Wawasan Gender 1. Marjinalisasi Faktor Dan Dampak Ketimpangan Pendidikan Perempuan Dalam Kehidupan Perempuan (Kasus: Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

terhadap isu gender marjinalisasi. Marjinalisasi sendiri diartikan sebagai proses peminggiran, umumnya terjadi pada perempuan, yang terepresentasikan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut: a. Proses pengucilan. b. Proses penggeseran perempuan ke pinggiran dari pasar tenaga kerja. c. Proses feminisasi atau segregasi. d. Proses ketimpangan ekonomi yang makin meningkat. Sebaran tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu marjinalisasi dapat terlihat pada Tabel 15. Tabel 15. Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua terhadap Isu Gender Marjinalisasi, Kecamatan Cariu 2008 Marjinalisasi Frekuensi orang Persentase Rendah 13 43,3 Tinggi 17 56,7 Total 30 100 Dari sebaran yang terlihat dari tabel di atas, dapat dikatakan bahwa secara umum, responden orang tua mempunyai tingkat kepekaan tinggi terhadap isu gender marjinalisasi, namun banyak juga responden orang tua yang memiliki kepekaan rendah terhadap isu gender marjinalisasi. Selisih antara responden orang tua yang memiliki kepekaan tinggi dan responden orang tua yang memiliki kepekaan rendah terhadap isu gender marjinalisasi tidak begitu besar. Responden orang tua yang memiliki kepekaan tinggi terhadap isu gender marjinalisasi sebanyak 56,7 persen, sedangkan responden orangtua yang memiliki kepekaan rendah terhadap isu gender marjinalisasi sebanyak 43,3 persen. Sebaran tingkat kepekaan responden anak terhadap marjinalisasi dapat terlihat dari Tabel 16. Tabel 16. Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender Marjinalisasi, Kecamatan Cariu 2008 Tingkat Kepekaan Anak Terhadap Isu Gender Marjinalisasi Frekuensi orang Persentase Rendah 5 16,7 Tinggi 25 83,3 Total 30 100 Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa responden anak sebagian besar memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap isu gender marjinalisasi. Responden anak yang memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap isu gender marjinalisasi sebanyak 83,3 persen, sedangkan responden anak yang memiliki kepekaan rendah terhadap isu gender marjinalisasi hanya sebanyak 16,7 persen. Sebanyak 56,7 persen responden orang tua dan 83,3 persen responden anak berpendapat bahwa perempuan boleh saja bekerja di sektor manapun, dengan upah yang layak. Perempuan tidak lagi wajib hanya berada di rumah mengurusi rumah tangga, suami, dan anak. Perempuan boleh saja lebih maju dari laki-laki dalam hal pekerjaan apabila memang perempuan itu memiliki kemampuan yang tinggi. Responden yang memiliki kepekaan tinggi terhadap isu gender marjinalisasi telah menunjukkan bahwa mereka sudah menolak adanya praktek-praktek pengucilan terhadap perempuan, segregasi, penggeseran perempuan dari pasar tenaga kerja, dan ketimpangan ekonomi. Salah satu responden orang tua, sebut saja UM, menceritakan bahwa dalam rumah tangganya, dialah yang berperan sebagai kepala rumah tangga. UM merupakan pencari nafkah utama di keluarganya, suaminya yang masih sehat wal afiat memilih untuk tidak bekerja karena penghasilan UM dari warung makan yang dikelolanya sudah mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari, bahkan UM juga mengatakan bahwa setiap hari sebelum berangkat ke warung nasi miliknya, UM memberikan sejumlah uang untuk suaminya membeli rokok dan kebutuhan lainnya selama UM berada di warung. Selama UM berada di warung, sejak pagi hingga sore, suaminyalah yang bertanggung jawab atas semua urusan rumah tangganya, seperti membersihkan rumah dan menjaga rumah sampai UM selesai mengurus warungnya. ah suami saya mah ga pegang uang samasekali, setiap hari saya jatah uang jajannya, palingan juga 7000 perak sehari. Kan ini uang saya. Suami saya samasekali ga Bantu saya cari uang. Jadi dia mah tinggal anteng-anteng tunggu rumah aj, sekalian beberes rumah.. UM, orang tua, 62. Selain itu, UM juga bercerita mengenai proses pengambilan keputusan dalam rumah tangganya. UM mengatakan bahwa semua keputusan selalu diambil oleh UM sendiri, tanpa kompromi dengan sang suami. Suaminya pun tidak pernah keberatan dengan pembagian tugas seperti itu. Pembagian tugas yang demikian sudah berlangsung sekitar 10 tahun yang lalu, sejak sang suami mengalami pemecatan dari perusahaan tempatnya bekerja sebagai petugas keamanan.

