Definisi dan Ruang Lingkup UKM

II. TINJAUAN PUSTAKA

Menurut teori ekonomi pembangunan oleh Schum peter dijelaskan bahwa motor penggerak pertumbuhan ekonomi adalah jumlah wirasawasta enterpreneur yang terus meningkat dan terus melakukan inovasi. Di Indonesia, jumlah wiraswastawan yang dominan adalah wiraswastawan yang bergerak pada sektor usaha kecil dan menengah. Sehingga untuk dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas UKM yang ada di Indonesia diperlukan bantuan dana dari pemerintah dalam bentuk kredit usaha.

2.1 Definisi dan Ruang Lingkup UKM

Terdapat berbagai macam definisi mengenai usaha berskala kecil. World Bank, sebagai instansi keuangan internasional, mendefinisikan UKM menjadi 3, yaitu: 1. Medium Enterprise Usaha Skala Menengah, dengan Kriteria:  Jumlah karyawan maksimal 300 orang  Pendapatan setahun hingga sejumlah 15 juta  Jumlah asset hingga sejumlah 15 Juta 2. Small Enterprise Usaha Skala Kecil, dengan kriteria:  Jumlah karyawan maksimal 30 orang  Pendapatan setahun hingga sejumlah 3 juta  Jumlah asset hingga sejumlah 3 Juta 3. Micro Enterprise Usaha Skala Mikro, dengan kriteria:  Jumlah karyawan maksimal 10 orang  Pendapatan setahun hingga sejumlah 100.000  Jumlah asset hingga sejumlah 100.000 Pengertian Usaha Kecil Menengah di Indonesia juga masih sangat beragam. Setidaknya ada enam instansi yang merumuskan usaha kecil dengan batasannya masing-masing. Keenam instansi tersebut adalah Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Badan Pusat Statistik BPS, Departemen Perindustrian, Bank Indonesia, Departemen Perdagangan, serta Kamar Dagang dan Industri Kadin. Dari keenam instansi itu, kecuali BPS yang menggunakan pendekatan jumlah tenaga kerja, Usaha kecil pada umumnya dirumuskan dengan menggunakan pendekatan finansial. Selain keenam instansi tersebut, pemerintah juga telah menetapkan beberapa undang-undang yang menjelaskan tentang definisi UKM. Menurut Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Menegkop dan UKM, yang dimaksud dengan Usaha Kecil UK, termasuk Usaha Mikro UMI, adalah entitas usaha yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan memiliki penerimaan tahunan paling banyak satu miliar rupiah. Sementara itu, Usaha Menengah UM merupakan entitas usaha milik warga negara Indonesia yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200 juta s.d. Rp 10 Miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan. Badan Pusat Statistik Indonesia menggambarkan bahwa perusahaan dengan jumlah tenaga kerja 1-4 orang digolongkan sebagai industri kerajinan dan rumah tangga. Perusahaan dengan tenaga kerja 5-19 orang sebagai industri kecil, perusahaan dengan tenaga kerja 20-99 orang sebagai industri sedang atau menengah, dan perusahaan dengan tenaga kerja lebih dari 100 orang sebagai industri besar. Bank Indonesia dan Departemen Perindustrian melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian No.286MSK101089, mendefinisikan usaha kecil berdasarkan nilai asetnya. Menurut kedua instansi ini, yang dimaksud dengan usaha kecil adalah usaha yang asetnya tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, bernilai kurang dari Rp 600 juta. Departemen Perdagangan membatasi usaha kecil berdasarkan modal kerjanya. Menurut Departemen Perdagangan, usaha kecil adalah usaha yang modal kerjanya bernilai kurang dari Rp 25 juta. Sedangkan Kamar Dagang dan Industri Kadin terlebih dahulu membedakan usaha kecil menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah yang bergerak dalam bidang perdagangan, pertanian, dan Industri. Kelompok kedua adalah bergerak dalam bidang konstruksi. Menurut Kadin, yang dimaksud dengan usaha kecil untuk kelompok pertama adalah yang memiliki modal kerja kurang dari Rp 600 juta. Adapun untuk kelompok kedua yang dimaksud dengan usaha kecil adalah yang memiliki modal kerja dari Rp 250 juta dan memiliki nilai usaha kurang dari satu milyar rupiah. Mengacu Undang-Undang No.9 Tahun 1995, kriteria usaha kecil dilihat dari segi keuangan dan modal yang dimilikinya adalah : 1 Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau 2 Memiliki hasil penjualan paling banyak satu miliar rupiah per tahun. Sedangkan untuk kriteria usaha menengah : 1 Untuk sektor Industri, memiliki total asset paling banyak lima milyar rupiah, dan 2 Untuk sektor Non- Industri, memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 600 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, 3 Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak tiga miliar rupiah. INPRES No.10 Tahun 1999, mendefinisikan usaha menengah adalah unit kegiatan yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200 juta sampai maksimal Rp 10 miliar. Pada tanggal 4 Juli 2008 telah ditetapkan Undang-undang No.20 Tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil, dan menengah. Definisi UKM yang disampaikan oleh undang-undang ini juga berbeda dengan definisi di atas. Menurut UU No.20 Tahun 2008 ini, yang disebut dengan usaha kecil adalah entitas yang memiliki kriteria sebagai berikut : 1 Kekayaan bersih lebih dari Rp 50 juta sampai dengan paling banyak Rp 500 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan 2 Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300 juta sampai dengan paling banyak Rp 2,5 miliar. Sementara itu, yang disebut dengan usaha menengah adalah entitas usaha yang memiliki kriteria sebagai berikut : 1 Kekayaan bersih lebih dari Rp 500 juta sampai dengan paling banyak Rp 10 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan 2 Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2,5 miliar sampai dengan paling banyak Rp 50 miliar. Kondisi UKM di Indonesia terus berkembang. