Implikasi dalam Pengelolaan Hutan Rakyat

dan terendah adalah Desa Beber dengan proporsi hanya 0,02. Dibandingkan dengan dugaan berdasarkan kombinasi yang diuji ternyata kombinasi yang menggunakan perubah PC1234 lebih konsisten dalam menduga tipologi tersebut.

4.3. Implikasi dalam Pengelolaan Hutan Rakyat

Tipologi desa hutan rakyat merupakan informasi awal yang dapat digunakan untuk kegiatan perencanaan jangka panjang. Perencanaan hutan memerlukan data dan informasi menyeluruh tentang wilayah yang akan diterapkan suatu kebijakan. Pendekatan tipologi diperlukan bagi pihak yang berkepentingan, yaitu pembuat kebijakan dan petani hutan rakyat. Desa-desa dalam suatu wilayah dapat dikelompokan berdasarkan karakteristik biofisik dan sosial ekonomi. Kondisi tersebut diperlukan dalam menerapkan regulasi berupa peraturan atau kebijakan yang sesuai dengan kondisi wilayah desa tersebut. Dalam ilmu manajemen hutan dikenal istilah preskripsi, yaitu serangkaian kegiatan yang diimplementasikan dalam suatu tegakan untuk mencapai hasil tertentu. Menurut Davis Johnson 1987, terdapat beberapa elemen yang merupakan dasar untuk menentukan preskripsi, yaitu: klasifikasi lahan land classification, pengaturan jadual kegiatan activity schedule, dan prediksi pertumbuhan dan hasil quantitiative growth and yield projection. Ketiga elemen preskripsi di atas diperlukan untuk mengelola dan merencanakan sebuah hutan dengan berbagai cara kuantitiatif. Analisis tipologi dalam kegiatan perencanaan pengelolaan hutan dapat membantu kegiatan klasifikasi lahan di suatu wilayah. Pada penelitian ini, tipologi desa hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dibagi 2 tipe desa hutan rakyat, yaitu tipe I merupakan wilayah-wilayah desa dimana penggunaan lahannya tidak didominasi hutan rakyat. Pada tipe I terdapat kondisi-kondisi yang kurang memungkinkan untuk berkembangnya hutan rakyat dari aspek biofisik dan aspek sosial ekonomi. Sedangkan tipe II merupakan wilayah-wilayah desa yang memiliki potensi hutan rakyat yang besar. Pada tipe II terdapat faktor-faktor biofisik dan sosial ekonominya mendukung untuk berkembangnya pengelolaaa hutan rakyat di desa yang termasuk tipe ini. Peubah-peubah biofisik dan sosial ekonomi yang dibuat sebagai landasan tipologi dalam penelitian ini mencakup karakteristik fisik seperti : rasio kelerengan, kemampuan lahan, dan rasio non sawah; sedangkan peubah lainnya seperti kepadatan penduduk, rasio umur produktif, rasio rumah permanen, jarak ke hutan, dan kerapatan jalan lebih mencakup karakteristik perkembangan. Pertimbangan lain yang dapat dimasukkan sebagai tambahan untuk membuat klasifikasi lahan adalah karakteristik fisik wilayah Daerah Aliran Sungai DAS dan karakteristik vegetasi setempat Davis Johnson 2001. Kabupaten Ciamis memiliki satu DAS besar, yaitu DAS Citanduy yang meliputi wilayah Utara dan empat DAS kecil di wilayah Selatan, yaitu DAS Cijulang, Cikembulan, Cimedang, dan Ciputra Pinggan. Sebaran spasial DAS di kabupeten Ciamis dapat dilihat pada Gambar 28. Untuk karakteristik vegetasi terdapat sebaran jenis-jenis vegetasi yang merupakan ciri yang terbentuk dari wilayah Utara sampai Selatan. Jenis sengon Paraserianthes falcataria mendominasi di seluruh wilayah di Kabupaten Ciamis, sedangkan jenis jati Tectona grandis terdapat di wilayah Selatan dan Tengah, beberapa jenis lainnya yang banyak ditemui adalah mahoni, pulai dan manglid. Sebaran jenis vegetasi di hutan rakyat dipengaruhi oleh pasar, sehingga perubahan jenis dapat terjadi mengikuti jenis kayu yang laku dijual di pasar dengan harga tinggi. Karakteristik vegetasi dapat dilihat pada Gambar 27. Hasil tumpang tindih overlay karakteristik fisik, karakteristik perkembangan, dan karakteristik vegetasi akan menghasilkan beberapa tipe tegakan stand type yang masing-masing memiliki preskripsi tersendiri. Preskripsi tipe tegakan merupakan penjadualan kegiatan pengelolaan hutan berupa perlakuan budidaya, pemanenan, dan kegiatan lainnya untuk mencapai hasil yang diinginkan. Gabungan beberapa tipe tegakan dengan mempertimbangkan batas administrasi dan DAS akan membentuk unit pengelolaan management unit yang memiliki preskripsi tersendiri yang merupakan tambahan dari preskripsi tipe tegakan. Beberapa preskripsi pengelolaan hutan rakyat dapat dibuat, tetapi akhirnya akan tergantung pada tujuan pemilik hutan, jumlah waktu, dana, dan detail analisis yang dicurahkan untuk merencanakan dan mengelola hutan tersebut. Gambar 27 Karakteristik vegetasi hutan rakyat di Kabupaten Ciamis Desa hutan rakyat dengan potensi besar pada tipe II sebaiknya mulai diarahkan kepada pengelolaan hutan yang lebih profesional. Dalam teori pengaturan hasil terdapat beberapa pendekatan untuk mencapai kelestarian hasil. Teori yang paling awal untuk wilayah yang belum diketahui secara detail data wilayahnya atau belum teratur tegakannya, dapat digunakan luas hutan yang bersangkutan sebagai dasar pengaturan Osmaston, 1968. Pembagian areal ke dalam blok dan petak dilakukan pada pengelolaan hutan pada umumnya. Berdasarkan pengamatan di lapangan mengenai karakteristik spasial di suatu desa IBU KOTA KABUPATEN IBU KOTA KECAMATAN IBU KOTA KOTIP BATAS PROPINSI BATAS KABUPATEN BATAS KECAMATAN JALAN PROPINSI SUNGAI JALAN KABUPATEN JALAN KERETA API GARIS PANTAI yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya, terdapat batas-batas wilayah yang jelas di dalam peta desa yang dapat dijadikan pedoman awal dalam perencanaan dan pengaturan pengelolaan. Batas-batas tersebut berupa blok di dusun dan persil atau blok kepemilikan yang terdata lengkap dalam peta desa. Gambar 28 Daerah Aliran Sungai DAS di Kabupaten