efisien dengan mengatasnamakan salah satu petani yang tebangannya terbanyak. Sampai saat ini, petani merasa tidak perlu untuk melaksanakan sendiri pengurusan
tersebut. Harga kayu yang ditawarkan oleh pedagang ranting cukup memuaskan mereka, jika dibandingkan dengan pengorbanan waktu yang telah dilakukan untuk
pengelolaan hutan rakyat. Menurut petani, pengelolaan hutan rakyat merupakan usaha sampingan yang tidak memerlukan banyak intensitas waktu.
a. Proses SIT b. Proses SKSKB
Gambar 23 Contoh alur ideal perizinan penebangan kayu di Kabupaten
Gunungkidul Sumber : Dishutbun, 2005.
4.1.3.4. Pengaturan Hasil di Hutan Rakyat
Pada pengelolaan hutan untuk produksi, perencanaan jangka panjang selalu diterapkan berupa pengaturan hasil hutan. Sistem pengaturan hasil memerlukan
informasi mengenai waktu yang diterapkan, banyak atau jumlah yang akan dipanen yang berhubungan dengan pertumbuhan tegakannya, dan luas yang
dikelola, sehingga perlu suatu wadahunit pengelolaan yang jelas. Pengaturan hasil di hutan rakyat sampai saat ini secara fakta di lapangan
menunjukkan bahwa keputusan masih bersifat perorangan atau per keluarga
Pemilik Kayu Hutan Rakyat
LurahKades mengesahkan Izin Tebang
Petugas Desa memverifikasi kayu di lahan
Diajukan ijin Tebang ke KadesLurah
Kayu Ditebang
Petugas DISHUTBUN memverifikasi dan
mengetok kayu
Diajukan SKSKB ke DISHUTBUN dengan
membawa SIT Kayu
dikumpulkan Penerbitan
SKSKB
Kayu diangkut oleh pembeli
ke luar desa
pemilik lahan. Waktu penebangan pohon merupakan keputusan pribadi masing- masing pemilik lahan, sehingga tidak ada aturan yang jelas berapa yang akan
ditebang pada waktu tertentu. Dalam ilmu pengelolaan hutan, masa tanam sampai waktu pohon siap tebang disebut dengan daur. Penentuan lama waktu
penanaman sampai siap tebang berdasarkan beberapa pertimbangan, misalnya pertimbangan fisiologis, teknis, finansial dan lainnya. Untuk pengelolaan hutan
rakyat, pertimbangan waktu pohon ditebang berdasarkan pertimbangan kebutuhan dari si pemilik kayu. Pemilik kayu akan menjual pohon sebagai salah satu
alternatif jika membutuhkan dana. Alasan petani pemilik hutan rakyat menjual kayunya umumnya untuk
kepentingan yang besar bukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Yang dianggap kepentingan besar oleh petani seperti untuk membeli tanah, biaya
sekolah, hajatan pernikahan atau sunatan dan alasan lain yang membutuhkan biaya besar. Petani menggolongkan hasil pemasukan atas hasil harian seperti
dari tanaman pertanian contohnya cabai, sayur-sayuran dan lainnya; hasil bulanan seperti dari tanaman petanian dan perkebunan contohnya padi, cengkeh, kapulaga
dan lainnya; dan hasil tahunan berupa kayu. Pada Gambar 24 terlihat fluktuasi yang terjadi setiap bulan per tahun
terhadap peningkatan penjualan kayu dari hutan rakyat. Di Kabupaten Ciamis Gambar 24a dari data 2 tahun yaitu tahun 2008 dan 2009, sedikit terjadi
pengulangan waktu. Pada pertengahan tahun yaitu pada bulan Juni sampai September terjadi peningkatan yang beruntun lingkaran putus-putus pada
Gambar 24a. Kemungkinan karena musim panas yang mendukung kondisi lapang untuk menebang pohon dan bertepatan mulai masuknya sekolah dan
perguruan tinggi. Sedangkan pada bulan Oktober sampai Desember terjadi penurunan penjulan kayu. Penurunan penjualan terjadi karena faktor musim
penghujan sehingga tidak ada penebangan kayu pada musim tersebut. Musim penghujan merupakan awal penanaman tanaman pertanian, sehingga penebangan
tidak dilakukan untuk menghindari kerusakan tanaman tersebut.
