2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik.
3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran, yang diusahakan dengan cara-cara sederhana.
4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari
10 dari pendapatan total.
2.1.4. Struktur Tegakan dan Pola Tanam Hutan Rakyat
Bentuk hutan rakyat di Indonesia sangat beragam dan pembagiannya tergantung dari sudut pandang yang berbeda pula. Menurut Hardjanto 2003,
jika ditinjau dari asal mula keberadaannya, maka hutan rakyat dibagi atas : 1 Hutan rakyat tradisional : penanaman dilakukan oleh masyarakat sendiri
tanpa campur tangan pemerintah. 2 Hutan rakyat Inpres : penanaman diprakarsai oleh pemerintah melalui
bantuan penghijauan di tanah terlantar. Menurut Michon 1983, hutan rakyat dibagi atas tiga tipe, yaitu:
1 Pekarangan : sistem pengaturan yang terang dan baik serta biasanya berada di sekitar rumah. Luas minimum sekitar 0,1 ha, dipagari mulai
dari sayur-sayuran hingga pohon yang berukuran sedang dimana tingginya mencapai 20 meter.
2 Talun : mempunyai ukuran yang lebih luas, penanaman pohon sedikit rapat, tinggi pohon
–pohonnya mencapai 35 meter dan terdapat beberapa pohon yang tumbuh secara liar dari jenis herba atau liana.
3 Kebun campuran : jenis tumbuhan cenderung lebih homogen dengan jenis tanaman pokok cengkeh atau pepaya dan berbagai macam jenis tanaman
herba. Kebun ini seringkali ditemui di sekitar desa. Dari pola-pola yang ada menunjukkan keragaman yang sangat besar yang menjadi
batas atau ciri hutan rakyat di lapangan. Pola tanam hutan rakyat menurut Mindawati 2006 dan Purwanto et al.
2004 adalah:
1 Pola tanam hutan rakyat murni: Lahan hanya ditanami dengan satu jenis tanaman kayu-kayuan. Jenis yang
biasa dikembangkan dalam pola ini adalah sengon, jati atau mahoni dalam kelompok-kelompok kecil antara 2-8 ha di dalam satu blok atau bahkan
dalam luas yang lebih kecil. Pola ini dipilih masyarakat karena alasan penurunan produktivitas lahan sehingga dilakukan penghutanan kembali
yang diharapkan dapat mengembalikan kesuburan tanah. Alasan yang lain adalah semakin sedikitnya tenaga kerja akibat urbanisasi, dan mulai
terdapatnya sumber-sumber pendapatan yang digunakan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
2 Pola tanam hutan rakyat campuran : Suatu areal tertentu yang ditanami 2-5 jenis tanaman kayu seperti sengon,
mahoni, maesopsis, suren, jati, yang ditanam secara campuran dan berbeda kombinasinya pada setiap daerah. Dari teknik silvikultur, cara ini lebih
baik daripada hutan rakyat murni. Jarak tanam masing-masing jenis tanaman dalam hamparan pemilik biasanya tidak teratur. Jumlah pohon
setiap jenis bervariasi, demikian juga dalam satu jenis dijumpai variasi umur berbeda.
3 Pola tanam hutan rakyat dengan sistem agroforestriwanatani Hutan rakyat yang mempunyai bentuk kombinasi antara kehutanan dengan
cabang usaha tani lainnya seperti perkebunan, pertanian, pangan, peternakan, dan lain-lainnya secara terpadu. Pola tanam ini berorientasi
kepada optimalisasi pemanfaatan lahan, baik dari segi ekonomi maupun ekologis.
Berdasarkan pengamatan di lapangan sangat sulit dijumpai sistem penanaman oleh petani secara monokultur satu jenis. Secara garis besar Awang
2002, membagi pola tanam yang dilakukan oleh petani hutan rakyat sengon adalah sebagai berikut :
1. Pola 1 : Tanaman kayu-kayuan yang didominasi oleh jenis sengon. 2. Pola 2 : Tanaman sengon dan tanaman semusim
3. Pola 3 : Tanaman sengon, tanaman semusin dan buah-buahan.
4. Pola 4: Tanaman sengon, tanaman semusim, buah dan tanaman per- kebunan kapulaga, salak.
5. Pola 5 : Tanaman sengon dan tanaman perkebunan. 6. Pola 6 : Tanaman sengon dan tanaman buah-buahan.
Ditinjau dari awal keberadaan pohon yang berada di hutan rakyat, sebagian besar merupakan hasil campur tangan penanaman manusia walaupun
ada yang tumbuh alami pada beberapa lokasi. Proses pemanenan kayu umumnya berdasarkan “daur butuh”, yaitu menebang pohon pada saat petani memerlukan
tambahan finansial, sehingga struktur tegakan yang terbentuk menjadi tidak seragam seperti hutan tidak seumur. Hal ini ditunjukkan dari beberapa penelitian,
seperti Haeruman et al. 1990 di enam kabupaten di Jawa Barat; penelitian Hayono 1996 di Wonosobo dan penelitian Suryadi 2002 dalam Hardjanto
2003 di Leuwiliang Kabupaten Bogor. Kelestarian hutan rakyat dapat terwujud jika kondisi hutan rakyat membentuk struktur hutan normal dari distribusi kelas
diameter seperti pada Gambar 1.
Gambar 1 Distribusi pohon menurut kelas diameter di hutan rakyat Menurut Awang 2002, kelestarian hutan rakyat di suatu tempat sangat
ditentukan oleh faktor-faktor: kebutuhan ekonomi masyarakatnya, kepatuhan terhadap hukum-hukum tradisional, sistem pengaturan dan pembagian manfaat
antar warga masyarakat, dan pandangan-pandangan kebutuhan penyelamatan lingkungan pelestarian air, pencegahan erosi, dan peningkatan pendapatan
masyarakat. Jika unsur ekonomi terlalu menonjol di dalam kegiatan hutan rakyat, maka akan mengganggu lingkungan hidup. Jika hukum dan aturan
adattradisi ditinggalkan maka sumberdaya hutannya akan rusak. Pembagian
Diameter
10 10-15 16-20 Ju
m lah
Po h
o n
p er
h a
manfaat yang tidak merata atas sumberdaya alam hutan akan menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan. Bahaya utama dari kelestarian hutan rakyat
adalah jika terjadi eksploitasi yang berlebihan terhadap hasil-hasil hutan yang ada di dalam hutan rakyat terutama kayunya.
2.1.5. Unit Pengelolaan Hutan Rakyat