5.5.2. Subordinasi

Isu gender subordinasi adalah isu gender yang berhubungan dengan pengambilan keputusan. Anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang irrasional, terlalu banyak melibatkan perasaan dalam bertindak menyebabkan perempuan banyak dipandang tidak mampu mengambil keputusan secara bijaksana. Semua keputusan haruslah diambil oleh laki-laki, terutama keputusan yang memerlukan pemikiran matang. Kalaupun perempuan boleh mengambil keputusan, sebagian besar hanya keputusan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan rumah tangga, misalnya urusan dapur dan kebersihan rumah. Tingkat kepekaan responden terhadap isu gender subordinasi adalah mengenai seberapa jauh responden merasa isu gender subordinasi tersebut patut diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari. Sebaran frekuensi dan persentase kepekaan responden orang tua terhadap isu gender subordinasi dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Kepekaan Responden Orang Tua terhadap Isu Gender Subordinasi, Kecamatan Cariu 2008 Tingkat Kepekaan Orang Tua terhadap Isu Gender Subordinasi Frekuensi orang Persentase Rendah 20 66,7 Tinggi 10 33,3 Total 30 100 Sebagian besar responden orang tua masih memiki kepekaan yang rendah terhadap isu gender subordinasi. Responden orang tua yang memiliki tingkat kepekaan rendah terhadap isu gender subordinasi adalah sebanyak 66,7 persen, sedangkan responden orang tua yang memiliki kepekaan rendah terhadap isu gender subordinasi adalah sebanyak 33,3 persen. Sebaran tingkat kepekaan responden anak terhadap isu gender subordinasi dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender Subordinasi, Kecamatan Cariu 2008 Tingkat Kepekaan Anak terhadap Isu Gender Subordinasi Frekuensi orang Persentase Rendah 23 76,7 Tinggi 7 23,3 Total 30 100 Sama seperti halnya tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu gender subordinasi, tabel menunjukkan bahwa tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu gender subordinasi pun masih sangat rendah. Hal ini dapat terlihat dari data reponden yang memiliki tingkat kepekaan rendah terhadap isu gender subordinasi sebanyak 76,7 persen, sedangkan hanya 23,3 persen lainnya yang memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap isu gender subordinasi. Responden orang tua maupun responden anak, lebih banyak menganggap bahwa hukum agama mengajarkan bahwa laki-laki harus selalu menjadi pemimpin dalam segala bidang. Laki-laki adalah orang yang pantas dijadikan panutan, tanpa harus memperhitungkan seberapa perempuan mungkin lebih kompeten dalam beberapa hal. perempuan harus selalu taat kepada laki-laki, karena laki-laki kan selalu jadi pemimpin. Kalo laki-laki udah bilang A, ya perempuan harus ikut apa kata laki-laki. Itu mah udah jadi hukum alam, ga bisa diapa-apain lagi.. Kalo perempuannya kan mesti nurut ke laki-laki. Masa laki-laki yang nurut ke perempuan?? Itu mah nyalahin kodrat namanya.. TD, anak, 29 tahun.

5.5.3. Stereotipi

Isu gender stereotipi adalah pelabelan negatif terhadap perempuan. Berbagai label negatif yang ditempelkan pada perempuan sudah sangat melekat di masyarakat umum. Isu gender stereotipi inilah yang kemudian akan menimbulkan isu-isu gender lainnya. Hal ini akan menimbulkan kerugian bagi perempuan. Kebanyakan akan berimplikasi pada perempuan yang hanya dilihat dari keindahan tubuhnya, hanya dieksplor fisiknya saja, tidak diperhatikan intelegensianya, perempuan seolah hanya dianggap sebagai objek keindahan. Beberapa responden telah mengungkapkan pendapat mereka mengenai isu gender stereotipi. Jawaban-jawaban dari responden tersebut kemudian akan menunjukkan tingkat kepekaan responden terhadap isu gender stereotipi. Tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu gender stereotipi dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua terhadap Isu Gender Stereotipi, Kecamatan Cariu 2008 Tingkat Kepekaan Orang Tua terhadap Isu Gender Stereotipi Frekuensi orang Persentase Rendah 19 63,3 Tinggi 11 36,7 Total 30 100 Kepekaan responden orang tua terhadap isu gender stereotipi masih terbilang rendah karena data menunjukkan bahwa sebanyak 63,3 persen responden masih memiliki kepekaan yang rendah terhadap isu gender stereotipi, dan hanya sebanyak 36,7 persen responden orang tua yang memiliki kepekaan tinggi terhadap isu gender stereotipi. Sebaran tingkat kepekaan responden anak terhadap isu gender stereotipi dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender Stereotipi, Kecamatan Cariu 2008 Tingkat Kepekaan Anak terhadap Isu Gender Stereotipi Frekuensi orang Persentase Rendah 18 60 Tinggi 12 40 Total 30 100 Secara umum, responden anak masih memiliki kepekaan yang rendah terhadap isu gender stereotipi. Sebanyak 60 persen responden memiliki kepekaan terhadap isu gender stereotipi yang rendah, dan 40 persen lainnya memiliki kepekaan yang tinggi terhadap isu gender stereotipi. Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang didapat dari survai kepada responden orang tua. Responden orang tua dan anak dalam penelitian ini kebanyakan masih memandang bahwa pelabelan negatif yang dilekatkan pada diri perempuan memang merupakan kodrat yang tidak akan pernah bisa dirubah. Salah satu responden dari penelitian ini, DK, berpendapat bahwa memang perempuan memang selalu identik dengan pesolek, mudah tersinggung, tidak logis, dll. Berikut adalah kutipan wawancara dengan beliau: perempuan mah emang cuma bisa dandan, cukup dandan aj suami udah seneng ko, ga usah macem-macem segala lah.. kan cuma buat diliat aja Nah tugasnya suami buat cari uang supaya si istri bisa dandan cantik, kalo duitnya kurang buat beli keperluannya kan bisa diamuk gede-gedean kita DK, orang tua, 42 tahun.