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan jumlah UKM yang ada di Indonesia dan penyerapan jumlah tenaga kerja. Kondisi usaha kecil dan menengah di negara lain juga menghadapi kondisi yang sama. Besarnya kekuatan ekonomi di Cina ditopang oleh Usaha Kecil dan Menegah UKM dan bisnis swasta daerah yang disebut sebagai Township and Village Enterprises TVEs. Sedangkan di jepang, kekuatan ekonominya sebagian besar juga ditopang oleh Usaha Kecil dan menengah atau disebut Small and Medium Enterprises SME. Proporsi jumlah pelaku UKM di Jepang hampir tidak beda dengan di Indonesia. Jumlah UKM di Jepang saat ini mencapai 6,6 juta 99,1 persen dari total pelaku usaha, sedangkan UKM di Indonesia mencapai 40 juta 99,99 persen dari total pelaku usaha. Bedanya, dengan di Indonesia, jumlah UKM tersebut sudah termasuk pelaku usaha yang menghasilkan barang primer, seperti petani, nelayan, perambah hutan dan sebagainya. Sedangkan di Jepang, yang tergolong UKM adalah non-primary industries. Jika pengelompokan UKM di Jepang memasukkan pelaku usaha penghasil barang primer, maka dipastikan proporsinya akan mendekati proporsi UKM di Indonesia. Jumlah UKM di Jepang yang begitu besar memiliki peranan sangat penting bagi perekonomian, baik dari penyerapan tenaga kerja maupun pertumbuhan output. Jumlah tenaga kerja yang terserap mencapai 42 juta atau sekitar 78 persen dari total pekerja, sedangkan perusahaan-perusahaan besar hanya menyerap sekitar 12 juta atau 22 persen dari total pekerja. Dari segi output, UKM di Jepang juga masih mendominasi di masing-masing industrinya. Sebagai contoh, di bidang manufaktur, pertambangan, dan sejenisnya, UKM memberikan output kurang lebih 154 triliun yen 52 persen, sedangkan perusahaan-perusahaan besar memberikan output kurang lebih 145 triliun yen 48 persen. Di bidang wholesale perdagangan besar UKM memberikan output 316 triliun yen 62 persen, sementara perusahaan-perusahaan besar menyumbang output 198 triliun yen 38 persen. Di bidang perdagangan eceran dan jasa, UKM menghasilkan output 110 triliun yen 77 persen, sedangkan output perusahaan- perusahaan besar hanya 33 triliun yen 23 persen. Sumbangsih TVEs bagi perekonomian Cina memang tidak bisa disepelekan. TVEs yang semula merupakan perkembangan dari industri pedesaan yang digalakkan oleh pemerintah Cina. Jika pada tahun 1960 jumlahnya hanya sekitar 117 ribu, namun semenjak reformasi tahun 1978 jumlahnya mengalami pertumbuhan spektakuler menjadi 1,52 juta. Apabila dilihat dari sisi penyediaan lapangan kerja, TVEs di akhir Tahun 1990-an telah menampung setengah dari tenaga kerja di pedesaan Cina. Walaupun perkembangan TVEs ini sempat mengalami pasang surut dan tidak merata di seluruh wilayah Cina, namun secara rata-rata mengalami pertumbuhan yang sangat mengesankan. Produksi dari TVEs meningkat dengan rata-rata 22,9 persen pada periode 1978-1994. Secara nasional, output TVEs pada Tahun 1994 mencapai 42 persen dari seluruh produksi nasional. Sedangkan untuk volume ekspor, TVEs memberikan kontribusi sebesar sepertiga dari volume total ekspor Cina pada Tahun 1990-an. Pemerintah melakukan berbagai macam kebijakan dalam rangka mendukung Usaha Kecil dan Menengah UKM di negaranya masing-masing. Di Indonesia, pemerintah mengeluarkan program bunga ringan untuk kredit modal usaha. Di jepang, pemerintah mendukung UKM dengan cara mendirikan berbagai lembaga yang membantu UKM, mulai dari konsultasi, bantuan permodalan, pelatihan, hingga jaringan bisnis. Dukungan yang dilakukan oleh pemerintah cina terhadap UKM-nya adalah dengan mengeluarkan kebijakan untuk mendukung TVEs yang disebut sebagai The Spark Plan pada Tahun 1978. Kebijakan ini terdiri dari 3 kegiatan utama yang berangkaian. Pertama, memberikan pelatihan bagi 200.000 pemuda desa setiap tahunnya berupa satu atau dua teknik yang dapat diterapkan di daerahnya. Kegiatan kedua dilakukan dengan lembaga riset di tingkat pusat dan tingkat provinsi guna membangun peralatan teknologi yang siap pakai di pedesaan. Dan yang ketiga adalah dengan mendirikan 500 TVEs yang berkualitas sebagai pilot project. Pemerintah Cina juga berusaha menempatkan diri sebagai pelayan dengan menyediakan segala kebutuhan yang diperlukan oleh industri seperti pendeknya jalur birokrasi dalam perizinan usaha. Selain itu, Tidak ketinggalan infrastruktur penunjang untuk memacu ekspor yang disiapkan oleh pemerintah Cina secara serius. Bila pada Tahun 1978 total panjang jalan raya di Cina hanya 89.200 km, maka pada Tahun 2002 meningkat tajam menjadi 170.000 km. Untuk pelabuhan, setidaknya saat ini Cina memiliki 3.800 pelabuhan angkut, 300 di antaranya dapat menerima kapal berkapasitas 10.000 MT. Sementara untuk keperluan tenaga listrik pada Tahun 2001 saja Cina telah mampu menyediakan sebesar 14,78 triliun kwh, dan saat ini telah dilakukan persiapan untuk membangun PLTA terbesar di dunia.

