Tabel 34. Persepsi Anak terhadap Pendidikan dalam Kaitannya dengan Perolehan Pekerjaan, Kecamatan Cariu 2008
Persepsi Anak terhadap Pendidikan dalam Kaitannya dengan Perolehan
Pekerjaan Frekuensi orang
Persentase Negatif
15 50
Positif 15
50 Total
30 100
Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam Hal Kehidupan Sosial
Frekuensi orang Persentase
Negatif 20
66,7 Positif
10 33,3
Total 30
100 Persepsi Anak terhadap Pendidikan
dalam Hal Kehidupan Berkeluarga Frekuensi orang
Persentase Negatif
21 70
Positif 9
30 Total
30 100
Sebesar 50 persen dari responden anak memandang pendidikan perempuan penting dalam perolehan perempuan. Sebanyak 66,7 persen responden
anak menganggap pendidikan perempuan tidak berpengaruh dalam kehidupan sosial seseorang. Sebesar 70 persen responden anak beranggapan bahwa
pendidikan juga tidak penting dalam kehidupan berkeluarga. Bagi responden anak, pendidikan penting dalam beberapa aspek kehidupan perempuan, namun
responden anak pun tidak sepenuhnya sudah memandang pentingnya pendidikan sebagaimana mestinya.
6.2.1. Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuan dalam Hal Perolehan Pekerjaan
Responden anak terbagi menjadi dua kelompok sama besar dalam berpendapat mengenai pentingnya pendidikan perempuan dalam hal perolehan
pekerjaan. Sebesar 50 persen responden anak menilai pendidikan perempuan
sangat penting dalam hal perolehan pekerjaan, sedangkan lima puluh persen lainnya menganggap pendidikan tidak begitu penting bagi perempuan dalam hal
memperoleh pekerjaan. Adapun beberapa hal yang berhubungan dengan persepsi anak terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan antara lain, usia,
jenis kelamin, kepekaan anak terhadap isu gender marjinalisasi, subordinasi, stereotipi, kekerasan, dan beban kerja.
Tabel 35. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal Perolehan Pekerjaan Berdasarkan usia di Kecamatan Cariu Kabupaten Bogor
2008
Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam Hal Pekerjaan
Usia Anak 15-24
25-34 Negatif
736,8 872,7
Positif 1263,2
327,3 Total
19 100 11
100
Variabel pertama yang berhubungan dengan persepsi anak terhadap peran pendidikan perempuan dalam hal perolehan pekerjaan adalah variabel usia.
Semakin dewasa seorang anak, maka semakin positif persepsinya terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan. Anak yang tergolong kategori dewasa
adalah anak yang berusia antara 25 tahun sampai dengan 34 tahun, sedangkan anak yang tergolong dalam kategori usia rendah adalah anak yang berusia antara
15 tahun sampai 24 tahun. Responden anak yang tergolong dewasa berpikir bahwa pendidikan perempuan berperan penting dalam perolehan pekerjaan,
sedangkan responden anak yang belum dewasa tidak terlalu memandang penting peran pendidikan perempuan dalam perolehan pekerjaan. Hal demikian dapat
terjadi karena responden anak yang dewasa sudah memiliki pengalaman dalam
hal pencarian pekerjaan, sementara responden yang belum dewasa belum berpengalaman sebaik responden dewasa. Responden anak dewasa sudah
mengalami susahnya mencari pekerjaan, sehingga mereka berpikir bahwa pendidikan memang penting untuk memperoleh pekerjaan. Responden anak yang
belum dewasa masih belum sepenuhnya mengalami pengalaman mencari kerja sungguhan, kebanyakan dari mereka masih bergantung pada orang orang tuanya
dan mencerminkan hidup pada kehidupan orang tuanya.
Tabel 36. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal Perolehan Pekerjaan Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Cariu Kabupaten
Bogor 2008
Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam Hal Pekerjaan
Jenis Kelamin Anak Laki-laki
Perempuan Negatif
8 80 7 35
Positif 2 20
13 65 Total
10 100 20 100
Jenis kelamin anak berhubungan dengan persepsi anak terhadap peran pendidikan perempuan dalam perolehan pekerjaan. Responden anak laki-laki
memiliki persepsi yang tidak begitu baik terhadap peran pendidikan perempuan dalam perolehan pekerjaan.
Persepsi anak terhadap peran pendidikan dalam perolehan pekerjaan berhubungan dengan semua variabel dari kepekaan responden terhadap isu
gender. Variabel kepekaan isu gender terdiri kepekaan terhadap isu gender marjinalisasi, subordinasi, stereotipi, kekerasan, dan beban kerja. Dapat dikatakan
bahwa semakin peka seorang anak terhadap isu gender, maka semakin positif pula persepsi anak terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan.
