lapangan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin Dinas Pendidikan DI Yogyakarta, 1996.
3. Dampak terhadap Interaksi Sosial Manusia pada dasarnya mempunyai naluri untuk hidup dengan orang lain,
atau berhubungan dengan orang lain. Ada hasrat utama manusia untuk membentuk keserasian dengan orang lain, yaitu keinginan atau interes
untuk menjadi satu dengan orang lain yang berada di sekitarnya atau masyarakat, dan keinginan untuk menyatu dengan suasana sekelilingnya.
4. Dampak terhadap Pranata Sosial Pranata sosial dalam hal ini dapat dilihat dari keterlibatan seseorang atau
keluarga dalam kesibukan sosial di lingkungannya dan partisipasinya dalam kegiatan kepercayaan sosial.
2.1.4. Data Umum Pendidikan Propinsi Jawa Barat
Berdasarkan komposisi penduduk Jawa Barat pada tahun 2005, yang telah dikelompokkan menurut umur, diketahui bahwa proporsi penduduk laki-laki dan
perempuan pada semua kelompok umur 4-5 tahun, 5-6, 6-7 tahun, 7-12 tahun, 13-15 tahun, dan 16-18 tahun dapat dikatakan relatif seimbang dengan disparitas
gender yang relatif kecil. Tidak ada perbedaan mencolok dalam hal jumlah penduduk laki-laki dan perempuan pada semua kelompok umur di Propinsi Jawa
Barat. Dapat diasumsikan bahwa seharusnya tidak ada perbedaan jumlah siswa yang mencolok antara siswa laki-laki dan perempuan di semua tingkat sekolah,
baik Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Umum, maupun Sekolah Menengah Atas. Hal ini bertentangan dengan kenyataan mengenai jumlah siswa laki-laki dan
perempuan yang terdaftar di dua Sekolah Mengengah Atas yang terdapat di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor. Berikut adalah tabel komposisi penduduk
Kecamatan Cariu per kelompok umur, berdasarkan jenis kelamin.
Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Umur Sekolah dan Jenis Kelamin Di Jawa Barat 2005
No. Kelompok
Umur Tahun
Laki-laki Perempuan
Total Disparitas
P-L Jumlah Jumlah
1. 4-5 -
- -
- 1.542.842 -
2. 5-6
816.457 52,21
747.464 47,79
1.563.921 -4,42
3. 6-7 -
- -
- 2.377.471 -
4. 7-12 2.231.379 48,60 2.360.108
51,40 4.591.487 2,80
5. 13-15 1.045.173 48,53 1.108.712
51,47 2.153.885 2,94
6. 16-18 1.170.729 50,38 1.153.079
49,62 2.323.808 -0,76
Sumber: Profil Pendidikan Tahun 2005, Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat
Berdasarkan komposisi penduduk yang sedang bersekolah di Jawa Barat, diketahui bahwa proporsi laki-laki semakin lama semakin tinggi dibandingkan
dengan proporsi penduduk perempuan pada selang umur yang semakin tua. Hal ini terbukti dari disparitas gender yang bertanda negatif pada kelompok umur
tinggi. Data penduduk berumur 4-5 tahun dan 6-7 tahun tidak diketahui berdasarkan proporsi jenis kelamin.
Tabel 3. Komposisi Penduduk yang Sedang Bersekolah Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Jawa Barat 2005
No. Kelompok Umur
Tahun Laki-laki
Perempuan Total Disparitas
P-L Jumlah Jumlah
1. 7-12 2.556.795
50,81 2.475.086
49,19 5.031.881 -1,62
2. 13-15 926.911 51,85 860.194 48,15 1.787.705 -3,7
3. 16-18 558.215 56,80 424.422 43,19 982.637 -13,61 Sumber: SUSEDA Jawa Barat Tahun 2005, Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat.
Hal serupa juga tergambar pada data tingkat Kabupaten. Data Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa jumlah penduduk perempuan usia sekolah yang masih
bersekolah semakin menurun seiring dengan meningkatnya kelompok umur apabila dibandingkan dengan penduduk laki-laki usia sekolah yang masih
bersekolah Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2005. Kesenjangan pendidikan antara perempuan dan laki-laki usia sekolah semakin jelas terlihat dari data
penduduk yang putus sekolah.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Putus Sekolah Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin Kabupaten Bogor 2005-2006
Tingkat Pendidikan
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
SD+MI 120 33,33 240
66,67 SMP+MTs
60 33,33 120 66,67
SMA+MA 90 33,33 180
66,67 Jumlah
270 33,33 540 66,67
Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor 2005
Perbandingan antara penduduk perempuan dan laki-laki yang putus sekolah di semua jenjang pendidikan menunjukkan presentase yang sama yaitu
33,33 persen laki-laki dan 66,67 persen perempuan. Hal ini berarti penduduk perempuan yang putus sekolah di semua jenjang pendidikan jumlahnya mencapai
dua kali lipat dibandingkan laki-laki.
2.2. Kerangka Pemikiran
Di era globalisasi ini, pendidikan sudah seyogyanya menjadi suatu kebutuhan bagi setiap individu di masyarakat, baik di kota maupun di desa.
Namun hal tersebut tidak terjadi di masyarakat pedesaan, masyarakat pedesaan dengan segala keterbatasannya menjadi tidak terlalu hirau dengan masalah
pendidikan. Hal ini diperlihatkan oleh besarnya angka siswa lulusan SMP yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Kebanyakan orang tua di
pedesaan tidak menyarankan anaknya untuk melanjutan sekolah karena berbagai alasan.
Fakta yang menarik lagi adalah bahwa jumlah siswa perempuan yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA jauh lebih banyak daripada jumlah siswa
laki-laki yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Hal ini dapat kita lihat dari segi gender. Pada umumnya masyarakat pedesaan beranggapan bahwa
gender sama dengan kodrat. Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan sudah seharusnya berkedudukan di bawah laki-laki dalam semua hal,
termasuk dalam hal mengenyam pendidikan. Perempuan tidak perlu mendapatkan kesempatan bersekolah sama dengan laki-laki karena kedudukan perempuan yang
memang menurut mereka lebih rendah dari laki-laki. Persepsi mengenai pendidikan bagi anak perempuan tersebut diduga
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor internal dan faktor eksternal,