a
b Gambar 24 Fluktuasi penjualan kayu dari petani setiap bulan per tahun di a
Kabupaten Ciamis dan b Kabupaten Gunungkidul Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis dan
Gunungkidul
Di wilayah Kabupaten Gunungkidul fluktuasi naik dan turunnya penjualan kayu berulang setiap tahun berdasarkan pengecekan terhadap data yang diperoleh
dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan setempat. Puncak-puncak penjualan berulang pada waktu yang hampir berdekatan pada dua sampai tiga tahun
pendataan terlihat pada Gambar 24 terlihat pada garis lingkaran putus-putus. Pada bulan-bulan tertentu seperti Maret Gambar 24b di wilayah Gunungkidul terjadi
10000 20000
30000 40000
50000 60000
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
Vo lum
e m
3
Bulan
2008 2009
3000 4000
5000 6000
7000 8000
9000 10000
11000
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10 11 12
Vo lum
e m
3
Bulan
2004 2005
2006
peningkatan penjualan kayu. Hal ini diduga berhubungan dengan kondisi-kondisi tertentu seperti kegiatan hajatan pernikahan yang terjadi di tahun-tahun tersebut.
Biasanya di masyarakat Jawa hajatan pernikahan banyak dilakukan pada bulan besar atau bulan haji, yaitu untuk tahun 2004-2006 terjadi pada bulan Januari dan
Februari. Dapat juga alasan karena awal musim kemarau, sehingga kondisi lapangan memungkinkan untuk melakukan penebangan dimana tidak ada tanaman
pertanian yang baru tanam. Sebaiknya juga terlihat pada awal musim penghujan sekitar Oktober dan November terjadi penurunan yang drastis dalam penjualan
kayu. Hal ini karena kondisi di lapangan masih banyak tanaman pertanian yang baru ditanam sehingga kegiatan penebangan tidak banyak dilakukan karena
dikhawatirkan akan merusak tanaman pertanian yang masih muda. 4.2
Tipologi Hutan Rakyat 4.2.1. Penentuan Faktor Dominan Pembentuk Tipologi
Pembagian tipologi desa berdasarkan faktor biofisik dan sosial ekonomi setempat dengan desa sebagai unit pengamatan terkecil. Faktor biofisik yang
diamati ada 9 peubah, terdiri dari 6 faktor biofisik dan 3 faktor sosial ekonomi. Berdasarkan korelasi Spearman terdapat hubungan yang sangat nyata antara
beberapa peubah terhadap keberadaan luas hutan rakyat di suatu desa Tabel 11. Peubah yang memiliki korelasi yang kuat dan bernilai positif terhadap luas
hutan rakyat adalah rasio antara penggunaan lahan bukan sawah non sawah, dan kelerengan lahan. Sedangkan yang memiliki korelasi tinggi tapi bernilai negatif
adalah kepadatan penduduk, pendapatan penduduk, umur produktif, jarak ke hutan, kemampuan lahan, dan kerapatan jalan. Dari 9 faktor pada Tabel 11
tersebut yang memiliki nilai tiga terbesar korelasinya terhadapa luas hutan rakyat setiap desa adalah kelerengan lahan, kerapatan jalan, dan lahan bukan sawah.
Sedangkan yang tidak berkorelasi adalah jarak desa ke jalan besar terdekat.
Tabel 11 Korelasi Spearman antar peubah
. Berkorelasi nyata pada level 0,01. . Berkorelasi nyata pada level 0,05.