Tabel 37. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal Perolehan Pekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadap Isu Gender Marjinalisasi di
Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor 2008
Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam Hal Pekerjaan
Marjinalisasi Anak Rendah
Tinggi Negatif
4 80 11 44
Positif 1 20
14 56 Total
5 100 25
100
Data di atas menunjukkan bahwa variabel kepekaan anak terhadap isu gender marjinalisasi berhubungan dengan persepsi anak terhadap peran
pendidikan dalam perolehan pekerjaan. Semakin tinggi kepekaan anak terhadap isu gender marjinalisasi, maka semakin tinggi pula persepsi anak terhadap peran
pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan. Kepekaan terhadap isu gender marjinalisasi adalah kepekaan seseorang terhadap persamaan kedudukan laki-laki
dan perempuan dari segi ekonomi. Segi ekonomi juga erat hubungannya dengan pekerjaan. Anak yang memiliki kepekaan tinggi terhadap isu gender marjinalisasi
beranggapan bahwa perempuan sudah seharusnya berkedudukan sama dengan laki-laki jika memang memiliki potensi yang sama. Kedudukan tersebut dapat
didapatkan jika pendidikan laki-laki dan perempuan sejajar. Oleh karena itu, perempuan juga harus sedapat mungkin mendapatkan pendidikan yang sama
dengan laki-laki.
Tabel 38. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal Perolehan Pekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadap Isu Gender Subordinasi di
Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor 2008
Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam Hal Pekerjaan
Subordinasi Anak Rendah
Tinggi Negatif
13 56,5 2 38,6
Positif 10 43,5
5 71,4 Total
23 100 7 100
Kepekaan terhadap isu gender subordinasi diartikan sebagai kepekaan seseorang terhadap kedudukan perempuan dalam berhubungan dengan laki-laki,
termasuk dalam mengambil keputusan. Tabel 40 menunjukkan bahwa kepekaan anak terhadap isu gender subordinasi berhubungan dengan persepsi anak terhadap
peran pendidikan dalam hal perohan pekerjaan. Semakin tinggi kepekaan anak terhadap isu gender subordinasi, maka semakin positif pula persepsi anak
terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan. Anak yang peka terhadap isu gender subordinasi menilai bahwa pendidikan bagi anak perempuan
sama pentingnya dengan pendidikan bagi anak laki-laki karena anak pereempuan dan laki-laki harus bisa mampu berdiri di atas kakinya sendiri kelak. Untuk dapat
menjadi seseorang yang mandiri, maka seseorang harus bisa mengambil keputusan sendiri. Oleh karena itu, perempuan dan laki-laki harus berpendidikan.
Hal tersebut ditegaskan oleh pernyataan seorang responden anak sebagai berikut: anak perempuan juga harus bisa mandiri, jangan tergantung
terus sama orang tua. Suatu saat kan orang tua bakal ninggalin kita, kalo kita dari sekarang terlalu tergantung kan repot juga
nantinya.. jadi anak perempuan juga mesti sekolah biar bisa mandiri nantinya. YT, anak, 21 tahun.
Tabel 39. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal Perolehan Pekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadap Isu Gender Stereotipi di
Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor 2008
Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam Hal Pekerjaan
Stereotipi Anak Rendah
Tinggi Negatif
10 55,6. 5 41,7
Positif 8 44,4
7 58,3 Total
18 100 12
100
Variabel selanjutnya yang berhubungan dengan persepsi anak terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan adalah kepekaan anak terhadap
isu gender stereotipi. Kepekaan seseorang terhadap isu gender stereotipi diartikan sebagai kepekaan seseorang terhadap label negatif yang biasanya ditempelkan
kepada perempuan, misalnya perempuan itu hanya perlu cantik saja, tanpa harus pandai. Anak yang memiliki kepekaan terhadap isu gender stereotipi tidak
percaya dengan stereotipi yang dilabelkan kepada perempuan. Mereka tahu bahwa label tersebut mungkin saja berlaku kepada seorang perempuan, tapi label tersebut
tidak berlaku pada seluruh perempuan. Mereka beranggapan bahwa perempuan harus pandai, caranya adalah dengan bersekolah. Mereka menyangkal anggapan
bahwa kalaupun seorang perempuan bisa mendapatkan pekerjaan yang baik, itu hanya karena perempuan itu cantik, berpenampilan menarik, atau yang lainnya,
tetapi bukan melihat kemampuan perempuan itu.
