Penanaman seringkali dilakukan pada musim penghujan. Kecuali pembukaan baru yang serempak, pada umumnya petani melakukan penanaman di
sela-sela tanaman yang sudah besar atau dalam istilah kehutanan disebut dengan penanaman pengayaan enrichment planting. Ruang kosong di lahan kebun
biasanya terjadi akibat penebangan yang terpilih atas pohon-pohon bernilai jual. Selain menanam kembali setelah penebangang, cara lain yang sering dilakukan
petani adalah dengan menggunakan cara trubusan coppice system. Cara ini memberi pertumbuhan lebih cepat dibanding menanam dari awal, karena
perakarannya sudah terbentuk dari pohon sebelumnya.
4.1.3.2 Pemeliharaan Hutan Rakyat
Pada umumnya petani di Kabupaten Ciamis sudah melakukan pemeliharaan melalui kegiatan pemupukan dan penyiangan. Pemupukan
dilakukan setiap 3 bulan sekali atau sebanyak 2-3 kali pada tahun pertama saja. Setelah tanaman berusia setahun, pemupukan tidak dilakukan lagi. Dari pola
pemeliharaan berdasarkan pola tanamnya, pola agroforestri lebih intensif pemeliharaannya dibanding pola lainnya. Tegakan pohon terus menerus dilakukan
pemupukan lebih dari setahun umumnya terjadi pada pola agroforestri, sehingga pohon mendapatkan suplai pupuk yang merupakan dampak tidak langsung dari
pemberian pupuk pada tanaman lain yang tumbuh di dekat atau di bawah tegakan pohon. Tanaman pertanian yang biasanya rutin dilakukan pemupukan adalah
empon-emponan seperti kapulaga Amomum cardamomum willd. yang tahan terhadap naungan dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi, pisang dan cengkeh
serta tanaman lainnya. Penyiangan dilakukan rutin apabila rumput dan belukar sudah menutupi
areal pertumbuhan pohon. Umumnya penyiangan dilakukan dua kali dalam setahun sampai tajuk pohon ternaungi sekitar usia tegakan 2-3 tahun. Ketika
pohon sudah tinggi dan tajuk pohon sudah menutupi lantai hutan, maka semak belukar juga tidak tumbuh karena tidak mendapat sinar matahari sehingga tidak
perlu dilakukan penyiangan lagi.
4.1.3.3 Pemanenan dan Penjualan Kayu Hutan Rakyat
Sistem pemanenan di Kabupaten Ciamis terdapat 2 macam, yaitu sistem kubikasi dan sistem borongan. Perbedaan kedua sistem tersebut yaitu untuk
sistem kubikasi, penjual petanipemilik lahan melakukan pemanenan sendiri dengan menebang dan memotong dalam bentuk log kayu, sehingga ketika dijual
kepada pembeli pedagang sudah dalam bentuk setengah jadi dan dijual dalam satuan volume atau kubikasi. Sedangkan jika petani melakukan penjualan
dengan sistem borongan, maka pemanenan dilakukan sepenuhnya oleh pembeli. Sebagian besar petani di Kabupaten Ciamis masih melakukan penjualan dengan
sistem borongan, walau dengan keuntungan lebih rendah. Salah satu yang menjadi alasannya karena petani masih belum memahami proses pengelolaan
pemanenan dengan baik. Selain alasan tersebut, banyak pemilik lahan atau petani yang tidak mau repot untuk melakukan pemanenan sendiri. Hutan rakyat bagi
mereka masih merupakan pendapatan sampingan, sehingga tidak mau mengorbankan waktu banyak untuk kegiatan ini.
Ukuran minimal diameter pohon yang laku dijual di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Gunungkidul hampir sama, yaitu minimal 10 cm, baik untuk jenis jati,
mahoni, maupun sengon. Walaupun petani menjual dengan sistem borongan, maka pedagang di lapangan akan memilih ukuran diameter di atas atau sama
dengan ukuran minimal tersebut. Pemanenan dilakukan dengan tebang pilih dan tidak dilakukan tebang habis. Tawar menawar harga dilakukan berdasarkan
harga dari pohon-pohon berdiri yang layak jual dan dugaan besar volume atau kubikasi yang akan ditebang oleh pedagang. Perhitungan ini ada kemungkinan
kurang tepat dan umumnya di bawah harga pasar sehingga merugikan petani. Sistem “ijon” walaupun sangat jarang tetapi masih ditemui di lapangan terutama
pada lokasi yang memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif rendah. Dengan sistem ini petani menerima uang di muka dengan harga tegakan pada saat itu,
tetapi tegakannya tidak bisa dipanen sampai masa waktu tertentu yang telah disepakati pembeli dan penjual.
