2.2.3. Konsep dan Kriteria Pengelolaan Hutan
Davis et al. 2001 menyatakan bahwa kelestarian hutan adalah pengakuan secara luas hubungan susunan antara ekologi, ekonomi, dan sosial. Kelestarian ini
berarti mempertemukan kepentingan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi berikutnya. Pespektif dalam pengelolaan hutan dipandang dari aspek
ekologi, ekonomi, dan sosial adalah sebagai berikut : a. Prinsip Kehutanan Ekologi
Prinsip ini menganalisa sumberdaya hutan dari keanekaragaman hayati dan produktifitas ekologi. Ekologi hutan dibedakan oleh penekanan pola alami
dan prosesnya. Pola gangguan alami dan prosesnya, sistem seleksi silvikultur, penyeleksian umur dan sebarannya, serta habitat dari suatu jenis digunakan
sebagai arahan pengelolaan. b. Prinsip Kehutanan Ekonomi
Prinsip ini menganalisis sumberdaya hutan dari keuntungan bersih maksimal terhadap manusia. Keuntungan dapat dipandang mikro
perusahaan dan makro wilayah dan nasional. Ekonomi mikro menganalisis keuntungan pada suatu perusahaan dan ditekankan pada akumulasi kekayaan.
Sedangkan makro ekonomi menganalisa keuntungan dari ekonomi dan ditekankan pada kumpulan pengukuran kesejahteraan setiap pekerja,
pendapatan, dan Gross National Product GNP. Selain itu, untuk kehutanan pengukuran yang sering digunakan adalah nilai kiwari bersih Net Present
ValueNPV, dan pendugaan biaya alternatif untuk suatu pengukuran keanekaragaman hayati.
Menurut Buongiorno dan Gilles 2003, penilaian ekonomi di lahan hutan lebih tepat jika
menggunakan “Nilai Harapan Lahan” Land Expectation ValueLEV yang dikemukakan oleh Martin Faustmann pada tahun 1849.
Gambar 2 Pertumbuhan tegakan dan panen berdasarkan Model Faustmann
Pada Gambar 2 terlihat bahwa ketika suatu tegakan mencapai waktu rotasi R maka dilakukan penebangan. Kemudian lahan segera menjadi hutan
kembali setelah pemanenan tersebut. Formula Faustmann menunjukkan nilai lahan adalah nilai yang dihitung pada saat sekarang dari panen yang akan
datang dengan waktu yang tak terhingga. Fungsi lahan tidak mengalami perubahan, yaitu tetap menjadi fungsi hutan terus menerus, ini terlihat dari
rumusnya dimana terjadi ulangan tak terhingga, yaitu : ...
r 1
c -
wv r
1 c
- wv
r 1
c -
wv c
- LEV
3R R
2R R
R R
atau 1
r 1
c -
wv c
- LEV
R R
Dimana : c = biaya pemanenan
R = rotasi r = suku bunga
W = harga kayu V = volume kayu per ha
Terjadi ulangan tak berhingga ini merupakan ciri dan prinsip pengelolaan hutan dibanding pengelolaan lainnya.
c. Prinsip Kehutanan Sosial Prinsip ini dinamakan dengan social forestry yang menganalisis melalui
keberlanjutan kesejahteraan manusia, komunitas, dan masyarakat. Elemen kunci keuntungan hutan menggunakan prinsip ini meliputi distribusi
keuntungan hutan, kapasitas kelompok untuk menerima perubahan,
3R 2R
R Tahun
V
R
penerimaan sosial dari keputusan, dan proses pembuatan keputusan berdasarkan demokrasi.
Deklarasi Rio yang dikeluarkan pada Konferensi PBB untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan United Nations Conference on Environment and
Development, UNCED yang diselenggarakan di Brazil Tahun 1992 mengamanatkan perlunya pengelolaan hutan yang bersifat menyeluruh holistic,
terpadu integrated dan berkelanjutan sustainable. Salah satu dokumen yang dihasilkan dalam konferensi ini adalah Prinsip-prinsip Kehutanan Principle on
Forest. Prinsip tersebut melandasi Pengelolaan Hutan Lestari atau PHL Sustained Forest ManagementSFM yang disepakati secara internasional.
Prinsip utama dalam PHL adalah dicapainya manfaat hutan yang bersifat optimal dari fungsi-fungsi ekonomis, ekologis, dan sosial budaya hutan untuk generasi
sekarang dan generasi yang akan datang Suhendang 2004. Dalam
pengelolaan hutan
berlandaskan ekosistem,
kelestarian keberlanjutan hutan mengandung makna kelestarian dalam hal keberadaan
wujud biofisik hutan, produktifitas daya dukung hutan, dan funsi-fungsi ekosistem hutan dengan komponen lingkungannya. Dari ketiga dimensi
kelestarian hutan tersebut, kelestarian wujud biofisik merupakan prasyarat untuk diperoleh kelestarian produktivitas dan fungsi ekosistem hutan. Namun demikian,
mempertahankan kelestarian wujud biofisik bukan berarti bahwa seluruh hutan harus dibiarkan utuh alami, tidak boleh disentuh atau dimanfaatkan sama sekali;
melainkan kita manfaatkan sumberdaya hutan secara optimal dengan mempertahankan kelestarian daya dukungnya yang dapat menopang secara
berkelanjutan pertumbuhan dan perkembangan pembangunan Suhendang 2004. Lembaga Ekolabel Indonesia 2006 menyatakan ukuran kelestarian untuk
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat PHBM dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: status penguasaan lahan, status tataguna lahan di dalam tataruang,
komoditas yang diusahakannya, dan orientasi pengusahaan produk-produk tesebut. Berdasarkan persilangan keempat faktor tersebut dikenali 48 tipe PHBM.
Secara sederhana dapat digolong-golongkan lebih lanjut ke dalam 6 enam kategori berikut berdasarkan derajat sensitivitas kelestariannya, yaitu :
a Kategori Pertama adalah PHBM pada lahan-lahan yang berdasarkan tata guna lahan diperuntukkan sebagai kawasan dilindungi, dengan jenis hasil hutan
yang diproduksi berupa kayu dan orientasi usahanya komersial; b Kategori Kedua adalah PHBM pada tanah negara yang berdasarkan tata guna
lahan diperuntukkan sebagai kawasan budidaya kehutanan, dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu dan orientasi usahanya komersial;
c Kategori ketiga adalah PHBM yang berada pada tanah adat dan hak milik yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan budidaya
kehutanan, dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu dan orientasi usahanya komersial. Kategori ini dapat berarti PHBM pada tanah-tanah yang
berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan lindung atau kawasan budidaya kehutanan, dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa
hasil hutan non kayu dan orientasi usahanya komersial; d PHBM pada lahan-lahan yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan
sebagai kawasan lindung atau kawasan budidaya kehutanan, jenis hasil hutan yang diproduksinya berupa kayu atau non kayu, namun dengan orientasi
subsisten. e PHBM pada lahan-lahan yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan
sebagai kawasan budidaya non kehutanan dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu atau non kayu, dan orientasi usahanya komersial.
f PHBM pada lahan-lahan yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan budidaya non kehutanan dengan jenis hasil hutan yang
diproduksi berupa kayu atau non kayu, namun orientasi usahanya subsisten.
2.2.4. Organisasi Hutan dan Unit Pengelolaan Hutan