Ciamis Metode pengaturan hasil dapat berkembang secara bertahap ke pengaturan hasil berikutnya yang menggunakan volume atau volume dan riap sebagai dasar keputusan pengaturan hasil. Penggunaan metode yang akan diterapkan tergantung kepada kesediaan data yang dimiliki dan kemudahan dalam pengaturannya. Metode lain yang dapat dikembangkan adalah penggunakan pendekatan jumlah pohon sebagai dasar pengaturan hasil. Metode tersebut secara praktek lebih mudah dibanding dengan menggunakan volume. Petani selama ini kesulitan dalam menentukan volume tegakan yang akan dijual, sehingga data volume tersebut diperoleh dari pedagang yang akan membeli kayunya. Metode pengaturan hasil berdasarkan jumlah pohon dapat menjadi pilihan pengaturan hasil yang lebih tepat, karena petani akan lebih mudah mengukur jumlah pohon dibanding volumenya. Abidin et al. 1991 menyatakan karakteristik hutan rakyat tersebar dalam luasan yang sempit untuk setiap pemilik sehingga pengelolaan hutan tidak tepat jika dilaksanakan atas dasar kawasan. Sebagai penggantinya, pengelolaan hutan rakyat lebih sesuai menggunakan pengelolaan pohon per pohon atau yang disebut manajemen pohon. Prinsip kelestarian ini juga terlihat dari mekanisme permudaan hutan. Dalam melakukan penebangan misalnya, petani lebih memilih tidak menebang seluruh tegakan yang ada. Hasil tipologi di Kabupaten Ciamis sebagian besar termasuk ke dalam tipe II, yaitu sekitar 70 dari wilayahnya merupakan desa yang berpotensi besar berkembang hutan rakyat. Sebagai fungsi penyedia kayu, keberadaan hutan rakyat adalah untuk menjamin kontinuitas produksi kayu. Hutan tanaman memiliki riap 15 sampai dengan 40 m 3 hatahun, sementara hutan alam memiliki riap sekitar 1 sampai dengan 7 m 3 hatahun Bodegom et al. 2008. Dengan asumsi bahwa hutan rakyat riap tegakan mulai dari 7 sampai 15 m 3 hathn, maka untuk luasan standar minimal rata-rata 58 ha menghasilkan sekitar 406 sampai 870 m 3 thndesa. Sistem pengaturan hasil dalam satu desa atau gabungan dua sampai tiga desa dimungkinkan untuk dilakukan. Volume tersebut sudah dapat mensuplai bahan baku minimal satu industri primer hasil hutan kayu. Pada tipe I perlu penggabungan beberapa wilayah desa sehingga luasannya dapat membentuk satu unit pengelolaan yang lestari dan menjamin kontinuitas hasil bagi industri. Sedangkan wilayah yang sulit berkembang hutan rakyat dapat diarahkan ke bidang-bidang kegiatan di luar hutan rakyat. Menurut Popkin 1986, untuk mengorganisir tindakan kelompok harus mengenal perbedaan antara individual dan kelompok serta harus menyediakan kepemimpinan efektif serta insentif-insentif yang cukup untuk mengatasi perlawananresistensi individual terhadap tindakan kolektif. Oleh karena itu, sebaiknya pihak pemerintah daerah dan pemerintah pusat membuat insentif yang dapat diberikan kepada petani pemilik lahan hutan rakyat atau kelompok petani yang tepat. Insentif yang dapat diberikan kepada petani dapat berupa insentif langsung berupa uang dan barang, dan tidak langsung berupa regulasi, kebijakan, dan kemudahan fasilitas dalam mengelola hutan rakyat. Diniyati dan Awang 2010, menganalisis bentuk insentif yang diinginkan oleh petani hutan rakyat. Bentuk insentif yang diinginkan adalah penyuluhan yang tepat dan berlanjut tentang aspek teknis maupun manajemen ekonomi, sosial budaya. Bentuk insentif dapat pula berupa peraturan daerah yang mendukung kemantapan tata guna lahan yang melindungi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat desa. Insentif lainnya adalah regulasi yang dapat memberikan keadilan, yaitu peraturan pemerintah yang lebih berpihak kepada petani misalnya pengaturan perizinan bertata niaga kayu yang berkaitan dengan jenis tanaman. Selanjutnya Suhendang 2001, menyatakan beberapa kemungkinan insentif ekonomi yang dapat diterapkan untuk hutan dengan skala kecil, yaitu: jaminan pemasaran, pembebasan pajak bumi dan bangunan serta bentuk pungutan lainnya, dan pembebasan biaya dan penyederhanaan prosedur dalam mendapatkan surat keterangan sah hasil hutan untuk semua jenis hasil yang diperoleh. Pada kasus di Kabupaten Ciamis dari tiga desa yang disurvei, yaitu Desa Cikupa, Desa Sukaraharja, dan Desa Beber, kelompok tani yang terbentuk belum optimal menjalankan fungsinya. Pada kelompok tersebut tidak terdapat jadual rutin pertemuan, berbeda dengan kasus di wilayah lain seperti Gunungkidul. Hasil wawancara terhadap para petani menyatakan bahwa sebagian besar keinginan mereka masuk kelompok agar mendapat keuntungan secara langsung seperti bantuan bibit dan bantuan-bantuan lainnya dari pemerintah. Motivasi petani berkelompok di desa yang diteliti belum mengarah kepada bentuk perencanaan jangka panjang seperti menggalang kesepakatan bersama dalam mengelola hutan rakyat yang lebih profesional. Hal ini menjadikan bentuk insentif yang diperlukan petani hutan rakyat pada kondisi Kabupaten Ciamis saat ini adalah pendampingan dan penyuluhan yang tepat dan berlanjut tentang aspek teknis maupun manajemen dan ekonomi. Agar keinginan petani untuk bergabung dalam satu kelompok semakin terdorong, maka dapat dilakukan regulasi atau peraturan-peraturan yang menguntungkan ketika mereka tergabung dalam satu kelompok. Insentif berupa kemudahan peraturan dan bantuan-bantuan yang diterima dari pemerintah hanya diberikan kepada kelompok petani, tidak langsung diberikan kepada petani secara individu. Dengan demikian diharapkan terdapat keinginan petani untuk terlibat aktif dalam kelompok tani. Dengan bergabung dalam satu kelompok tani, maka diharapkan dapat mengatasi keterbatasan luasan lahan setiap kepemilikan dan posisi tawar yang lemah terhadap pihak luar.