Sebagian petani telah mengetahui “harga pasar”. Hak tawar ini terjadi
karena banyaknya pedagang yang beredar di kalangan petani, sehingga tidak ada monopoli pedagang di tingkat rendah. Informasi tentang adanya petani yang ingin
menjual kayu umumnya cepat beredar di kalangan pedagang ranting, sehingga seorang petani mendapat tawaran harga lebih dari satu pedagang. Persaingan
harga antar pedagang ranting akan terjadi. Petani akan memilih pedagang yang memberi harga tinggi, sehingga diharapkan tidak terjadi monopoli antar petani
dengan pedagang. Kelemahan posisi petani masih nampak terjadi jika lokasi lahan hutan rakyat berada jauh dari jalan. Petani kesulitan dalam
memperhitungkan besarnya biaya eksploitasi, sehingga pedagang dapat mempermainkan harga dalam menilai harga tegakan yang akan dipanen. Harga
antara tegakan yang berada di pinggir jalan dengan yang jauh dari jalan sangat jauh berbeda.
Perdagangan kayu rakyat memiliki rantai pemasaran yang panjang Gambar 22. Dari petani sampai ke pabrik bisa melalui sampai 5 lima tahapan. Ketika
petani ingin menjual kayunya, maka tahapan pertama adalah berhubungan dengan pedagang tingkat ranting yang kadang disebut dengan tengkulak. Pedagang
ranting ini jumlahnya banyak sehingga persaingan antar mereka sering terjadi dalam memperebutkan pembelian kayu di petani. Petani akan menjual kepada
pembeli yang menawarkan harga yang lebih tinggi.
Gambar 22 Aliran perdagangan kayu rakyat dari petani sampai konsumen lokal dan pabrik
Perantara Broker
- Penampung Pedagang Besar
Supplier - Toko Material
- Industri Mebel Petani
Pedagang Ranting
Industri Besar
Peng- gergajian
Lokal Konsumen
Lokal
Pedagang ranting merupakan perpanjangan tangan dari pengusaha penggergajian tingkat lokal. Setiap pengusaha penggergajian menempatkan
beberapa pedagang ranting di beberapa wilayah desa. Pedagang ranting ini diberi modal untuk melakukan pembelian kayu, sehingga ada keterikatan antara
pedagang ranting dengan pengusaha penggergajian. Kemudian setiap pengusaha penggergajian menjual kayu-kayu hasil olahannya kepada penampung pedagang
besar, yang memiliki hubungan langsung dengan pihak pabrik. Penampung ini biasanya ada di kota yang relatif besar seperti Bandung, Banjar, Pangandaran dan
kota lainnya di Kabupaten Ciamis. Hasil wawancara terhadap beberapa pihak pedagang dan industri penggergajian menunjukkan bahwa pihak pabrik tidak
langsung membayar tunai, maka bisa terjadi bahan baku ditampung pada pihak perantara broker sebelum masuk pabrik. Di pihak perantara kayu dapat dibayar
langsung secara tunai sehingga perputaran modal tidak terhambat. Jalur panjang ini umumnya terjadi untuk bahan baku ekspor seperti palet, yang saat sekarang
sangat diminati yang berasal dari kayu rakyat. Sedangkan untuk furnitur atau kebutuhan lokal, jalur pemasaran lebih singkat yaitu dari industri penggergajian
langsung ke konsumen. Berdasarkan peraturan mengenai pejualan kayu dari hutan rakyat di
Kabupaten Ciamis, kayu yang akan dibawa ke luar wilayah Ciamis harus disertai dengan Surat Keterangan Asal Usul Kayu SKAUK yang dikeluarkan oleh pihak
aparat desa. Selain SKAUK, kayu juga harus dibuatkan Surat Keterangan Sah Kayu Bulat SKSKB dari Dinas Kehutanan setempat. Peraturan yang berbeda
terjadi di Kabupaten Gunungkidul Gambar 23. Pemilik kayu jika akan melakukan penebangan di wilayah lahan miliknya harus mengurus Surat Izin
Tebang SIT yang dikeluarkan oleh pihak aparat desa. Setelah ditebang, untuk pengangkutan petani harus membuat SKSKB Surat Keterangan Sah Kayu Bulat
yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan DISHUTBUN setempat.
Pengamatan di dua lokasi Kabupaten Ciamis dan Gunungkidul, hampir tidak ada petani yang melakukan sendiri pengurusan surat-surat izin tersebut. Semua
pengurusan diserahkan kepada pedagang yang membeli kayu. Umumnya surat izin dibuat oleh pedagang sekaligus untuk beberapa tebangan di beberapa lokasi agar
efisien dengan mengatasnamakan salah satu petani yang tebangannya terbanyak. Sampai saat ini, petani merasa tidak perlu untuk melaksanakan sendiri pengurusan
tersebut. Harga kayu yang ditawarkan oleh pedagang ranting cukup memuaskan mereka, jika dibandingkan dengan pengorbanan waktu yang telah dilakukan untuk
pengelolaan hutan rakyat. Menurut petani, pengelolaan hutan rakyat merupakan usaha sampingan yang tidak memerlukan banyak intensitas waktu.
a. Proses SIT b. Proses SKSKB
Gambar 23 Contoh alur ideal perizinan penebangan kayu di Kabupaten
Gunungkidul Sumber : Dishutbun, 2005.
4.1.3.4. Pengaturan Hasil di Hutan Rakyat