Karakteristik Wilayah Pengelolaan Hutan Rakyat

program penghijauan mulai menunjukkan hasil yang cukup berhasil. Keberhasilan tersebut ditambah dengan faktor-faktor pendukung yanglain, maka pada dekade 1980-an di daerah Kapur Selatan telah dikenal adanya hutan rakyat dengan jati sebagai jenis dominan Awang et. al. 2001 dan Simon 2010. Sejarah perkembangan hutan rakyat di Jawa memiliki perbedaan dengan hutan milik atau hutan adat yang tumbuh di luar Pulau Jawa seperti Kebun Damar di Krui Lampung Barat, hutan rotan simpukng di Kutai Barat, tengkawang di Kalimantan Barat, Dusun Sagu di Papua dan Mamar di Nusa Tenggara. Khusus untuk pohon damar mulai dibudidayakan oleh penduduk setempat pada abad ke- 17, saat Inggris masuk wilayah Krui lewat pelabuhan Pulang Pisang. Pohon damar diperkirakan baru mulai dibudidayakan di daerah tersebut menjelang akhir abad ke-19. Pada tahun 1800-an, yaitu ketika kompeni Belanda masuk Krui, budidaya damar berkembang pesat. Proses pembentukan damar di Lampung serupa dengan pembentukan kebun karet di seluruh Sumatra maupun Kalimantan, yaitu dimulai dari perladangan berpindah. Oleh karena itu model pembentukan khepong damar di Lampung merupakan model yang telah teruji dan dapat meningkatkan pendapatan petani dan sekaligus memelihara kawasan hutan dari proses degradasi.

2.1.3. Karakteristik Wilayah Pengelolaan Hutan Rakyat

Pengelolaan hutan rakyat memiliki karakteristik yang berbeda dengan hutan negara. Menurut Awang 2007 karakteristik pengelolaan hutan rakyat adalah : 1. Berada di tanah milik yang dijadikan hutan dengan alasan tertentu, seperti lahan yang kurang subur, kondisi topografi yang sulit, tenaga kerja terbatas, kemudahan pemeliharaan, dan faktor resiko kegagalan yang kecil. 2. Hutan tidak mengelompok, tetapi tersebar berdasarkan letak dan luas kepemilikan lahan, serta keragaman pola wanatani pada berbagai topografi lahan. 3. Pengelolaan hutan rakyat berbasis keluarga, yaitu masing-masing keluarga melakukan pengembangan dan pengaturan secara terpisah. 4. Pemanenan dilakukan berdasarkan sistem “tebang butuh”, sehingga konsep kelestarian hasil belum berdasarkan kontinuitas hasil yang dapat di peroleh dari perhitungan pemanenan yang sebanding dengan pertumbuhan riap tanaman. 5. Belum terbentuk organisasi yang profesional untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat. 6. Belum ada perencanaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga tidak ada petani hutan rakyat yang berani memberikan jaminan terhadap kontinuitas pasokan kayu bagi industri. 7. Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani hutan rakyat sebagai produsen, sehingga keuntungan terbesar dari pengelolaan hutan tidak dirasakan petani hutan rakyat. Menurut Suharjito 2000, beberapa faktor yang mendorong budidaya hutan rakyat di Jawa adalah faktor ekologis, ekonomi, dan budaya. Hutan rakyat di Jawa umumnya dibudidayakan di areal-areal lahan kering daerah atas upland areas. Budidaya hutan rakyat bukan pilihan yang utama bagi masyarakat pedesaaan Jawa pada umumnya. Jika kondisi lingkungan alam memungkinkan, pilihan yang utama adalah budidaya tanaman yang cepat menghasilkan dengan keuntungan tinggi. Penyebaran hutan rakyat pada lahan milik terpencar-pencar dari satu lokasi ke lokasi lain dengan luasan yang relatif sempit 1 ha. Penyebarannya meliputi semua macam penggunaan lahan misalnya terdapat pada tegalan, ladang, kebun campuran, pekarangan dan sebagainya. Hutan rakyat banyak diusahakan pada lahan marjinal, dengan kondisi lereng yang berat, kesuburan tanahnya rendah, sulit mendapatkan air, dan sebagainya, sehingga tidak ekonomis dijadikan lahan pertanian Haeruman et al. 1991. Pola tanam tumpangsari umumnya dilakukan oleh petani-petani berlahan sempit dan menengah. Para petani yang memiliki lahan yang luas 1 ha dan petani yang memiliki sumber penghasilan di luar usahatani dagang, pegawai negeri, dll. lebih mencurahkan perhatian pada usaha penanaman kayu-kayuan daripada tanaman pangan, terutama pada lahan-lahan yang tingkat produktivitasnya dan lapisan olahnya sudah sangat rendah. Keragaan usaha hutan rakyat memiliki keragaman antar kecamatan tetapi cenderung seragam dalam kecamatan. Aspek-aspek yang menyebabkan terjadinya keragaman yaitu : tingkat perhatian terhadap hutan rakyat, persentase pendapatan, penyerapan tenaga kerja, kelestarian fisik, intensitas penutupan lahan, dan persentase pemenuhan kayu bakar dari hutan rakyat Haeruman et al. 1991. Menurut Berenschot et al. 1988 dalam Hardjanto 2003, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap budidaya pohon-pohon Acacia mearnsii di pedesaan Wonosobo-Jawa Tengah adalah kepadatan penduduk, pemilikan lahan, topografi, dan komersialisasi. Peningkatan kepadatan penduduk berarti ketersediaan tenaga kerja per unit lahan, sehingga petani lebih memilih tanaman-tanaman yang lebih intensif. Pemilikan lahan yang sempit cenderung mengurangi minat budidaya pohon-pohon. Topografi yang curam mendorong petani membudidayakan pohon- pohon yang sesuai untuk keperluan konservasi lahan. Komersialisasi hasil pertanian cenderung menurunkan minat budidaya pohon-pohon. Berdasarkan hasil penelitian di Gunungkidul dan Banjarnegara, Van Der dan Van Dijk 1987 mengemukakan bahwa rumahtangga yang memiliki lahan sempit cenderung memilih jenis tanaman yang lebih intensif. Demikian pula rumahtangga yang memiliki kemudahan akses ke pasar lebih cenderung memilih tanaman yang intensif. Kendra dan Hull 2005 di Virginia Amerika Serikat menyatakan, terdapat peningkatan jumlah orang yang memiliki hutan pribadi. Hal ini disebabkan beberapa faktor seperti: gaya hidup sederhana simple lifestyle, kerohanian spirituality, pemeliharaan alam nature preservation, ekonomi economics, rekreasi recreation, dan karakter derah regional character. Metode yang digunakan untuk memilih faktor yang penting tersebut adalah dengan menstratifikasi populasi berdasarkan umur, pendapatan, luas areal kepemilikan, dan kriteria sosiodemografi Menurut Hardjanto 2000, beberapa ciri pengusahaan hutan rakyat sebagai berikut : 1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri dimana petani masih memiliki posisi tawar yang lebih rendah. 2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik. 3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran, yang diusahakan dengan cara-cara sederhana. 4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10 dari pendapatan total.

2.1.4. Struktur Tegakan dan Pola Tanam Hutan Rakyat