No Peubah
Hutan rakyat
Kepadatan penduduk
Rumah Perma-
nen Umur
Produk- tif
Non Sawah
Kelere- ngan
lahan Jarak
hutan Jarak
jalan Kemam-
puan lahan
Kera- patan
Jalan
1 Hutan rakyat
1.000 -0.357
-0.197 -0.380
0.441 0.529
-0.426 0.099
-0.233 -0.496
2 Kepadatan penduduk
-0.357 1.000
0.208 0932
-0.297 -0.277
0.225 -0.154
0.058 0.453
3 Rumah permanen
-0.197 0.208
1.000 0.245
-0.111 -0.050
0.101 -0.072
-0.045 0.234
4 Umur produktif
-0.380 0.932
0.245 1.000
-0.265 -0.264
0.216 -0.178
0.072 0.447
5 Rasio non sawah
0.441 -0.297
-0.111 -0.265
1.000 0.486
-0.215 0.167
-0.266 -0.367
6 Kelerengan lahan
0.529 -0.277
-0.050 -0.264
0.486 1.000
-0.565 0.139
-0.433 -0.382
7 Jarak hutan
-0.426 0.225
0.101 0.216
-0.215 -0.565
1.000 -0.108
0.276 0.320
8 Jarak jalan
0.099 -0.154
-0.072 -0.178
0.167 0.139
-0.108 1.000
-0.145 -0.198
9 Kemampuan lahan
-0.233 0.058
-0.045 0.072
-0.266 -0.433
0.276 -0.145
1.000 0.127
10 Kerapatan jalan
-0.496 0.453
0.234 0.447
-0.367 -0.382
0.320 -0.198
0.127 1.000
82
Penjelasan lebih terperinci mengenai kondisi peubah-peubah dengan keberadaaan hutan rakyat sebagai berikut:
a. Kepadatan Penduduk Merupakan peubah yang berhubungan negatif dengan luas hutan rakyat.
Hutan rakyat umumnya ditemukan pada wilayah berpenduduk rendah. Secara logis hal ini tentu demikian, kerena semakin sedikit penduduk berpeluang
areal digunakan dengan penggunaan lain selain pemukiman seperti perkebunan dan lainnya. Kepadatan penduduk juga berkorelasi positif dengan
peubah rasio umur produktif, sehingga semakin padat penduduk kemungkinan besar jumlah umur produktif juga ikut bertambah di suatu wilayah desa.
b. Rasio Rumah Permanen Jumlah rumah permanen di suatu wilayah dalam penelitian ini diasumsikan
sebanding dengan tingkat pendapatan penduduk. Semakin banyak jumlah rumah permanen, tingkat pendapatan penduduk semakin tingi. Hubungan
antara pendapatan penduduk dengan potensi keberadaan hutan rakyat di suatu desa berkorelasi negatif. Hutan rakyat umumnya banyak ditemukan pada
kondisi desa yang memiliki rata-rata pendapatan yang rendah. Hal ini disebabkan luasnya hutan rakyat pada kondisi lahan marginal yang tidak
memiliki banyak alternatif kegiatan pertanian yang lebih produktif, sehingga pendapatan penduduk relatif tidak meningkat.
c. Rasio Umur Produktif Rasio umur produktif merupakan peubah yang berhubungan negatif dengan
luas hutan rakyat. Pengelolaan hutan rakyat tidak seintensif pengelolaaan pertanian dan perkebunan, sehingga ketika terjadi urbanisasi yang besar,
banyak penduduk desa yang berada dalam usia produktif bekerja di kota. Akhirnya kebanyakan penduduk yang tinggal di desa adalah orang-orang usia
lanjut. Kondisi ini memungkinkan pemilihan menanam kayu-kayuan dibanding dengan pertanian intensif.
d. Kerapatan Jalan Peubah ini berkorelasi dominan kedua setelah rasio kelerengan lahan terhadap
keberadaan hutan rakyat di suatu desa. Desa yang memiliki kerapatan jalan
yang besar cenderung memiliki hutan rakyat yang sedikit. Kerapatan jalan berhubungan dengan kemajuan transportasi di suatu wilayah desa. Semakin
maju desa memungkinkan banyaknya alternatif penggunaan lahan lain yang lebih produktif.
e. Penggunaan Lahan Bukan Sawah Non Sawah Suharjito 2000 menyatakan bahwa umumnya lokasi hutan rakyat berada di
wilayah areal lahan kering daerah atas upland areas. Daerah tersebut merupakan daerah pertanian non sawah, yang biasa disebut dengan tegalan
atau kebun. Tegalan atau kebun dalam pendataan statistik disebut dengan lahan pertanian non sawah. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa peubah ini
berkorelasi positif dengan keberadaan hutan. Hal ini menunjukkan bahwa peubah ini bisa menjadi penanda untuk menduga potensi pengembangan hutan
rakyat di suatu desa atau wilayah. Semakin luas penggunaan lahan pertanian non sawah maka semakin besar pula potensi pengembangan hutan rakyatnya.