Tabel 40. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal Perolehan Pekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadap Isu Gender Kekerasan di
Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor 2008
Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam Hal Pekerjaan
Kekerasan Anak Rendah
Tinggi Negatif
4 80 11 44
Positif 1 20
14 56 Total
5 100 25
100
Kepekaan anak terhadap isu gender kekerasan berhubungan dengan persepsi anak terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan. Data
menunjukkan bahwa semakin tinggi kepekaan anak terhadap isu gender kekerasan, maka semakin baik pula persepsi anak terhadap peran pendidikan
dalam hal perolehan pekerjaan. Anak yang memiliki kepekaan tinggi terhadap isu gender kekerasan dapat dikatakan sebagai anak yang tidak menghierarkhikan
perempuan dan laki-laki, mereka menganggap laki-laki dan perempuan sama. Jika ada perempuan yang diperlakukan tidak baik oleh laki-laki, perempuan biasanya
disalahkan. Oleh karena itu, perempuan harus memiliki benteng yang kuat dalam menjaga diri. Perempuan yang tidak berpendidikan kemungkinan besar tidak
mengetahui bagaimana harus bersikap, sehingga terjadilah tindakan kekerasan yang kemudian berlangsung terus menerus.
Tabel 41. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal Perolehan Pekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadap Isu Gender Beban Kerja di
Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor 2008
Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam Hal Pekerjaan
Beban Kerja Anak Rendah
Tinggi Negatif
13 52 2 40
Positif 12 48
3 60 Total
25 100 5 100
Kepekaan anak terhadap isu gender beban kerja berhubungan dengan persepsi anak terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan. semakin
tinggi kepekaan seseorang terhadap isu gender beban kerja, maka akan semakin positif pula persepsi anak terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan
pekerjaan. Anak yang peka terhadap isu gender beban kerja sudah mengerti bahwa perekerjaan rumah tangga bukan hanya tanggung jawab seorang
perempuan saja, tetapi juga merupakan tanggung jawab laki-laki. Mereka beranggapan bahwa kalau seorang perempuan tidak pendidikan, ia akan dengan
serta merta hanya menerima pekerjaan di rumah tangga saja. Jika mereka berpendidikan, tentunya mereka mendapatkan informasi yang lebih mengenai
banyak hal, salah satunya adalah mengenai isu gender beban kerja yang idelanya ditetapkan sebagai kesepakatan bersama, bukan hanya pekerjaan perempuan saja.
6.2.2. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan Perempuan dalam Hal Kehidupan Sosial
Seperti halnya persepsi orang tua terhadap peran pendidikan perempuan dalam kehidupan sosial yang kurang baik, persepsi anak pun demikian terhadap
peran pendidikan dalam kehidupan sosial. Sebanyak 66,7 persen anak tidak menganggap pendidikan penting dalam pergaulan perempuan karena perempuan
tidak terlalu perlu bergaul terlalu luas sehari-hari. Selain itu, perempuan biasanya hanya berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnnya yang juga mempunyai
karakteristik yang kurang lebih sama dengan dirinya. Oleh karena itu, perempuan tidak harus berusaha terlalu keras untuk mengembangkan diri untuk bisa bergaul,
karena ternyata dengan tidak berpendidikan pun seorang perempuan bisa diterima
di lingkungannya. Permasalahannya adalah bahwa karena perempuan tidak bergaul secara luas dan hanya bergaul dengan orang-orang yang sama dengan
dirinya, maka perempuan itu pun tidak akan mampu mengembangkan diri secara maksimal. Beberapa variabel yang berhubungan dengan persepsi anak terhadap
peran pendidikan dalam kehidupan sosial adalah kepekaan anak terhadap isu gender subordinasi, isu gender stereotipi, dan isu gender beban kerja.
Kepekaan anak terhadap isu gender subordinasi berhubungan dengan persepsi anak terhadap peran pendidikan perempuan dalam hal kehidupan sosial.
Tabel 42. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal Kehidupan Sosial Berdasarkan Kepekaan terhadap Isu Gender Subordinasi di Kecamatan
Cariu Kabupaten Bogor 2008
Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam Hal Kehidupan Sosial
Subordinasi Anak Rendah
Tinggi Rendah
18 78,3 2
28,6 Tinggi
5 21,7 5
71,4 Total
23 100 7
100
Semakin peka seorang anak terhadap isu gender subordinasi, semakin positif pula persepsi anak terhadap peran pendidikan dalam hal kehidupan sosial.
Seorang anak yang peka terhadap isu gender subordinasi akan menganggap bahwa perempuan juga harus bisa mengembangkan diri dengan bergaul, oleh
karena itu perempuan harus punya kompetensi untuk bisa diterima di pergaulannya, sehingga pendidikan juga dianggap penting bagi seorang
perempuan untuk bergaul.