5.5.4. Kekerasan

Pengertian kekerasan dalam hal ini tidak hanya diartikan sebagai serangan fisik saja, tetapi juga berupa serangan terhadap integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan yang terjadi karena permasalahan jenis kelamin dapat dikatakan kekerasan gender. Penyebab utama kekerasan gender adalah karena adanya anggapan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Sebanyak 30 orang responden orang tua dalam penelitian ini telah mengungkapkan sejauh mana kepekaan mereka terhadap isu gender kekerasan. Sebaran tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu gender kekerasan dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua terhadap isu Gender Kekerasan, Kecamatan Cariu 2008 Tingkat Kepekaan Orang Tua Terhadap Isu Gender Kekerasan Frekuensi orang Persentase Rendah 4 13,3 Tinggi 26 86,7 Total 30 100 Tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu gender kekerasan sudah terbilang tinggi. Sebanyak 86,7 persen responden orang tua menyatakan tidak setuju dengan adanya kekerasan terhadap perempuan, dalam bentuk apapun. Responden orang tua yang menyatakan setuju dengan adanya bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan sebanyak 13,3 persen. Kebanyakan responden orang tua yang menyatakan setuju dengan adanya bentuk-bentuk kekerasan gender sebagai bentuk dari hukuman untuk perempuan yang patuh pada laki-laki. Mereka pun menyatakan bahwa hal ini merupakan ajaran yang sudah ditamankan sejak mereka kecil, sehingga melekat sampai mereka dewasa. Seperti halnya responden orang tua, responden anak pun secara umum memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap isu gender kekerasan. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender Kekerasan, Kecamatan Cariu 2008 Tingkat Kepekaan Anak terhadap Isu Gender Kekerasan Frekuensi orang Persentase Rendah 5 16.7 Tinggi 25 83.3 Total 30 100.0 Sebanyak 83,3 persen responden anak memiliki kepekaan yang tinggi terhadap isu gender kekerasan, sedangkan 16,7 persen responden anak lainnya memiliki kepekaan rendah terhadap isu kepekaan gender kekerasan.