f. Kemampuan Lahan Berdasarkan sejarahnya, hutan rakyat terbentuk karena gerakan penghijauan
pada daerah-daerah kritis Hardjanto 2003. Oleh karena itu perkembangan hutan rakyat diduga dominan di wilayah-wilayah tidak subur. Hasil uji
korelasi dengan luas hutan rakyat menunjukkan adanya korelasi negatif sehingga mendukung dugaan hutan rakyat berkembang di wilayah tidak subur.
g. Rasio Kelerengan Lahan Peubah ini memiliki korelasi tertinggi diantara peubah lainnya. Ini
menunjukkan bahwa hutan rakyat dominan berada di wilayah yang tidak datar, yakni berada di wilayah landai sampai curam. Hutan rakyat merupakan
alternatif berikutnya ketika lahan tidak memungkinkan untuk ditanam tanaman pertanian atau budidaya lain yang lebih cepat menghasilkan.
Wilayah yang tidak memperoleh pengairan untuk sawah berada di wilayah-wilayah atas upland areas yang memiliki topografi lebih curam.
Hutan rakyat berkembang di daerah yang bertopografi curam.
h. Jarak ke Hutan Negara Keberadaan hutan negara di dalam atau sekitar desa ternyata berpengaruh
terhadap keberadaaan hutan rakyat. Semakin dekat areal hutan negara dengan suatu desa, maka umumnya semakin besar potensi hutan rakyat. Kondisi ini
diduga karena faktor biofisik dan budaya. Wilayah hutan negara di Kabupaten Ciamis umumnya berada di daerah-daerah pegunungan dengan topografi
curam dan kondisi assesibilitas yang sulit. Dengan kondisi biofisik demikian, alternatif penggunaan lahan tidak banyak sehingga penggunaan lahan dengan
penanaman yang tidak intensif menjadi pilihannya. Ditinjau dari sudut budaya, masyarakat yang tinggal berdekatan dengan hutan sudah terbiasa
dengan pengelolaan hutan dan umumnya terlibat langsung sebagai penggarap jika hutan tersebut hutan produksi. Sebagai penggarap di areal tumpangsari
Perum Perhutani, petani sudah terbiasa dengan cara-cara menanam, memelihara, dan bahkan terlibat dalam kegiatan pemanenan sebagai buruh
tebang. Kebiasaan ini sering juga diterapkan di lahan milik pribadi mereka. Penyebaran bibit secara alam dari hutan negara ke lahan milik melalui angin
dan binatang-binatang hutan diduga merupakan salah satu cara penyebaran alami, sehingga jenis-jenis tanaman yang biasa ada di hutan negara seperti jati,
mahoni, dan pinus. tumbuh di lahan milik pribadi petani i. Jarak ke Jalan
Hasil analisis korelasi menunjukkan jarak terdekat antar batas desa ke jalan provinsi jalan kolektor tidak berpengaruh nyata terhadap kondisi hutan
rakyat di suatu desa dibanding peubah lainnya. Jalan besar merupakan jalur transportasi pengangkutan kayu ke luar wilayah. Peubah ini tidak
berpengaruh nyata terhadap luas hutan rakyat. Wilayah dekat jalan besar memiliki keuntungan biaya pengangkutan menjadi murah, tetapi harga tanah
menjadi lebih mahal. Sedangkan wilayah yang jauh dari jalan besar akan sebaliknya.
Berdasarkan analisis komponen utama AKU, peubah-peubah yang digunakan diuji korelasinya dengan luas hutan rakyat di suatu desa. Hasil
korelasi pada Tabel 12 diketahui bahwa dari 9 peubah yang dianalisis, hanya satu faktor yaitu jarak ke jalan besar yang secara statistik mempunyai korelasi kecil.