6.2.3. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan Perempuan dalam Hal Kehidupan Berkeluarga
Sebagian dari responden anak sudah menikah dan mempunyai anak, namun mereka tetap diposisikan sebagai anak, bukan sebagai orang tua.
Responden anak yang sudah berkeluarga maupun yang belum berkeluarga. Sebesar 70 persen anak memiliki persepsi yang negatif terhadap peran pendidikan
dalam hal kehidupan berkeluarga. Mereka menganggap pendidikan bukanlah faktor yang berhubungan dengan kehidupan berkeluarga seseorang.
Masa pengen hidup seneng sama keluarga aja mesti cape-cape sekolah dulu sih? Ya engga lah Yang penting mah kita beriman
sama Allah, insya Allah bakal dikasih yang terbaik sama Allah. Pendidikan sama sekali ga ada hubungannya sama kebahagiaan
seseorang di dalam keluarga ST, anak, 35 tahun.
Tabel 43. Jumlah dan Presentase Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Kehidupan Berkeluarga
Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Kehidupan
Berkeluarga Frekuensi orang
Persentase Rendah
20 66,7
Tinggi 10
33,3 Total
30 100
Berdasarkan hasil analisis data, persepsi anak terhadap peran pendidikan dalam kehidupan berkeluarga berhubungan dengan variabel kepekaan anak
terhadap isu gender beban kerja. Beban kerja dalam hal ini diartikan sebagai pembebanan pekerjaan rumah tangga sepenuhnya kepada perempuan, sekan
perempuan sudah bekerja pula di sektor publik. Semakin peka seorang anak terhadap isu gender beban kerja, maka semakin positif persepsi anak terhadap
peran pendidikan dalam hal kehidupan berkeluarga. Hal ini diperkuat oleh pernyataan seorang responden,
Kerjaan di rumah sih harusnya dibagi-bagi sama suami, enak aj kalo istri doang yang kerja.. makanya perempuan juga mesti pinter
biar ga diboongin sama suami Apalagi jaman sekarang, orang- orang udah makin edan LL, anak, 29 tahun.
BAB VII KETIMPANGAN GENDER DALAM PENDIDIKAN
Ketimpangan gender dalam bidang pendidikan di Kecamatan Cariu sangat terlihat pada jumlah siswa sekolah tingkat SMA. Ketimpangan gender dalam
pendidikan ini dilihat dengan membandingkan jumlah siswa laki-laki dan perempuan di sekolah-sekolah menengah tingkat atas di Kecamatan Cariu.
Kecamatan Cariu memiliki dua sekolah setingkat SMA, yang pertama adalah SMA Negeri 1 Cariu yang telah berdiri sejak sekitar 10 tahun yang lalu, yang
kedua adalah SMK Negeri 1 Cariu yang baru berdiri sekitar tiga tahun. Ketimpangan gender terlihat pada kedua sekolah tersebut. Kedua sekolah
mengenah tingkat atas tersebut memiliki siswa laki-laki yang jauh lebih banyak daripada jumlah siswa perempuan. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru di
kedua sekolah tersebut, hal ketimpangan jumlah antara siswa laki-laki dan perempuan berlangsung terus menerus sejak sekolah tersebut didirikan. Data
menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun siswa laki-laki hampir selalu lebih banyak daripada siswa perempuan di kedua sekolah.
Tabel 44. Jumlah siswa SMA Negeri 1 Cariu Berdasarkan Jenis Kelamin 2008
Tahun Jumlah Siswa
Total Kelas satu
Kelas 2 Kelas 3
L P T L P T L P T 19951996
19961997 114 46 160 80 36 116 43 19 62 338
19971998 216 88 304 65 83 148 56 27 83 505
19981999 135 65 200 111 45 156 63 34 97 453
19992000 126 67 193 107 69 176 112 54 166 535 20002001 107 81 188 107 65 172 102 70 172 532
20012002 127 83 210 108 77 185 109 62 171 566 20022003 118 82 200 120 74 194 107 75 182 576
20032004 100 102 202 115 76 191 124 70 194 587 20042005 95 90 185 98 97 195 109 77 186
566 20052006
110 79 189 90 92 182 99 97 196 567
20062007 117 81 198 110 75 185 89 89 178 561 20072008 118 101 219 112 76 188 70 108 178 585
Sumber: Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Cariu Satu sekolah menengah atas lainnya yang terdapat di Kecamatan Cariu
tidak memiliki siswa perempuan samasekali karena dianggap sebagai sekolah bagi anak laki-laki.
Ketimpangan gender dalam bidang pendidikan tersebut dipengaruhi oleh tiga hal, persepsi orang tua terhadap pendidikan anak perempuan, persepsi anak
terhadap pendidikan, dan pengambilan keputusan mengenai pendidikan anak perempuan dalam rumah tangga.
