendidikan sudah seyogyanya menjadi suatu kebutuhan bagi setiap individu di masyarakat, baik di kota maupun di desa.
Namun hal tersebut tidak terjadi di masyarakat pedesaan, masyarakat pedesaan dengan segala keterbatasannya menjadi tidak terlalu hirau dengan masalah
pendidikan. Hal ini diperlihatkan oleh besarnya angka siswa lulusan SMP yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Kebanyakan orang tua di
pedesaan tidak menyarankan anaknya untuk melanjutan sekolah karena berbagai alasan.
Fakta yang menarik lagi adalah bahwa jumlah siswa perempuan yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA jauh lebih banyak daripada jumlah siswa
laki-laki yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Hal ini dapat kita lihat dari segi gender. Pada umumnya masyarakat pedesaan beranggapan bahwa
gender sama dengan kodrat. Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan sudah seharusnya berkedudukan di bawah laki-laki dalam semua hal,
termasuk dalam hal mengenyam pendidikan. Perempuan tidak perlu mendapatkan kesempatan bersekolah sama dengan laki-laki karena kedudukan perempuan yang
memang menurut mereka lebih rendah dari laki-laki. Persepsi mengenai pendidikan bagi anak perempuan tersebut diduga
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor internal dan faktor eksternal,
baik pada diri orang tua maupun anak. Faktor internal adalah pengalaman psikologis pribadi seseorang yang sudah tertanam di dalam dirinya. Faktor
internal orang tua terdiri dari jenis kelamin orang tua, usia orang tua, tingkat pendidikan orang tua, tingkat penghasilan orang tua, dan kepekaan orang tua
terhadap isu-isu gender. Faktor internal anak terdiri dari usia anak, jenis kelamin anak dan kepekaan anak terhadap isu-isu gender. Faktor eksternal yang dimaksud
adalah karakteristik pribadi yang melekat pada diri seseorang, di luar pengalaman psikologis pribadi. Dalam hal ini, faktor eksternal adalah kebijakan pemerintah
mengenai pendidikan, aksesibilitas terhadap sarana pendidikan, dan peran lembaga lokal setempat dalam hal pendidikan perempuan.
Persepsi keluarga terhadap pendidikan bagi anak perempuan akan mempengaruhi keputusan keluarga dalam memberikan pendidikan bagi anak
perempuannya. Persepsi keluarga tidak hanya dilihat dari sisi orang tuanya saja, tetapi juga dilihat dari sisi anak perempuan dalam keluarga tersebut. Pengambilan
keputusan untuk pendidikan anak perempuan dapat dilakukan dengan melibatkan anak ataupun dengan cara diputuskan sepihak saja tanpa melibatkan anak.
Keputusan untuk memberikan pendidikan bagi anak perempuan akan menjadi penting karena hal tersebut yang diduga akan mempengaruhi terjadinya
ketimpangan pendidikan perempuan di Kecamatan Cariu. Ketimpangan pendidikan perempuan di Kecamatan Cariu dilihat dari
perbedaan jumlah siswa laki-laki dan perempuan yang tercatat di kedua Sekolah Mengenah Atas yang terdapat di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor yang
diperhatikan sejak kedua Sekolah Menengah Atas tersebut didirikan. Ketimpangan yang terjadi diduga berhubungan dengan persepsi orang tua
terhadap pendidikan anak perempuan, persepsi anak terhadap pendidikan perempuan, dan pengambilan keputusan mengenai pendidikan perempuan.