Dengan demikian, maka analisis lebih lanjut hanya menggunakan 8 peubah pendukung. Untuk mengetahui berapa banyak komponen utama yang akan
digunakan, maka dipergunakan nilai kumulatif proporsi lebih dari 70. Pada delapan komponen utama yang dihasilkan dapat dipotong sampai PC empat saja
karena sudah mewakili proporsi keragaman yang cukup. Tabel 12 Nilai komponen utama PC pada lima peubah dan nilai kumulatifnya
Peubah
PC1 PC2
PC3 PC4
PC5 PC6
PC7 PC8
Kepadatan Penduduk
0,340 -0,389
-0,523 0,115 -0,056 0,033
-0,627 0,223
Rumah permanen
0,146 -0,340
0,603 -0,108 -0,669 0,056 -0,114 0,156
Umur Produktif
0,371 -0,479
-0,284 0,107 -0,133 -0,083
0,668 -0,264
Non Sawah
-0,441 -0,185
-0,018 0,457 -0,080
-0,661 0,068 0,338
Kelerengan lahan
-0,491 -0,295
-0,100 -0,168 -0,149
-0,084 -0,281 -0,725
Jarak ke hutan
0,337 0,293
0,212 0,715
-0,074 -0,056 -0,199 -0,443
Kemampuan Lahan
0,185 0,520
-0,333 -0,325 -0,523 -0,450 -0,001 -0,055
Kerapatan Jalan
0,377 -0,164
0,341 -0,331 0,475 -0,582 -0,157 -0,128
Akar ciri eigenvalue 2,407
1,323 1,069
0,904 0,8463 0,5602 0,4969 0,3929
Proporsi
0,301 0,165 0,134 0,113 0,106 0,070 0,062 0,049
Kumulatif Proporsi
0,301 0,466 0,600 0,713 0,819 0,889
0,951 1,000
Dari 4 PC pada Tabel 12 dapat diketahui empat indeks desa di Kabupaten Ciamis yang didekati dari 8 faktor. Karakteristik tersebut dapat dilihat dari
peubah dominan yang membentuk komponen utamanya sebagai berikut : - Pada PC1 menggambarkan indeks kelerengan lahan dan non sawah. Nilai
ini menunjukkan dominan kelerengan lahan yang datar dengan kegiatan non persawahan yang rendah.
- Pada PC2 merupakan indeks kondisi kemampuan lahan yang menunjukkan kemampuan lahan yang tinggi.
- Wilayah PC3 merupakan indeks rumah permanen dan kepadatan penduduk yang merupakan peubah sosial ekonomi.
- Pada wilayah PC4 merupakan indeks jarak desa ke kawasan hutan negara. PC4 menunjukkan nilai akar ciri yang tinggi pada jarak ke kawasan hutan
yang semakin jauh.
Tabel 13 Banyaknya anggota setiap kombinasi dan kelompok
JUMLAH ANGGOTA TIAP KELOMPOK
Kombinasi Jmh
Peubah
8 Peubah
7 Peubah
6 Peubah
5 Peubah
4 Peubah
3 Peubah
2 Peubah
PC- 1234
PC- 123
5 Kelompok
1 183
183 183
183 183
161 161 176 149
2 86
86 86
86 86
124 124
68 72
3 62
62 62
62 62
45 45
53 70
4 2
2 2
2 2
5 5
43 40
5 3
3 3
3 3
1 1
5 5
4 Kelompok
1 185
185 185
185 185
171 171 185 153
2 60
60 60
60 60
115 115
86 85
3 86
86 86
86 86
44 44
60 61
4 5
5 5
5 5
6 6
5 37
3 Kelompok
1 228
228 228
228 228
202 202 196 195
2 103
103 103
103 103
99 99
80 78
3 5
5 5
5 5
35 35
60 63
2 Kelompok
1 239
239 239
239 239
249 249 235 234
2 97
97 97
97 97
87 87 101 102
- Kombinasi Peubah yang digunakan :
- 8 Peubah = kelerengan lahan, kerapatan jalan, non sawah, jarak ke hutan, rasio umur
produktif, kepadatan penduduk, kemampuan lahan, dan rasio rumah permanen. -
7 Peubah = kelerengan lahan, kerapatan jalan, non sawah, jarak ke hutan, rasio umur produktif, kepadatan penduduk, dan kemampuan lahan
- 6 Peubah = kelerengan lahan, kerapatan jalan, non sawah, jarak ke hutan, rasio umur
produktif, dan kepadatan penduduk -
5 Peubah= kelerengan lahan, kerapatan jalan, non sawah, jarak ke hutan, dan rasio umur produktif
- 4 Peubah = kelerengan lahan, kerapatan jalan, non sawah, dan jarak ke hutan
- 3 Peubah = kelerengan lahan, kerapatan jalan, dan non sawah
- 2 Peubah = kelerengan lahan dan kerapatan jalan
4.2.2. Pembentukan Tipologi 4.2.2.1 Jumlah Tipologi