7.1. Hubungan Antara Persepsi Orang Tua Terhadap Peran Pendidikan dengan Ketimpangan Gender dalam Pendidikan
Jika dilihat secara umum, persepsi orang tua terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan, dalam hal kehidupan sosial, dan dalam hal
kehidupan berkeluarga dapat dikatakan sangat rendah. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 45. Persepsi Responden Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan, Kecamatan cariu 2008
Persepsi Responden Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan
Frekuensi orang Persentase
negatif 20
66,7 positif
10 33,3
Total 30
100
Sebesar 66,7 persen orang tua tidak peduli akan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Orang tua lebih memilih untuk menikahkan anak
perempuannnya pada usia dini ketimbang menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi. Hal inilah yang diduga berhubungan dengan tingginnya angka
ketimpangan gender di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, khususnya pada jenjang SMA dan setingkatnya. Peran pendidikan bagi perempuan tidaklah
penting menurut kebanyakan orang tua. Menurut mereka, perempuan tidak harus sekolah, karena pada akhirnya masa depan perempuan hanya akan berakhir di
dapur. SMA Negeri 1 Cariu yang merupakan sekolah umum mempunyai
kurikulum yang sama dengan sekolah negeri pada umumnya, namun tetap saja para orang tua enggan menyekolahkan anak perempuan mereka di sekolah ini.
Ketika ditanya penyebab para orang tua tidak menyekolahkan anak perempuan mereka, ternyata faktor biaya tidak menjadi persoalan yang utama, begitu pula
dengan persoalan jarak tempuh dari pemukiman warga ke SMA Negeri 1 Cariu. Hal yang menjadi persoalan adalah cara pandang orang tua terhadap anak
perempuan mereka. Para orang tua memandang anak perempuan sebagai anak
yang hanya perlu dilindungi oleh orang tua dan suaminya kelak, tanpa harus dikembangkan potensi yang ada di dalam diri anak perempuan tersebut.
SMK Negeri 1 Cariu adalah SMK teknik industri. Didirikan pada tahun 2004 untuk menyukseskan program pemerintah Kabupaten Bogor, yaitu
memperkuat pendidikan berbasis keterampilan khusus. Pemerintah Kabupaten Bogor, khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor yang disetujui oleh Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor semula akan mendirikan SMK pariwisata atau SMK Manajemen, namun hal tersebut urung dilakukan
mengingat lokasi Kecamatan Cariu yang terjepit diantara daerah-daerah industri, yaitu Karawang, Bekasi, dan Jonggol. Pemerintah Kabupaten Bogor
mengharapkan dengan dibangunnya SMK teknik industri di Kecamatan Cariu ini akan membuka jalan bagi para pemuda untuk lebih mudah mencari pekerjaan
untuk menaikkan taraf hidup warga Kecamatan Cariu itu sendiri. Sebagai SMK teknik industri, tentunya SMK Negeri 1 Cariu mempunyai
kurikulum yang berbeda dengan SMA regular pada umumnya. SMK Negeri 1 Cariu memiliki dua program pembelajaran, yaitu program Auto Motor Teknik dan
Audio visual. SMK Negeri 1 Cariu tidak diminati oleh siswa perempuan. Hal ini terbukti dari tidak adanya siswa perempuan yang tercatat sebagai siswa sekolah
ini. Menurut Bapak Znl, selaku Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Cariu, pernah ada siswa perempuan yang mendaftarkan diri bersekolah di SMK Negeri 1 Cariu ini,
namun siswa perempuan tersebut tidak mengikuti pendidikan hingga tamat. Setelah beberapa bulan mengikuti pendidikan, siswa tersebut mengundurkan diri
dari sekolah. Setelah pihak sekolah menelusuri dan menyelidiki penyebab keluarnya siswa perempuan tersebut, didapatlah informasi bahwa dia dipaksa oleh
orang tuanya untuk dinikahkan. Menurut informasi lebih lanjut, orang tua gadis itu lelah dengan cibiran para tetangga dan kerabat yang mengatakan bahwa anak
perempuan mereka tidak laku, dan akan segera menjadi perawan tua karena belum menikah pada usia baligh. Selain itu, penampilan anak perempuan yang terlihat
seperti anak laki-laki, karena banyak bergaul dengan anak laki-laki, dijadikan santapan lezat untuk diperbincangkan oleh tetangga dan kerabat yang usil.
Demikian hebatnya gunjingan para tetangga dan kerabat itu akhirnya meruntuhkan benteng pertahanan orang tua si gadis.