2.2 Karakteristik UKM

Dokumen yang terkait

Strategi Pemasaran Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (UMKM) Dalam Mengembangkan Usaha (Studi Kasus Pada Usaha Kerajinan Rotan Swaka Karya)

19 171 94

Strategi Pengembangan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (Studi Kasus Kerajinan Sapu Moro Bondo di Desa Limau Manis, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang)

2 62 130

Kendala-Kendala Dalam Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Pada Pusat Industri Kecil (PIK) Medan Tenggara

0 100 118

Pengaruh Pemberdayaan Usaha Kecil Dan Menengah Terhadap Pembangunan Ekonomi Masyarakat Kabupaten Karo (Studi pada Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Karo)

39 304 119

Analisis Kontribusi Usaha Kecil Dan Menengah Dalam Perkembangan Sektor Riil Di Kota Tanjungbalai

8 52 98

Analisis Implementasi Prosedur Pembiayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pada Bank Syariah (Studi Kasus Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah pada Bank Muamalat Indonesia Cabang Tanjung Balai)

3 52 95

Evaluasi Program Pemberdayaan Kelembagaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Kota Medan(Studi Dekriptif tentang Pengembangan Jaringan Pemasaran UKM di Dinas Koperasi Kota Medan)

0 43 112

Peran Disperindag Dalam Memberdayakan Usaha Kecil dan Menengah di Kecamatan Medan Denai

13 177 85

Upaya Pengembangan Usaha Kecil Bordir Dan Sulaman Dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat (Studi Kasus : Kotamadya Bukittinggi )

0 28 93

Pengaruh PDB, Investasi, dan Jumlah Unit Usaha terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia Periode 2000-2011

1 22 123