5.5.5. Beban Kerja

Isu gender beban kerja diartikan sebagai pembebanan pekerjaan rumah tangga kepada perempuan. Perempuan biasanya dianggap rajin dan rapih dalam mengerjakan sesuatu, sehingga perempuan selalu dianggap orang yang tepat dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Seiring dengan berjalannya waktu, perempuan memiliki kesempatan lebih banyak untuk berkontribusi dalam perekonomian keluarga. Hal ini seakan menjadi dilema bagi para perempuan, karena walaupun berkesempatan untuk mengembangkan diri di sektor publik, perempuan juga seolah tidak diperkenankan untuk meninggalkan tugasnya di rumah tangga. Perempuan harus mengerjakan dua tanggung jawab sekaligus. Sebaran tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu gender beban kerja dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua, Kecamatan Cariu 2008 Tingkat Kepekaan Orang Tua terhadap Isu Gender Beban Kerja Frekuensi orang Persentase Rendah 26 86,7 Tinggi 4 13,3 Total 30 100 Secara umum tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu gender beban kerja terbilang rendah. Sebanyak 86,7 persen responden orang tua memiliki tingkat kepekaan yang rendah terhadap isu gender beban kerja, dan hanya 13,3 persen dari responden orang tua yang memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap isu gender beban kerja. Sebaran tingkat kepekaan responden anak terhadap isu gender beban kerja dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender Beban Kerja Tingkat Kepekaan Anak terhadap Isu Gender Beban Kerja Frekuensi orang Persentase Rendah 25 83,3 Tinggi 5 16,7 Total 30 100 Responden anak juga memiliki tingkat kepekaan yang relative rendah terhadap isu gender beban kerja. Sebanyak 83,3 persen responden anak memiliki kepekaan yang rendah terhadap isu gender beban kerja, responden yang memiliki kepekaan tinggi hanya dimiliki oleh sebanyak 16,7 persen responden anak. Masih kentalnya kultur bahwa perempuan adalah penanggung jawab utama dalam hal pekerjaan rumah tangga menyebabkan para responden, baik anak maupun orang tua, masih menerapkan isu gender beban kerja dalam kehidupannya sehari-hari. Salah seorang responden berpendapat, perempuan boleh saja bekerja di luar rumah, justru itu bagus untuk memperkuat perekonomian keluarga. Tapi sebagai perempuan, tetep aja ga boleh nyalahin kodrat Kalo kerjaan rumah belom beres ya mesti diberesin dulu, baru deh boleh ngerjain kerjaan di luar. Atau kalo emang bener-bener ga sempet kan bisa dikerjain sore pas pulang kerja. Perempuan juga ga boleh kerja sampe malem, tar anak-anak sapa yang ngurus. Kan paling repot kalo ga ada istri di rumah.. MN, orang tua, 55 tahun BAB VI PERSEPSI ORANG TUA DAN ANAK TERHADAP PERAN PENDIDIKAN BAGI PEREMPUAN

6.1. Persepsi Orang Tua terhadap Peran Pendidikan bagi Perempuan

Variabel persepsi orang tua terhadap pendidikan diukur melalui persepsi orang tua terhadap pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan, persepsi orang tua terhadap peran pendidikan dalam hal kehidupan sosial, dan persepsi orang tua terhadap peran pendidikan dalam hal kehidupan berkeluarga. Perbedaan persepsi orang tua terhadap pendidikan dalam kaitannya dengan perolehan pekerjaan masih berbeda jauh. Persepsi orang tua terhadap peran pendidikan terbagi menjadi dua kategori, yaitu positif dan negatif terhadap perolehan pekerjaan, kehidupan sosial, dan kehidupan berkeluarga. Lebih banyak orang tua yang masih memandang negatif terhadap peran pendidikan dalam kehidupan perempuan.

6.1.1. Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan dalam Perolehan Pekerjaan

Dewasa ini, pekerjaan menjadi sangat penting bagi kehidupan individu dalam sebuah keluarga. Pada beberapa tahun belakangan ini, tepatnya setelah krisis perekonomian pada tahun 1997, keluarga yang semula hanya mengandalkan penghasilan ayah sebagai seorang kepala keluarga mulai merasa kekurangan. Semua harga kebutuhan pokok sehari-hari menanjak naik, sedangkan penghasilan kepala keluarga tidak berubah banyak. Oleh karena itu, beberapa keluarga mulai berusaha untuk mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagai salah satu cara menambah penghasilan keluarga, ibu dalam keluarga mulai bekerja agar mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Hal tersebut tidak demikian saja berjalan dengan lancar dan menyelesaikan permasalahan perekonomian sebagian keluarga. Berbagai permasalahan mulai menyeruak ke permukaan sejalan dengan berkembangnya budaya perempuan bekerja. Salah satu permasalahan yang terjadi adalah peminggiran perempuan di bidang pekerjaan, baik dalam hal ketersediaan lapangan pekerjaan, pemilihan lapangan pekerjaan, sampai pada kecilnya penghasilan perempuan. Keseluruhan permasalahan yang terjadi dapat dikatakan berujung pada satu hal, yaitu pendidikan. Pendidikan perempuan yang relatif lebih rendah daripada laki-lakilah yang menjadi penyebab munculnya berbagai permasalahan tersebut. Pendidikan perempuan sebagai penyebab munculnya permasalahan- permasalahan bagi perempuan tersebut dalam hal pekerjaan dianggap tidak terlalu penting oleh para orang tua. Hal ini dapat dibuktikan oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa memang persepsi orang tua terhadap peran pendidikan perempuan dalam hal perolehan pekerjaan terbilang masih rendah. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 25. Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan, Kecamatan Cariu 2008 Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan dikaitkan dengan Perolehan Pekerjaan Frekuensi orang Persentase Negarif 19 63,3 Positif 11 36,7 Total 30 100