Persepsi orang tua terhadap peran pendidikan anak perempuan sangat berperan dalam kaitannya dengan ketimpangan gender dalam pendidikan,
khususnya pada jenjang SMA dan setingkatnya. Apapun yang dikatakan oleh orang tua kepada anaknya akan diikuti oleh si anak, termasuk ketika orang tua
berkeinginan untuk menikahkan anak perempuan mereka di usia yang relatif dini, tanpa membekali anak perempuannya dengan ilmu yang cukup. Sebagian orang
tua menganggap hal tersebut adalah jalan terbaik untuk anak perempuan mereka. Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan salah satu responden orang tua yang sudah
menikahkan anaknya di usia dini, sebagai berikut: Punya anak perempuan mah berat tanggung jawabnya, apalagi
kalo udah jadi anak perawan. Mendingan juga dinikahin aja lah kalo udah ada yang mint amah, biar aman. Kalo udah nikah kana
pa-apa juga jadi halal, ga dosa lagi. Saya mah ambil mudahnya aja deh, takut dosa kalo ngebiarin anak perawan lama-lama.
HR, orang tua, 54 tahun.
7.2. Hubungan Antara Persepsi Anak Terhadap Peran Pendidikan dengan Ketimpangan Gender dalam Pendididikan
Ketimpangan gender dalam pendidikan di Kecamatan Cariu Kabupaten Bogor yang diindikasikan oleh perbedaan jumlah siswa perempuan dan laki-laki
pada sekolah setingkat SMA terlihat sangat mencolok. Dari data yang diperoleh dari sekolah-sekolah setara SMP yang ada di Kecamatan Cariu, didapatkan bahwa
jumlah siswa laki-laki dan siswa perempuan tidak jauh berbeda, namun pada data jumlah siswa laki-laki dan perempuan tahun berikutnya terlihat kesenjangan yang
tinggi. Presentase jumlah siswa perempuan menurun drastis, sedangkan presentase siswa laki-laki mengalami peningkatan.
Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat persepsi anak terhadap peran pendidikan perempuan pun negatif. Seperti halnya orang tua, sebagian besar anak
pun menganggap bahwa pendidikan bagi anak perempuan tidak terlalu penting. Pendidikan yang tinggi bagi anak perempuan dipandang terlalu sebagai suatu hal
yang percuma, hanya membuang uang, tenaga, waktu, dan pikiran. Pemikiran yang sama dengan orang tua menjadi dasar dari lahirnya persepsi dalam diri anak
bahwa pendidikan bagi anak perempuan tidak begitu penting, karena perempuan hanya warga kelas dua, satu tingkat di bawah laki-laki. Tingkat persepsi anak
terhadap pendidikan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 46. Persepsi Responden Anak terhadap Pendidikan Perempuan, Kecamatan Cariu 92008
Persepsi Responden Anak terhadap Pendidikan Perempuan
Frekuensi orang Persentase
Negatif 19
63,3 Positif
11 36,7
Total 30
100
Persepsi anak terhadap peran pendidikan perempuan merupakan penyebab utama kedua setelah persepsi orang tua terhadap peran pendidikan bagi anak
perempuan dalam hal tingginya ketimpangan gender dalam dunia pendidikan.
Tidak mengherankan jika pendidikan perempuan semakin menurun di jenjang pendidikan yang lebih tinggi, karena anak-anak itu sendiri tidak mempunyai
keinginan yang kuat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebagai bukti bahwa persepsi anak terhadap peran pendidikan
berperan dalam ketimpangan gender yang semakin mencolok, seorang responden orang tua yang melibatkan anaknya dalam proses pengambilan keputusan
mengatakan bahwa anaknya saja tidak mau disekolahkan, jadi untuk apa anak tersebut disekolahkan, karena pemaksaan terhadap anak tidak akan menghasilkan
prestasi yang baik. Anak saya mah disekolahin malah ga mau Ya udah lah saya
suruh dia kerja aja supaya bener, daripada nanti udah susah- susah disekolahin, malah ga bener, kerjaannya bolos..kan sayang
juga duitnya BM, orang tua, 51 tahun.
Seorang anak yang sudah sadar akan pentingnya peran pendidikan akan memperlihatkan hasil yang berbeda dengan anak yang terpaksa sekolah untuk
memenuhi keinginan orang tuanya.