Ketimpangan pendidikan perempuan di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor diduga menimbulkan beberapa dampak dalam kehidupan perempuan yang
tidak menempuh pendidikan lanjut. Dampak dari ketimpangan pendidikan perempuan dalam kehidupan tersebut dilihat dari beberapa segi kehidupan
perempuan, dalam hal ini terbagi menjadi dampak dalam kehidupan perempuan secara individu, dampak dalam kehidupan perempuan dalam kehidupan
berkeluarga, dan dampak dalam kehidupan perempuan dalam masyarakat. Dampak bagi kehidupan individu perempuan dilihat dari keberdayaan perempuan
dalam menjalani kehidupannya, termasuk ke dalamnya mengenai kemampuan perempuan dalam menopang hidupnya sendiri secara finansial dan pengambilan
keputusan minimal untuk hidupnya sendiri. Dampak bagi kehidupan perempuan dalam berkeluarga dilihat dari kehidupan berkeluarga perempuan, baik aktual
maupun keinginan untuk membentuk keluarga di masa depan. Kehidupan berkeluarga juga dilihat dari bagaimana perempuan menjalani kehidupan rumah
tangga dengan pasangan dan juga kelanjutan kualitas keturunan mereka kelak. Dampak yang terakhir adalah dampak bagi kehidupan perempuan dalam hal
bermasyarakat. Hal ini dilihat dari bagaimana perempuan dapat diterima di lingkungannya dengan tingkat pendidikan yang hanya seadanya. Kehidupan
bermasyarakat diukur dengan sejauh mana perempuan dikenal dan mengenal lingkungan tempat tinggalnya, dan penerimaan masyarakat terhadap perempuan
tersebut dalam berorganisasi. Dari paparan di atas, maka didapat kerangka pemikiran sebagai berikut:
2.3. Hipotesis Penelitian
Dengan menggunakan kerangkan pemikiran di atas, serta masalah-masalah yang telah dikemukakan, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Terjadi ketimpangan yang tinggi pendidikan perempuan di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor.
2. Terdapat faktor-faktor internal dan eksternal orang tua dan anak yang berhubungan dengan ketimpangan gender di bidang pendidikan.
3. Ketimpangan gender di bidang pendidikan berdampak terhadap kehidupan perempuan sebagai individu, perempuan dalam keluarga, dan perempuan
dalam masyarakat.
2.4. Definisi Operasional
Berikut ini akan diuraikan definisi operasional dan variabel-variabel yang terlibat dalam penelitian guna memperoleh batasan yang jelas sehingga
didapatkan pengukurannya, sebagai berikut: Tabel 5. Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional
Indikator X.1. Karakteristik Orang Tua
X.1.1. Usia
Orang Tua
Lama hidup
responden sampai
tahun pengisian kuesioner. Jumlah tahun sejak kelahiran
orang tua sampai dengan tahun 2008 saat pengisian
kuesioner.
X.1.2. Jenis Kelamin Identitas biologis
responden Identitas biologis
responden terdiri dari kategori:
a. Perempuan: 1 b. Laki-laki: 2
X.1.3. Tingkat
Pendidikan Pendidikan
formal yang
pernah diikuti responden Jenjang pendidikan formal
yang diikuti responden. Terdiri dari kategori:
a. Rendah: SMP b. Tinggi : SMA
X.1.4. Kepekaan Orang Tua Terhadap Isu Gender
Penilaian responden terhadap isu-isu ketidakadilan gender
Penilaian responden terhdapa isu-isu ketidakadilan gender
dilihat dari penilaian responden terhadap:
1. Marjinalisasi:
peminggiran perempuan di sektor
ekonomi. 2.
Subordinasi: Penomorduaan
perempuan. 3.
Stereotipi: Pelabelan negatif terhadap
perempuan. 4.
Kekerasan: Serangan baik
berupa serangan fisik maupun psikis.
5. Beban kerja:
pembebanan peran publik dan domestik
kepada perempuan.
Terdiri dari kategori: a. Rendah: 20
b. Tinggi : 20 X.1.5. Tingkat Pendapatan
Orang Tua Besar nominal uang yang
diterima responden per bulan Nominal uang yang diterima
responden terdiri dari: a. Rendah: Rp. 500.000,-
b. Tinggi : Rp. 500.000,-
X.2. Karakteristik Anak X.2.1. Usia Anak
Lama hidup responden sampai tahun pengisian kuesioner.
Jumlah tahun sejak kelahiran orang tua sampai dengan
tahun 2008 saat pengisian kuesioner.
X.2.2. Jenis
Kelamin Anak
Identitas biologis
responden Identitas
biologis responden
terdiri dari kategori: a. Laki-laki: 2
b. Perempuan: 1 X.2.3. Kepekaan Anak
Terhadap Isu Gender Penilaian responden terhadap
isu-isu ketidakadilan gender Penilaian responden terhdapa
isu-isu ketidakadilan gender dilihat dari penilaian
responden terhadap:
1. Marjinalisasi:
peminggiran perempuan di sektor
ekonomi.
2. Subordinasi:
Penomorduaan perempuan.
3. Stereotipi: Pelabelan
negatif terhadap perempuan.
4. Kekerasan:
Serangan baik berupa serangan
fisik maupun psikis.
5. Beban kerja:
pembebanan peran publik dan domestik
kepada perempuan.
Terdiri dari kategori: a. Rendah: 20
b. Tinggi : 20