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

1. Desa hutan rakyat di Kabupaten Ciamis berdasarkan karakteristik spasialnya mempunyai pola sebaran spasial mengelompok clumped. 2. Luas hutan rakyat di suatu desa berkorelasi terhadap delapan peubah, dengan nilai koefisien korelasi 0.2 sampai dengan 0.5. Koefisien korelasi yang bernilai positif adalah rasio antara penggunaan lahan bukan sawah, dan kelerengan lahan. Koefisien korelasi bernilai negatif adalah kepadatan penduduk, rasio rumah permanen, umur produktif, jarak ke hutan, kemampuan lahan, dan kerapatan jalan. 3. Tipologi desa hutan rakyat yang dibangun menggunakan analisis komponen utama dengan delapan peubah mempunyai akurasi rata-rata umum sebesar 64. Delapan peubah yang digunakan dalam analisis komponen utama adalah: rasio antara penggunaan lahan bukan sawah kelerengan lahan, kepadatan penduduk, rasio rumah permanen, umur produktif, jarak ke hutan, kemampuan lahan, dan kerapatan jalan. 4. Tipologi desa hutan rakyat menghasilkan dua tipe, yaitu Tipe I adalah wilayah yang kurang berpotensi untuk pengembangan hutan rakyat dan Tipe II adalah wilayah yang berpotensi untuk pengembangan hutan rakyat.

5.2 Saran

1. Untuk menentukan arah pengembangan pengelolaan hutan rakyat suatu wilayah perlu mempertimbangkan tipe desa hutan rakyat dan pola sebaran spasial hutannya. 2. Perlu penelitian lebih lanjut kearah pengembangan kelembagaan dan pengaturan hasil yang lebih spesifik terhadap beragam tipe desa hutan rakyat.