7.3. Hubungan antara Pengambilan Keputusan Mengenai Pendidikan Anak Perempuan dengan Ketimpangan Gender dalam Pendidikan
Pengambilan keputusan merupakan hal yang sangat penting dalam ketimpangan gender dalam pendidikan. Pengambilan keputusan mengenai
pendidikan untuk anak perempuan dalam sebuah keluarga tidak selalu melalui proses yang sama dalam sebuah keluarga. Dalam penelitian ini, pengambilan
keputusan mengenai pendidikan anak perempuan dalam sebuah keluarga dilihat dari apakah anak perempuan itu sendiri dilibatkan dalam pengambilan keputusan
untuk pendidikannya atau hanya tinggal menjalani keputusan yang sudah diambil oleh orang tua. Pengambilan keputusan dibagi menjadi dua kategori, yaitu
kategori tinggi dan rendah. Pengambilan keputusan dikatakan tinggi bila anak perempuan dalam suatu keluarga dilibatkan dalam pengambilan keputusan
mengenai pendidikan anak perempuan tersebut, sedangkan pengambilan keputusan dikatakan rendah apabila pengambilan keputusan hanya dilakukan oleh
orang tua saja, tanpa melibatkan anak perempuan. Pengambilan keputusan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 47. Pengambilan Keputusan Pendidikan Anak Perempuan, Kecamatan Cariu 2008
Pengambilan Keputusan Pendidikan Anak Perempuan
Frekuensi orang Persentase
Orang TuaAnak 18
60 Orang Tua dan Anak
12 40
Total 30
100
Berdasarkan hasil pengolahan data, pengambilan keputusan mengenai pendidikan anak perempuan dalam keluarga sebanyak 60 persen
dilakukan hanya oleh orang tua pengambilan keputusan tinggi, tanpa melibatkan anak perempuan mereka, sedangkan 40 persen lainnya mengambil keputusan
mengenai pendidikan anak perempuan dengan mempertimbangkan pendapat anak perempuan mereka pengambilan keputusan rendah.
Ketimpangan gender dalam pendidikan yang terjadi di Kecamatan Cariu semakin masuk akal ketika melihat banyaknya orang tua yang tidak melibatkan
anak perempuannya dalam mengambil keputusan mengenai pendidikan anak perempuan, dihubungkan dengan rendahnya persepsi orang tua mengenai
pendidikan untuk anak perempuan, dilihat dari segi perolehan pekerjaan, kehidupan sosial anak perempuan, dan kehidupan berkeluarga anak perempuan
tersebut. Dapat dikatakan bahwa orang tua yang tidak melibatkan anak perempuannya dalam mengambil keputusan mengenai pendidikan untuk anak
perempuannya mengaplikasikan persepsi mereka terhadap pendidikan untuk anak perempuan yang demikian rendah.
7.3.1. Hubungan antara Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan dengan Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan mengenai pendidikan anak perempuan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu persepsi orang tua terhadap pendidikan anak
permpuan dan persepsi anak terhadap pendidikan anak perempuan.
Tabel 48. Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan Berdasarkan Pengambilan Keputusan Mengenai Pendidikan Anak Perempuan
Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Anak Perempuan
pengambilan keputusan pendidikan orang tua
anak dan orang tua
Negatif 15
83,3 5
41,7 Positif
3 16,7
7 68,3
Total 18
100 12
100
Dari hasil olahan data, didapatkan hasil bahwa memang persepsi orang tua terhadap pendidikan anak perempuan berhubungan dengan pengambilan
keputusan mengenai pendidikan anak perempuan. Persepsi positif lebih banyak dipunyai oleh orang tua yang melibatkan
anaknya dalam pengambilan keputusan pendidikan anak perempuan, dibandingkan dengan orang tua yang hanya mengambil keputusan mengenai
pendidikan anak perempuan secara sepihak saja. Maka, semakin positif persepsi orang tua terhadap pendidikan maka orang tua sedapat mungkin melibatkan anak
perempuannya dalam mengambil keputusan mengenai pendidikan anak
perempuannya. Orang tua yang sudah sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan dalam hal perolehan pekerjaan, kehidupan sosial, dan kehidupan
berkeluarga anak perempuannya kelak mempunyai harapan yang besar kepada anak perempuan mereka. Harapan tersebut mereka tujukan untuk anak
perempuannya, bukan hanya untuk mereka sebagai orang tua. Para orang tua yang memiliki persepsi positif terhadap pendidikan bagi anak perempuan dan
melibatkan anak perempuannya dalam proses pengambilan keputusan mengharapkan anak perempuannya dapat menjadi seoranganak yang mandiri,
tidak tergantung kepada siapapun. Mereka melibatkan anak dalam pengambilan keputusan karena mereka juga menyadari bahwa paksaan mereka kepada anak
perempuannya untuk bersekolah hanya akan membuat harapan yang mereka gantungkan kepada anak perempuan mereka akan menjadi sia-sia saja. Hal
tersebut dipertegas oleh pernyataan seorang responden yang selalu berusaha untuk melibatkan anaknya dalam proses pengambilan keputusan, sebagai berikut:
anak udah gede harus ditanya juga apa maunya, kita orang tua ga boleh seenaknya aja nentuin apa yang kita pengen, trus anak
mesti ngejalanin gitu aj. Sukur-sukur kalo anaknya senang, kalo anaknya kepaksa kan repot.. kasian anak kitanya ntar GN, orang
tua, 57 tahun.
Pernyataan berbeda disampaikan oleh responden lain yang tidak melibatkan anak dalam mengambil keputusan untuk kepentingan pendidikan anak perempuan
sebagai berikut: yang namanya anak mah udah semestinya tau beres aja. Soal
mikirin sekolah atau yang lain-lain mah biar jadi urusan orang tua aj, anak ga usah ikutan pusing deh.. kalo kata kita mesti ini, mesti
itu ya anaknya mesti ngikut juga. SH, orang tua, 65 tahun.
7.3.2. Hubungan antara Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuan dengan Pengambilan Keputusan
Faktor kedua yang mempengaruhi pengambilan keputusan adalah persepsi anak terhadap pendidikan perempuan. Data berikutnya menunjukkan adanya
hubungan antara persepsi anak dan keterlibatan anak dalam pengambilan keputusan mengenai pendidikan untuk anak perempuan.
Tabel 49. Persepsi Anak terhadap Pendidikan Berdasarkan Pengambilan Keputusan Mengenai Pendidikan Anak Perempuan
persepsi anak terhadap pendidikan anak perempuan
pengambilan keputusan pendidikan orang tua
Anak dan orang tua
Negatif 13
72,7 6
50 Positif
5 27,3 6 50
Total 18
100 12
100
Persepsi positif terhadap pendidikan anak perempuan lebih banyak dimiliki oleh anak yang dilibatan dalam pengambilan keputusan mengenai
pendidikan, dibandingkan dengan anak yang tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi anak terhadap pendidikan
perempuan berhubungan dengan pengambilan keputusan pendidikan perempuan. Persepsi anak terhadap pendidikan perempuan menentukan apakah anak tersebut
dilibatkan dalam pengambilan keputusan pendidikannya, atau hanya tinggal menjalani keputusan yang diambil oleh orang tua. Anak yang memiliki persepsi
positif terhadap pendidikan perempuan pada umumnya menunjukkan semangat untuk memperjuangkan keinginannya untun memperoleh pendidikan, sehingga
hal itu pula yang menjadi sebuah dorongan bagi orang tua untuk mendengarkan aspirasi anaknya atau tidak. Anak yang memiliki persepsi rendah terhadap
pendidikan perempuan cenderung tidak peduli dengan keputusan pendidikan itu
sendiri, sehingga mereka tidak keberatan untuk tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan pendidikannya.
BAB VIII DAMPAK KETIMPANGAN GENDER DALAM PENDIDIKAN
TERHADAP KEHIDUPAN PEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN BERKELUARGA DAN BERMASYARAKAT
Gambaran ketimpangan gender yang terjadi di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor ternyata menimbulkan dampak tertentu pada berbagai aspek
kehidupan yang terjadi dalam kehidupan seorang perempuan. Dalam hal ini kehidupan perempuan akan dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu kehidupan individu
perempuan, kehidupan perempuan dalam keluarga, dan kehidupan perempuan dalam masyarakat. Secara lebih jelasnya, dampak terhadap kehidupan individu
perempuan dilihat dari segi pekerjaan, bagaimana seorang perempuan mampu membuat dirinya mandiri secara finansial dan pengambilan keputusan untuk
dirinya sendiri. Dampak ketimpangan gender dalam pendidikan perempuan dilihat dari dampak terhadap pembentukan keluarga, baik orientasi, maupun prokreasi.
Dampak terhadap kehidupan perempuan dalam masyarakat dilihat dari kehidupan sosial anak perempuan.
8.1. Dampak Ketimpangan Pendidikan Perempuan terhadap Kehidupan Individu Perempuan
Ketimpangan gender dalam bidang pendidikan, khususnya bagi perempuan menimbulkan berbagai dampak, salah satunya adalah dampak yang
timbul pada diri perempuan itu sendiri. Dampak ketimpangan pendidikan terhadap kehidupan individu perempuan diukur melalui dampak ketimpangan
pendidikan terhadap segi pekerjaan seorang perempuan. Perempuan yang mampu mendapatkan pekerjaan yang layak dan mampu membiayai minimal dirinya
sendiri dapat dikatakan mandiri, artinya perempuan tersebut sudah mampu mengambil keputusan bagi dirinnya sendiri, tanpa harus menggantungkan diri
kepada orang lain.
Tabel 49. Dampak Ketimpangan Gender dalam Pendidikan terhadap Kehidupan Individu Perempuan, Kecamatan Cariu 2008